BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Makalah Penelitian Sanad (Kritik Sanad)
Dalam mempelajari Hadis Nabi saw, seseorang mesti mengenali dua bagian penting yang menentukan keberadaan dan mutu Hadis tersebut ialah al-sanad dan al-matan. Kedua komponen Hadis tersebut begitu penting artinya dan antara yang satu dan yang lainnya saling bekerjasama erat, sehingga jika salah satunya tidak ada maka akan besar lengan berkuasa dan bahkan mampu merusak keberadaan dan mutu dari sebuah Hadis. Suatu berita yang tidak mempunyai sanad, berdasarkan Ulama Hadis, tidak dapat disebut sebagai Hadis dan kalaupun disebut Hadis maka ia dinyatakan selaku Hadis palsu (maudhu’).[1]
Di dalam penilaian sebuah Hadis komponen sanad dan matan ialah sungguh memilih. Oleh balasannya, yang menjadi objek kajian dalam observasi Hadis yaitu kedua komponen tersebut, yaitu sanad dan matan. Sanad yakni jalan yang memberikan kita kepada matan Hadis dan matan yakni bahan atau lafazh Hadis itu sendiri.
Di dalam makalah ini, yang dibahas hanya wacana Pengertian dan sejarah penelitian sanad, Tujuan dan faedah penelitian sanad, Faktor-faktor yang mendorong penelitian sanad, Bagian yang harus diteliti sanad Hadis
a. Pengertian dan Sejarah Penelitian Sanad
1. Pengertian Sanad
Kata Sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang bermakna mu’tamad (sandaran/tempat bersandar, kawasan berpegang, yang dipercaya, atau yang sah). Dikatakan demikian, karena Hadis itu bsersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.[2]
Dalam kegiatan penelitian sanad dipergunakan perumpamaan an-Naqd, kata an-Naqd yaitu masdar dari kata naqada yang secara etimologi memiliki arti memisahkan sesuatu yang bagus dan yang jelek.[3] Kata an-Naqd juga bermakna memilih-milih dirham dengan mengeluarkan dirham yang orisinil dari yang artifisial.[4] Kata an-naqd mampu juga diartikan dengan kritik[5]
Secara istilah an-naqd yakni membedakan hadis-hadis yang otentik dari yang dhaif sekaligus memutuskan status tsiqah dan cacat bagi perawinya.[6]Kritik sanad juga berarti penilaian terhadap keadaaan setiap periwayat hadis yang bersangkutan dari aneka macam aspek, kala hidup, pengetahuan, guru dan murid, kejujuran, kesalehan, kekuatan ingatan, cara berfikir dan ajaran teologi yang dianutnya sehingga penilai mampu memilih apakah riwayatnya dapat diterima atau tidak. Dalam ilmu hadis kritik sanad disebut an-naqd ad-dakhil (kritik intern)[7]. Menurut istilah hebat Hadis, sanad yaitu jalan yang menyampaikan kita terhadap matan Hadis.[8]
Sebagai acuan dari sanad ialah seperti yag terlihat dalam hadis berikut :
روى الامام البخاري قال : حدثنا محمد بن المثنى قال : حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال : حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن انس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الايمان ان يكون الله و رسوله احب اليه مما سواهما, و ان يحب المرء لا يحبه الا لله و ان يكره ان يعود في الكفر كما يكره ان يقذف في النار.
Imam Bukhari meriwayatkan , beliau berkata, “Telah menceritakan terhadap kami Muhammad ibnu al-Mutsanna, beliau berkata, “Telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi, beliau berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas, dari Nabi saw, dia bersabda, ‘Ada tiga hala yang apabila seseorang memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya dogma, adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya, bahwa dia mengasihi seseorang alasannya adalah Allah swt, dan bahwa ia benci kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci masuk ke dalam api neraka
Masing-masing orang yang memberikan Hadis di atas secara sendirian, disebut dengan rawi (perawi/periwayat), yakni orang yang menyampaikan, atau menuliskan dalam suatu kitab, apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya).[9] Dengan demikian, kalau kita melihat pola Hadis di atas, maka Hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa orang perawi, yakni :
1. Anas ra (selaku perawi pertama).
2. Abi Qilabah (sebagai perawi kedua).
3. Ayyub (selaku perawi ketiga).
4. ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi (selaku perawi keempat).
5. Muhammad ibn al-Mutsanna (sebagai perawi kelima)
Imam Bukhari sebagai perawi terakhir dapat juga disebut Mukharrij ialah orang yang sudah menukil atau mencatat suatu Hadis pada kitabnya, dan dari sisi ini Bukhari adalah orang yang mentakhrij Hadis di atas. Apabila kita melihat dari segi sanad ialah, jalan yang memberikan kita kepada matan Hadis, maka urutannya adalah selaku berikut :
1. Muhammad ibn al-Mutsanna (sanad pertama).
2. ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi (sanad kedua).
3. Ayyub (sanad ketiga).
4. Abi Qilabah (sanad keempat).
5. Anas ra (sanad kelima)
2. Sejarah Penelitian Sanad
Sejarah penghimpunan dan pengkodifikasian Hadis, terlihat begitu besarnya peranan yang dimainkan oleh masing-masing perawi Hadis dalam rangka mencacat dan memelihara keutuhan Hadis Nabi saw. Kegiatan pendokumentasian Hadis, terutama pengumpulan dan penyimpanan Hadis-hadis Nabi saw, baik lewat hafalan maupun lewat goresan pena yang dilaksanakan oleh sobat, tabi’in, tabi’ al tabi’in dan mereka yang datang sesudahnya, yang rangkaian mereka itu disebut dengan sanad, sampai terhadap generasi yang membukukan Hadis-hadis tersebut, seperti Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, dan lainnya, sudah menimbulkan terpelihara Hadis-hadis Nabi saw sampai ke kita pada dikala sekarang ini.
Berdasarkan sejarah periwayatan Hadis, para perawi, mulai dari tingkatan sobat hingga terhadap ulama Hadis, maka pembukuan Hadis telah melakukan pendokumentasian Hadis melalui hapalan dan tulisan. Bahkan berdasarkan Al-Azami, pada tingkatan teman pengumpulan dan pemeliharaan Hadis dikerjakan dengan tiga cara,[10] ialah : (i). Learning by memorizing, yaitu dengan cara mendengarkan setiap perkataan Nabi saw secara hati-hati dan menghafalkannya; (ii) Learning through writing, yakni mempelajari Hadis dan menyimpannya dalam bentuk tulisan. Dalam cara ini, yaitu menyimpan dan menyampaikan Hadis dalam bentuk goresan pena, terdapat sejumlah sobat adalah Abu Ayyub al-Anshari (w.52 H), Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H), Abd Allah Ibnu Abbas (w. 68), ‘Abd Allah ibnu ‘Umar (w. 74 H), dan lain-lain.[11] (iii) Learning Practice, yaitu para sobat memperaktekkan setiap apa yang mereka pelajari mengenai Hadis yang diterimanya baik melalui hapalan maupun goresan pena.
Demikianlah cara-cara teman dalam menerima dan memelihara Hadis-hadis Nabi saw cara yang demikian tetap dipertahankan oleh para sobat dan ulama yang datang setelah mereka, setelah wafatnya Nabi saw, khusus mengenai aktivitas penulisan Hadis yang dikerjakan oleh masing-masing generasi sahabat, generasi tabi’in, tabi’i al-tabi’in, samapai para ulama setelah mereka, telah .didokumentasikan oleh M.M. Azami di dalam disertasi doktornya yang berjudul Studies In Early Hadith Literature.
Dalam pertumbuhan selanjutnya, proses pendokumentasian Hadis semakin banyak dijalankan dengan goresan pena. Hal ini terlihat dari delapan mempelajari Hadis yang diketahui dikalangan ulama Hadis, tujuh diantaranya, yaitu tata cara kedua hingga kedelapan yakni sangat tergantung terhadap materi tertulis, bahkan sisanya yang satu lagi pun, yaitu yang pertama juga sering berhubungan dengan materi tertulis. Kedelapan metode tersebut adalah[12] :
1. Sama’
Sama’ yakni bacaan guru untuk murid-muridnya. Metode ini berwujud dalam empat bentuk ialah bacaan secara verbal, bacaan dari buku, Tanya jawab, dan mendiktekan.
a. Kedudukan sama’ min lafdzi syaikh
Cara priwayatan bentuk ini oleh secara umum dikuasai ulama hadis dinilai selaku cara yang paling tinggi kualitasnya.
b. Pernyataan atau kata-kata yang dipakai
Istilah atau kata-kata yang digunakan untuk cara ini yaitu ;
‘Ardh yakni bacaan oleh murid kepada guru. Dalam hal ini para murid atau seseorang tertentu yang disebut Qori’, membaca catatan Hadis dihadapan gurunya, dan berikutnya yang lain mendengarka serta membandingkann dengan catatan mereka atau menyalin dari cacatan tersebut.
a. Hukum periwayatan dengan cara ini
Periwayatan hadis dengan ‘ardh berdasarkan sebagaian besar ulama yaitu shahih, kecuali berdasarkan kalangan tasyaddud (garis keras) yang tidak terbiasa menggunakan ini.
b. Kedudukannya :
Para ulama berlawanan usulan wacana kedudukan cara ‘ardh, yaitu :
- Sejajar dengan sama’, ini menurut imam Malik, al-Bukhari dan sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah.
- Lebih rendah dari sama’, ini berdasarkan sebagian besar ulama Maroko (pertimbangan yang shahih).
- Lebih tinggi dari sama’, ini mnurut Abu Hanifah, Abu Dzi’b dan sebagian riwayat Imam Malik.
c. Kata-kata yang dipakai untuk cara ini
- Yang paling hati-hati : qara’tu ‘ala pulan, qiri’a ‘alaihi dan wa ana ‘asma’u pa aqra u bihi.
- Menggunakan mirip sama’ yang dikaitkan dengan lafal qira’ah : haddatsana qira’atan ‘alaihi.
- Yang sering digunakan oleh sebagian besar ulama hadis hanya kata : akhbarana.
3. Ijazah
Ijazah, yaitu member izin terhadap seseorang untuk meriwayatkan sebuah Hadis atau buku yang bersumber darinya, tanpa terlebih dulu Hadis atau buku tersebut dibaca dihadapannya.
a. Hukum periwayatan dengan Ijazah
Ijazah murni yang disebutkan pertama , oleh mayoritas ulama disepakati kebolehannya dan sebagian menilai batal, pertimbangan yang kedua antara lain riwayat dari Syafi’i. Untuk jenis lainnya diperselisihkan kebolehannya. Yang jelas penerimaan dan periwayatan hadis dengan cara (ijazah) ini mengandung unsure coba-coba yang mendorong untuk bersikap gegabah dalam periwayatan.
b. Kalimat periwayatan yang digunakan dengan cara ijazah
Munawalah,, adalah menunjukkan terhadap seseorang sejumlah Hadis tertulis untuk diriwayatkan/disebarluaskan.
Munawalah terbagi menjadi ada 2 macam. Yaitu :
1) Al-Munawalah al-Maqrunah bi al-Ijazah, yakni al-Munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Prakteknya seorang guru hadis menyodorkan kepada muridnya hadis yang ada padanya, lalu guru tadi berkata :”anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang aku peroleh ini”. Atau seornag murid menyodorkan hadis kepada guru hadis, kemudian guru itu memeriksanya dan sehabis guru memaklumi bahwa ia juga meriwayatkannya, maka beliau berkata : “hadis ini sudah aku terima dari guru-guru aku dan anda aku beri ijazah untuk meriwayatkan hadis ini dari aku”. Bentuk ijazah ini dinilai paling tinggi kualitasnya diantara bentuk ijazah lain.
2) Al-Munawalah Mujarradah ‘an al-Ijazah, yakni al-munawalah yang tidak diikuti dengan ijazah. Prakteknya seorang guru menyodorkan kitab hadis terhadap muridnya sambil berkata “ini hadis yang pernah saya dengar” atau ini hadis yang telah saya riwayatkan”.
a. Hukum periwayatan dengan al-Munawalah
- Periwayatan dengan cara ijazah yang pertama hukumnya boleh, namun kualitasnya lebih rendah dari sama’ dan ardh.
- Periwayatan dengan cara ijazah yang kedua menurut usulan yang shahih dilarang.
b. Kalimat periwayatan yang digunakan dengan cara al-Munawarah :
- Untuk al-Munawalah al-maqrunah bi al-ijazah yang terbaik dengan kata : nawalani atau wa ajaza li.
- Boleh juga menggunakan mirip sama’ atau ardh yang dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah, seperti : haddatsana manawalah atau akhbarana munawalatu dan ijazatu.
5. Kitabah
Kitabah, yaitu menuliskan Hadis untuk seseorang yang berikutnya untuk diriwayatkan terhadap orang lain.
a. Macam-macam al-Kitabah :
- Al-Kitabah yang dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan : ajzatuka ma katabtu laka au ilaika.
- Al-Kitabahi yang tidak dibarengi dengan ijazah, artinya seorang guru menulis sebagian hadis untuk diberikan terhadap seseorang tanpa memberi izin meriwayatkannya.
b. Hukum periwayatan dengan cara Al-Kitabah :
- Periwayatan dengan macam al-Kitabah yang pertama adalah sah dan kualitasnya sama dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah.
- Periwayatan dengan macam al-kitabah yang keduan ditolak oleh sebagian kaum dan sebagian yang lain membolehkannya, tetapi yang shahih menurut mahir hadis, sebab secara tidak pribadi telah mengandung maksud ijazah.
c. Periwayatan yang digunakan untuk cara al-kitabah :
- Dengan terperinci menggunakan lafal al-kitabah, mirip perkataan : kataba ila pulan
- Atau menggunakan lafal sama’ yang dikaitkan dengan lafal al-kitabah, mirip perkataan : haddastani pulan atau akhbarani kitabah.
6. I’lam
I’lam yaitu member tahu seseorang tentang kebolehan untuk meriwayatkan Hadis dari buku tertentu menurut atas otorita ulama tertentu.
a. Hukum periwayatan dengan cara I’lam
Ada 2 pendapat perihal hokum periwayatan dengan cara al-I’lam, ialah :
- Kebanyakan ulama hadis, fiqh dan ushul fiqh mengijinkan periwayatan dengan cara al-I’lami.
- Sebagian menyatakan dihentikan, alasannya adalah hadis yang diberitahukan itu ada cacatnya, risikonya guru tersebut tidak memerintahkan muridnya untuk meriwayatkannya, ini usulan yang shahih.
b. Kalimat yang dipakai untuk cara I;lam antara lain adalah : ‘alamani syaikh bi kadza.
7. Washiyyat
Washiyyat, yairtu seseorang mewasiatkan suatu buku atau catatan wacana Hadis terhadap orang lain yang dipercayainya dan dibolehkannya untuk meriwayatkannya terhadap orang lain.
a. Hukum periwayatan dengan cara Washiyyat antara lain :
- Menurut sebagian ulama salaf boleh periwayatan dengan cara washiyyat. Pendapat ini salah, karena yang diwasiatkna itu kitabnya bukan wasiat untuk meriwayatkannya.
- Menurut pendapat yang benar ialah dilarang periwayatan hadis dengan cara wasiat.
b. Kalimat yang dpakai untuk cara washiyyat antara lain yaitu : ausha ‘ila pulan bi kadza atau haddatsani pulan washiyyah.
8. Wajadah
Wajadah, yakni mendapatkan buku atau catatan seseorang perihal Hadis tanpa menerima izin dari yang bersangkutan untuk meriwayatkan Hadis tersebut terhadap orang lain. Dan cara yang mirip ini tidak dipandang oleh ulama Hadis selaku cara menerima atau mempelajari Hadis.[13]
a. Hukum periwayatan dengan cara wajadah
Periwayatan hadis dengan cara wajadah tergolong klasifikasi munqathi’, tetapi masih terdapat unsure ittishalnya.
b. Kata-kata yang digunakan untuk cara wajadah antara lain ialah :wajadat bikhath pulan atau bikhath pulan kadza.
Melalui cara-cara di atas, masing-masing sanad Hadis secara berkelanjutan mulai dari lapisan sobat., tab’in, tabi’ al-tabi’in, dan seterusnya sampai terhimpunnya Hadis-hadisnya Nabi saw di dalam kitab-kitab Hadis yang kita temui kini telah memelihara dan mempertahankan keberadaan dan kemurnian Hadis Nabi saw, yang ialah sumber kedua dari anutan Islam. Kegiatan pendokumentasian hadis yang dijalankan oleh masing-masing sanad tersebut di atas baik lewat hafalan maupun melalui goresan pena, telah pula didokumentasikan oleh para ulama dan para peneliti serta kritikus Hadis. Kitab-kitab Muktabar dan patokan, mirip Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan yang lain, di dalam menuliskan Hadis juga menuliskan secara urut nama-nama sanasd Hadis tersebut satu persatu, mulai dari sanad pertama hingga sanad terakhir.[14]
b. Tujuan dan faedah penelitian sanad
1. Untuk memelihara eksistensi Hadis.
2. Untuk memelihara kemurnian Hadis
3. Untuk memelihara kesinambungan Hadis
4. Untuk mengenali mutu Hadis.
Tujuan dan faedah observasi sanad Hadis yaitu untuk pendokumentasian Hadis yang menyangkut pengumpulan dan pemeliharaan Hadis, baik dalam bentuk goresan pena atau dengan mengandalkan daya ingat yang setia dan tahan lama dan untuk penentuan kualitas Hadis.[15] Apakah diterima atau ditolak.
Para ulama menunjukkan aneka macam komentar perihal pentingnya sanad, antara lain :
1. Muhammad bin Sirin :
“Sesungguhnya ilmu ini (hadis) ialah agama, perhatikanlah dari mana kamu mengambil agama itu”.
2. Abdullah bin Al-Mubarok :
“Sanad itu bagian dari agama, kalau tidak ada sanad maka siapa saja dapat menyatakan apa yang dikehendakinya”.
3. Az-Zuhri setiap menyampaikan Hadis diikuti dengan sanad dan menyampaikan :
“Tidak pantas naik ke loteng/atap rumah kecuali dengan tangga”.[16]
c. Faktor-faktor yang mendorong observasi sanad
Faktor-faktor yang mendorong peneltian sanad ialah untuk mengetahui status dan mutu sebuah Hadis, apakah dapat diterima atau ditolak, tergantung pada sanad dan matan Hadis tersebut. Apabila sanad suatu Hadis telah memenuhi syarat-syarat dan kriteria tertentu, demikian juga matan-nya, maka Hadis itu mampu diterima selaku dalil untuk melakukan sesuatu atau menetapkan hokum atas sesuatu; akan namun, kalau syarat-syarat nya tidak terpenuhi, maka Hadis tersebut dtolak dan tidak mampu dijadikan hujjah.[17]
Kualitas Hadis yang dapat diterima selaku dalil atau hujjah yakni Shahih dan Hasan, dan keduanya disebut juga Hadis maqbul (hadis yang dapat diterima selaku dalil atau dasar penetapan aturan).[18] Diantara syarat qabul sebuah Hadis yaitu berhubungan dekat dengan sanad Hadis tersebut yaitu : sanad-nya bersambung, bersifat adil dan dhabith. Dan syarat seelanjutnya berhubungan dekat dengan matan Hadis adalah : Hadisnya tidak syadz dan tidak terdapat padanya ‘illat.[19]
Dari lima tolok ukur di atas agar sebuah Hadis dapat diterima selaku dalil atau hujjah, tiga diantaranya yakni bekerjasama dengan sanad Hadis tersebut. Suatu Hadis manakala sanad- nya tidak bersambung atau terputus, maka Hadis tersebut tidak mampu diterima selaku dalil. Keterputusan sanad tersebut mampu terjadi pada awal sanad, baik satu orang perawi atau lebih (disebut Hadis mu’allaq), atau pada final sanad (disebut Hadis mursal), atau terputusnya sanad satu orang (munqathi’), atau dua orang atau lebih secara berurutan (mu’dhal), dan lainnya. Demikian juga halnya jika sanad Hadis mengalami cacat, baik cacat yang bekerjasama dengan keadilan para perawi mirip pembohong, fasik, pelaku bid’ah atau tidak dimengerti sifatnya, atau cacatnya berhubungan dengan ke-dhabitan-nya mirip sering berbuat kesalahan, buruk hapalannya, teledor, sering ragu, dan menyalahi keterangan orang-orang terpecaya. Keseluruhan cacat tersebut jika terdapat pada salah seorang perawi dari sebuah sanad Hadis, maka Hadis tersebut juga dinyatakan Dha’if dan ditolak sebagai dalil.[20]
d. Bagian yang harus diteliti sanad Hadis
Dalam bidang ilmu Hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dhai’f-nya suatu Hadis. Andaikata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau tertuduh dusta atau bila setiap pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu pribadi (muttashil), maka Hadis tersebut dha’if sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian juga sebaliknya bila para pembawa Hadis tersebut orang-orang cakap dan cukup persyaratan, adalah : adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan memiiliki daya ingat yang kridibel, sanad-nya bersambung dari satu periwayat terhadap periwayat lain hingga kepada sumber informasi pertama, maka Hadisnya dinilai shahih.[21] Di bawah ini akan dijelaskan tentang Bagian yang harus diteliti sanad Hadis, yaitu:
1. Ketersambungan Sanad
Yang dimaksud dengan sanad yang bersambung ialah bahwa masing-masing perawi di dalam rangkaian sanad tersebut menerima hadis secara langsung dari perawi yang di atasnya (yang mendahuluinya), selanjunya ia menyampaikannya terhadap perawi yang dating sesudahnya. Hal tersebut harus berjalan dan mampu dibuktikan dari sejak perawi pertama, adalah generasi sobat yang mendapatkan Hadis tersebut pribadi dari Rasulullah hingga kepada perawi terakhir yang mencatat dan membukukan Hadis tersebut, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim dan yang lain.
Dengan kata lain, bahwa matan Hadis tersebut tidak lewat perantaraan tangan orang lain yang termasuk dalam rangkaian perawi yang disebutkan di dalam sanad. Karena, boleh jadi perawi mediator yang namanya tidak disebutkan di dalam rangkaian sanad Hadis itu yakni seorang yang pembohong, atau seorang yang pelupa, hal tersebut bertentangan dengan syarat-syarat diterimanya sebuah Hadis selaku dalil, mirip syarat “adil” dan “dhabith”.[22]
Dalam pelaksanaan observasi mengenai kebersambungan sanad, ada dua hal penting yang harus dikaji oleh seorang peneliti Hadis, yakni :
a. Sejarah hidup masing-masing perawi
Dalam meneliti sejarah hidup perawi, yang perlu dicatat adalah (a). Masa hidupnya, yaitu tahun lahirnya dan wafatnya; (b) Tempat lahir dan tempat-kawasan yang pernah dikunjumginya; (c) Guru-gurunya, yaitu sumber Hadis yang diterimanya; (d) murid-muridnya, yaitu orang-orang yang meriwayatkan Hadis-hadisnya, isu mengenai riwayat hidup para perawi dapat ditelusuri melalui kitab-kitab Tahdzib al-Tahdzib, Taqrib al-Tahhdzib, Tahdzib al-Kamal, al-Kasyrib, Mizan al-I’tidal, Ushud al-Ghabah, al-Ishabat, dan lain-lain.
b. Shighat al-tahammul wa al-adda’ ; adalah lambang-lambang periwayatan Hadis yang dipakai oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan Hadis tersebut mirip : Sami’tu, akhbarana, ‘an ann.
Langkah selanjutnya yakni meneliti lambang-lambang periwayatan Hadis yang dipakai oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan Hadis. Lambang-lambang tersebut menggambarkan atau cara si perawi dalam menerima Hadis dari gurunya. Para ulama Hadis menyimpulkan ada delapan cara periwayatan Hadis yakni : (1) al-sama’, al-qira’ah (al-‘ardh), (3) al-ijazah, (4) al-munawalah, (5) al-kitabah, (6) al-i’lam, (7) al-washiyyah, dan (8) al-wajadah.[23]
Lambang-lambang sami’na dan haddatsani, disepakati oleh para mahir Hadis penggunaannya untuk periwayatan dengan metode al-sama’, yakni telinga langsung oleh murid dari gurunya, selaku sistem yang berdasarkan secara umum dikuasai ulama Hadis mempunyai tingkat akurasi yang tinggi. Sedangkan lambang nawalan dan nawalani, disepakati sebagai lambang periwayatan al-munawalah, adalah sistem periwayatan yang masih dipersoalkan tingkat akurasinya.[24]
2. Keadilan Perawi
Sifat adil ialah suatu sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang mendorognya untuk senantiasa memelihara ketakwaan, mempertahankan muru’ah (moralitas) sehingga menghasilkan jiwa yang tepercaya dengan kebenarannya, yang ditandai dengan perilaku menjauhi dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil.[25]
Ibn al-Mubarak (w. 181 H) menyebutkan bahwa seorang yang adil mesti memiliki ketentuan berikut : (1) Menyaksikan atau bergaul dengan masyarakat, Tidak meminum-minuman yang memabukkan, (3) Tidak rusak agamanya, (4) Tidak berbohong, Tidak terusik akalnya.[26]
Pengertian adil secara lazim berdasarkan ulama Mushthalah al-Hadis ialah bahwa seseorang itu harus menyanggupi criteria berikut : (1) Muslim, (2) Baligh, (3) Berakal sehat, (4) Terpelihara dari alasannya-alasannya kefasikan, dan (5) Terpelihara dari karena-sebab yang merusak muru’ah.[27]
Untuk mengetahui keadilan seorang perawi Hadis, mampu dijalankan dengan cara-cara berikut :
a. Melalui informasipara kritikus Hadis atau lewat pernyataan dua orang mu’addil.
b. Melalui popularitas yang dimiliki seorang perawi bahwa beliau ialah seorang yang adil, mirip : Malik ibn Anas.
c. Apabila terdapat aneka macam pertimbangan para ulama perihal status keadilan seorang perawi. mirip : ada yang menyatakan adil, dan ada yang menyatakab jarh, maka urusan ini harus dituntaskan dengan mempedomani kaidah-kaidah dalam ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil, sehingga mampu disimpulkan perihal keadilannya.[28]
3. Kedhabitan Perawi
Sifat dhabit atau kedhabitan seorang perawi dalam terminology ulama Hadis ialah :
هو يقظة المحدث عند تحمتله ورسوخ ما حفظه في ذاكرته وصايته كتابه من كل تغييرالي حين الأداء
Adalah ingatan (kesadaran) seorang perawi Hadis sejak ia mendapatkan Hadis, melekatnya (setianya) apa yang dihapalnya di dalam ingatannya, dan pemeliharaan tulisan (kitab)nya dari segala macam pergantian, sampai pada kala beliau memberikan (meriwayatkan) Hadis tersebut.[29]
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa dhabith tersebut yakni kesadaran dan kesanggupan mengerti yang dimiliki oleh seorang perawi kepada apa yang didengarnya, dan kesetiaan ingatannya terhadap riwayat yang didengarnya itu mulai dari masa terimanya sampai pada waktu beliau menyampaikannya terhadap perawi lain. Kedhabitan adakanya bekerjasama dengan daya ingat dan hapalannya, yang disebut dhabith shadran dan adakalanya berafiliasi dengan kemampuannya dalam mengerti dan memelihara catatan Hadis yang ada padanya dengan baik dan ada kemungkinan terjadinya kesalahan, pergantian atau kekurangan. Dhabith dalam bentuk kedua ini disebut dhabith kitaban.[30]
Untuk mengetahui kedhabithan seorang perawi Hadis dapat dilakukan melalui cara-cara berikut :
1. Berdasarkan kesaksian atau pengukuhan ulama yang sezaman dengannya.
2. Berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikannya dengan riwayat para perawi lain yang tsiqah atau yang diketahui kedhabithannya.
3. Apabila sesekali beliau mengalami kekurangan, hal tersebut tidaklah menghancurkan kedhabithannya, namun jika sering terjadi kekeliruan tersebut, maka beliau tidak lagi disebut selaku seorang yang dhabith dan riwayatnya tidak mampu dijadikan hujjah.
Tingkat kesdhabithan yang dimiliki oleh para perawi tidak sama. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan kesetiaan daya ingat dan kemampuan pengertian yang dimiliki oleh masing-masing perawi. Perbedaan tersebut dirumuskan oleh para ulama dengan perumpamaan-istilah berikut :
1. Dhabith, perumpamaan ini didedikasikan bagi perawi yang :
a. Mampu menghafal dengan baik Hadis-hadis yang diterimanya.
b. Mampu memberikan dengan baik Hadis yang dihapalnya itu kepada orang lain.
2. Tamm al-Dhabith, ungkapan ini didedikasikan bagi perawi yang :
a. Hapal dengan tepat Hadis yang diterimanya.
b. Mampu menyampaikan dengan baik Hadis yang dihapalnya itu kepada orang lain.
c. Paham dengan baik Hadis yang dihapalnya itu.[31]
3. Terhindar Dari Syaz dan ‘illat
Langkah penelitian sanad selanjutnya yaitu melihat kemungkinan adanya syaz dan ‘illat. Para ulama hadis berlainan pertimbangan dalam memperlihatkan definisi syuzuz yaitu:
1) Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang ¡iqah tetapi riwayatnya berlawanan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi yang ¡iqah pula. Pendapat ini dikemukakan imam asy-Syafi’i (w. 204 H/820 M).
2) Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang yang £iqah yang lain tidak meriwayatkan hadis itu. Pendapat ini dari al-¦±kim an-Naisaburi (w. 405 H/1014M).
3) Hadis yang sanadnya cuma satu saja, baik periwayatannya bersifat £iqah maupun tdak. Pendapat ini dari Yahya al-Khalil³ (w. 446 H). Di antara pendapat-pendapat ini yang paling banyak diikuti andal hadis ialah usulan Imam asy-Syafi’i.
M.Syuhudi Ismail, mengatakan kesyazzan sanad hadis gres dapat dimengerti sesudah diadakan penelitian selaku berikut: Pertama, semua sanad yang mengandung matan hadis yang pokok masalahnya sama dihimpun dan diperbandingkan. Kedua, para periwayat diseluruh sanad diteliti kualitasnya. Ketiga, bila seluruh periwayat bersifat siqah dan ternyata ada seorang periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-sanad yang lain, maka sanad yang menyalahi itu disebut yang syazz sedang yang yang lain disebut dengan sanad mahfuz.[32]
Langkah observasi ‘illat menurut al-Khatib al-Baghdad³ (w. 463 H/1072 M) sebagaimana dikutib oleh Syuhudi Ismail yaitu pertama, seluruh sanad hadis untuk matan yang semakna dikumpulkan dan diteliti, jikalau hadis yang bersangkutan memiliki muttabiq atau sy±hid, kedua, seluruh periwayat dalam aneka macam sanad diteliti menurut kritik yang telah dikemukakan oleh para jago kritik hadis.[33]
Sanad yaitu jalan yang menyampaikan kita terhadap matan Hadis. Rangkaian mereka itu disebut dengan sanad, hingga kepada generasi yang membukukan Hadis-hadis sudah menyebabkan terpelihara Hadis-hadis Nabi saw sampai ke kita pada saat kini ini.
Tujuan dan faedah observasi sanad Hadis ialah untuk pendokumentasian Hadis yang menyangkut pengumpulan dan pemeliharaan Hadis, baik dalam bentuk goresan pena atau dengan mengandalkan daya ingat yang setia dan tahan usang dan untuk penentuan kualitas Hadis.
Faktor-aspek yang mendorong peneltian sanad adalah untuk mengetahui status dan mutu sebuah Hadis, apakah mampu diterima atau ditolak, tergantung pada sanad dan matan Hadis tersebut. Apabila sanad suatu Hadis telah menyanggupi syarat-syarat dan patokan tertentu.
Para ulama Hadis menyimpulkan ada delapan cara periwayatan Hadis yakni : (1) al-sama’, al-qira’ah (al-‘ardh), (3) al-ijazah, (4) al-munawalah, (5) al-kitabah, (6) al-i’lam, (7) al-washiyyah, dan (8) al-wajadah. Bagian-bab yang harus diteliti pada sanad, adalah : Ketersambungan Sanad, keadilan perawi, kdhabithan perawi, dan syaz dan ‘illat.
[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 23
[2] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), h.91
[3] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, cet. 34, (Beirut: Dar al-Masyriq,, 1994), h. 830.
[4] Ibn Manzur Muhammad ibn Mukarram, Lisan al-‘Arab, Juz XIV (Beirut: Dar Ihy al-Turas al-‘Arabi, 1995), h. 254.
[5]Kritik memiliki arti penting adalah pertimbangan yang membedakan antara yang benar dan yang tidak benar, yang indah dan yang buruk, yang bernilai dan yang tidak bernilai, Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Indonesia, cet. 4 (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1992), h. 1981.
[6]M.M.Azmi, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu (Riyad: Maktabat al-Kausar, 1410H/1990), h. 5. Lihat juga Ahmad Syayb, Usul al-Naqd al-Adabi, (Mesir: Maktabat Nahdat al-Misriyyah, 1964), h.116.
[7]Ramli Abdul Wahid, Fikih Sunnah Dalam Sorotan (Medan: LP2IK, 2005), h. 55-56.
[8]Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Sejarah dan Penganta Ilmu Hadis, (Semarang : Pustaka Rizki, Putra, 2009), h. 147
[9]M. Syahudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 17
[10]M.M. Azami, Studies In Hadith Metodologi and Literature, (Indianapolis : American Trust Publication, 1413 H/1992 M), h. 13-14
[11]Lebih lanjut lihat M.M. Azami, Studies Early Hadith Literature, (Indianapolis : American Trust Publication, 1978 ), h. 34-80
[12]Mahmud Thahhan, Inti Sari Ilmu Hadis, (Malang:UIN, Malang Press, 20070, hal. 175-184
[13]Azami , Studies In Hadith Metodologi and Literature, h. 16-21
[14] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), h. 154
[15]Ibid, h. 155
[16]Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Amzah, 2010), h. 98
[17]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 160
[18]M. Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis : Ulumuhu Musthalahuhu, (Beirut : Dar Al-Qur’an al-Karim, 1979), h. 303
[19]Ibid, h. 305.
[20]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 161
[21]Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Amzah, 2010), h. 97
[22]Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, (Bandung: Cita Pustaka, 200), h. 6
[23]Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, h. 16
[24] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, h. 82
[25]M.M. Azami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddtsin : Nasy’atuhu wa Tarikhuhu, ( Riyad : Maktabat al-Kautsar, Cet. Ketiga, 1990), h. 24
[26]Azami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddtsin, h. 25
[27]Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, Ed Nur al-Din Atr (Madinah : Al-Maktabat al-‘Ilmiyyah, Cet Kedua, 1972), h. 94
[28]Ibid, h. 95 Maktabat al-Kautsar, ce
[29]Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, h. 9
[30] Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, h. 94
[31]Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, h. 10
[32] Syuhudi, Kaedah , h. 144
[33]Ibid., h. 149
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comDi dalam penilaian sebuah Hadis komponen sanad dan matan ialah sungguh memilih. Oleh balasannya, yang menjadi objek kajian dalam observasi Hadis yaitu kedua komponen tersebut, yaitu sanad dan matan. Sanad yakni jalan yang memberikan kita kepada matan Hadis dan matan yakni bahan atau lafazh Hadis itu sendiri.
Di dalam makalah ini, yang dibahas hanya wacana Pengertian dan sejarah penelitian sanad, Tujuan dan faedah penelitian sanad, Faktor-faktor yang mendorong penelitian sanad, Bagian yang harus diteliti sanad Hadis
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Penelitian Sanad (Kritik Sanad)
a. Pengertian dan Sejarah Penelitian Sanad
1. Pengertian Sanad
Kata Sanad atau as-sanad menurut bahasa, dari sanada, yasnudu yang bermakna mu’tamad (sandaran/tempat bersandar, kawasan berpegang, yang dipercaya, atau yang sah). Dikatakan demikian, karena Hadis itu bsersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.[2]
Dalam kegiatan penelitian sanad dipergunakan perumpamaan an-Naqd, kata an-Naqd yaitu masdar dari kata naqada yang secara etimologi memiliki arti memisahkan sesuatu yang bagus dan yang jelek.[3] Kata an-Naqd juga bermakna memilih-milih dirham dengan mengeluarkan dirham yang orisinil dari yang artifisial.[4] Kata an-naqd mampu juga diartikan dengan kritik[5]
Secara istilah an-naqd yakni membedakan hadis-hadis yang otentik dari yang dhaif sekaligus memutuskan status tsiqah dan cacat bagi perawinya.[6]Kritik sanad juga berarti penilaian terhadap keadaaan setiap periwayat hadis yang bersangkutan dari aneka macam aspek, kala hidup, pengetahuan, guru dan murid, kejujuran, kesalehan, kekuatan ingatan, cara berfikir dan ajaran teologi yang dianutnya sehingga penilai mampu memilih apakah riwayatnya dapat diterima atau tidak. Dalam ilmu hadis kritik sanad disebut an-naqd ad-dakhil (kritik intern)[7]. Menurut istilah hebat Hadis, sanad yaitu jalan yang menyampaikan kita terhadap matan Hadis.[8]
Sebagai acuan dari sanad ialah seperti yag terlihat dalam hadis berikut :
روى الامام البخاري قال : حدثنا محمد بن المثنى قال : حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال : حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن انس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الايمان ان يكون الله و رسوله احب اليه مما سواهما, و ان يحب المرء لا يحبه الا لله و ان يكره ان يعود في الكفر كما يكره ان يقذف في النار.
Imam Bukhari meriwayatkan , beliau berkata, “Telah menceritakan terhadap kami Muhammad ibnu al-Mutsanna, beliau berkata, “Telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi, beliau berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abi Qilabah, dari Anas, dari Nabi saw, dia bersabda, ‘Ada tiga hala yang apabila seseorang memilikinya maka dia akan mendapatkan manisnya dogma, adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya, bahwa dia mengasihi seseorang alasannya adalah Allah swt, dan bahwa ia benci kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci masuk ke dalam api neraka
Masing-masing orang yang memberikan Hadis di atas secara sendirian, disebut dengan rawi (perawi/periwayat), yakni orang yang menyampaikan, atau menuliskan dalam suatu kitab, apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya).[9] Dengan demikian, kalau kita melihat pola Hadis di atas, maka Hadis tersebut diriwayatkan oleh beberapa orang perawi, yakni :
1. Anas ra (selaku perawi pertama).
2. Abi Qilabah (sebagai perawi kedua).
3. Ayyub (selaku perawi ketiga).
4. ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi (selaku perawi keempat).
5. Muhammad ibn al-Mutsanna (sebagai perawi kelima)
Imam Bukhari sebagai perawi terakhir dapat juga disebut Mukharrij ialah orang yang sudah menukil atau mencatat suatu Hadis pada kitabnya, dan dari sisi ini Bukhari adalah orang yang mentakhrij Hadis di atas. Apabila kita melihat dari segi sanad ialah, jalan yang memberikan kita kepada matan Hadis, maka urutannya adalah selaku berikut :
1. Muhammad ibn al-Mutsanna (sanad pertama).
2. ‘Abd al-Wahhab al-Tsaqafi (sanad kedua).
3. Ayyub (sanad ketiga).
4. Abi Qilabah (sanad keempat).
5. Anas ra (sanad kelima)
2. Sejarah Penelitian Sanad
Sejarah penghimpunan dan pengkodifikasian Hadis, terlihat begitu besarnya peranan yang dimainkan oleh masing-masing perawi Hadis dalam rangka mencacat dan memelihara keutuhan Hadis Nabi saw. Kegiatan pendokumentasian Hadis, terutama pengumpulan dan penyimpanan Hadis-hadis Nabi saw, baik lewat hafalan maupun lewat goresan pena yang dilaksanakan oleh sobat, tabi’in, tabi’ al tabi’in dan mereka yang datang sesudahnya, yang rangkaian mereka itu disebut dengan sanad, sampai terhadap generasi yang membukukan Hadis-hadis tersebut, seperti Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, dan lainnya, sudah menimbulkan terpelihara Hadis-hadis Nabi saw sampai ke kita pada dikala sekarang ini.
Berdasarkan sejarah periwayatan Hadis, para perawi, mulai dari tingkatan sobat hingga terhadap ulama Hadis, maka pembukuan Hadis telah melakukan pendokumentasian Hadis melalui hapalan dan tulisan. Bahkan berdasarkan Al-Azami, pada tingkatan teman pengumpulan dan pemeliharaan Hadis dikerjakan dengan tiga cara,[10] ialah : (i). Learning by memorizing, yaitu dengan cara mendengarkan setiap perkataan Nabi saw secara hati-hati dan menghafalkannya; (ii) Learning through writing, yakni mempelajari Hadis dan menyimpannya dalam bentuk tulisan. Dalam cara ini, yaitu menyimpan dan menyampaikan Hadis dalam bentuk goresan pena, terdapat sejumlah sobat adalah Abu Ayyub al-Anshari (w.52 H), Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H), Abd Allah Ibnu Abbas (w. 68), ‘Abd Allah ibnu ‘Umar (w. 74 H), dan lain-lain.[11] (iii) Learning Practice, yaitu para sobat memperaktekkan setiap apa yang mereka pelajari mengenai Hadis yang diterimanya baik melalui hapalan maupun goresan pena.
Demikianlah cara-cara teman dalam menerima dan memelihara Hadis-hadis Nabi saw cara yang demikian tetap dipertahankan oleh para sobat dan ulama yang datang setelah mereka, setelah wafatnya Nabi saw, khusus mengenai aktivitas penulisan Hadis yang dikerjakan oleh masing-masing generasi sahabat, generasi tabi’in, tabi’i al-tabi’in, samapai para ulama setelah mereka, telah .didokumentasikan oleh M.M. Azami di dalam disertasi doktornya yang berjudul Studies In Early Hadith Literature.
Dalam pertumbuhan selanjutnya, proses pendokumentasian Hadis semakin banyak dijalankan dengan goresan pena. Hal ini terlihat dari delapan mempelajari Hadis yang diketahui dikalangan ulama Hadis, tujuh diantaranya, yaitu tata cara kedua hingga kedelapan yakni sangat tergantung terhadap materi tertulis, bahkan sisanya yang satu lagi pun, yaitu yang pertama juga sering berhubungan dengan materi tertulis. Kedelapan metode tersebut adalah[12] :
1. Sama’
Sama’ yakni bacaan guru untuk murid-muridnya. Metode ini berwujud dalam empat bentuk ialah bacaan secara verbal, bacaan dari buku, Tanya jawab, dan mendiktekan.
a. Kedudukan sama’ min lafdzi syaikh
Cara priwayatan bentuk ini oleh secara umum dikuasai ulama hadis dinilai selaku cara yang paling tinggi kualitasnya.
b. Pernyataan atau kata-kata yang dipakai
Istilah atau kata-kata yang digunakan untuk cara ini yaitu ;
- Sebelum diputuskan pnggunaan secara khusus untuk masing- masing cara tahammul (penerimaan riwayat) kata-kata yang digunakan ialah : sami’tu, akhbarani, haddstani, anba’ani, qala li, dan dzakarali.
- Setelah ditentukan penggunaan secara khusus untuk masing-masing cara tahammul, kata-kata yang dipakai antara lain : Untuk cara sama’ : sami’tu dan haddatsani, cara al-qira’ah : akhbarani, cara ijazah : anba’i, dan untuk cara sama’ al-muzakarah : qalali atau dzakarali.
‘Ardh yakni bacaan oleh murid kepada guru. Dalam hal ini para murid atau seseorang tertentu yang disebut Qori’, membaca catatan Hadis dihadapan gurunya, dan berikutnya yang lain mendengarka serta membandingkann dengan catatan mereka atau menyalin dari cacatan tersebut.
a. Hukum periwayatan dengan cara ini
Periwayatan hadis dengan ‘ardh berdasarkan sebagaian besar ulama yaitu shahih, kecuali berdasarkan kalangan tasyaddud (garis keras) yang tidak terbiasa menggunakan ini.
b. Kedudukannya :
Para ulama berlawanan usulan wacana kedudukan cara ‘ardh, yaitu :
- Sejajar dengan sama’, ini menurut imam Malik, al-Bukhari dan sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah.
- Lebih rendah dari sama’, ini berdasarkan sebagian besar ulama Maroko (pertimbangan yang shahih).
- Lebih tinggi dari sama’, ini mnurut Abu Hanifah, Abu Dzi’b dan sebagian riwayat Imam Malik.
c. Kata-kata yang dipakai untuk cara ini
- Yang paling hati-hati : qara’tu ‘ala pulan, qiri’a ‘alaihi dan wa ana ‘asma’u pa aqra u bihi.
- Menggunakan mirip sama’ yang dikaitkan dengan lafal qira’ah : haddatsana qira’atan ‘alaihi.
- Yang sering digunakan oleh sebagian besar ulama hadis hanya kata : akhbarana.
3. Ijazah
Ijazah, yaitu member izin terhadap seseorang untuk meriwayatkan sebuah Hadis atau buku yang bersumber darinya, tanpa terlebih dulu Hadis atau buku tersebut dibaca dihadapannya.
a. Hukum periwayatan dengan Ijazah
Ijazah murni yang disebutkan pertama , oleh mayoritas ulama disepakati kebolehannya dan sebagian menilai batal, pertimbangan yang kedua antara lain riwayat dari Syafi’i. Untuk jenis lainnya diperselisihkan kebolehannya. Yang jelas penerimaan dan periwayatan hadis dengan cara (ijazah) ini mengandung unsure coba-coba yang mendorong untuk bersikap gegabah dalam periwayatan.
b. Kalimat periwayatan yang digunakan dengan cara ijazah
- Yang terbaik memakai kata : ajazu li pulan
- Boleh juga dengan ibarat sama’ dan ardh yang dikaitkan dengan kata ijazah seperti : haddatsana ijazatu atau akhbarana ijazatu.
- Yang senantiasa dipakai oleh ulama muta’akhirin anba ana.
Munawalah,, adalah menunjukkan terhadap seseorang sejumlah Hadis tertulis untuk diriwayatkan/disebarluaskan.
Munawalah terbagi menjadi ada 2 macam. Yaitu :
1) Al-Munawalah al-Maqrunah bi al-Ijazah, yakni al-Munawalah yang dibarengi dengan ijazah. Prakteknya seorang guru hadis menyodorkan kepada muridnya hadis yang ada padanya, lalu guru tadi berkata :”anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang aku peroleh ini”. Atau seornag murid menyodorkan hadis kepada guru hadis, kemudian guru itu memeriksanya dan sehabis guru memaklumi bahwa ia juga meriwayatkannya, maka beliau berkata : “hadis ini sudah aku terima dari guru-guru aku dan anda aku beri ijazah untuk meriwayatkan hadis ini dari aku”. Bentuk ijazah ini dinilai paling tinggi kualitasnya diantara bentuk ijazah lain.
2) Al-Munawalah Mujarradah ‘an al-Ijazah, yakni al-munawalah yang tidak diikuti dengan ijazah. Prakteknya seorang guru menyodorkan kitab hadis terhadap muridnya sambil berkata “ini hadis yang pernah saya dengar” atau ini hadis yang telah saya riwayatkan”.
a. Hukum periwayatan dengan al-Munawalah
- Periwayatan dengan cara ijazah yang pertama hukumnya boleh, namun kualitasnya lebih rendah dari sama’ dan ardh.
- Periwayatan dengan cara ijazah yang kedua menurut usulan yang shahih dilarang.
b. Kalimat periwayatan yang digunakan dengan cara al-Munawarah :
- Untuk al-Munawalah al-maqrunah bi al-ijazah yang terbaik dengan kata : nawalani atau wa ajaza li.
- Boleh juga menggunakan mirip sama’ atau ardh yang dikaitkan dengan kata munawalah dan ijazah, seperti : haddatsana manawalah atau akhbarana munawalatu dan ijazatu.
5. Kitabah
Kitabah, yaitu menuliskan Hadis untuk seseorang yang berikutnya untuk diriwayatkan terhadap orang lain.
a. Macam-macam al-Kitabah :
- Al-Kitabah yang dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan : ajzatuka ma katabtu laka au ilaika.
- Al-Kitabahi yang tidak dibarengi dengan ijazah, artinya seorang guru menulis sebagian hadis untuk diberikan terhadap seseorang tanpa memberi izin meriwayatkannya.
b. Hukum periwayatan dengan cara Al-Kitabah :
- Periwayatan dengan macam al-Kitabah yang pertama adalah sah dan kualitasnya sama dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah.
- Periwayatan dengan macam al-kitabah yang keduan ditolak oleh sebagian kaum dan sebagian yang lain membolehkannya, tetapi yang shahih menurut mahir hadis, sebab secara tidak pribadi telah mengandung maksud ijazah.
c. Periwayatan yang digunakan untuk cara al-kitabah :
- Dengan terperinci menggunakan lafal al-kitabah, mirip perkataan : kataba ila pulan
- Atau menggunakan lafal sama’ yang dikaitkan dengan lafal al-kitabah, mirip perkataan : haddastani pulan atau akhbarani kitabah.
6. I’lam
I’lam yaitu member tahu seseorang tentang kebolehan untuk meriwayatkan Hadis dari buku tertentu menurut atas otorita ulama tertentu.
a. Hukum periwayatan dengan cara I’lam
Ada 2 pendapat perihal hokum periwayatan dengan cara al-I’lam, ialah :
- Kebanyakan ulama hadis, fiqh dan ushul fiqh mengijinkan periwayatan dengan cara al-I’lami.
- Sebagian menyatakan dihentikan, alasannya adalah hadis yang diberitahukan itu ada cacatnya, risikonya guru tersebut tidak memerintahkan muridnya untuk meriwayatkannya, ini usulan yang shahih.
b. Kalimat yang dipakai untuk cara I;lam antara lain adalah : ‘alamani syaikh bi kadza.
7. Washiyyat
Washiyyat, yairtu seseorang mewasiatkan suatu buku atau catatan wacana Hadis terhadap orang lain yang dipercayainya dan dibolehkannya untuk meriwayatkannya terhadap orang lain.
a. Hukum periwayatan dengan cara Washiyyat antara lain :
- Menurut sebagian ulama salaf boleh periwayatan dengan cara washiyyat. Pendapat ini salah, karena yang diwasiatkna itu kitabnya bukan wasiat untuk meriwayatkannya.
- Menurut pendapat yang benar ialah dilarang periwayatan hadis dengan cara wasiat.
b. Kalimat yang dpakai untuk cara washiyyat antara lain yaitu : ausha ‘ila pulan bi kadza atau haddatsani pulan washiyyah.
8. Wajadah
Wajadah, yakni mendapatkan buku atau catatan seseorang perihal Hadis tanpa menerima izin dari yang bersangkutan untuk meriwayatkan Hadis tersebut terhadap orang lain. Dan cara yang mirip ini tidak dipandang oleh ulama Hadis selaku cara menerima atau mempelajari Hadis.[13]
a. Hukum periwayatan dengan cara wajadah
Periwayatan hadis dengan cara wajadah tergolong klasifikasi munqathi’, tetapi masih terdapat unsure ittishalnya.
b. Kata-kata yang digunakan untuk cara wajadah antara lain ialah :wajadat bikhath pulan atau bikhath pulan kadza.
Melalui cara-cara di atas, masing-masing sanad Hadis secara berkelanjutan mulai dari lapisan sobat., tab’in, tabi’ al-tabi’in, dan seterusnya sampai terhimpunnya Hadis-hadisnya Nabi saw di dalam kitab-kitab Hadis yang kita temui kini telah memelihara dan mempertahankan keberadaan dan kemurnian Hadis Nabi saw, yang ialah sumber kedua dari anutan Islam. Kegiatan pendokumentasian hadis yang dijalankan oleh masing-masing sanad tersebut di atas baik lewat hafalan maupun melalui goresan pena, telah pula didokumentasikan oleh para ulama dan para peneliti serta kritikus Hadis. Kitab-kitab Muktabar dan patokan, mirip Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan yang lain, di dalam menuliskan Hadis juga menuliskan secara urut nama-nama sanasd Hadis tersebut satu persatu, mulai dari sanad pertama hingga sanad terakhir.[14]
b. Tujuan dan faedah penelitian sanad
1. Untuk memelihara eksistensi Hadis.
2. Untuk memelihara kemurnian Hadis
3. Untuk memelihara kesinambungan Hadis
4. Untuk mengenali mutu Hadis.
Tujuan dan faedah observasi sanad Hadis yaitu untuk pendokumentasian Hadis yang menyangkut pengumpulan dan pemeliharaan Hadis, baik dalam bentuk goresan pena atau dengan mengandalkan daya ingat yang setia dan tahan lama dan untuk penentuan kualitas Hadis.[15] Apakah diterima atau ditolak.
Para ulama menunjukkan aneka macam komentar perihal pentingnya sanad, antara lain :
1. Muhammad bin Sirin :
“Sesungguhnya ilmu ini (hadis) ialah agama, perhatikanlah dari mana kamu mengambil agama itu”.
2. Abdullah bin Al-Mubarok :
“Sanad itu bagian dari agama, kalau tidak ada sanad maka siapa saja dapat menyatakan apa yang dikehendakinya”.
3. Az-Zuhri setiap menyampaikan Hadis diikuti dengan sanad dan menyampaikan :
“Tidak pantas naik ke loteng/atap rumah kecuali dengan tangga”.[16]
c. Faktor-faktor yang mendorong observasi sanad
Faktor-faktor yang mendorong peneltian sanad ialah untuk mengetahui status dan mutu sebuah Hadis, apakah dapat diterima atau ditolak, tergantung pada sanad dan matan Hadis tersebut. Apabila sanad suatu Hadis telah memenuhi syarat-syarat dan kriteria tertentu, demikian juga matan-nya, maka Hadis itu mampu diterima selaku dalil untuk melakukan sesuatu atau menetapkan hokum atas sesuatu; akan namun, kalau syarat-syarat nya tidak terpenuhi, maka Hadis tersebut dtolak dan tidak mampu dijadikan hujjah.[17]
Kualitas Hadis yang dapat diterima selaku dalil atau hujjah yakni Shahih dan Hasan, dan keduanya disebut juga Hadis maqbul (hadis yang dapat diterima selaku dalil atau dasar penetapan aturan).[18] Diantara syarat qabul sebuah Hadis yaitu berhubungan dekat dengan sanad Hadis tersebut yaitu : sanad-nya bersambung, bersifat adil dan dhabith. Dan syarat seelanjutnya berhubungan dekat dengan matan Hadis adalah : Hadisnya tidak syadz dan tidak terdapat padanya ‘illat.[19]
Dari lima tolok ukur di atas agar sebuah Hadis dapat diterima selaku dalil atau hujjah, tiga diantaranya yakni bekerjasama dengan sanad Hadis tersebut. Suatu Hadis manakala sanad- nya tidak bersambung atau terputus, maka Hadis tersebut tidak mampu diterima selaku dalil. Keterputusan sanad tersebut mampu terjadi pada awal sanad, baik satu orang perawi atau lebih (disebut Hadis mu’allaq), atau pada final sanad (disebut Hadis mursal), atau terputusnya sanad satu orang (munqathi’), atau dua orang atau lebih secara berurutan (mu’dhal), dan lainnya. Demikian juga halnya jika sanad Hadis mengalami cacat, baik cacat yang bekerjasama dengan keadilan para perawi mirip pembohong, fasik, pelaku bid’ah atau tidak dimengerti sifatnya, atau cacatnya berhubungan dengan ke-dhabitan-nya mirip sering berbuat kesalahan, buruk hapalannya, teledor, sering ragu, dan menyalahi keterangan orang-orang terpecaya. Keseluruhan cacat tersebut jika terdapat pada salah seorang perawi dari sebuah sanad Hadis, maka Hadis tersebut juga dinyatakan Dha’if dan ditolak sebagai dalil.[20]
d. Bagian yang harus diteliti sanad Hadis
Dalam bidang ilmu Hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dhai’f-nya suatu Hadis. Andaikata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau tertuduh dusta atau bila setiap pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu pribadi (muttashil), maka Hadis tersebut dha’if sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian juga sebaliknya bila para pembawa Hadis tersebut orang-orang cakap dan cukup persyaratan, adalah : adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan memiiliki daya ingat yang kridibel, sanad-nya bersambung dari satu periwayat terhadap periwayat lain hingga kepada sumber informasi pertama, maka Hadisnya dinilai shahih.[21] Di bawah ini akan dijelaskan tentang Bagian yang harus diteliti sanad Hadis, yaitu:
1. Ketersambungan Sanad
Yang dimaksud dengan sanad yang bersambung ialah bahwa masing-masing perawi di dalam rangkaian sanad tersebut menerima hadis secara langsung dari perawi yang di atasnya (yang mendahuluinya), selanjunya ia menyampaikannya terhadap perawi yang dating sesudahnya. Hal tersebut harus berjalan dan mampu dibuktikan dari sejak perawi pertama, adalah generasi sobat yang mendapatkan Hadis tersebut pribadi dari Rasulullah hingga kepada perawi terakhir yang mencatat dan membukukan Hadis tersebut, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim dan yang lain.
Dengan kata lain, bahwa matan Hadis tersebut tidak lewat perantaraan tangan orang lain yang termasuk dalam rangkaian perawi yang disebutkan di dalam sanad. Karena, boleh jadi perawi mediator yang namanya tidak disebutkan di dalam rangkaian sanad Hadis itu yakni seorang yang pembohong, atau seorang yang pelupa, hal tersebut bertentangan dengan syarat-syarat diterimanya sebuah Hadis selaku dalil, mirip syarat “adil” dan “dhabith”.[22]
Dalam pelaksanaan observasi mengenai kebersambungan sanad, ada dua hal penting yang harus dikaji oleh seorang peneliti Hadis, yakni :
a. Sejarah hidup masing-masing perawi
Dalam meneliti sejarah hidup perawi, yang perlu dicatat adalah (a). Masa hidupnya, yaitu tahun lahirnya dan wafatnya; (b) Tempat lahir dan tempat-kawasan yang pernah dikunjumginya; (c) Guru-gurunya, yaitu sumber Hadis yang diterimanya; (d) murid-muridnya, yaitu orang-orang yang meriwayatkan Hadis-hadisnya, isu mengenai riwayat hidup para perawi dapat ditelusuri melalui kitab-kitab Tahdzib al-Tahdzib, Taqrib al-Tahhdzib, Tahdzib al-Kamal, al-Kasyrib, Mizan al-I’tidal, Ushud al-Ghabah, al-Ishabat, dan lain-lain.
b. Shighat al-tahammul wa al-adda’ ; adalah lambang-lambang periwayatan Hadis yang dipakai oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan Hadis tersebut mirip : Sami’tu, akhbarana, ‘an ann.
Langkah selanjutnya yakni meneliti lambang-lambang periwayatan Hadis yang dipakai oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan Hadis. Lambang-lambang tersebut menggambarkan atau cara si perawi dalam menerima Hadis dari gurunya. Para ulama Hadis menyimpulkan ada delapan cara periwayatan Hadis yakni : (1) al-sama’, al-qira’ah (al-‘ardh), (3) al-ijazah, (4) al-munawalah, (5) al-kitabah, (6) al-i’lam, (7) al-washiyyah, dan (8) al-wajadah.[23]
Lambang-lambang sami’na dan haddatsani, disepakati oleh para mahir Hadis penggunaannya untuk periwayatan dengan metode al-sama’, yakni telinga langsung oleh murid dari gurunya, selaku sistem yang berdasarkan secara umum dikuasai ulama Hadis mempunyai tingkat akurasi yang tinggi. Sedangkan lambang nawalan dan nawalani, disepakati sebagai lambang periwayatan al-munawalah, adalah sistem periwayatan yang masih dipersoalkan tingkat akurasinya.[24]
2. Keadilan Perawi
Sifat adil ialah suatu sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang mendorognya untuk senantiasa memelihara ketakwaan, mempertahankan muru’ah (moralitas) sehingga menghasilkan jiwa yang tepercaya dengan kebenarannya, yang ditandai dengan perilaku menjauhi dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil.[25]
Ibn al-Mubarak (w. 181 H) menyebutkan bahwa seorang yang adil mesti memiliki ketentuan berikut : (1) Menyaksikan atau bergaul dengan masyarakat, Tidak meminum-minuman yang memabukkan, (3) Tidak rusak agamanya, (4) Tidak berbohong, Tidak terusik akalnya.[26]
Pengertian adil secara lazim berdasarkan ulama Mushthalah al-Hadis ialah bahwa seseorang itu harus menyanggupi criteria berikut : (1) Muslim, (2) Baligh, (3) Berakal sehat, (4) Terpelihara dari alasannya-alasannya kefasikan, dan (5) Terpelihara dari karena-sebab yang merusak muru’ah.[27]
Untuk mengetahui keadilan seorang perawi Hadis, mampu dijalankan dengan cara-cara berikut :
a. Melalui informasipara kritikus Hadis atau lewat pernyataan dua orang mu’addil.
b. Melalui popularitas yang dimiliki seorang perawi bahwa beliau ialah seorang yang adil, mirip : Malik ibn Anas.
c. Apabila terdapat aneka macam pertimbangan para ulama perihal status keadilan seorang perawi. mirip : ada yang menyatakan adil, dan ada yang menyatakab jarh, maka urusan ini harus dituntaskan dengan mempedomani kaidah-kaidah dalam ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil, sehingga mampu disimpulkan perihal keadilannya.[28]
3. Kedhabitan Perawi
Sifat dhabit atau kedhabitan seorang perawi dalam terminology ulama Hadis ialah :
هو يقظة المحدث عند تحمتله ورسوخ ما حفظه في ذاكرته وصايته كتابه من كل تغييرالي حين الأداء
Adalah ingatan (kesadaran) seorang perawi Hadis sejak ia mendapatkan Hadis, melekatnya (setianya) apa yang dihapalnya di dalam ingatannya, dan pemeliharaan tulisan (kitab)nya dari segala macam pergantian, sampai pada kala beliau memberikan (meriwayatkan) Hadis tersebut.[29]
Dari defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa dhabith tersebut yakni kesadaran dan kesanggupan mengerti yang dimiliki oleh seorang perawi kepada apa yang didengarnya, dan kesetiaan ingatannya terhadap riwayat yang didengarnya itu mulai dari masa terimanya sampai pada waktu beliau menyampaikannya terhadap perawi lain. Kedhabitan adakanya bekerjasama dengan daya ingat dan hapalannya, yang disebut dhabith shadran dan adakalanya berafiliasi dengan kemampuannya dalam mengerti dan memelihara catatan Hadis yang ada padanya dengan baik dan ada kemungkinan terjadinya kesalahan, pergantian atau kekurangan. Dhabith dalam bentuk kedua ini disebut dhabith kitaban.[30]
Untuk mengetahui kedhabithan seorang perawi Hadis dapat dilakukan melalui cara-cara berikut :
1. Berdasarkan kesaksian atau pengukuhan ulama yang sezaman dengannya.
2. Berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikannya dengan riwayat para perawi lain yang tsiqah atau yang diketahui kedhabithannya.
3. Apabila sesekali beliau mengalami kekurangan, hal tersebut tidaklah menghancurkan kedhabithannya, namun jika sering terjadi kekeliruan tersebut, maka beliau tidak lagi disebut selaku seorang yang dhabith dan riwayatnya tidak mampu dijadikan hujjah.
Tingkat kesdhabithan yang dimiliki oleh para perawi tidak sama. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan kesetiaan daya ingat dan kemampuan pengertian yang dimiliki oleh masing-masing perawi. Perbedaan tersebut dirumuskan oleh para ulama dengan perumpamaan-istilah berikut :
1. Dhabith, perumpamaan ini didedikasikan bagi perawi yang :
a. Mampu menghafal dengan baik Hadis-hadis yang diterimanya.
b. Mampu memberikan dengan baik Hadis yang dihapalnya itu kepada orang lain.
2. Tamm al-Dhabith, ungkapan ini didedikasikan bagi perawi yang :
a. Hapal dengan tepat Hadis yang diterimanya.
b. Mampu menyampaikan dengan baik Hadis yang dihapalnya itu kepada orang lain.
c. Paham dengan baik Hadis yang dihapalnya itu.[31]
3. Terhindar Dari Syaz dan ‘illat
Langkah penelitian sanad selanjutnya yaitu melihat kemungkinan adanya syaz dan ‘illat. Para ulama hadis berlainan pertimbangan dalam memperlihatkan definisi syuzuz yaitu:
1) Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang ¡iqah tetapi riwayatnya berlawanan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak perawi yang ¡iqah pula. Pendapat ini dikemukakan imam asy-Syafi’i (w. 204 H/820 M).
2) Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang yang £iqah yang lain tidak meriwayatkan hadis itu. Pendapat ini dari al-¦±kim an-Naisaburi (w. 405 H/1014M).
3) Hadis yang sanadnya cuma satu saja, baik periwayatannya bersifat £iqah maupun tdak. Pendapat ini dari Yahya al-Khalil³ (w. 446 H). Di antara pendapat-pendapat ini yang paling banyak diikuti andal hadis ialah usulan Imam asy-Syafi’i.
M.Syuhudi Ismail, mengatakan kesyazzan sanad hadis gres dapat dimengerti sesudah diadakan penelitian selaku berikut: Pertama, semua sanad yang mengandung matan hadis yang pokok masalahnya sama dihimpun dan diperbandingkan. Kedua, para periwayat diseluruh sanad diteliti kualitasnya. Ketiga, bila seluruh periwayat bersifat siqah dan ternyata ada seorang periwayat yang sanadnya menyalahi sanad-sanad yang lain, maka sanad yang menyalahi itu disebut yang syazz sedang yang yang lain disebut dengan sanad mahfuz.[32]
Langkah observasi ‘illat menurut al-Khatib al-Baghdad³ (w. 463 H/1072 M) sebagaimana dikutib oleh Syuhudi Ismail yaitu pertama, seluruh sanad hadis untuk matan yang semakna dikumpulkan dan diteliti, jikalau hadis yang bersangkutan memiliki muttabiq atau sy±hid, kedua, seluruh periwayat dalam aneka macam sanad diteliti menurut kritik yang telah dikemukakan oleh para jago kritik hadis.[33]
BAB II
PENUTUP
Makalah Penelitian Sanad (Kritik Sanad)
Sanad yaitu jalan yang menyampaikan kita terhadap matan Hadis. Rangkaian mereka itu disebut dengan sanad, hingga kepada generasi yang membukukan Hadis-hadis sudah menyebabkan terpelihara Hadis-hadis Nabi saw sampai ke kita pada saat kini ini.
Tujuan dan faedah observasi sanad Hadis ialah untuk pendokumentasian Hadis yang menyangkut pengumpulan dan pemeliharaan Hadis, baik dalam bentuk goresan pena atau dengan mengandalkan daya ingat yang setia dan tahan usang dan untuk penentuan kualitas Hadis.
Faktor-aspek yang mendorong peneltian sanad adalah untuk mengetahui status dan mutu sebuah Hadis, apakah mampu diterima atau ditolak, tergantung pada sanad dan matan Hadis tersebut. Apabila sanad suatu Hadis telah menyanggupi syarat-syarat dan patokan tertentu.
Para ulama Hadis menyimpulkan ada delapan cara periwayatan Hadis yakni : (1) al-sama’, al-qira’ah (al-‘ardh), (3) al-ijazah, (4) al-munawalah, (5) al-kitabah, (6) al-i’lam, (7) al-washiyyah, dan (8) al-wajadah. Bagian-bab yang harus diteliti pada sanad, adalah : Ketersambungan Sanad, keadilan perawi, kdhabithan perawi, dan syaz dan ‘illat.
DAFTAR PUSTAKA
- Azami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddtsin : Nasy’atuhu wa Tarikhuhu, Riyad : Maktabat al-
- Kautsar, Cet. Ketiga, 1990.
- ___________Studies Early Hadith Literature, Indianapolis : American Trust Publication, 1978.
- ___________Studies In Hadith Metodologi and Literature, Indianapolis : American Trust
- Publication, 1413 H/1992 M.
- Hasbi ash-Shiddieqi, Tengku Muhammad, Sejarah dan Penganta Ilmu Hadis, Semarang :
- Pustaka Rizki, Putra, 2009.
- Ibn Mukarram, Ibn Manzur Muhammad, Lisan al-‘Arab, Juz XIV Beirut: Dar Ihy al-Turas al-‘Arabi, 1995.
- Ismail, Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
- ______________Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991.
- al-Khathib, Ajjaj, Ushul al-Hadis : Ulumuhu Musthalahuhu, Beirut : Dar Al-Qur’an al-Karim, 1979.
- Majid, Abdul Ulumul Hadis, Amzah, 2010.
- Ma’luf, Lois, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, cet. 34, Beirut: Dar al-Masyriq,, 1994.
- Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996.
- al-Shalah, Ibn, ‘Ulum al-Hadits, Ed Nur al-Din Atr, Madinah : Al-Maktabat al-‘Ilmiyyah, Cet Kedua, 1972.
- Thahhan, Mahmud, Inti Sari Ilmu Hadis, (Malang:UIN, Malang Press, 2007
- Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998.
- ________________Metodologi Penelitian Hadis, Bandung: Cita Pustaka, 2008.
[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 23
[2] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), h.91
[3] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, cet. 34, (Beirut: Dar al-Masyriq,, 1994), h. 830.
[4] Ibn Manzur Muhammad ibn Mukarram, Lisan al-‘Arab, Juz XIV (Beirut: Dar Ihy al-Turas al-‘Arabi, 1995), h. 254.
[5]Kritik memiliki arti penting adalah pertimbangan yang membedakan antara yang benar dan yang tidak benar, yang indah dan yang buruk, yang bernilai dan yang tidak bernilai, Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ensiklopedi Indonesia, cet. 4 (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1992), h. 1981.
[6]M.M.Azmi, Manhaj al-Naqd inda al-Muhaddisin, Nasy’atun wa tarikuhu (Riyad: Maktabat al-Kausar, 1410H/1990), h. 5. Lihat juga Ahmad Syayb, Usul al-Naqd al-Adabi, (Mesir: Maktabat Nahdat al-Misriyyah, 1964), h.116.
[7]Ramli Abdul Wahid, Fikih Sunnah Dalam Sorotan (Medan: LP2IK, 2005), h. 55-56.
[8]Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqi, Sejarah dan Penganta Ilmu Hadis, (Semarang : Pustaka Rizki, Putra, 2009), h. 147
[9]M. Syahudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 17
[10]M.M. Azami, Studies In Hadith Metodologi and Literature, (Indianapolis : American Trust Publication, 1413 H/1992 M), h. 13-14
[11]Lebih lanjut lihat M.M. Azami, Studies Early Hadith Literature, (Indianapolis : American Trust Publication, 1978 ), h. 34-80
[12]Mahmud Thahhan, Inti Sari Ilmu Hadis, (Malang:UIN, Malang Press, 20070, hal. 175-184
[13]Azami , Studies In Hadith Metodologi and Literature, h. 16-21
[14] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1998), h. 154
[15]Ibid, h. 155
[16]Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Amzah, 2010), h. 98
[17]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 160
[18]M. Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadis : Ulumuhu Musthalahuhu, (Beirut : Dar Al-Qur’an al-Karim, 1979), h. 303
[19]Ibid, h. 305.
[20]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 161
[21]Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Amzah, 2010), h. 97
[22]Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, (Bandung: Cita Pustaka, 200), h. 6
[23]Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature, h. 16
[24] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, h. 82
[25]M.M. Azami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddtsin : Nasy’atuhu wa Tarikhuhu, ( Riyad : Maktabat al-Kautsar, Cet. Ketiga, 1990), h. 24
[26]Azami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhaddtsin, h. 25
[27]Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, Ed Nur al-Din Atr (Madinah : Al-Maktabat al-‘Ilmiyyah, Cet Kedua, 1972), h. 94
[28]Ibid, h. 95 Maktabat al-Kautsar, ce
[29]Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, h. 9
[30] Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits, h. 94
[31]Nawir Yuslem, Metodologi Penelitian Hadis, h. 10
[32] Syuhudi, Kaedah , h. 144
[33]Ibid., h. 149
EmoticonEmoticon