Jumat, 11 Desember 2020

Makalah Observasi Sanad Dan Matan

BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Penelitian Sanad Dan Matan

Hadis ialah sumber hukum Islam yang pertama sehabis Alquran. Dan selain berkedudukan sebagai sumber aturan juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir Quran, oleh sebab itu otentisitas sumber Hadis yaitu hal yang sungguh penting. Untuk mengetahui asli atau tidak nya sumber Hadis tersebut maka kita mesti mengetahui dua bagian yang sungguh penting ialah sanad dan matan. Kedua komponen tersebut mempunyai korelasi fungsional yang mampu menentukan keberadaan dan kualitas sebuah Hadis.

Sehingga sungguh masuk akal manakala para muhadditsin sangat besar perhatiannya untuk melakukan penelitian, evaluasi dan penelusuran Hadis dengan tujuan untuk mengetahui mutu Hadis yang terdapat dalam rangkaian sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Hal itu dijalankan oleh Muhadditsin sebab mungkin dia menyadari bahwa perawi Hadis adalah manusia sehingga dalam dirinya terdapat kekurangan dan kelemahan serta kesalahan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka makalah ini mencoba untuk memaparkan bagaimana melaksanakan penelitian kepada sanad dan matan Hadis, yang apalagi dahulu kita memahami pengertian, tujuan dan manfaat observasi sanad dan matan Hadis.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Penelitian Sanad Dan Matan

A. Pengertian dan Sejarah Penelitian Sanad dan Matan
Kata observasi (kritik) dalam ilmu hadis sering dinisbatan pada acara penelitian hadis yang disebut dengan al Naqd (ا لنـقـد ) yang secara etimologi yakni bentuk masdar dari ( نقـد ينقـد ) yang mempunyai arti mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang bagus dari yang jelek.[1] Kata al Naqd itu juga memiliki arti “kritik” mirip dalam literatur Arab didapatkan kalimat Naqd al kalam wa naqd al syi’r yang memiliki arti “ mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari kalimat dan puisi[2] atau Naqd al darahim yang berarti : تمييزالدراهم واخراج الزيف منها (memisahkan duit yang orisinil dari yang imitasi ).

Di dalam ilmu Hadis, al Naqd berarti :
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا

“Memisahkan Hadis-Hadis yang shahih dari dha’if, dan memutuskan para perawinya yang tsiqat dan yang jarh (cacat) “[3]

Jika kita telusuri dalam Alquran dan Hadis maka kita tidak memperoleh kata al Naqd dipakai dalam arti kritik, namun Quran dalam maksud tersebut memakai kata yamiz yang memiliki arti memisahkan yang buruk dari yang bagus[4]

Obyek kajian dalam kritik atau penelitian Hadis adalah : Pertama, pembahasan ihwal para perawi yang menyampaikan riwayat Hadis atau yang lebih dikenal dengan sebutan sanad, yang secara etimologi mengandung kesamaan arti dengan kata thariq yaitu jalan atau sandaran sedangkan menurut terminologi, sanad ialah jalannya matan, ialah silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.[5]Maka pemahaman kritik sanad yaitu observasi, penilaian, dan pencarian sanad Hadis tentang individu perawi dan proses penerimaan Hadis dari guru mereka dengan berupaya mendapatkan kesalahan dalam rangkaian sanag guna memperoleh kebenaran adalah mutu Hadis.

Kedua, pembahasan materi atau matan Hadis itu sendiri. Yang secara etimologi memiliki arti sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari tanah[6]. Sedangkan secara terminologi, matan memiliki arti sesuatu yang rampung padanya (terletak sesudah) sanad, ialah berbentukperkataan[7].Sehingga kritik matan ialah kajian dan pengujian atas keabsahan bahan atau isi hadis.

Apabila kritik diartikan cuma untuk membedakan yang benar dari yang salah maka mampu dibilang bahwa kritik Hadis sudah dimulai sejak pada periode Nabi Muhammad, namun pada tahap ini , arti kritik tidak lebih dari menemui Nabi saw dan menganalisa kebenaran dari riwayat (kabarnya) berasal dari dia. Dan pada tahap ini juga, aktivitas kritik Hadis tersebut bahu-membahu hanyalah ialah konfirmasi dan sebuah proses konsolidasi supaya hati menjadi tentram dan mantap[8] Oleh sebab itu aktivitas kritik hadis pada periode nabi sangat simple dan gampang, karena keputusan wacana otentisitas suatu hadis ditangan nabi sendiri.

Lain halnya dengan era sehabis nabi wafat maka kritik Hadis tidak dapat dijalankan dengan menanyakan kembali terhadap nabi melainkan dengan menanyakan terhadap orang atau teman yang ikut mendengar atau melihat bahwa Hadis itu dari nabi mirip : Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Yhalib, Aisyah dan Abdullah Ibn Umar.

Pada abad Sahabat, kegiatan kritik Hadis dikerjakan oleh Abu Bakar al shidiq. Seperti yang dibilang oleh Al Dzahabi bahwa “ Abu Bakar yakni orang pertama yang berhati-hati dalam menerima riwayat hadis” dan juga yang dikatakan oleh Al Hakim bahwa “ Abu Bakar adalah orang pertama yang membersihkan kebohongan dari Rasul SAW”.

Sikap dan langkah-langkah kehati-hatian Abu Bakar telah pertanda begitu pentingnya kritik dan observasi Hadis. Diantara wujud penerapannya adalah dengan melakukan perbandingan di antara beberapa riwayat yang yang ada mirip misalnya :

“Pengalaman Abu Bakar tatkala mengahadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu saat ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar yang meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa kami tidak melihat isyarat al Quran dan praktik nabi yang menunjukkan bab harta waris kepada nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada para sobat, al Mughirah Ibn Syu’bah menyatakan terhadap Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bab harta waris terhadap nenek sebesar seperenam bagian. Al Mughirah mengaku hadir pada waktu Nabi menetapkan kewarisan nenek tersebut. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al Mughirah menghadirkan saksi perihal riwayat yang serupa dari rasul SAW, maka Muhammad Ibn Maslamah memperlihatkan kesaksian atas kebenaran pernyataan al Mughirah dan hasilnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memperlihatkan seperenam bab berdasarkan hadis nabi yang disampaikan oleh al Mughirah”

Setelah kurun Abu Bakar, maka Umar bin Khattab melanjutkan upaya yang dirintis pendahulunya dengan membakukan kaidah-kaidah dasar dalam melaksanakan kritik dan penelitian Hadis. Ibn Khibban menyatakan bahwa bahu-membahu Umar dan Ali yaitu teman yang pertama membahas tentang para perawi Hadis dan melakukan penelitian wacana periwayatan Hadis, yang acara tersebut lalu dilanjutkan para ulama setelah mereka.

Demikian pula Aisyah, Abdullan ibn Umar Abu ayyub al Anshari serta teman yang lain juga melaksanakan kritik Hadis, terutama ketika mendapatkan riwayat dari sesama sobat, seperti yang dilakukan Abu Ayyub al Anshari dengan melaksanakan perjalanan ke Mesir cuma dalam rangka mencocokkan suatu Hadis yang berasal dari ‘Uqbah ibn Amir.

Seiring dengan perluasan daerah Islam, Hadis pun mulai tersebar luas ke kawasan-tempat di luar Madinah sehingga mendorong lahirnya pengkajian dan observasi Hadis seperti di Madinah dan Irak. Kegiatan itu pasca teman dilanjutkan para tabi’in yang berfokus pada kedua daerah tersebut.[9]

Menurut Ibn Khibban yang dikutip oleh M.M.Azamai[10]bahwa sehabis Umar dan Ali di Madinah pada abad pertama Hijrah timbul tabi’in kritikus Hadis antara lain : Ibn al Musayyab (w.93H), al Qasim bin Muhammad bin Umar (W.106H), Salim bin Abdullah bin Umar (w.106H), Ali bin Husain bin Ali (w.93H), Abu Sulamah bin Uthbah , Kharidjah bin Zaid bin Tsabit (w.100H), Urwah bin az Zubair (w.94H), Abu Bakar bin Abdurrahman bin al Harist (w.94H) dan Sulaiman bin Yasir (w.100 H). Setelah mereka muncul murid-muridnya di Madinah pada masa kedua yaitu tiga ulama kritikus hadis adalah : az Zuhri, Yahya bin Said dan Hisyam bin Urwah.

Sedangkan di Irak, yang terkemuka antara lain yaitu : Said bin Jubair, asy sya’bi, thawus, Hasan al Bashri (w.110H) dan ibn Sirrin (w.110H), sehabis itu timbul Ayyub as Sakhtiyani dan ibn ‘Aun.

Setelah berakhirnya periode Tabi’in, maka kegiatan kritik dan observasi Hadis memasuki era perluasan dan perkembangannya ke berbagai daerah yang tidak terbatas. Sehubungan dengan itu muncul beberapa ulama kritik Hadis, antara lain : Sufyan ats Tsuri dari Kuffah (97-161H), Malik bin Anas dari Madinah (93-179H), Syu’bah dari Wasith (83-100H), al Auza’I dari Beirut (88-158H), hamad bin salamah dari Bashrah(w.167H), Al laits bin Sa’ad dari Mesir (w.175H), Ibn Uyaianah dari Mekah (107-198H), Abdullah bin al Mubarak dari marw(118-181H), Yahya bin Sa’id al Qathan dari Basrah (w.192H), Waki’ bin al Jarrah dari Kuffah (w.196H), Abdurrahman bin Mahdi dari Basrah (w.198H) dan Asy Syafi’I dari Mesir (w.204H).

Ulama-ulama tersebut di atas pada gilirannya melahirkan banyak ulama mashur di bidang kritik Hadis, antara lain : Yahya bin Ma’in dari Baghdad (w.233H), Ali bin al Madini dari Basrah (w.234H), Ibn Hanbal dari Baghdad (w.241H), Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Wasith (w.235H), Ishak bin Rahawaih dari Marw (w.238H) dan lain-lain. Murid-murid dari mereka itu yang tersohor yakni antara lain : Adz Dzuhali, Ad Darimi, Al Bukhari, Abu Zur’ah ar Razi, Abu Hatim ar Razi, Muslim bin al Hajjaj an Nisaburi dan Ahmad bin Syu’malu.


B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sanad dan Matan
Tujuan pokok dari penelitian sanad dan matan Hadis ialah untuk mengenali mutu sebuah Hadis, karena hal tersebut sungguh fungsional bekerjasama dengan kehujjahan Hadis. Suatu Hadis mampu dijadikan hujjah (dalil) dalam menetapkan hukum jika Hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat diterimanya (maqbul) suatu Hadis.[11]Adapun Hadis yang perlu diteliti adalah Hadis yang berkategori minggu, yaitu yang tidak sampai terhadap derajat mutawatir, alasannya Hadis klasifikasi tersebut berstatus Zhanni al Wurud.[12]

Sedangkan kepada Hadis mutawatir, para ulama tidak menganggap perlu untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut, alasannya Hadis kategori tersebut telah menghasilkan kepercayaan yang pasti bahwa Hadis tersebut berasal dari Nabi SAW, meski demikian tidaklah mempunyai arti bahwa terhadap Hadis mutawatir tidak mampu dilaksanakan penelitian lagi. Jika hal itu dilaksanakan hanya bertujuan untuk pertanda bahwa benar Hadis tersebut berstatus mutawatir, bukan untuk mengenali kualitas sanad dan matan nya sebagaimana yang dilakukan kepada Hadis minggu.

C.Faktor-faktor yang Mendorong Penelitian Sanad dan Matan
Adapun aspek-aspek yang mendorong perlunya observasi sanad dan matan diantaranya yaitu[13]:

1.Kedudukan Hadis selaku salah satu sumber pemikiran Islam
Diterimanya Hadis sebagai salah satu sumber fatwa Islam merupakan keniscayaan, sebab begitu luas ruang lingkup Quran di satu sisi dan keterbatasan insan insan dalam mengetahui Quran di sisi lainnya. Maka kepada hal ini Nabi Muhammad SAW bertugas menjelaskan secara rinci dan juga menerima legitimasi dari Allah dan umat pengikutnya berkewajiban mengikutinya. Ayat Alquran yang berhubungan dengan perintah tersebut antara lain :

a.Q.S. al Hasyr ayat 7
… apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah terhadap Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

b. Q.S. al Imran ayat 32
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; kalau kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah  tidak menggemari orang-orang kafir".

2. Tidak seluruh Hdis ditulis pada kurun nabi SAW
Bahwa Hadis nabi lebih sedikit yang ditulis dibanding dengan yang diriwayatkan secara hafalan di golongan para sobat dan itu pun belum menerima pengujian (cek ulang) di hadapan Nabi SAW, sehingga Hadis Nabi, baik yang sudah maupun yang belum di tuliskan pada kala Nabi SAW perlu di kerjakan penelitian lebih lanjut terhadap para perawi dan periwayatannya sehingga tingkat validitasnya sebuah riwayat mampu dibuktikan.

3. Munculnya Pemalsuan Hadis
Berbagai aspek yang mendorong pemalsuan Hadis menimbulkan banyak bermunculan Hadis-hadis imitasi, jadinya umat Islam mengalami kesusahan untuk mengenali Hadis yang betul-betul mampu dipertanggungjawabkan dan yang orisinil berasal dari Nabi SAW. Oleh alasannya adalah itu mendorong aktivitas observasi Hadis semakin penting.

Dalam kaitan ini, ulama Hadis bersusah payah dan dengan kesungguhan menyelamatkan Hadis-hadis Nabi SAW, yakni berupa penyusunan beberapa kaidah dan ilmu Hadis secara ilmiah untuk mampu di pergunakan observasi Hadis. Sehingga sanad Hadis menjadi sanngat penting, begitu juga dengan observasi kepada eksklusif para perawi yang telah menemukan suatu Hadis ialah bagian terpokok dalam penelitian Hadis. Oleh Karena itu aktivitas penting yang dikerjakan para ulama Hadis, selain penghimpunan Hadis adalah juga pengkajian sejarah para perawi Hadis itu sendiri.

4. Lamanya Masa Pengkodifikasian Hadis
Pengkodifikasian Hadis secara resmi gres dilakukan pada periode pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (99-101 H). Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az Zuhri yakni satu diantara ulama yang sukses melakukan perintah khalifah Umar ibn Abd Aziz dalam penghimpunan Hadis, dan hasil karyanya tersebut berikutnya di kirim oleh Khalifah ke aneka macam daerah untuk dijadikan materi penghimpunan Hadis berikutnya. Jarak waktu antara masa penghimpunan Hadis dengan kala Nabi SAW yang cukup usang, menjadikan Hadis-hadis yang terhimpun dalam banyak sekali kitab menuntut observasi yang seksama dari Hadis yang tidak mampu dipertanggung jawabkan ke shahihan nya.

5. Beragamnya Metode Penyusunan Kitab-Kitab Hadis
Tidak seragamnya sistem dan sistimatika penyusunan kitab-kitab Hadis pada masa penghimpunan , maka para ulama Hadis menganggap dan membuat kreteria tentang peringkat mutu kitab-kitab Hadis, seperti : al Kutub al Khamsah, al Khutub al Sittah dan al Kutub al Sab’ah, adalah berbentukkita-kitab Hadis yang patokan. Kreteria yang tidak seragam tersebut selanjutnya akan menghasilkan kualitas Hadis-hadisnya tidak selalu sama. Oleh alasannya adalah itu untuk mengetahui kesahihan sebuah Hadis yang termuat dalam kitab-kitab tersebut maka dibutuhkan adanya observasi. Kegiatan observasi tersebut akan mampu memilih mutu para periwayat yang termuat dalam aneka macam sanad, apakah menyanggupi syarat atau tidak.

6. Adanya Periwayatan Hadis Secara makna
sebagian teman ada yang mengijinkan periwayatan Hadis secara makna, seperti Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn Malik, Abu Hurairah dan Aisyah serta sahabat lainnya secara ketat melarang periwayatan hadis secara makna, seperti : Umar ibn al Khattab, Abdullah ibn Umar dan Zaid ibn Arqam.

Kalangan sehabis sobat terdapat juga para ulama yang membolehkan periwayatan Hadis secara makna, namun dengan syarat-syarat tertentu, seperti perawi yang bersangkutan mesti mempunyai wawasan yang mendalam tentanng bahasa Arab, Hadis yang diriwayatkan bukan bacaan yang bersifat ta’abbudi seperti bacaan shalat dan periwayatan secara makna mengindikasikan bahwa Hadis tersebut mempunyai matan tertentu dari Rasul SAW. Sementra itu untuk mengenali kandungan petunjuk dari sebuah Hadis, terutama Hadis Qauli, apalagi dulu harus mengenali redaksi Hadis yang bersangkutan. Sehingga sungguh perlu dikerjakan observasi Hadis.


E. Bagian-Bagian Yang Harus Diteliti : Sanad dan Matan
Adapun yang menjadi obyek observasi Hadis adalah sanad Hadis dan matan Hadis ;

E.1.Sanad Hadis
Keadaan dan mutu sanad merupakan hal yang pertama sekali diperhatikan dan dikaji oleh para ulama Hadis, utamanya yang menyangkut nama-nama perawi yang terlibat dalam periwayatan Hadis dan lambang-lambang periwayatan Hadis yang sudah dipakai oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan Hadis, mirip : sami’tu, akhbarani, ‘an dan ‘anna. Oleh alasannya itu kalau sanad sebuah Hadis tidak mempunyai kreteria yang sudah ditentukan mirip tidak adil maka riwayat tersebut pribadi ditolak dan berikutnya observasi kepada matan Hadis tidak diharapkan lagi, karena salah satu prinsip yag dipedomani oleh para ulama Hadis adalah bahwa suatu Hadis tidak akan diterima meskipun matan nya kelihatan shahih kecuali disampaikan oleh orang-orang yang adil akan namun kalau sanad nya sudah menyanggupi tolok ukur ke shahih an, maka barulah aktivitas observasi dilanjutkan kepada matan Hadis itu sendiri. Prinsip ulama Hadis itu ialah :

“ Ke shahih an sanad tidak mewajibkan ke shahih an matan suatu hadis “

Agar suatu sanad dapat dinyatakan shahih dan diterima maka harus mempunyai syarat-syarat seperti : bersambung ( muttashil), adil dan dhabit. Apabila syarat-syarat tersebut telah tercukupi oleh suatu sanad maka sanad tersebut secara lahir telah dapat dinyatakan shahih. Akan namun para ulama hadis menyertakan lagi dua syarat lain guna memperkuat status ke shahih an, adalah bahwa sanad tersebut tidak syadz dan tidak ber ‘illat.[14]

1.Kebersambungan Sanad (Ittishal al Sanad)
Yang dimaksud sanad bersambung adalah bahwa masing-masing perawi yang terdapat dalam rangkaian sanad tersebut mendapatkan Hadis secara eksklusif dari perawi sebelumnya, dan selanjutnya ia menyampaikan kepada perawi yang dating sesudahnya. Hal tersebut mesti berlangsung dan mampu dibuktikan dari semenjak perawi pertama - generasi sobat yang menerima hadis tersebut eksklusif dari Rasul Allah SAW ,- samapai terhadap perawi terakhir – yang mencatat dan membukukan hadis itu, mirip Bukhari dan lain-lain. Demikian pula, bahwa di dalam sanad tidak ada perawi yang gugur (munqathi’), tersembunyi (mastur), tidak diketahui (majhul) ataupun samara-samar (mubham). Selain itu, anatara satu perawi dengan perawi yang lain harus dapat dibuktikan bahwa mereka yaitu semasa (al mu’asharah) dan telah terjadi pertemuan pribadi diantara mereka (al liqa’).

Dalam hal penelitian tentang kebersambungan sanad, maka ada dua hal yang mesti dikaji oleh peneliti Hadis yaitu : sejarah hidup masing-masing perawi dan sighat al tahammul wa al ‘addad. Dalam hal meneliti sejarah hidup perawi, langkah yang dilakukan adalah pencatatan nama-nama seluruh perawi yang terdapat pada sanad, yang berikutnya dituliskan dalam bentuk rangking yang saling berhubungan sehingga mampu digambarkan peringkat masing-masing perawi mirip ; sobat, tabi’in, tabi’i al tabi’in dan seterusnya. Dan langkah berikutnya barulah diteliti riwayat hidup masing-masing perawi dengan mengamati relasi satu perawi dengan perawi lainnya adalah abad hidupnya, tempat lahir dan daerah-tempat yang pernah dikunjunginya, sumber Hadis yang diterimanya dan muridnya ialah yang meriwayatkan Hadis, dan selanjutnya meneliti lambang-lambang periwayatan Hadis yang sudah digunakan masing-masing perawi.

2.Keadilan Perawi
Yang dimaksud dengan sifat ‘adil disini yakni sebuah sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk senantiasa memelihara ketakwaan, muru’ah (moralitas), sehingga menghasilkan jiwa yang yakin dengan kebenarannya yang ditandai dengan perilaku menjahui dosa-dosa besar dan dari sejumlah dosa kecil. Adapun untuk mengenali keadilan seorang perawi Hadis, dapat dikerjakan dengan cara :
  • Melalui pemeberitahuan para kritikus Hadis atau dalam istilah ibn Shalah dan al Nawawi yaitu melalui pernyataan dua orang mu’addil.
  • Melalui popularitas yang dimiliki seorang perawi bahwa dia yaitu seorang adil, sepertio Malik ibn Abbas atau Sufyan al Tsuri
  • Apabila terdapat banyak sekali pendapat para ulama mengenai status keadilan seorang perawi, seperti ada yang menyatakan adil dan ada juga yang menyatakan jarh maka masalah ini harus teratasi dengan mempedomani kaidah dalam ‘Ilm al jarh wa al Ta’dl sehingga mampu ditarik kesimpulan mengenai keadilannya.

3. Ke dhabit an Perawi
Al dhabit atau ke dhabit an seorang perawi dalam terminologi ulama Hadis yaitu ingatan (kesadaran) seorang perawi hadis sejak ia mendapatkan Hadis, menempel (setia) nya apa yang dihafalnya di dalam ingatannya dan pemeliharaan goresan pena (kitab) nya dari segala jenis pergantian hingga ia menyampaikan (meriwayatkan) Hadis tersebut. Untuk mengenali ke dhabit an seorang perawi Hadis mampu dijalankan lewat cara-cara berikut: 
  • Berdasarkan kesaksian atau legalisasi ulama yang sezaman dengannya.
  • Berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikan dengan riwayat dengan riwayat para perawi lain yang tsiqat atau yang sudah diketahui ke dhabit annya.
  • Apabila ia sekali-kali mengalami kekeliruan, hal tersebut tidaklah menghancurkan ke dhabit annya, tetapi kalau sering maka dia tidak lagi disebut sebagai seorang yang dhabit dan riwayatnya tidak dapat dijadikan sebagi hujjah.[15]
Tingkat ke dhabit an yang dimiliki oleh para perawi tidaklah sama, hal ini disebabkan oleh perbedaan kesetiaan daya ingat dan kesanggupan pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing perawi Setelah dijalankan langkah-langkah observasi diatas dan diperoleh kesimpulan bahwa sanad sebuah Hadis ialah shahih, maka langkah observasi selanjunya ialah observasi kepada matan Hadis yang bersangkutan.

E.2. Matan Hadis
Suatu matan Hadis yang sampai ke tangan kita sangat berhubungan dengan sanad nya, sementara kondisi sanad itu sendiri memerlukan penelitian secara cermat. Oleh alasannya itu observasi kepada matan juga diharapkan, alasannya adalah tidak hanya adanya keterkaitan dengan sanad, namun karena adanya periwayatan Hadis secara makna.

Penelitian matan, pada dasarnya mampu dilaksanakan dengan pendekatan semantik dan dari segi kandungan Hadis.[16]Bahwa observasi matan dengan pendekatan semantik tidak mudah untuk kita kerjakan, alasannya matan Hadis yang sampai ke tangan mukharrij nya masing-masing sudah lewat sejumlah perawi yang berbeda generasi dan latar belakang budaya serta kecerdasan, sehingga selanjunya yakni mengakibatkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pengertian sebuah kata ataupun ungkapan. Meskipun demikian, pendekatan bahasa juga sungguh dibutuhkan, alasannya adalah bahasa Arab lah yang digunakan oleh Nabi SAW dalam menyampaikan berbagai Hadis selalu dalam susunan yang bagus dan benar.

Dan dari sisi kandungan Hadis memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok pedoman Islam. Oleh risikonya ke shahih an matan Hadis mampu di lihat dari segi rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok fatwa Islam disamping dari segi bahasa. Namun kebanyakan, dalam observasi (kritik matan) dilakukan perbandingan-perbandingan, seperti : memperbandingkan antara Hadis dengan Alquran, Hadis dengan Hadis dan sebagainya.[17]

Perbandingan antara Hadis dengan Alquran
Dalam hal ini yang diteliti ialah kesesuaian antara matan Hadis dengan Quran. Apabila matan suatu Hadis berlawanan dengan ayat Alquran dan keduanya mustahil dikompromikan, dan tidak mampu pula dikenali kronologi hadirnya, seperti, mana yang datang duluan dan mana yang lalu sehingga dapat dijadikan dasar dalam penetapan nash, serta keduanya juga tidak mengandung takwil, maka Hadis tersebut tidak mampu diterima dan dinyatakan selaku Hadis dhaif.[18] Hadis-hadis yang berkemungkinan mengandung kontradiksi dengan Quran mencakup bidang-bidang ketuhanan, kenabian, tafsir, pembalasan amal perbuatan manusia dan problem-persoalan ke akhiratan. Contoh Hadis tersebut adalah yang diriwayatkan Abu Dawud dari Shalih:


و لد الزنا شر الثلا ثة “ Anak zina yakni salah satu dari tiga kejelekan “
Hadis tersebut ditolak karena alasannya kandungan hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT dalam al Alquran surat al An’am ayat 164 :

“ Seorang yang menciptakan dosa kemudharatannya tidak lain hanyalah kembali kepadadirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain “

Sehingga para ulama hadis setuju menyatakan bahwa hadis Abu Hurairah diatas yaitu tidak shahih. Perbandingan Beberapa Riwayat Tentang Suatu Hadis, Yaitu Perbandingan Suatu Riwayat dengan Riwayat Lain. Caranya yakni dengan membandingkan antara beberapa riwayat yang berlainan perihal sebuah Hadis. Dengan cara ini seorang kritikus akan dapat mengenali beberapa hal, ialah :

1. Adanya idraj, adalah lafadz Hadis yang bukan berasal dari Nabi SAW, yang disisipkan oleh salah satu dari perawinya, baik perawi yang berasal dari kalangan sobat atau yang yang lain
2. Adanya idhthirab, yaitu pertentangan antara dua riwayat yang sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan untuk dikerjakan tarjih tehadap salah satunya.
3. Adanya al Qalb, yakni pemutarbalikan matan Hadis, hal ini terjadi sebab tidak dhabit nya salah seorang perawi dalam hal matan Hadis. Sehingga ia mendahulukan atau mengakhirkan lafadz yang semestinya tidak demikian atau ada pengubahan (tashif dan tahrif) yang menghancurkan matan Hadis.
4. Adanya penambahan lafazh dalam sebagian riwayat atau disebut dengan ziyadah al tsiqat.[19]

Perbandingan Matan Hadis denngan Hadis Yang yang lain
Para ulama Hadis telah setuju bahwa tidak diterimanya sebuah Hadis yang bertentangan dengan Hadis yang sudah memiliki status yang tetap dan terang (al Sharihah al Tsabithah), bahwa sabda Nabi SAW tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, oleh karena itu apabila didapatkan kontradiksi antara satu sabda Nabi SAW dengan sabda dia yang lain maka dalam hal ini niscaya terjadi suatu kekeliruan dalam penukilannya atau kurang sempurnanya para perawi dalam meriwayatkan sabda atau tindakan Nabi tersebut, atau alasannya periwayatan dengan makna yang jauh menyimpang dari teks aslinya atau sebab perawi merafa’ kan (menyandarkan terhadap Nabi SAW) sesuatu yang bukan ialah sabda Nabi SAW.

Untuk menanggulangi (menolak ) riwayat seperti tersebut diatas maka apalagi dahulu terpenuhi dua syarat berikut[20] :

1. Apabila kedua Hadis tersebut dapat dikompromikan tanpa adanya kesan pemaksaan maka keduanya dapat dijadikan hujjah. Apabila tidak mampu dikompromikan maka mesti dijalankan tarjih, dengan memilih mana Hadis yang besar lengan berkuasa (marjuh) dan mana yang lemah (rajih).
2. Melihat salah satu Hadis yang sifat periwayatannya mutawatir, kalau telah terperinci status Hadis tersebut maka dapat dijadikan sebagai sandaran dibandingkan Hadis yang status periwayatannya kurang terang.

Perbandingan Matan Hadis Dengan Berbagai Peristiwa Yang Dapat Diterima Akal Sehat, Panca Indera atau Berbagai Peristiwa Sejarah

Apabila matan Hadis berlawanan dengan nalar sehat, pengamatan panca indera dan berbagai fakta sejarah yang kejadiannya tidak terperinci maka matan Hadis tersebut tidak mampu dijadikan hujjah. Contoh hadis yang berlawanan dengan nalar sehat, dirawikan ialah :

عن ابي هر يرة قالي قال رسول الله لا يد خل الفقر بيتا فيه اسمى :

Contoh Hadis yang bertentangan dengan pengamatan panca indera, dirawikan at Tirmidz ialah :

عن ابن عباس ان رسول الله قال الحجر السود من الجنة وهوا اشد بياصا من اللبن فسودته خطايا بنى ادم

Contoh Hadis yang berlawanan dengan fakta sejarah, dirawikan al Hakim yakni :

عن على رضى الله عنه قال عبدت ا لله مع رسول الله سبع سنين قبل ان يعبده احد من هذه الامة

Para ulama Hadis sepakat menolak matan Hadis tersebut alasannya bertentangan dengan fakta sejarah sebagaimana yang dinyatakan oleh ad Dzahabi, bahwa sehabis Nabi SAW mendapatkan wahyu kemudian dia eksklusif menyampaikannya kepada Khadijah, Abu Bakar, Zaid ibn Haritsah dan juga Ali. Oleh Karena itu mereka seluruhnya masuk Islam dalam waktu yang nyaris berdekatan, tidak hanya seorang Ali sendiri saja yang mendapatkannya pada waktu itu.


DAFTAR PUSTAKA
  • ‘Azami, M.M. Manhaj al Naql ‘inda al Muhadditsin : Nasy’atuhu wa Tarikhutuhu. Riyadh:Maktabat al Kautsar, cet.III,1990
  • ---------Memahami Ilmu Hadis : Telaah Metodologi dan Literatur Hadis (terj) Studies in Hadith Methodology and Literature. Jakarta :Lentera, cet.III., 2003.
  • Bustamin dan M.Isa H.A.Salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet.I, 2004.
  • Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta:Bulan Bintang,1992.
  • ---------, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta :Bulan Bintang,cet.III,1995.
  • Khatib, Ajjaj. Ushul al Hadist (terj) oleh Qadirun Nur dan Akhmad Musyafiq. Jakarta Gaya Media Pratama,cet.I 1998
  • Thahan, Mahmud. Ulumul Hadis. Jakarta : Titian Ilahi Press, cet.VII,1997.
  • Yuslem,Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta : Mutiara Sumber Widya, cet.I.2001.
  • .Al Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam. Beirut : Dar al Masyriq,cet.34,1994.

Footnote
----------------------------------
[1] Al Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam ( Beirut : Dar al Masyriq, , 1994), cet 34. h.830.
[2] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, , 2001) cet I. h. 329.
[3] M.M ‘Azami, Manhaj al Naql ‘inda al Muhadditsin : Nasy’atuhu wa Tarikhutuhu (Riyadh : Maktabat al Kautsar, 1990) cet.III, h.5.
[4] QS 3 Ali Imran 179
[5] ‘Ajjaj al khatib, Ushul al Hadist (terj) oleh Qadirun Nur dan Akhmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama,1998), cet I, h.32.
6Mahmud at Thahan, Ulumul Hadis (Jakarta : Titian Ilahi Press, 1997) cet VII,h.140.
[7]Ibid
[8] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h.330.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 329.
[10]M.M.Azami, Memahami Ilmu Hadis : Telaah Metodologi dan Literatur Hadis,terj. Studies in Hadith : Methodology and Literature (Jakarta: Lentera,2003), cet ketiga,h.89-91.
[11] Bustamin dan M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2004),Cet.I,h.7.
[12] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:Bulan Bintang,1992) h.29.
[13] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hads (Jakarta :Bulan Bintang,1995) cet.II, h.85.
[14]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis….h.354.
[15]Ibn as Shalah, Al Suyuti, Ajjaj al Khatib, Al Jawabi dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis……h.362
[16] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis……h. 364.
[17]Ibid. h. 365 – 384.
[18] Musfir ‘Azm Allah al Damini dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis….h.366.
[19] Ad Damini dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis…h. 368.
[20]Ibid
[21] Al Adabi dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis….h.376

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)