Senin, 14 September 2020

Makalah Pembagian Hadis Menurut Kehujjahannya

Makalah Pembagian Hadis Menurut Kehujjahannya

Hadis kalau dilihat dari segi diterima atau tidaknya dia menjadi hujjah dalam beramaldapat dibagi dua adalah Hadis Maqbul dan Hadis Mardud. Pembicaraan terhadap pembagian Hadis untuk masalh ini pun bantu-membantu tidak terlepas dari sisi kajian tentang Hadis, baik dari segi kualitas (kredibilitas rawi) maupun kuantitas (jumlah rawi), namun dalam rangka untuk mensistematiskan dan memfokuskan persoalan Hadis maka perlu adanya pembagian tersebut.

Adapun Hadis-Hadis Maqbul ialah Hadis-Hadis yang diterima selaku hujjah dikarenakan menyanggupi kriteria selaku Hadis Shahih, untuk mendapai tingkatan sebuah Hadis menjadi Hadis Shahih perlu adanya observasi lebih lanjut, maka aneka macam macam problem Hadis Shahih dalam rangka menyaksikan Hadis dari sisi kualitasnya perlu dikaji dan diteliti: pengertian dan tolok ukur Hadis Shahih, tingkatan Hadis Shahih dan macam-macamnya, Hukum dan status kehujjahan Hadis Shahih, kitab-kitab Hadis Shahih, perlu juga dikaji Hadis Hasan, pengertian dan persyaratan Hadis Hasan, macam-macam Hadis Hasan, serta diakhiri dengan kesimpulan.

Adapun pada pemahaman akan dikemukakan banyak sekali usulan ulama tentang Hadis Shahih dan Hadis Hasan yang berikutnya akan diterangkan ihwal dilema-persoalan di atas dengan tidak pula meninggalkan problem-dilema yang perlu garis bawah.


B. Hadis Maqbul

A. Hadis Shahih

1. Pengertian Hadis Shahih dan kriterianya.

Seperti dimengerti, hadis jika ditinjau dari segi kualitasnya terbagi kedalam tiga kategori: Shahih, hasan, dan dhaif. Kata Shahih dari segi Bahasa yaitu lawan ari sakit, sedangkan Hadis Shahih sendiri dari sisi terminology beragam ulama menta’rifkannya diantaranya :

Ta’rif Ibn ‘Alwi al-Maliki al-Hasani :

-------------------------------------------

“Hadis yang bersambung sanadnya yang diperoleh dari perawi yang adil, yang dhabit, yang diterimanya dari perawi yang sama (kualitasnya) tidak termasuk syadz dan tidak pula ber-I’lat lagi tercela maka semua hal tersebut merupakan syarat-syarat Hadis Shahih.[1]

Sementara Abu Amr ibn ash-Shalah menta’rifkannya dengan :

-------------------------------------------

Hadis Shahih yaitu musnad yang sanadnya muttashil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syaz dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).[2]

Ta’rif Imam Nawawiy, Imam Nawawiy meringkas defenisi ibn Ash-Shalah;

------------------------------------------

Hadis Shahih yakni hadis yang muttashil sanadnya lewat periwayatan orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz dan ‘illat.

Fatchur Rahman lebih cepat lagi menta’rifkannya dengan :

------------------------------------------------

“Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, tepat ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak syadz.[3]

Dari beberapa ta’rif hadis Shahih diatas tampaknya secara esensial memiliki maksud yang sama hanya saja pada ta’rif Hadis Shahih tersebut yaitu sekaligus menjadi syarat (persyaratan) Hadis Shahih, kalau dilihat secara teliti dari ta’rif tersebut ternyata ada lima tolok ukur yang bisa diperpegangi untuk melihat sesuatu hadis itu apakah mampu dikatakan hadis Shahih atau tidak dan kelima standar tersebut adalah :

a. Sanadnya tidak terputus (muttashil).

b. Perawinya bersifat adil.

c. Sempurna ingatan (dhabit)

d. Tidak Syadz (janggal)

e. Hadis itu tidak ber’illat (cacat).[4]

Adapun secara lebih rinci persyaratan-standar yang di utarakan ulama-ulama di atas ialah mampu dijelaskan sebagai berikut :
Sanad Hadis tersebut harus bersambung. Maksudnya yaitu bahwa setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang berada diatasnya, dari permulaan sanad hingga kepada akhir sanad, dan seterusnya hingga kepada Nabi Muhammad saw sebagi sumber hadis tersebut. Hadis-hadis yang tidak bersambung sanadnya, tidak dapat disebut Hadis Shahih, adalah seperti Hadis Munqathi’, Mu’dhal, Mu’allaq, Mudallas dan yang lain yang sanad-nya tidak bersambung.[5]
Perawinya yaitu adil.[6] Setiap perawi Hadis tersebut mesti bersifat adil. Yang dimaksud adil disini ialah bahwa semua perawi mesti Islam, baligh juga menyanggupi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangnannya.

2. senantiasa menjauhi perbuatan-tindakan dosa keci; dan

3. selalu memelihara ucapan dan tindakan yang dapat menodai muru’ah.[7]
Perawinya yaitu dhobith, artinya perawi hadis tersebut memilki ketelitian dalam mendapatkan hadis, memahami apa yang didengar, serta bisa mengenang, dan menghafalnya semenjak ia menearaima Hadis tersebut hingga pada beliau meriwayatkannya. Atau dia bisa memelihara haditsyang ada di dalam catatannya dari kekeliruan,atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebagainya, yang dapat merubah hadis tersebut. Kedhabith-an seorang perawi, dengan demikian, dapat dibagi dua, ialah : dhobit shodran ( kekuatan kenangan atau hafalannya) dan dhobit kitaban (kerapian dan ketelitian tulisan atau catatannya)[8] Bahwa Hadis tersebut tidak syaz, maksud syadz atau syuzuz (jamak dari syaz) disini, adalah suatu Hadis yang berlawanan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih besar lengan berkuasa (istiqod), ini pemahaman yang diperpegangii oleh Syafi’i dan kebanyakan ulama yang lain. Melihat pengertian tersebut dapat dipahami tidak syaz (ghoiru syaz) ialah Hadis yang matannya tidak bertentangan deengan Hadis lain yang lebih berpengaruh atau lebih tsiqoh. Al-hakim Naisaburi memasukkan Hadis Fard (Hadis yang diriwayatkan oleh seorang Perawi yang tsiqoh, namun tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya), kedalam kelompok Hadis Syaz usulan ini tidak dipegang oleh jumhur ulama ahli Hadis.[9]

Kata ber’illat (ghoiru Mua’llal), kata ‘illat bentuk jamaknya yakni ‘illal atau al’illal, menurut bahasa artinya cacat, penyakit, kejelekan dan kesalahan baca. Dengan pemahaman hadis yang ber’illat adalah hadis-hadis yang cacat atau penyakit. Maksud ‘illat disini yakni berarti suatu alasannya yang tersembunyi atau samara-samar. Maksudnya adalah jika dilihat secara zohir hadis tersebut kelihatan Shohih, tetapi bekerjsama hadis tersebut menyimpan kesamaan atau keragu-raguan.[10]

2. Tingkatan Hadis Shohih dan Macam-Macamnya.

Ulama berupaya keras mengkomparasi antar perawi-perawi yang maqbul dan mengetahui sanad-sanad yang memuat derajat diterima secara maksimal karena perawi-perawinya terdiri dari orang-orang terkenal dengnan keilmuan, kedhobitan dan keadilannya dengan yang lainnya. Mereka menilai baha sebagian sanad shohih merupakan tingkat tertinggi dibandingkan dengan sanad-sanad lainnya alasannya adalah memenuhi sarat-syarat qobul secara optimal dan kesempurnaan para perawinya dalam hal standar-kriterianya. Mereka lalu menyebutnya Ashahul Asanid.[11]

Terhadap pembagian Ashahul Asanid[12] ini pun berbeda ulama dalam membaginya. Ajjaj al-Khotib mengatakan menurut martabat yang disinggung diatas, para muhaddisin membagi tingkatan sanad, ialah ;

a. Ashhohul Asanid, ialah rangkain sanad yang paling tinggi derajatnya. Para ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan peringkat pertama, sebagian ulama ada yang menetapkan “Hadis yang diriwayatkan Ibnu Shihab al-Zuhri dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ibnu Umar” sebagian yang lain menetapkan Hadis yang diriwayatkan Sulaiman al-A‘masyi dari Ibrahim an-Nakhai dari al-Qomah bin Qaois dari Abdillah bin Mas’ud. Imam bukhori dan bebrapa ulama lainnya memutuskan pada Hadis yang diriwayatkan Imam malik dari Anas dari Nafi Maula Ibnu Umar dari Ibnu Umar.

b. Ahsanul al-Asanid. Yakni rangkaian sanad yang tingkatannya dibawah tingkat pertama diatas, seperti hadis yang diriwayatkan Hamad bin Salmah dari Tsabit dari Anas.

c. Ad’aful al-Asanid yaitu rangkaian sanad Hadis yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua, mirip hadis riwayat Suhail bin Abi Salih dari bapaknya dari Abu Hurairah.[13]

Adapula sebgaian Ulama hadis yang membagi Hadis menurut terhadap tolok ukur yang diperpegangi oleh para mukhoriz (perawinya yang terakhir membukukannya) Hadis Shahih ialah kepada tujuh tingkatan

Hadis yang disepaki bukhori dan Muslim.
Hadis yang diriwayatkan Bukhori saja.
Hadis yang diriwatkan muslim saja
Hadis yang diriwayatkan sesuai dengan kriteria Bukhori dan Muslim.
Hadis yang diriwayatkan berdasarkan peersyaratan Bukhori.
Hadis yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim.
Tingkatan berikutnya ialah Hadis Shahih.

Menurut Imam-Imam Hadis yang lain yang tidak mengikuti syarat bukhori dan muslim seperti, Khuzaimah dan Ibnu Hibban.[14] Sementara perihal macam-macam Hadis Shahih, pada umumnya para Muhaddisin membaginya terhadap dua macam, ialah : Hadis Shahih li Zatihi dan Hadis Shahih lighoirihi, dan pembagian Hadis ini berdasarkan perbedaan dari sisi hafalan atau kenangan perawinya. Pada Hadis Shahih lizatihi kenangan perawinya sempurna sementara pada Hadis Shahih Lighoiirihi kurang sempurna.

Adapun yang dimaksud dengan Hadis Shahih Lizatihi menurut al-Hasani yaitu Hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi tolok ukur keshohihannya selaku Hadis yang maqbul, sebagaimana dijelaskan diatas, dan tidak membutuhkan Hadis yang yang lain.[15]

Sedangkan Hadis Shahih Lighoiirihi ialah Hadis yang tidak memenuhi sifat Hadis maqbul secara tepat, ialah Hadis yang asalnya bukan Hadis Shahih, akan tetapi derajatnya naik menjadi Hadis Shahih karena ada faktor penunjang yang mampu menutupi kelemahan yang ada padanya.[16] Sementara pola Hadis ini ialah Hadis ihwal bersiwak yang sanadnya Muhammad Ibnu Amrin dari Abu Salamah dari Abu Hurairah kemudian diriwayatkan oleh Tarmizi, namun Hadis ini juga diriwayatkan oleh bukhori dan Muslim, sementara sanad Muhammad Ibnu Amrin Ibnu al-Qomah yaitu dikenal dengan sifat as-Shidqi dan al-Syiyanah namun kuang besar lengan berkuasa hafalannya.[17]

3. Hukum dan Status Kehujjahan Hadis Shohih.

Para mahir Hadis dan sebagian ulama ahli Ushul serta mahir fiqh setuju menyebabkan Hadis-Hadis Shahih selaku hujjah (dasar anutan) yang wajib berzakat dengannya. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berhubungan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang bekerjasama dengan dogma oleh risikonya tidak ada argumentasi bagi setiap muslim untuk meninggalkannya.[18]

4. Kitab-Kitab Hadis Shahih.

Kodifikasi Hadis pada masa kedua Hijriyah ialah awal dari munculnya berbedanya ulama menyaksikan Hadis baik dari segi kuantitas (jumlah) maupun dari sisi kwalitas (kekuatan dan keabsahannya) sebuah Hadis. Maka banyak pula karya-karya muhaddisin yang permulaan yakni muwattha’ Imam Malik, hanya saja dia tidak mengkhususkan pada Hadis-Hadis Shahih saja, namun juga Hadis Mursal, Munqoti dan perumpamaan-ungkapan nasihat. Kemudian sampailah kepada bukhoi dan Muslim serta Muhaddisin yang lain.[19]

Adapun kitab yang pertama kali secara khusus membahs perihal Hadis-Hadis Shahih yaitu : Shohih Bukhori (194-256 H) lalu disusul dengan Shohih Muslim (204-261 H), Sunan Abu Daud (202 – 275 Hadis), Sunan at-Tarmizi (209 – 279 H), Sunan al-Nasai (215-313 H), Sunan Ibnu Majah (209 – 273 H).

B. Hadis Hasan

1. Pengertian dan Kriteria Hadis Hasan.

Hasan menurut bahasa bermakna ……………..sesuatu yang digemari dan dicondongi oleh nafsu.. sedangkan Hadis Hasan menurut ungkapan ulama berlawanan usulan diantaranya Ibnu Hajar mendefenisikannya :


“Khabar Ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa ber’illat dan syaz disebut Hadis Shahih, namun hal kekuatan ingatannya kurang kokoh 9sempurna) desebut Hasan Lizatihi.[20]

At-Turmuzi mendefenisikannya selaku berikut :

------------------------------

Tiap-tiap Hadis yang pada sanadnya tiada terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tiada kejanggalan dan Hadis itu diriwayatkan tidak dengan satu jalan (memiliki banyak jalan) yang padanya.”

Defenisi at-Turmuzi diatas terlihat kurang jelas kalau daripada defenisi Ibnu Hajar al-Asqalani diatas, tetapi bisa dipastikan bahw at-Turmuzi tidak bermaksud menyamakan antara Hadis Hasan dengan Hadis Shahih, karena justeru at-Turmuzi yang mula-mula menimbulkan perumpamaan Hadis Hasan ini.[21] Tetapi ada juga sebagian besar yang merumuskan bahwa Hadis Hasan sama dengan Hadis Shahih kecuali pada Hadis Hasan terdapat perawi yang tingkat kedhobitannya kurang, atau lebih rendah, dari yang dimiliki peawi Hadis Shahih.[22]

Pada dasarnya penyebutan Hadis Hasan tersebut sendiri sudah menunjukkan adanya perbedaan yakni bahwa Hadis Hasan lebih rendah kedudukannya dari Hadis Shahih, oleh alasannya itu Ibnu Hajar menegaskan bahwa Hadis Hasan yakni Hadis Shahih yang perawinya memiliki sifat dhobith yang lebih rendah dari yang dimiliki Hadis Shahih.

Adapun kriterianya Hadis Hasan berdasarkan Alwi Maliki al-Hasani ialah :

Bersambung sanadnya.
Perawinya Adil (a’dalatul Rawi)
Perawinya dhobith (Dhobitur Rawi), dhobith disini lebih rendah ketimbang Hadis Shahih ialah msih ada kesamaran (keraguan) atas kedhobithannya.
Terbebas dari syaz.
Terbebas dari ‘illat.[23]

Adapun pola Hadis ini yakni setiap Hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Amr bin al-Qomah adalah sahabat yang terkenal jujur, namun kurang besar lengan berkuasa hafalannya, contoh ini sama dengan conoh Hadis Shahih Lighoiirihi diatas oleh karenaya ada ulama yang menyamakan antara Hadis Hasan dengan Hadis Shahih tersebut.

2. Macam-Macam Hadis Hasan, Hukum dan Status Kehujjahannya.

Hadis Hasan ini juga terbagi terhadap dua bagian yakni : Hadis Hasan Lizatihi dan Hadis Hasan Lighoirihi.

a. Hadis Hasan Lizatihi dari sisi bahasa Hasan mampu cenderung, yang bagus, dan yang manis. Namun dari segi ungkapan ialah “ Satu Hadis yang sanadnya bersambung dari awal sampai simpulan, diceritakan oleh orang-orang adiltetapi ada yang kurang dhobith, serta tidak ada syuzuz dan ‘illat. Karena hakikat Hadis Hasan Lizatihi[24] ini sama maknanya dengan pengertian Hadis Hasan secara lazim maka keanyakan ulama menyamakan Hadis Hasan Lizatihi ini dengan Hadis Hasan. Adapun teladan Hadis ini : Artinya “Kata Turmuzi sudah menceritakan terhadap kami Abu Kuraib, telah menderitakan keapda kami Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin Amar, dari Abi Salamah dari Abi Hurairah, beliau berkata : telah bersabda Rasulullah saw : “Jika saya tidak takut untuk membertakan umatku, niscaya saya perintah mereka bersikat gigi pada setiap sholat. Hadis ini sesuai dengan persyaratan diatas namunkhusus problem dhobith terjadi masalah sebab salah satu sanandnya ialah Muhammad bin Amr bin al-Qomah kurang besar lengan berkuasa hafalannya.[25]

b. Hadis Hasan Lighoirihi, dari sisi bahasa lighoiri artinya : karenan yang lainnya. Sedangkan dari sisi istolah Attahan mendefenisikan Hadis Hasan Lighoirihi dengan :

-------------------------------------

(Yaitu Hadis dhai’f kalau jalan hadirnya berbilang (lebih dari satu), dan alasannya adalah kedhoifannya bukan alasannya adalah perawinya fasik atau pendusta.[26]

Dari defenisi Attahan diatas mengisyaratkan bahwa Hadis Hasan Lighoirihi yaitu Hadis Hasan yang tidak memeenuhi tolok ukur secara sempurna atau intinya Hadis tersebut Hadis Dho’if, akan namun sebab adanya sanad atau matanlain yang menguatkannya, maka kedudukan Hadis Dhoif tersebut naik derajatnya menjadi Hadis Hasan.

Contoh Hadis Hasan Lighoirihi: adapun artinya “Hadis yang diriwayatkan at-Turmuzi dan diriwayatkan Hasan, dari jalan Syu’bah dari Ashim ibn Ubaid Allah dari Abd Allah ibn Amr ibn Rabiah dari ayahnya, bahwa seorang perempuan dai bani Fazarh kawin dengan mahar sepasang sandal, maka rasulullah saw bertanya : “Apakah engkau merelakan dirimu sedangkan kamu hanya menerima sepasang sandal ?”,maka perempuan tersebut menjawab “rela”, maka rasulpun membolehkannya.

Pada Hadis tersebut diatas terdapat perawi a’shim, yang dinilai oleh paa ulama Hadis selaku peawi yang dhoif alasannya buruk hafalannya, namun at-Tirmizi mengatakannya sebagai hasan, alasannya adalah datangnya (ditemui sanad lain dari) Hadis tersebut melalui jalan lain.[27]

Sementara Hadis Hasan jikalau dilihat dari status Hukum dan kehujjahannya maka sebagaimana Hadis Shahih, walaupun derajatnya berada dibawh status Hadis Shahih, ialah Hadis yang dapat dijadikn hujjah dalam penetapan aturan atau dalam berinfak. Para ulama Hadis, ulama ushul fiqh, dan fuqaha sependapat wacana kehujjahannya.

3. Kitab-Kitab Hadis Hasan.

Kita bisa melihat Hadis-Hadis Hasan pada kitab-kitab yang menampung Hadis-Hadis Hasan tersebut :
Jami’ al-Tirmizi atau lebih diketahui dengan Sunan at-Tirmizi, oleh Abu Isa Muhammad bin Isa Muhammad ibn Isa ibn Surah al-Tirmidzi (209-279 H).
Sunan Abu Daud, oleh Sulaiman ibn al-Asy’at ibn Ishak al-Azali al-Sijistani atau lebih diketahui dengan istilah Abu Daud (202-275 H),
Sunan al-Darquthni, olehh Abu al-Hasan Ali ibn ‘Umar ibn Ahmad al-Dar Quhni (306-385 H/ 919-995 M)[28]


C. Hadis Mardud

1. Hadis Dhoif

a. Pengertian dan Kriteria Hadis Dha’if

kata dha’if secara bahasa ialah musuh dari al-Qowiy, yang mempunyai arti lemah, Hadis Dha’if ini adalah Hadis mardud, adalah Hadis yang diolak dan tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum.[29] Adapun beberapa ulama mendefenisikan Hadis Dha’if selaku berikut :

Imam Abi Amar Ibnu Shalah mendefenisikan Hadis Dha’if selaku berikut :

------------------------

“setiap Hadis –Hadis yang tidak terdapat padanya sifat Hadis Shahih dan tidak pula sifat-sifat Hadis Hasan maka dia disebut Hadis Dha’if.”[30]

Imam Ibnu Kasir mendefenisikan Hadis Dha’if sebagi berikut :

-------------------------

“Hadis – Hadis yang tidak terdapat padanya sifat-sifat Shahih dan sifat-sifat Hasan”.[31]

Imam Hafiz Haan al-Mas’udi menunjukkan defenisi Hadis Dha’if sebagai berikut :

------------------------------------------

“Hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari Hadis Shahih atau Hadis Hasan.”[32]

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa Hadis Dha’if yaitu Hadis yang tidak mencukupi syarat Shahih maupun hasan baik dari sisi sanad dan matannya, maka kekuatannya lebih rendah disbanding dengan Hadis Shahih dan Hadis Hasan.

Dari kesimpulan diatas pula mampu dambinn intisari bahwa persyaratan Hadis Dha’if yakni :

1. terputusnya antara satu perawi dengan perawi lainnya dalam satu sanad Hadis tersebut, yang sebaiknya bersambung.

2. terdapat cacat pada diri seoang perawi atau matan dari Hadis tersebut.

Dari kedua tolok ukur inilah dapat diterangkan standar kedhoifan dari Hadis Dha’if tersebut.

B. Macam-Macam Hadis Dha’if

Jenis Hadis Dha’if sangat banyak dan tidak cukup jika dijelaskan secara keseluruhan dalammakalah ini, untuk itu penulis berupaya untuk menyeleksi menjadi dua macam Hadis Dha’if oleh karena sebabnya, yaitu :

a. Hadis Dha’if disebabkan oleh terputusnya Sanad.
Hadis Mursal

Hadis Mursal yakni :

--------------------------------------

“Hadis yang dimarfu’kan (diangkat) oleh seorang tabi’i kepada Rasulullah saw, baik berupa sabda, tindakan dan taqrir, baik itu Tabi’i kecil ataupun besar.”

Defenisi sseperti inilah yang banyak digunakan oleh hebat Hadis, hanya mereka tidak menunjukkan batas-batas antara tabi’i kecil dan besar. Namun ada juga sebgaian ulama hadis yang memberikan batas-batas Hadis Mursal ini hanya di marfu’kan kepada tabi’i besar saja alasannya adalah periwayatan tabi’i besar yaitu sahabat dan Hadis yang dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil tergolong Hadis Munqoti’.

Dalam perumpamaan ilmu Hadis, Hadis Mursal ini diungkapkan secara bahasa yaitu isim maf’ul dari arsala yang memiliki arti athlaqa, yakni melepaskan dan membebaskan. Secara istilah Hadis Mursal yaitu :

-----------------------------------

“Hadis Mursal yakni Hadis yang gugur dari selesai sanadnya, seorang perawi sehabis tabi’i.

Maksud dari defenisi diatas mampu dipaham bahwa seorang tabi’i menyampaikan Rasulullah saw berkata demikian, den sebagainya, sementara Tabi’i tersebut terang tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi’i tersbut menetralisir teman selaku generasi mediator antara Rasulullahh saw dengan tabi’i.

sebagai pola dari Hadis Mursal ini ialah :

“Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya pada bab “perdagangan” (kitab al-buyu’) beliau berkata : “telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu Rafi’, telah menceritakan terhadap kami Hujjain, sudah menceritakan kepada kami al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari Ibnu Ssaid ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah saw melarang menjual kurma yang masih berada dipohon, dengan kurma yang sudah dikeringkan.”

Said bin Musayyab ialah seorang tabi’i besar,. Dia meriwayatkan Hadis ini tanpa menyebutkan perawi (sobat) yang menjadi mediator antara dirinya dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu Musyayyab sudah menggugurkan tamat dari perawinya yakni teman. Bisa saja selain dari sobat yang digugurkannya ada tabi’i lain yang juga digugurkannya.

Klasifikasi Hadis Mursal

Sebagaimana iterangkan bahwa Hadis Mursal yakni hadis yang jalan sanadnya menggugurkan perawi yang terakhir ialah sahabat yang pribadi mendapatkan Hadis tersebut dari Rasulullah saw. Diitinjau dari sisi siapa yang menggugurkan dan dari sifat-sifatnya, maka Hadis Mursal ini terdiri dari tiga bagian :

1. Mursal Shahabi, adalah : Pemberitaan teman yang disandarkan terhadap Rasulullah saw namun dia tidak mendengar atau melihat sendiri apa yang dia beritakan, karena disaat Rasulullah saw masih hidup dia masih kecil atauu bodoh masuk Islamnya.[33] Hadis Mursal shahabi ini tidak dipermasalahkan jika seluruh perawi dalam sanadnya tergolong dalam klasifikasi adil, sehingga kemajhulannya tidak bersifat negative.

2. Mursal Khafi’ yaitu : Hadis yang diriwayatkan oleh tabi’i tetapi tabi’i yang meriwayatkan Hadis tersebut hidup sezaman dengan sobat namun tidak pernah mendengar ataupun melihat Hadis langsung dari Rasulullah saw.[34]

3. Mursal Jali, adalah : bila penggugurannya dilakukan oleh rawi (tabi’i) mampu dikenali terperinci sekalii oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan tersebut tidak pernah hidup sezaman dengan orang yang digugurkannya atau yang menerima isu pribadi dari Rasulullah saw.[35]
Hadis Munqati’

Kata Munqati’ ialah ism maf’ul dari inqata’a yang bermakna terputus, secara perumpamaan Hadis Munqati’ ini yaitu :

-----------------------------

Al-Munqati’ yaitu Hadis yang gugur padanya seorang rawi atau disebutkan padanya seorang rawi yang tidak terang.

Macam-Macam Pengguguran (Inqita’)

1. Perawi yang meriwayatkan Hadis terperinci dapat diketahui tidak sezaman hidupnya dengan guru yang menawarkan Hadis padanya.

2. dengan samara-samar yang hanya dikenali oleh orang yang mempunyai kemampuan saja. Diketahuii dengan jalan lain dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam Hadis riwayat orang lain.[36]

Defenisi lain menyebutkan Hadis Munqati’ yaitu Hadis yang dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam satu kawasan atau lebih atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang gmubham. Dari segi gugurnya perawi, beliau sama dengan Hadis Mursal cuma saja bila Hadis Mursal dibatasi denngan gugurnya sobat, sementara dalam Hadis Munqati’ tidak ada batasan seperti itu. Jadi jika terdapat gugurnya perawi baik diawal, ditengah ataupun diakhir pada suatu Hadis maka beliau disebut dengan Hadis Munqati’.[37]

Contoh Hadis Munqati’ yaitu :

Hadis yang diriwayatkan olehh Abdu alRazzaq dari at-Tsauri dari Abi Ishak dari Zaid Ibnu Yutsi dari Huzaifah yang menyatakan sebagai Hadis Marfu’ (berasal dari Nabi) jika kau mengangkat Abu Bakar sebagai pemimpin maka dia ialah seorang yang kuat dan dapat dipercaya.

Hadis diatas mengandung kemunqati’an pada dua kawasan, pertama Abdu ar-Razaq tidak mendengarnya dari at-Sauri. Ia mendengarnya dari an-Nu’man ibnu Abi Syaibah al-Jundi dari at-Tsauri. Kequot;Times New Romandua at0Tsauri tidak mendengarnya dari Ibnu Ishak. Ia cuma meriwayatkan dari Syuraik dari Abu Ishak.[38]

3. Hadis Mudallas

kata mudallas ialah ism maf’ul darii dallasa yang bermakna gelap atau berbaur dengan gelap. Menurut ilmu Hadis Mudallas diarikan dengan :

--------------------------------------------

Bahwa meriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya tersebut dan tidak mendengarnya dari nya karena kesamaran mendengarkannya”.[39]

Macam-Macam Hadis Mudallas

1. Tadlis Isnad adalah :

-------------------------

Bahwa ia meriwayatkan dari seseorang yang dijumpainya dan tidak mndengar Hadis tersebut alasannya keraguan mendengarkannya atau dari orang semasanya yang tidak pernah berjumpa dengannya serta meragukan bahwa dia sudah menjumpainya dan mendengar darinya.

2. Tadlis Syuyukh

--------------------



Bahwa seorang rawi meriwayatkan Hadis dari gurunya, beliau dengar darinya, lalu diberi gelar kepadanyaatau beliau korelasikan atau dia sifati yang tidak diketahuii orang semoga ia tidak dikenali. Misalnya :

------------------

Telah menceritakan kapada kami Abd Allah ibn Abd Allah.” Yang dimaksud dengan Abd Allah disini yaitu Abu Bakar ibnu Abu Daud al-Sijistani.[40]

Sebagaimana sudah diuraikan maka motif dari mebuat Hadis tadlis itu bisa alasannya adalah beliau terdorong untuk berniat jahat untuk menutupi cacat gurunya atau menutupi kelamahan sebuah h. perawi yang dimengerti melaksanakan tadlis meskipun hanya sekali saja makak beliau adaah jarh (caacat) dank arena itu hadisnya mardud.

4. Hadis Mu’addhal

kata Mu’addhal bermakna menyembunyikan sesuatu menjadi sesuatu yang misterius atau problematic. Secara bahasa menurut ilmu hadis Mu’addhal yakni :

----------------------------

Hadis yang gugur dari sanadnya dua atau lebih scara berturut-turut baik dari permulaan sanda, pertengahan sanad ataupun alhasil.[41] Hadis ini termasuk yang di mursalkan oleh akhlak tabi’in. Hadis ini sama bahkan lebih rendah dari Hadis Munqati’. Sama dari kejelekan kwalitasnya, kalau kemunqoti’annya lebih dari satu daerah.

Diriwayatkan dari sebagian ahli Hadis perkataan para andal fiqh: “Rasulullah saw bersabda begini-begini” tergolong Mu’addhal. Karena diantara penulis tersebut terdapat dua perawi atau lebih. Padahal para penulis fiqh sebagian besarnya hidup ppada zaman sehabis kala tabi’in.[42]

5. Hadis Mu’allaq

secara bahasa Mu’allaq yaitu ism maf’ul dari kata ‘alaqa yang bermakna menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menjadi tergantung” sedangkan berdasarkan istilah ilmu Hadis, Mu’allaq yaitu :

-------------------------

Sesuatu yang telah gugur seorang perawi atau lebih secara berturut-turut dari awal sanad baik gugurnya tetap ataupun tidak.[43]

Dalam literature lain disebutkan Hadis Mu’allaq yakni :

---------------------------

Hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi secara berturut-turut”.

Bentuk Hadis Mu’allaq.

Mukharriz hadis lazimnya eksklusif berkata : Rasulullah saw bersabda : …….. atau mukhorij Hadis menghapus seluruh sanadnya kecuali teman, atau sahabat dan tabi’in.

Contoh Hadis Mu’allaq alah :

Hadis yang diriwayatkan terhadap Bukhori pda muqoddimah bagian “menutupi paha”, berkata Abu Musa, Rasulullah saw menutupi kedua luut beliau ketika Usman masuk”.

Hadis diatas yaitu Hadis Mu’allaq, karena Bukhori menghapus semua sanadnya, kecuali sobat, yakni Abu Musa al-Asya’ri. Dan hukumnya adalah mardud tertolah dan tidak mampu dijadikan hujjah dalam penetapan aturan. Karena tidak tercukupi syarat kemakbulannya adalah tidak tersambungnya sanad alasannya adalah terhapus dan tidak dikenali siapa perawi yang terhapus tersebut.

b. Hadis Dha’if yang ditinjau dari sisi cacatnya Perawi.

Dari segi diterima atau tidaknya suatu Hadis untuk dijadikan hujjah maka Hadis minggu itu pada prinsipnya terbagi terhadap dua bab ialah Hadis maqbul yang mana Hadis maqbul ini ialah Hadis Shahih dan Hadis Hasan sementara yang kedua yaitu Hadis mardud yaitu Hadis Dha’if dan segala macamnya.

Karena cacat perawi dalam Hadis Dha’if ini baik dari segi matan maupun sanadnya disebabkan oleh keadilan perawi, agamanya tau hafalannya tau keelitiannya, disamping itu juga karena terputusnya sanad perawi atau yang digugurkan atau yang saling tidak bertemu antara sau dengan lainnya. Dalam hal ini Hadis Dha’if yang ditinjau dari sisi perawinya terbagi bermacam-macam adalah :

1. Hadis Mudha’af.

Yaitu Hadis yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagai hebat Hadis menilainya mengandung kedhaifan, baik dalam sanad maupun matannya, dan sebagian lain mengatakannya besar lengan berkuasa namun penilaian kedhaifannya lebih besar lengan berkuasa. Ibnu al-Jaui merupakan orang yang pertama kali melakkukan pemilahan kepada Hadis jenis ini.

2. Hadis Matruk

-----------------------------

Hadis yang menyendiri dalam periwayatan dan diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam periwayatan Hadis, dalam Hadis nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya atau terlihat jelas kefasikannya, lewat perbuatan ataupun kata-kata, serta acap kali salah atau lupa. Missalnya Hadis Amr bin Samar dari jabir al-Jafiy. Yang terperinci ialah bahwa Hadis Matruk adalah Hadis Dha’if pada tingkatan terendah.

Yang dimaksud dengnan rawi tertuduh duta adalah seorang rawi yang dalam pembicaraan senantiasa berdusta, namun belum mampu dibuktikan bahwa dia berdusta dalammembuata h. adapun orang yang berdusta diluar pengerjaan Hadis ditolak periwayatannya.

Contoh Hadis Matruk : “Ibnu Adyi menjelaskan dua orang perawi adalah Abdur Rahman dan ayahnya Zaid, yakni orang yang matrukul hadis.

3. Hadis Munkar.

Hadis Munkar adalah Hadis yang perawinya sangat cacat dalam kadar sangat keliru atau faktual kefasikannya. Para ulama Hadis menunjukkan defenisi yang bervariasi wacana Hadis Munkar ini. Diantaranya ada dua defenisi yang selalu digunakan, yaitu :

a. Hadis yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau terkadang lali dan tampakkefasikannya secara faktual.

b. Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang Hadis tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh.

4. Hadis Mu’allal

Hadis Muallal ialah Hadis yang cacat karena perawinya al-wahm, yaitu cuma persangkaan atau praduga yang tidak mempunyai landasan yang besar lengan berkuasa. Umpamanya, seorang perawi yang mengira suatu sanad ialah muttashil (bersambung) yang bahu-membahu ialah munqathi’ (terputus), atau dia mengirsalkan yang mutthasil, dan memauqufkan yang maru’ dan sebagainya.

5. Hadis Mudraj.

Idraj mempunyai arti memasukkan Sesutu kepada sebuah yang yang lain dan menggabungkannya terhadap yang lain itu, dengan kata lain Hadis mudraj adalah Hadis yang didalamnya terdapat kata-kata perhiasan yang bukan dari bagian Hadis tersebut. Hadis mudraj ada dua adalah :
Mudraj Isnad : “seorang peerawi menambahkan kalimat-kalimat dari dirinya sendiri dikala mengemukakan sebuah Hadis disebabkan oleh sebuah perkara sehingga orang yang meriwayatkan selanjutnya menilai apa yang diucapkannya yaitu juga bab dari Hadis tersebut.
Mudraj Matan : sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan sebuah Hadis yang bukan merupakan matan dari Hadis tersebut, tanpa ada pemisahan diantaranya ( adalah antara matan Hadis dan sesuatu yang dimasukkan tersebut). Atau memasukkan sebuah perkataan dari perawi kedalam matan suatu Hadis, sehingga disangka perkataan tersebut berasalah dari perkataan Rasulullah saw.

6. Hadis Maqlub

Hadis Maqlub ialah Hadis yang menggantikan suatu lafaz dengan lafaz lain pada sanad Hadis atau matannya engan cara mendahulukan ataupun mengakhirknnya. Dengan kata lain ada pemutar balikan antara matan dan sanad baik didahulukan ataupun diakhirkan. Dalam hal ini terang bahwa hukumnya trtolak serta tidak dapat dijadikan dalil suatu aturan.

7. Hadis Mudhtharib

Hadis Mudhtharib yaitu Hadis yang diriwyatkan dalam bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama besar lengan berkuasa. Contoh :

-------------------------------

Hadis Abu Bakar ra bantu-membantu dia berkata “Ya Rasulullah, saya lihat engkau telahberuban” Rasulullah saw menjawab, “Hud dan saudara-saudaranya yang menyebabkanku beruban”. (HR. Tirmizi)

8. Hadis Mushahaf ialah Hadis yang dirubah kalimatnya, yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafaz maupun makna Hadis ini ada yang berubah sanadnya dan adapula berganti matannya.

9. Hadis Syaz ialah Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, ialah perawi yang dhabit, adil dan sempurna kebaikannya tetapi Hadis ini berlawanan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih tsiqot, adil dan dhobit shingga hadis ini ditolak dan Hadis ini juga disebut dengan Hadis Mahfuz.[44]

C. Hukum yang mengandalkan Hadis Dha’if

Ada tiga pendapat ulama dalam perguruan Hadis Dha’if :

Hadis Dha’if tidak diamalkan secara mutlak, baik tentang fadhail maupun ahkam dan ini merupakan usulan pada umumnya ulama tergolong Imam Bukhori dan Muslim.

Hadis Dha’if bisa diamalkan secara mutlak, ini merupakan pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad yang lebih memprioritaskan Hadis Dha’if dibandingkan ra’yu seseorang.

Hadis Dha’if mampu digunakan dalam duduk perkara fadhail mawa’iz atau sejenis dengan memenuhi standar yang ada. Ibnu Hajar membaginya terhadap kriteria yaitu : :

- kedhaifannyaa tidak terlalu

- Hadis Dha’if yang termasuk cakupan Hadis pokok yang mampu diamalkan.

- Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus besar lengan berkuasa namun sekedar hati-hati.[45].

D. Penutup

Adapun yang menjadi kesimpulan pada pembahasan ini ialah :

Hadis dari sisi kehujjahannya berisikan dua bagian yaitu Hadis maqbul dan hadis Mardud. Hadis maqbul terbagi lagi terhadap dua bab yakni shohih dan hasan. Sedangkan Hadis Mardud yaitu Hadis Dha’if. Hadis Shahih yakni Hadis yang memenuhi kriteria, sanad Hadis tersebut bersambung, perawinya adil, perawinya dhobit, hadis tersebut tidak syaz, Hadis tersebut selamat dari ‘illat atau cacat, Hadis ini terbagi kepada du adalah Hadis Shahih Lizatihi dan Hadis Shahih Lighoiirihi. Hukumnya yaitu wajib berpegangan atau bersedekah dengannya dan mampu dijadikan hujjah.

Hadis Hasan ialah Hadis yang pengertiannya nyaris sama dengan Hadis Shahih hanya saja pada Hadis Hasan pada bagian syarat perawinya disangsikan kedhobitannya. Hadis Hasan terbagi dua yakni Hadis Hasan Lizatihi dan Hadis Hasan Lighoirihi, hakikat Hadis Hasan Lizatihi dengan Hadis Hasan, pada Hadis Hasan Lighoirihi terdapat salah satu sanadnya rusak hafalannya tetapi alasannya adalah Hadis tersebut diriwayatkan oleh riwayat lain yang serupa atau lebih kualitas sanadnya maka ia mampu dijadikan hujjah.

Hadis Mardud yaitu Hadis Dha’if adalah hadis yang tidak menyanggupi standar untuk menjadi Hadis Shahih ataupun Hadis Hasan alasannya adalah terdapat beberapa cacat dari segi sanad maupun matannya. Hadis Dha’if tidak diamalkan secara mutlak namun mampu dipakai untuk fawhail mawa’iz, lebih baik jika dibandingkan ra’yu langsung seseorang.


DAFTAR PUSTAKA

  • A. Qadir Hassan, Ilmu Mustholah Hadis. Bandung : CV. Diponegoro, 1996.
  • Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi Wali Songo Huwa al-Jami’ as-Shohih. Beirut, Dar al-Fikr, 1400 H / 1980.
  • Al-Imam Ibnu Kasir, al-Baits al-Hadis Syarh Ikhtiar “Ulum al-Hadis” (Beirut : daar al-Pikr, tt.
  • Fatchur Rahman, Ikhtishar Mustholah Hadis (Bandung : PT al-Ma’pandai.
  • Fathur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadis. Bandung : Al-Ma’akil, 1991.
  • Hafiz Hasan Mas’udi, Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis. Surabaya: Ahmad Nabni, tt.
  • Izzudin Balig, Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunh Khatim al-Anbiyaa’ Wali Songo Mursalin. Beirut : Daar Pikr, tt.
  • M. Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul orisinil : Ushul al-Hadis diterjemahh oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998.
  • M.M Azami, Memahami Ilmu Hadis Tela’ah Metodologi dan Literatur. Jakarta : Lentera, 2003.
  • Mahmud Attahan, Uhul al-Takhrij Wali Songo Dirasah al-Asanid. Riyad : Maktabah al-Ma’cerdik, 1412 H/ 1991 M.
  • Muhammad ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Minhal al-Lathifu fi Ushuli al-Hadis Tahrif. taba’ bi Tasrih Wizarah al-A’lam, 1410 H.
  • Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993.
  • Nawir Yuslem, Ulumul Hadis. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997.
  • Syeikh Atiyah al-AJuri, Mustholahul Hadis. Jeddah : Haramain, tt.


Footnote
[1] Muhammad ‘Alwi al-Maliki al-Hasani, al-Minhal al-Lathifu fi Ushuli al-Hadis Tahrif (taba’ bi Tasrih Wizarah al-A’lam, 1410 H), hal. 58.

[2] M. Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-Hadis diterjemahh oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), hal. 276.

[3] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mustholah Hadis (Bandung : PT al-Ma’berakal, 1974), hal. 117.

[4] Ibnu Shalah berpendapat, bahwa syarat hadis diatas, telahh disepakati oleh para muhaddisin. Hanya saja kalaupun mereka berselisih tentang keshahihan hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu sendiri, melainkan sebab adanya pertikaian terwujud atau tidaknya sifat-sifat tersebut, atau alasannya adanya pertengkaran dalam mensyaratkan sebagian sifat-sifat tersebut. Misalnya Abi Zinad mensyaratkan peraawinya mempunyai kepopuleran, Ibnu as-Sam’ani Hadis Shahih cukup diriwayatkan oleh Rawi yang tsiqoh (adil dan dhobith) saja tetapi harus paham benar apa yang diriwayatkannya, banyak hadis yang telah didengarnya, besar lengan berkuasa ingatannya. Abu Hanifah mnsyaratkan, peerawinya haruspaham benar, Ibnu hajar tidak sependapat dengan ulama-ulama diatas karena syarat-syarat yang dikemukakan Abi Zinad sudah tercakup dalam dhobith, sedang sarat-syarat Ibnu as-Sam’ani telah termasuk dalam syarat “tidak ber’illat”, sementara jumhur Muhaddisin, bahwa suatu hadis dinilai shohih, bukanlah tergantung pada banyaknya sanad, tetapi bila sanadnya atau matannya shohih, kendatipun rawinya itu cuma satu orang saja pada tiap-tiap thobaqat. Ibid.

[5] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997), hal. 220.
[6] Maududi yang sering disebut ppendukung hadis, mengungkapkan teladan yang mungkin paling mengagetkan sebagaimana yang dikutipnya dari penentang hadis. Ibnu Ummar menyebut Abu Hurairah pembohong; Aisyah mengkritik Anas sebab memberikan Hadis, padahal Anas masih bawah umur ketika Rasulullah saw masih hidup; Hasan Ibnu Ali menyebut Ibnu Umar dan Ibnu Zubair pembohong. Jelas makdu Maududi bukanlah untuk mndiskreditkan literature hadis secara keseluruhan. Dia cuma ingin menyebutkan alasan perlu bagi mengkaji ulang literature hadis. Abu al’Ala al-Mududi, hadis aw al-Qur’an (taphimat : Tarjuman al-Qur’an, 1934), hal. 318-349, lihat juga pada Daniel W. Brown, Relevansi Islamdalam Sunnah Modern, judul asli : Rethingking Tradition in Modern Islamic Thought, diterjemahkan oleh : Jaziar Radianti dan Estin Sriyani Muslim (Bandung : Mizan, 2000) h. 114.
[7] Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1993) hal. 113.
[8] Yuslem, h. 221.
[9] Suparta dan Ranuwijaya, h. 115.
[10] Ibid.
[11] Al-Khatib, h. 227-278.
[12] Kritikus Hadis lebih memilih sebutan Hadis shohihul isnad dari pada istilah Hadis Shahih, karena khawatir hadisnya syadz atau mu’allal, sehingga yang shohih hanyalah sanadnya. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kelaziman hubungan antara keshohihan dan keshohihan matan. Syaikhul islam Ibn Hajar menyampaikan yang tidak layak lagi yaitu bahwa sorang Imam diantara mereka tidak beralih dari sebutan shohih kesebutan shohihul isnad kecuali karena argumentasi tertentu. Namun, jika yang menyatakan istilah itu adalah perawi yang hafiz lagi mampu dipercaya, tanpa menyebut ‘illat kodihah terhadap hadis yang bersangkutan,maka terperinci memperlihatkan keshohihan matan pula. Lihat M. Azaz al-Khotib, hal. 278-279.
[13] Sunarta dan Ranuwijaya, hal. 118.
[14] Yuslem, hal. 225.
[15] Ibid.
[16] Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani, hal. 69, lihat juga pada Suparta dan Ranuwijaya hal 117.
[17] Lihat Yuslem, hal. 226.
[18] Abu Isa Muhammad bin Isa at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi Wali Songo Huwa al-Jami’ as-Shohih (Beirut, Dar al-Fikr, 1400 H / 1980) h. 6.
[19] Al-Khatibi, hal. 279.
[20] Suparta dan Rnuwijaya, hal. 119-120.
[21] Ibid, h. 120-121.
[22] Yuslem, h. 229.
[23] Al-Hasani, h. 66.
[24] Semua syarat Hadis Shahih diatas diperlukan oleh Hadis Hasan Lizatihi, kecuali bahwa seorang atau seluruh periwayatnya tergolong kelompok shodiq yang sepadan, M.M Azami, Memahami Ilmu Hadis Tela’ah Metodologi dan Literatur (Jakarta : Lentera, 2003), h. 109.
[25] A. Qadir Hassan, Ilmu Mustholah Hadis (Bandung : CV. Diponegoro, 1996), h. 72-73.
[26] Mahmud Attahan, Uhul al-Takhrij Wali Songo Dirasah al-Asanid (Riyad : Maktabah al-Ma’berilmu, 1412 H/ 1991 M), h. 51.
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Yuslem, h. 236.
[30] Ibid
[31] Al-Imam Ibnu Kasir, al-Baits al-Hadis Syarh Ikhtiar “Ulum al-Hadis” (Beirut : daar al-Pikr, tt), h. 42.
[32] Hafiz Hasan Mas’udi, Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis (Surabaya: Ahmad Nabni, tt) h. 10.
[33] Yuslem, hal. 240.
[34] Fathur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadis (Bandung : Al-Ma’berakal, 1991), h. 181.
[35] Ibid.
[36] Ibid.
[37] M. Ajaj Khatib, Ushulul Hadis, hal. 305-306.
[38] Ibid
[39] Izzudin Balig, Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunnah Khatim al-Anbiyaa’ Wali Songo Mursalin (Beirut : Daar Pikr, tt), h. 49.
[40] Yuslem, hal. 253.
[41] Syikh Atiyah al-AJuri, Mustholahul Hadis (Jeddah : Haramain, tt), h. 58.
[42] M. Azaz al-Khatib, hal. 306.
[43] Hafiz Hasan al-Ma’udi, hal. 22.
[44] Yuslem, h. 256-277.
[45] M. Ajjaj al-Khatib, Hal. 315-316.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon