Selasa, 15 Desember 2020

Makalah Hadis Al-Jarh Wa Al-Tadil

Makalah hadis Al-Jarh Wa Al-Tadil
Oleh: Sanusi

BAB I
PENDAHULUAN

Hadis selaku pernyataan, pengamalan, taqrir dan hal perihal nabi Muhammad SAW merupakan sumber aliran Islam yang kedua sesudah Alquran. Hadis sampai terhadap kita melalui jalan perawi. Dengan begitu para perawi ialah sentra utama dalam rangkan mengenali kesahihan hadis. Untuk itu maka dikenal ilmu al-jarh wa al-ta’dil sebagai sebuah lmu yang digunakan untuk memutuskan apakah periwayatan sorang perawi mampu diterima atau ditolak. Pada peluang ini penulis mencoba memapakan lebih jauh perihal ilmu al-jarh wa al-ta’dil denngan menjabarkannya mulai dari pengertiannya, dalil disyari’atknnya, lafaz-lafaz yang dipergunakan, syarat-syaratnya prosedur penetapannya, cara mengatahui keadilan perawi hingga kepada pertentangannnya antara Al- Jarh Wa Al-Tadil

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al- Jarh Wa Al-Tadil
Al-jar secara etimologis ialah bentuk masdar dari kata جرح - يجرح yang mempunyai arti melukai. Keadaan luka mampu diartikan luka secara fisik maupun non fisik mirip luka oleh kata-kata bergairah seseorang.[1]

Secara terminologis berarti munculnya sebuah sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang mengkibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. At-tarj³h memiliki arti mensifati seorang perawi dengan sifat-sifat yang menenteng konsekuensi penilainnya lemah atas riwayatnya/tidak diterima.[2]

Adapun al-‘adl secara terminologis memiliki arti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu itu lurus, orang adil bermakna yang diterima keaksiannya. Ta’dil pada diri seseprang berarti menilainya positif. Al-‘adl secara terminologis bermakna orange yang tdak meiliki sifat yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya seingga kesaksiannya bias diterima. 

Dengan begitu maka ilmu al-jar wa al-ta’dil bermakna :

[3]العلم الذي في احوال الرواة من حيث قبول روايا تهم او ردها

Dalam kitab jar wa ta’dil karangan ‘Abdul Manjur Muhammad ‘Abdul Latif didefenisikan sebagai berikut : 

علم يبحث فيه عن جرح الرواة و تغد يلهم بأ لفا ظ مخصوصة عن مراتب تلك الالفاظ[4]

Berdasarkan defenisi defenisi diatas, maka secara umum dapat dibilang ilmu jar¥ hwa ta’d³l memiliki arti ilmu yang menawarkan kritikan kepada adanya malu atau menawarkan kebanggaan adil terhadap perawi.


C. Dalil disyari’atkannya Al- Jarh Wa Al-Tadil
Dalil yang menjadi disyari’atkannya al-jarh wa al-ta’dil ialah firman Allah SWT yang terdapat pada Quran surah al-Hujurat ayat 6 :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, kalau datang kepadamu orang Fasik membawa suatu gosip, Maka periksalah dengan teliti supaya kau tidak menimpakan suatu musibah terhadap suatu kaum tanpa mengenali keadaannya yang menyebabkan kau menyesal atas perbuatanmu itu.

Selain itu juga surah al-Baqarah ayat 282 :

Artinya : Dan periksalah dengan dua orang saksi dari orang-orang lealaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jikalau seoarang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Yang dimaksud saksii yang diridhoi yakni orang yang kita ridai agama dan kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadis tidak diterima kecuali dari orang-orang £iqat.

Berkenaan dengan al-jarh, Rasulullah saw. bersabda :
بئس أخو العشيرة
Artinya : seburuk-jelek saudara ialah ia.

Dan yang berkenaan dengan ta’dil beliau bersabda :
نعم عبد الله خالد ابن الوا ليد من سيف الله
Sebaik-baiknya hamba Allah adalahKhalid bin al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah.[5]


D. Lafaz-lafaz Yang Dipergunakan dalam Al- Jarh Wa Al-Tadil
Lafaz-lafaz yang digunakan untuk mentajrih dan menta’dil rawi itu bertingkat-tingkat.[6] Dalam menentukan jumlah peringkat yang berlaku pada al-jarh wa al-ta’dil, ulama kritik berlainan usulan. Ibn Abi yatim ar-Raji (w. 327 H) menyatakan ada empat peringkat untuk al-jarh dan untuk al-ta’dil. Al-wahabi (w. 718 H), al-Iraqi (w. 806 H), dan Faid al-Harawi (w. 837 H) memutuskan lima peringkat. Ibnu hajar al-Asqalani (w. 852 H) yang disetujui oleh Jalal ad-Din as-Suyuti (w. 911 H) menetapkan enam peringkat untuk al-jarh wa al-ta’dil tersebut.[7] 

Dari ketiga pendapat mengenai peringkat-peringkat lafaz al-jarh wa al-ta’dil di atas, peringkat yang dikemukan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani yang banyak diikui oleh ulma berikutnya, sebab klasifikasi yang dikemukakan tersebut lebih jelas. Selanjutnya akan diterangkan peringkat-peringkat lafaz Al- Jarh Wa Al-Tadil tersebut.

Adapun peringkat lafaz ta’dil :

1. Kata-kata yang memperlihatkan intensitas maksimal (mubalaghah), Al-Tadil dengan bentuk af’al at-ta’dil dan sejenisnya.

contohnya :
اوثق الناس, اضبط الناس
2. Kata-kata yang memperlihatkan sifat adil, dengan kata yang menyiratkan kedhabitan, contohnya :
ثبت متقن

3. Kata- kata yang memberikan kesiqatannya. Contohanya :
فلان لايسأل عنه


4. Kata-kata yang mengukuhkan kualitas siqat dengan salah satu sifat diantara sekian sifat adil dan siqat, baik kata yang sama atau kata yang berarti, contohnya : 

ثقة مأ مون

5. Kata-kata yang menunjukkan sifat adil, tetapi menggunakan kata yang tidak menyiratkan kedhabitan, contohnya :
صدوق

6. Kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tajrh, contohnya :

شيخ, ليس ببعيد من الصواب, يلح,صدوق ان شأ الله

Dalam memakai lafaz ta’dil di atas para ulama menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafaz ta’dil di atas. Kemudian untuk peringkat kelima dan keenam yang tidak menawarkan kenabian seorang periwayat hadis, adalah baru mampu diterima jikalau hadisnya ada perawi lain sebagai penguatnya.

Peringkat lafaz tajr : 

1. Kata-kata yang memperlihatkan mubalagh±h dalam hal jar. Contohnya :
اكذب الناس

2. Kata-kata yang memberikan ketertuduhan perawi sebagai pendusta, pemalsu atau sejenisnya, misalnya : كذاب

3. Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi selaku sebagai pendusta, pemalsu ataau yang sejenisnya, misalnya : يسرق الحديث

4. Kata-kata yang memperlihatkan evaluasi ke«a’³fan yang sungguh, misalnya:ضعيف جدا

Bila para perawi terkena atau mempunyai jar¥ dari satu sampai peringkat keempat, maka para ulama tidak menimbulkan hadisnya sebagai hujah. Kemudian kepada perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam pada hadisnya, maka cuma dapat dipergunakan sebagai I’tibar, hal ini sebab tingkat kedha’ifannya yakni ringan. Untuk melihat peringkat-peringkat lafaz al-jar¥ wa al-ta’d³l dari beberapa ulama hadis diatas, maka mampu dilihat pada table berikut :[8]


E. Prosedur Penetapan Al- Jarh Wa Al-Tadil
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ulama hebat Al- Jarh Wa Al-Tadil yang digunakan selaku prosedur penetapan Al- Jarh Wa Al-Tadil, yakni :

Jujur daan tuntas dalam memperlihatkan evaluasi. Mereka akan menyebutkan sifat faktual maupun negative perawi. Sebagai pola perkataan Muhammad ibn Sirin: “Sungguh engkau berbuat zalim kepadamu, kalau engkau hanya menyebutkan kejelekan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikannya”.

Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataan ulama ihwal al-jar¥ wa al-ta’d³l kita mampu menemukan kecermatan mereka dalam meneliti dan kedalaman pengetahuan mereka perihal seluk beluk perawi yang kritik.

Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih. Dari istilah-ungkapan imam-imamAl- Jarh Wa Al-Tadil kita bisa melihat bahwa mereka tidak menyebutkan sebab-sebab ta’dil mereka terhadap perawi. Karena sebab-sebab ta’dil sungguh banyak, sehingga susah bagi seseorang untuk menyebut semuanya. Berbeda dengan al-jarh, yang biasanya mereka menerangkan sebabnya, seperti sering lupa, menerima secara lisan saja, sering salah, kacau hafalannya, tidak besar lengan berkuasa hafalannya, dusta, fasik dan lain-lain. Karena dianggap cukup menyebut atau sebabb untuk mngkritik sifat adilnya atau daya hafalannya. Mayoritas ulama menerapkan prinsip seperti ini. Karena jarh hanya diperbolehkan demi kepentingan membedakan antara yang tsiqah dan yang dha’if.


F. Cara Mengetahui Keadilan Seorang Rawi
Keadilan seorang rawi dapat mengetahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut :

Dengan kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa beliau populer sebagai orang adil. Seperti dikenalnya selaku orang yang adil dikalangan andal ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan dan lain-lain.[9]

Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil dikalangan para jago ilmu, maka mereka tidak butuhlagi untuk diperbincangkan perihal keadilannya. Dengan kebanggaan dari seseorang yang adil (tazkiyah). “Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil, yang semula rawi yang dita’d³lkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilaksanakan oleh:

a. seorang rawi yang adil. Kaprikornus tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Oleh alasannya adalah itu jumlah tersebut tidak menjadi syarat untuk menta’dilkan seorang rawi. Demikian usulan pada umumnya muhaddisin, berlainan dengan usulan para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.

b. Setiap orang yang mampu diterima periwayatannya, baik dia pria maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak selama ia mengenali alasannya-karena yang mampu mengadilkannya.[10]

Selain dari ketetapan keadilan seorang rawi, ketetapan ihwal kecacatannya juga mampu ditempuh dengan 2 jalan :
  • menurut info ihwal kepopuleran seorang rawi dalam ke’aibannya. Seorang rawi yang telah diketahui selaku orang yang fasiq atau pendusta di kelompok penduduk , tidak butuhlagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu selaku jalan untuk menetapkannya kecacatannya.
  • Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui alasannya-sebabnya dia cacat.[11

G. Pertentangan Antara Al- Jarh Wa Al-Tadil
Kadang-kadang pernyataan–pernyataan ihwal tajrih dan ta’dil kepada orang yang serupa bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrihkannya, sedang sebagian lain menta’dilkannya. Jika hal demikian tersebut terjadi maka selaku solusinya ada beberapa pendapat ulama yang mampu dipegang:

Mendahulukan jarh ketimbang ta’dil.

الجرح مقدك على التعديل إذا كان مبينا
Ta’dil didahulukan ketimbang jarh, bila yang menta’dil jauh lebih banyak. Karena banyaknya yang menta’dil mampu mengukuhkan kondisi perawi – perawi yang bersangkutan. Pendapat ini tidak mampu diterima, alasannya adalah menta’dil meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitakan apa yang mampu menggah pernyataan yang mentajrih.


DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ul al-adil. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998.
  • Ash-Shiddieqy, Habsi. Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis. Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997.
  • Dahlan, Abdul Aziz et.al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : Ichtiar Van Hoeve, Jilid III, 1996.
  • Isma’il, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
  • ________________. Kaedah Keshahihan Sanad Hadis. Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta : Bulan Bintang, 1995.
  • Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalah al-Hadis. Bandung : Al-Ma’berakal, 1995.
________________
[1] Ibnu Man§r, Lis±n Al-‘Arab (Beirut : D±r al-Fikr, 1990), Jld. III,h. 422.
[2] Mu¥ammad ‘Ajj±j al-Kha¯ib, U¡l al-¦ad³£ (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), h. 233
[3] Ibid
[4] Abdul Mujur Mu¥ammad Abdul La¯³f, Ilmu Jar¥ Wa Ta’d³l (Kairo : D±r al-Sal±fiyah, 1988),h. 17. Lihat juga Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 134.
[5] Lihat ‘Ajj±j al-Kha¯ib, U¡l al-¦ad³£ , h. 234-235.
[6] Dalam istilah al-jar¥ wa al-ta’d³l tingkatan ini diketahui dengan istilah Mar±tib alf±§ al-jar¥ wa al-ta’d³l.
[7] Jal±l al-D³n ‘Abd Ra¥m±n as-Suy¯³, Ta«r³b ar-R±w³, (Beirut : D±r-al-Fikr, 1993), h. 226-227.
[8] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis ;Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), h,198 dan 202
[9] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadis (Bandung : Al-Ma’arif, 1995), hal. 270.
[10] Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : Ichtiar Van Hoeve, Jilid III, 1996) hal. 805.
[11] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadis, h. 270 – 271.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon