Kamis, 17 Desember 2020

Makalah Pembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Nilainya

Makalah Pembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Nilainya
Oleh Ismawati Saragih

BAB I
PENDAHULUAN

Hadis sebagai sumber kedua aturan Islam, memiliki fungsi yang besar. Salah satunya selaku al bayan Alquran. Namun bukan memiliki arti seluruh hadis yang ada dapat dujadikakn sebagai sumber penetapan hukum. Sebab untuk hal tersebut, diperlukan peninjauan yang lebih dalam, untuk menentukan layak atau tidaknya, hadis tersebut digunakan selaku sumber penetapan aturan.

Secara garis besar, hadis terbagi pada dua bentuk, adalah hadis yang diterima dan hadis yang ditolak. Sedangkan para ahli hadis membaginya dalam tiga bab, adalah hadis Sahih, hadis Hasan dan hadis da’if. Pada makalah ini, akan dibahas pembagian hadis tersebut. Adapun yang menjadi sub pembaHasan antara lain pengertian Mutawatir, Sahih, Hasan, da’if, Maudu’ dan sekilas ihwal Inkar Sunnah serta hukumnya. Kemudian diakhiri dengan epilog.


BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Pembagian Hadis Ditinjau Dari Segi Nilainya

A. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir berdasarkan bahasa berarti tiba berikut dengan kita, atau yang beriring-iringan antara satu dengan lainnya dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan Mutawatir secara istilah, terdapat beberapa defenisi, antara lain menyebutkan: “Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang, yang menurut adab mustahil mereka bersepakat untuk berdusta (jumlah yang banyak itu) semenjak awal sanad sampai alhasil”.1

Hasbi as Siddiqi dalam buku Ilmu Mustalah al Hadis mnedefenisikan hadis Mutawatir selaku berikut: “Hadis yang diriwayatkan menurut observasi panca indera oleh orang banyak yang jumlahnya berdasarkan etika kebiasaan mustahil untuk berbuat dusta”.2

Berdasarkan kedua defenisi diatas, tampakada beberapa hal yang disyaratkan pada hadis Mutawatir, yakni harus diriwayatkan oleh banyak orang, mesti diterima oleh banyak orang juga3, biar terhindar dari kedustaan dan diperoleh dari hasil pengamatan panca indera, bukan hasil penafsiran. Hadis Mutawatir masih dibedakan dalam beberapa bab, ada yang menyampaikan terbagi pada dua bab, dan ada yang beropini terbagi pada tiga bagian, ialah Mutawatir lafzi4, Mutawatir ma’nawi5 dan Mutawatir ‘amali6.

Keberadaan hadis Mutawatir mewajibkan kita untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis Mutawatir tersebut, hingga membawa pada keyakinaan yang niscaya. Seperti yang dibilang Ibn Taimiyah, “Barangsiapa yang sudah meyakini akan kemutawatiran sebuah hadis, wajib baginya mempercayai kebenarannya dan mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Sedang bagi orang yang belum mengenali dan meyakini akan kemutawatirannya, wajib baginya mempercayai dan mengamalkan hadis Mutawatir yang disepakati oleh para ulama”7.

Berbeda dengan Ibn Taimiyah, al Nizam (dari Mu’tazilah) memperbolehkan mendustakan hadis Mutawatir, alasannya adalah adanya kemungkinan terbatasnya para periwayat dalam hadis tersebut. Berdasarkan ajaran mereka ihwal kelayakan dan kemampuan akal untuk menghapus hadis, maka mengingkari hadis Mutawatir tidak dianggap sesuatu yang ajaib, walaupun merupakan ijma’. Menurut mereka mungkin saja umat bersepakat dalam kesesatan.8

Oleh alasannya itu Mu’tazilah menunjukkan syarat agar hadis Mutawatir bisa diterima, yaitu adanya Ahl Jannah (wali Allah yang terjaga dari dusta) dalam salah satu perawinya. Namun berdasarkan penulis dengan adanya tolok ukur yang begitu ketat yang diberikan para ulama hadis, mustahil mereka setuju untuk melakukan dusta. Penambahan mesti adanya Ahl Jannah pada salah satu perawinya akan menimbulkan duduk perkara yang gres dan tentunya akan susah menentukan siapa pun yang mampu disebut selaku Ahl Jannah. Karena tiap golongan pasti akan berlainan dalam menganggap perawi yang patut disebut selaku Ahl Jannah.

B. Pengertian Hadis Sahih
Kata Sahih menurut bahasa berarti sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang tepat. Maka kata hadis Sahih secara bahasa mempunyai arti hadis yang sah, hadis yang sehat atau hadis yang selamat9. Menurut para Muhadisin, hadis Sahih yakni hadis yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawy yang adil, tepat kenangan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal10.

Selain defenisi diatas masih banyak lagi defenisi-defenisi yang dikemukakan para ulama mutaakhirin secara konkrit. Seperti yang dinyatakan oleh as Suyuti secara ringkas, yakni hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dabit, tidak syaz dan tidak berillat11.

Hadis Sahih juga mampu disebut hadis garib12 atau hadis mashur13. Para hebat hadis juga membedakan hadis Sahih pada beberapa tingkatan (derajat) dalam keSahihan. Seperti yang telah dijalankan oleh Imam an Nawawi, membagi hadis Sahih pada tujuh bagian14:
  • Yang paling tinggi yaitu yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim.
  • Yang diriwayatkan sendiri oleh Imam Bukhari.
  • Yang diriwayatkan sendiri oleh Imam Muslim.
  • Yang atas syarat kedua Imam tersebut, sekalipun mereka tidak mengeluarkannya.
  • Yang atas syarat Imam Bukhari.
  • Yang atas syarat Imam Muslim.
  • Yang dianggap Sahih oleh Imam-imam lainnya.
Para ulama hadis juga membagi hadis Sahih pada dua bab, yakni Sahih li zatihi dan Sahih li gairihi, perbedaan antara keduanya terletak pada sisi hafalan atau ingatan perawinya. Pada Sahih li zatihi kenangan perawinya sempurba, sedang pada Sahih li gairihi, ingatan perawinya kurang sempurna15. Para ulama hadis dan sebagian ulama fiqh serta seruan fiqh, setuju menyebabkan hadis ini selaku hujjah yang wajib berinfak dengannya16.


C. Pengertian Hadis Hasan 
Secara bahasa hadis Hasan bermakna hadis yang baik, atau yang cocok dengan keinginan jiwa. Sedangkan secara perumpamaan, hadis Hasan mempunyai banyak sekali macam defenisi yang diberikan ulama hadis17. mirip defenisi yang diberikan Turmuzi: “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, (pada matannya) tidak ada kejanggalan (syadz), dan (hadis tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”18.

Dari defenisi yang ada, mampu dibilang bahwa hadis Hasan nyaris sama dengan hadis Sahih. Hanya saja terdapat perbedaan dalam ingatan perawinya. Pada hadis Sahih ingatan atau daya hafalannya mesti tepat, sedang pada hadis Hasan, kenangan atau daya hapalannya kurang tepat. Seperti hadis-hadis lainnya, hadis Hasan juga masih terbagi. Yakni Hasan li zatihi dan Hasan li gairih.19 Untuk keduanya sudah disepakati untuk dapat dijadikan hujjah.

D. Pengertian Hadis Da’if
Daif secara bahasa bermakna lemah. Maka hadis Daif berarti hadis yang lemah. Sedangkan secara ungkapan an Nawawi mengungkapkannya selaku hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis Sahih dan syarat-syarat hadis Hasan. Secara lebih sederhana Nur ad Din ‘Atr memastikan sebagai hadis yang hilang salah satu sayarat dari syarat-syarat hadis Maqbul (hadis yang Sahih atau hadis yang Hasan)20. Meskipun setiap ulama menunjukkan defenisi yang berlainan, namun tujuannya tetap sama.

Kedaifan atau kekurangan suatu hadis biasanya terjadi pada sanad atau matannya.21 Para Muhaddisun juga membagi hadis ini pada beberapa bentuk. Diantara bentuk-bentuk tersebut antara lain22:

Hadis Mursal.
Hadis Munqati’.
Hadis Mu’adal.
Hadis Mudallas.
Hadis Mu’allal.
Hadis Mudtarab.
Hadis Maqlub.
Hadis Syadz.


E. Pengertian Hadis Maudu’
Maudu’ menurut bahasa bermakna mengada-ada, menyimpan dan ditinggalkan. Sedangkan hadis Maudu’ berdasarkan perumpamaan andal hadis yakni hadis yang dibuat-buat oleh para pendusta dan mereka menyandarkannya terhadap Rasulullah saw.23. bahkan ada ulama yang menambahkan bukan hanya hadis yang disandarkan kepada Rasul saw. namun juga terhadap teman dan tabiin24

Mengenai kapan munculnya hadis imitasi ini, ada yang menyebutkan semenjak era Rasul saw., ada yang menyebutkan semenjak tahun 40 Hijriah25. Kemunculan hadis artifisial ini juga didorong oleh beberapa motif, antara lain:26
  • Pertentangan politik antara Ali dan Mu’awiyah.
  • Usaha kaum zindiq untuk merusak Islam.
  • Sikap Fanatik terhadap satu kelompok.
  • Untuk menarik simpati kaum awam.
  • Perselisihan dalam fiqh dan ilmu kalalm.
  • Membangkitkan gairah beribadah tanpa mengetahui apa yang dilakukan.
  • Penjilat Penguasa.
  • Untuk mengenali hadis Maudu’, dapat memperhatikan pada beberapa hal, antara lain:
  • Atas dasar pengukuhan para pembuatnya.
  • Maknanya rusak.
  • Matannya bertentangan dengan nalar sehat.
  • Matannya berlawanan dengan Alquran.
  • Matannya menyebutkan komitmen yang sungguh besar atas tindakan yang kecil atau ancaman yang sangat besar atas kasus yang kecil.
  • Perawinya dikenal selaku seorang pendusta.

F. Inkar Sunnah dan Hukumnya
Ingkar sunnah ialah sebuah paham atau pendapat yang timbul dari sebagian kecil kaum muslimin yang menolak sunnah selaku sumber aturan Islam. Menurut Imam Syafi’i, kelompok Inkar Sunnah muncul dipenghujung kala kedua atau awal periode ketiga hijriah. Mereka berisikan tiga kalangan:

Menolak hadis-hadis rasul sebagai hujjah secara keseluruhan. Alasannya:

Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab, tentu dengan penguasaan bahasa Arab yang bagus, maka mampu dipahami dengan baik tanpa pertolongan hadis. Quran ialah penjelas segala sesuatu (Q.S. 16:89). Nilai kebenaran hadis adalah zanni. Sesuatu yang zanni tidak dapat dijadikan penjelas bagi yang qat’i (Quran).

Menolak hadis-hadis Rasul saw. yang kandungannya tidak disebutkan dalam Alquran, baik secara implisit maupun eksplisit. Artinya hadis tidak memiliki otoritas untuk memilih hukum baru, diluar yang disinggung Alquran. Menerima hadis-hadis Mutawatir selaku hujjah dan menolak kehujjahan hadis-hadis minggu.

Menanggapi beberapa argumen Inkar Sunnah tersebut, Imam Syafi’i memperlihatkan jawaban :28

Keotoritasan hadis sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam yang kedua adalah ayat Alquran sendiri. Banyak ayat yang mengatakan semoga umat Islam mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya. Dengan menguasai bahasa Arab maka orang akan tahu bahwa Alquranlah yang memerintahkan mereka untuk mengikuti sunnah Rasulullah saw. Alquran banyak mengandung ayat yang bersifat lazim dan membutuhkan penjelasan. Disinilah hadis Rasul saw berfungsi.

Argumen Imam Syafi’i tersebut telah bisa membendung gerakan Inkar Sunnah dalam kurun waktu yang panjang, meskipun tidak teridentifikasi siapa mereka29, tidak mirip halnya tokoh Inkar Sunnah modern30. Penolakan kelompok ini, terhadap sunnah, baik yang berupa ucapan maupun Nabi saw. ialah betul-betul kafir. Penolakan kepada hadis sama artinya menolak Alquran. Karena Allah dengan tegas menyerukan pada hamba-Nya untuk mengikuti dan mentaati sunnah Nabi Muhammad saw.

“Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sebetulnya ia sudah mentaati Allah….”31

Dari Abu Hurairah Rasulullah saw. bersabda:

“Telah aku tinggalkan kepada kalian dua kasus, kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, ialah Quran dan Hadis”. (Diriwayatkan oleh Malik secara Mursal dan Hakim dengan sanad yang bersambung dan mensahihkannya)32.

Begitu banyak firman Allah maupun hadis Rasul yang memastikan kewajiban mengakui dan mengikuti sunnah Rasul saw. selaku pembawa kitab Alquran. Menanggapi hadirnya kalangan ini, tidak cuma para ulama yang beraksi keras, tetapi pemerintah juga ikut turun tangan. Contohnya di Indonesia, munculnya tokoh-tokoh mirip Abdul Rahman, Moch. Irham, Sutarto dan Lukman Saad, membuat pemerintahan Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Jaksa Agung No. Kep-169/J.A/1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan pedoman ini di Indonesia.


BAB III
PENUTUP

Secara umum, hadis terbagi pada dua bentuk, yaitu hadis yang diterima dan hadis yang ditolak. Untuk hadis yang diterima para ulama masih membedakannya dalam beberapa ungkapan. Namun demikian mereka tetap sepakat mampu mengakibatkan hadis-hadis tersebut sebagai hujjah aturan. Sedangkan hadis yang ditolak, meskipun sudah kasatmata penolakannya, namun para ulama masih membedakan hadis tersebut pada beberapa bentuk. Hadis Maudu’ sebagai hadis yang ditolak dan dinilai sangat berbahaya, menciptakan para jago hadis menetapkan beberapa hal yang perlu dicermati pada suatu hadis. Agar lebih singkat dikenali jika hadis itu yaitu imitasi. Selain hadirnya para pembuat hadis artifisial dalam sejarah Islam, diakhir masa kedua hijriah timbul para pengingkar sunnah. Reaksi keras menyikapi pedoman ini tidak saja timbul dikalangan ulama, namun juga dikalangan pemerintahan.


DAFTAR PUSTAKA
  • Al Albani, Muhammad Nairuddin. Al hadis Hujjatun bi Nafsihi Fil ‘Aqidah wal Ahkami, terj. Muhammad Irfan Zein. Hadis Sebagai Landasan Akidah dan Hukum. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
  • Ambary, Hasan Mu’akil (ed). Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003.
  • Husain, Abu Lubabah. Pemikiran Hadis Mu’tazilah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
  • Al Khatib, Ajjaj. Usul al Hadis;Ulumuh wa Mustalahuh. Beirut: Dar al Fikr, 1981.
  • Rahman, Fatur. Ikhtisar Mustalahul Hadis. Yogyakarta: al Ma’berilmu, 1987.
  • Rahman, Zufran. Kajian Sunnah Nabi Sebagai Sumber Hukum Islam (Jawaban Terhadap Aliran Inkar Sunnah). Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995.
  • As Salih, Subhi. Ulum al Hadis wa Mustalahuh. Terj. Tim Pustaka Firdaus. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
  • Suparta, Munzier (ed). Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
____________________
1 Ajjaj al Katib, Usul al Hadis: ‘Ulumun wa Mustalahuh (Beirut: Dar al Fikr, 1981), h.301.
2 Munzier Suparta, ed. Al, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h.82.
3 Mengenai jumlah penduduknya, para ulama berlawanan pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menentukan jumlah tertentu. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu, dapat menawarkan dogma terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta. Sedangkan ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih bertikai perihal jumlahnya. Al Qadi al Baqillani memutuskan sedikitnya lima orang. Astikhari menetapkan minimal sepuluh orang. Bahkan ada yang menetapkan hingga tujuh puluh orang, hal ini menurut mereka berdasarkan firman Allah Q.S al A’raaf: 155.
4 Mutawatir lafzi yaitu hadis yang diriwayatkan oleh banyak para rawi semenjak permulaan hingga akhir sanadnya, dengan memakai lafaz yang serupa. Menurut para ulama, hadis ini sangat sedikit sehingga susah dikemukakan misalnya. Bahkan Ibn Hibban mengatakan bila hadis ini tidak diperoleh.
5 Mutawatir ma’nawi yakni hadis yang periwayatannya disepakati maknanya, tetapi lafaznya tidak. Untuk hadis ini, banyak acuan yang dapat diberikan,salah satunya hadis wacana mengangkat tangan dikala berdoa. Meskipun redaksi hadis tentang itu berlawanan-beda, tetapi memiliki titik persamaan, adalah kondisi Nabi saw. mengangkat tangan ketika berdoa.
6 Mutawatir ‘Amali adalah sesuatu yang dikenali dengan gampang, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabi saw. menyuruhnya , mengerjakannya atau selain dari itu. Contoh hadis mutawatir ‘amali juga banyak, mirip hadis yang menunjukan waktu salat, rakaat salat, pelaksanaan haji, kadar zakat dan lain sebagainya.
7 Munzier, Ilmu, h. 92.
8 Abu Lubabah Husain, Pemikiran Hadis Mu’tazilah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h.76.
9 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: Media Pratama, 1996), h.155.
10 Fatur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis (Yogyakarta: al Ma’arif, 1987), h. 95.
11 Munzier, Ilmu, h.112.
12 Jika dia cuma diriwayatkan oleh satu orang rawi yang terpercaya. Sehingga adakala garib dalam matannya, dan adakala dalam isnadnya.
13 Jika diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih dari guru yang terpercaya.
14 Subhi as Salih, MembahasUlum al Hadis wa Mustalahuh, terj. Tim Pustaka Firdaus, Ilmu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.139.
15 Munzier, Ilmu, h.116. teladan hadis Sahih li gairi mirip hadis yang diriwayatkan oleh Turmuzi melalui jalur Muhammad Ibn ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: “Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada tiap kali hendak melakukan salat”. Menurut Ibn as Salah, Muhammad Ibn ‘Amr terkenal selaku orang yang jujur, akan tetapi kedabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ketingkat hasan. Namun hadis ini juga diriwayatkan oleh al Bukhari lewat jalur A’raj dari Abu Hurairah yang hadisnya dinilai Sahih. Oleh alasannya adalah itu, hadis yang diriwayatkan Turmuzi tersebut naik menjadi Sahih li gairi.
16 Kesepakatan ini dalam hal yang berhubungan dengan penetapan halal dan haramnya sesuatu, bukan hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
17 Perbedaan ini terjadi sebab penggolongan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi antara hadis Sahih dan hadis daif.
18 Utang, Ilmu, h.170.
19 Pengertian hasan li zatihi sama seperti pengertian hadis hasan yang dijelaskan diatas, sedangkan hasan li gairihi yakni hadis yang intinya hadis daif, namun alasannya adalah adanya sanad atau matan lainnya yang menguatkannya, maka kedudukannya naik menjadi hasan li gairihi.
20 Munzier, Ilmu, h.124
21 Kelemahan sanad terjadi pada persambungan sanadnya atau mutu siqohnya. Sedangkan kelemahan pada matannya terjadi pada sandaran matannya.
22 Subhi as Salih, Membahas, h.149-188.
23 Ibid.,h.230.
24 Utang, Ilmu, h.188.
25 Pendapat pertama diantaranya dikemukakan oleh Ahmad Amin. Sedangkan pertimbangan kedua oleh kalangan andal hadis.
26 Utang, Ilmu, h.101-193.
28 Hasan Muarif Ambary , ed. al, Ensiklopedi Islam (Jakarta:Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2003), h.225-226.
29 Menurut Khudari Bek, mereka yaitu kelompok teolog Mu’tazilah. Sedangkan berdasarkan Abu Zahra mereka yaitu orang-orang zindiq yang lahirnya mengaku Islam namun batinnya ingin merusak Islam dan dari kalangan Khawarij.
30 Diantaranya Taufiq Sidqi yang membebaskan gerakan salat. Lalu Rasyad Kahlifa yang menganggap hadis yaitu bikinan iblis yang dibisikkan terhadap Muhammad saw. Bahkan ada usulan yang menyebutkan bahwa pemikiran ini dipengaruhi kelompok orientalis. Salah satunya HAR Gibb yang mengatakan bahwa kitab suci dan sunnah ialah campuran ucapan Muhammad selaku delegasi Tuhan bukan wahyu.
31 Q.S. An Nisa’:80
32 Muhammad Nasiruddin al Bani, al Hadis Hujjatun Bi Nafsihi Fil ‘Aqiduh Wal Ahkami, terj. Muhammad Irfan Zein, Hadis sebagai Landasan Akidah dan Hukum (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h.51.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon