Rabu, 16 Desember 2020

Makalah Kritik Sanad Dan Matan

Makalah Penelitian Sanad Dan Matan (Kritik Sanad Dan Matan)

BAB I
PENDAHULUAN

Hadis ialah sumber hukum Islam yang pertama sesudah Quran. Dan selain berkedudukan sebagai sumber hukum juga berfungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir Alquran, oleh sebab itu otentisitas sumber Hadis adalah hal yang sungguh penting. Untuk mengenali sahih atau tidak nya sumber Hadis tersebut maka kita mesti mengetahui dua unsur yang sangat penting adalah sanad dan matan. Kedua komponen tersebut memiliki kekerabatan fungsional yang mampu memilih eksistensi dan kualitas suatu Hadis.

Sehingga sangat masuk akal manakala para muhadditsin sangat besar perhatiannya untuk melaksanakan observasi, evaluasi dan pencarian Hadis dengan tujuan untuk mengenali kualitas Hadis yang terdapat dalam rangkaian sanad dan matan yang diteliti, sehingga Hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Hal itu dikerjakan oleh Muhadditsin karena mungkin beliau menyadari bahwa perawi Hadis ialah manusia sehingga dalam dirinya terdapat keterbatasan dan kelemahan serta kesalahan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka makalah ini menjajal untuk memaparkan bagaimana melakukan penelitian kepada sanad dan matan Hadis, yang terlebih dahulu kita mengerti pemahaman, tujuan dan faedah penelitian sanad dan matan Hadis.


BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Penelitian Sanad Dan Matan (Kritik Sanad Dan Matan)

A. Pengertian dan Sejarah Penelitian Sanad dan Matan
Kata penelitian (kritik) dalam ilmu hadis sering dinisbatan pada acara observasi hadis yang disebut dengan al Naqd (ا لنـقـد ) yang secara etimologi yakni bentuk masdar dari ( نقـد ينقـد ) yang bermakna mayyaza, yakni memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk.[1] Kata al Naqd itu juga memiliki arti “kritik” mirip dalam literatur Arab ditemukan kalimat Naqd al kalam wa naqd al syi’r yang memiliki arti “ mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari kalimat dan puisi[2] atau Naqd al darahim yang memiliki arti : تمييزالدراهم واخراج الزيف منها (memisahkan duit yang asli dari yang imitasi ).

Di dalam ilmu Hadis, al Naqd memiliki arti :
تمييز الاحاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة توثيقا وتجريحا

“Memisahkan Hadis-Hadis yang shahih dari dha’if, dan memutuskan para perawinya yang tsiqat dan yang jarh (cacat) “[3]

Jika kita telusuri dalam Alquran dan Hadis maka kita tidak memperoleh kata al Naqd digunakan dalam arti kritik, tetapi Quran dalam maksud tersebut menggunakan kata yamiz yang berarti memisahkan yang buruk dari yang bagus[4]

Obyek kajian dalam kritik atau penelitian Hadis yaitu : Pertama, pembahasan ihwal para perawi yang menyampaikan riwayat Hadis atau yang lebih diketahui dengan sebutan sanad, yang secara etimologi mengandung kesamaan arti dengan kata thariq yakni jalan atau sandaran sedangkan menurut terminologi, sanad ialah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.[5]Maka pemahaman kritik sanad adalah penelitian, penilaian, dan pencarian sanad Hadis ihwal individu perawi dan proses penerimaan Hadis dari guru mereka dengan berupaya memperoleh kesalahan dalam rangkaian sanag guna menemukan kebenaran adalah mutu Hadis.

Kedua, pembahasan materi atau matan Hadis itu sendiri. Yang secara etimologi mempunyai arti sesuatu yang keras dan tinggi (terangkat) dari tanah[6]. Sedangkan secara terminologi, matan mempunyai arti sesuatu yang berakhir padanya (terletak sehabis) sanad, yakni berbentukperkataan[7].Sehingga kritik matan yaitu kajian dan pengujian atas keabsahan bahan atau isi hadis.

Apabila kritik diartikan hanya untuk membedakan yang benar dari yang salah maka dapat dibilang bahwa kritik Hadis telah dimulai sejak pada abad Nabi Muhammad, namun pada tahap ini , arti kritik tidak lebih dari menemui Nabi saw dan memeriksa kebenaran dari riwayat (kabarnya) berasal dari ia. Dan pada tahap ini juga, acara kritik Hadis tersebut bergotong-royong hanyalah merupakan konfirmasi dan sebuah proses konsolidasi biar hati menjadi tentram dan mantap[8] Oleh sebab itu acara kritik hadis pada kala nabi sangat simple dan gampang, alasannya keputusan wacana otentisitas suatu hadis ditangan nabi sendiri.

Lain halnya dengan kala sehabis nabi wafat maka kritik Hadis tidak dapat dilaksanakan dengan menanyakan kembali terhadap nabi melainkan dengan menanyakan terhadap orang atau sobat yang ikut mendengar atau menyaksikan bahwa Hadis itu dari nabi mirip : Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Yhalib, Aisyah dan Abdullah Ibn Umar.

Pada kurun Sahabat, kegiatan kritik Hadis dilaksanakan oleh Abu Bakar al shidiq. Seperti yang dikatakan oleh Al Dzahabi bahwa “ Abu Bakar yakni orang pertama yang berhati-hati dalam menerima riwayat hadis” dan juga yang dikatakan oleh Al Hakim bahwa “ Abu Bakar yaitu orang pertama yang membersihkan kebohongan dari Rasul SAW”.

Sikap dan langkah-langkah kehati-hatian Abu Bakar sudah pertanda begitu pentingnya kritik dan observasi Hadis. Diantara wujud penerapannya yaitu dengan melakukan perbandingan di antara beberapa riwayat yang yang ada seperti misalnya :

“Pengalaman Abu Bakar tatkala mengahadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu saat ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar yang meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa kami tidak menyaksikan petunjuk al Alquran dan praktik nabi yang memperlihatkan bab harta waris terhadap nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya terhadap para teman, al Mughirah Ibn Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi sudah memberikan bagian harta waris terhadap nenek sebesar seperenam bagian. Al Mughirah mengaku hadir pada waktu Nabi memutuskan kewarisan nenek tersebut. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta biar al Mughirah mendatangkan saksi perihal riwayat yang sama dari rasul SAW, maka Muhammad Ibn Maslamah menawarkan kesaksian atas kebenaran pernyataan al Mughirah dan balasannya Abu Bakar memutuskan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bab berdasarkan hadis nabi yang disampaikan oleh al Mughirah”

Setelah periode Abu Bakar, maka Umar bin Khattab melanjutkan upaya yang dirintis pendahulunya dengan membakukan kaidah-kaidah dasar dalam melakukan kritik dan penelitian Hadis. Ibn Khibban menyatakan bahwa sebetulnya Umar dan Ali ialah sahabat yang pertama membicarakan wacana para perawi Hadis dan melakukan penelitian tentang periwayatan Hadis, yang aktivitas tersebut lalu dilanjutkan para ulama sesudah mereka.

Demikian pula Aisyah, Abdullan ibn Umar Abu ayyub al Anshari serta sobat lainnya juga melaksanakan kritik Hadis, terutama ketika menerima riwayat dari sesama teman, mirip yang dijalankan Abu Ayyub al Anshari dengan melakukan perjalanan ke Mesir cuma dalam rangka mencocokkan suatu Hadis yang berasal dari ‘Uqbah ibn Amir.

Seiring dengan perluasan tempat Islam, Hadis pun mulai tersebar luas ke tempat-daerah di luar Madinah sehingga mendorong lahirnya pengkajian dan observasi Hadis seperti di Madinah dan Irak. Kegiatan itu pasca sobat dilanjutkan para tabi’in yang berkonsentrasi pada kedua tempat tersebut.[9]

Menurut Ibn Khibban yang dikutip oleh M.M.Azamai[10]bahwa sehabis Umar dan Ali di Madinah pada kurun pertama Hijrah muncul tabi’in kritikus Hadis antara lain : Ibn al Musayyab (w.93H), al Qasim bin Muhammad bin Umar (W.106H), Salim bin Abdullah bin Umar (w.106H), Ali bin Husain bin Ali (w.93H), Abu Sulamah bin Uthbah , Kharidjah bin Zaid bin Tsabit (w.100H), Urwah bin az Zubair (w.94H), Abu Bakar bin Abdurrahman bin al Harist (w.94H) dan Sulaiman bin Yasir (w.100 H). Setelah mereka muncul murid-muridnya di Madinah pada abad kedua adalah tiga ulama kritikus hadis adalah : az Zuhri, Yahya bin Said dan Hisyam bin Urwah. Sedangkan di Irak, yang ternama antara lain yaitu : Said bin Jubair, asy sya’bi, thawus, Hasan al Bashri (w.110H) dan ibn Sirrin (w.110H), sehabis itu muncul Ayyub as Sakhtiyani dan ibn ‘Aun.

Setelah berakhirnya kurun Tabi’in, maka aktivitas kritik dan penelitian Hadis memasuki periode perluasan dan perkembangannya ke banyak sekali tempat yang tidak terbatas. Sehubungan dengan itu muncul beberapa ulama kritik Hadis, antara lain : Sufyan ats Tsuri dari Kuffah (97-161H), Malik bin Anas dari Madinah (93-179H), Syu’bah dari Wasith (83-100H), al Auza’I dari Beirut (88-158H), hamad bin salamah dari Bashrah(w.167H), Al laits bin Sa’ad dari Mesir (w.175H), Ibn Uyaianah dari Mekah (107-198H), Abdullah bin al Mubarak dari marw(118-181H), Yahya bin Sa’id al Qathan dari Basrah (w.192H), Waki’ bin al Jarrah dari Kuffah (w.196H), Abdurrahman bin Mahdi dari Basrah (w.198H) dan Asy Syafi’I dari Mesir (w.204H).

Ulama-ulama tersebut di atas pada gilirannya melahirkan banyak ulama mashur di bidang kritik Hadis, antara lain : Yahya bin Ma’in dari Baghdad (w.233H), Ali bin al Madini dari Basrah (w.234H), Ibn Hanbal dari Baghdad (w.241H), Abu Bakar bin Abu Syaibah dari Wasith (w.235H), Ishak bin Rahawaih dari Marw (w.238H) dan lain-lain. Murid-murid dari mereka itu yang tersohor yaitu antara lain : Adz Dzuhali, Ad Darimi, Al Bukhari, Abu Zur’ah ar Razi, Abu Hatim ar Razi, Muslim bin al Hajjaj an Nisaburi dan Ahmad bin Syu’malu.

B.Tujuan dan Manfaat Penelitian Sanad dan Matan
Tujuan pokok dari observasi sanad dan matan Hadis yakni untuk mengenali mutu suatu Hadis, karena hal tersebut sungguh fungsional bekerjasama dengan kehujjahan Hadis. Suatu Hadis mampu dijadikan hujjah (dalil) dalam memutuskan hukum kalau Hadis tersebut telah menyanggupi syarat-syarat diterimanya (maqbul) suatu Hadis.[11]Adapun Hadis yang perlu diteliti ialah Hadis yang berkategori ahad, ialah yang tidak hingga terhadap derajat mutawatir, karena Hadis kategori tersebut berstatus Zhanni al Wurud.[12]

Sedangkan kepada Hadis mutawatir, para ulama tidak menganggap perlu untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut, karena Hadis kategori tersebut sudah menghasilkan dogma yang pasti bahwa Hadis tersebut berasal dari Nabi SAW, meski demikian tidaklah mempunyai arti bahwa kepada Hadis mutawatir tidak dapat dijalankan penelitian lagi. Jika hal itu dikerjakan hanya bermaksud untuk menunjukan bahwa benar Hadis tersebut berstatus mutawatir, bukan untuk mengetahui mutu sanad dan matan nya sebagaimana yang dikerjakan terhadap Hadis ahad.

C.Faktor-aspek yang Mendorong Penelitian Sanad dan Matan
Adapun aspek-aspek yang mendorong perlunya penelitian sanad dan matan diantaranya ialah[13]:

1.Kedudukan Hadis selaku salah satu sumber ajaran Islam
Diterimanya Hadis selaku salah satu sumber anutan Islam merupakan keniscayaan, alasannya adalah begitu luas ruang lingkup Alquran di satu sisi dan kekurangan manusia insan dalam mengetahui Alquran di sisi yang lain. Maka terhadap hal ini Nabi Muhammad SAW bertugas menjelaskan secara rinci dan juga mendapat legitimasi dari Allah dan umat pengikutnya berkewajiban mengikutinya. Ayat Quran yang berkaitan dengan perintah tersebut antara lain :

a.Q.S. al Hasyr ayat 7

… apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah terhadap Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.

b. Q.S. al Imran ayat 32

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".

2. Tidak seluruh Hdis ditulis pada kurun nabi SAW
Bahwa Hadis nabi lebih sedikit yang ditulis dibanding dengan yang diriwayatkan secara hafalan di kelompok para sahabat dan itu pun belum mendapat pengujian (cek ulang) di hadapan Nabi SAW, sehingga Hadis Nabi, baik yang telah maupun yang belum di tuliskan pada abad Nabi SAW perlu di kerjakan penelitian lebih lanjut terhadap para perawi dan periwayatannya sehingga tingkat validitasnya suatu riwayat mampu dibuktikan.

3. Munculnya Pemalsuan Hadis
Berbagai aspek yang mendorong pemalsuan Hadis menjadikan banyak bermunculan Hadis-hadis artifisial, akibatnya umat Islam mengalami kesulitan untuk mengenali Hadis yang betul-betul mampu dipertanggungjawabkan dan yang asli berasal dari Nabi SAW. Oleh alasannya itu mendorong aktivitas penelitian Hadis kian penting.

Dalam kaitan ini, ulama Hadis bersusah payah dan dengan keseriusan menyelamatkan Hadis-hadis Nabi SAW, yakni berbentukpenyusunan beberapa kaidah dan ilmu Hadis secara ilmiah untuk dapat di pergunakan penelitian Hadis. Sehingga sanad Hadis menjadi sanngat penting, begitu juga dengan observasi kepada pribadi para perawi yang telah menemukan sebuah Hadis adalah bab terpokok dalam penelitian Hadis. Oleh Karena itu kegiatan penting yang dilaksanakan para ulama Hadis, selain penghimpunan Hadis yakni juga pengkajian sejarah para perawi Hadis itu sendiri.

4. Lamanya Masa Pengkodifikasian Hadis
Pengkodifikasian Hadis secara resmi gres dilaksanakan pada abad pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (99-101 H). Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az Zuhri yaitu satu diantara ulama yang berhasil melaksanakan perintah khalifah Umar ibn Abd Aziz dalam penghimpunan Hadis, dan hasil karyanya tersebut selanjutnya di kirim oleh Khalifah ke aneka macam daerah untuk dijadikan materi penghimpunan Hadis selanjutnya. Jarak waktu antara kurun penghimpunan Hadis dengan era Nabi SAW yang cukup lama, mengakibatkan Hadis-hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab menuntut penelitian yang seksama dari Hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan ke shahihan nya.

5. Beragamnya Metode Penyusunan Kitab-Kitab Hadis
Tidak seragamnya tata cara dan sistimatika penyusunan kitab-kitab Hadis pada periode penghimpunan , maka para ulama Hadis menilai dan menciptakan kreteria tentang peringkat kualitas kitab-kitab Hadis, mirip : al Kutub al Khamsah, al Khutub al Sittah dan al Kutub al Sab’ah, ialah berupa kita-kitab Hadis yang kriteria. Kreteria yang tidak seragam tersebut berikutnya akan menciptakan mutu Hadis-hadisnya tidak selalu sama. Oleh sebab itu untuk mengenali kesahihan suatu Hadis yang termuat dalam kitab-kitab tersebut maka diharapkan adanya penelitian. Kegiatan observasi tersebut akan mampu memilih mutu para periwayat yang termuat dalam banyak sekali sanad, apakah menyanggupi syarat atau tidak.

6. Adanya Periwayatan Hadis Secara makna
sebagian sobat ada yang membolehkan periwayatan Hadis secara makna, seperti Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn Malik, Abu Hurairah dan Aisyah serta teman lainnya secara ketat melarang periwayatan hadis secara makna, seperti : Umar ibn al Khattab, Abdullah ibn Umar dan Zaid ibn Arqam.

Kalangan sehabis sobat terdapat juga para ulama yang mengizinkan periwayatan Hadis secara makna, namun dengan syarat-syarat tertentu, mirip perawi yang bersangkutan harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentanng bahasa Arab, Hadis yang diriwayatkan bukan bacaan yang bersifat ta’abbudi mirip bacaan shalat dan periwayatan secara makna mengindikasikan bahwa Hadis tersebut mempunyai matan tertentu dari Rasul SAW. Sementra itu untuk mengetahui kandungan petunjuk dari sebuah Hadis, khususnya Hadis Qauli, apalagi dulu harus mengetahui redaksi Hadis yang bersangkutan. Sehingga sungguh perlu dilakukan observasi Hadis.

D. Bagian-Bagian Yang Harus Diteliti : Sanad dan Matan

Adapun yang menjadi obyek observasi Hadis yakni sanad Hadis dan matan Hadis ;

1.Sanad Hadis
Keadaan dan kualitas sanad merupakan hal yang pertama sekali diperhatikan dan dikaji oleh para ulama Hadis, terutama yang menyangkut nama-nama perawi yang terlibat dalam periwayatan Hadis dan lambang-lambang periwayatan Hadis yang sudah dipakai oleh masing-masing perawi dalam meriwayatkan Hadis, mirip : sami’tu, akhbarani, ‘an dan ‘anna. Oleh karena itu jika sanad sebuah Hadis tidak memiliki kreteria yang telah diputuskan mirip tidak adil maka riwayat tersebut eksklusif ditolak dan berikutnya observasi kepada matan Hadis tidak dibutuhkan lagi, alasannya adalah salah satu prinsip yag dipedomani oleh para ulama Hadis yaitu bahwa sebuah Hadis tidak akan diterima meskipun matan nya kelihatan shahih kecuali disampaikan oleh orang-orang yang adil akan namun kalau sanad nya sudah menyanggupi standar ke shahih an, maka barulah kegiatan penelitian dilanjutkan kepada matan Hadis itu sendiri. Prinsip ulama Hadis itu yaitu :

“ Ke shahih an sanad tidak mewajibkan ke shahih an matan sebuah hadis “

Agar suatu sanad dapat dinyatakan shahih dan diterima maka mesti memiliki syarat-syarat mirip : bersambung ( muttashil), adil dan dhabit. Apabila syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi oleh suatu sanad maka sanad tersebut secara lahir telah mampu dinyatakan shahih. Akan namun para ulama hadis menyertakan lagi dua syarat lain guna memperkuat status ke shahih an, ialah bahwa sanad tersebut tidak syadz dan tidak ber ‘illat.[14]

a. Kebersambungan Sanad (Ittishal al Sanad)
Yang dimaksud sanad bersambung ialah bahwa masing-masing perawi yang terdapat dalam rangkaian sanad tersebut menerima Hadis secara eksklusif dari perawi sebelumnya, dan selanjutnya beliau memberikan kepada perawi yang dating sesudahnya. Hal tersebut harus berjalan dan dapat dibuktikan dari semenjak perawi pertama - generasi sahabat yang mendapatkan hadis tersebut langsung dari Rasul Allah SAW ,- samapai kepada perawi terakhir – yang mencatat dan membukukan hadis itu, mirip Bukhari dan lain-lain.

Demikian pula, bahwa di dalam sanad tidak ada perawi yang gugur (munqathi’), tersembunyi (mastur), tidak diketahui (majhul) ataupun samara-samar (mubham). Selain itu, anatara satu perawi dengan perawi lainnya harus dapat dibuktikan bahwa mereka yaitu semasa (al mu’asharah) dan telah terjadi konferensi langsung diantara mereka (al liqa’).

Dalam hal observasi tentang kebersambungan sanad, maka ada dua hal yang harus dikaji oleh peneliti Hadis yaitu : sejarah hidup masing-masing perawi dan sighat al tahammul wa al ‘addad. Dalam hal meneliti sejarah hidup perawi, langkah yang dilaksanakan yakni pencatatan nama-nama seluruh perawi yang terdapat pada sanad, yang berikutnya dituliskan dalam bentuk rangking yang saling berhubungan sehingga dapat digambarkan peringkat masing-masing perawi seperti ; teman, tabi’in, tabi’i al tabi’in dan seterusnya. Dan langkah berikutnya barulah diteliti riwayat hidup masing-masing perawi dengan mengamati hubungan satu perawi dengan perawi yang lain yakni periode hidupnya, tempat lahir dan tempat-kawasan yang pernah dikunjunginya, sumber Hadis yang diterimanya dan muridnya yaitu yang meriwayatkan Hadis, dan selanjutnya meneliti lambang-lambang periwayatan Hadis yang telah dipakai masing-masing perawi.

b. Keadilan Perawi
Yang dimaksud dengan sifat ‘adil disini yakni sebuah sifat yang tertanam di dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk senantiasa memelihara ketakwaan, muru’ah (moralitas), sehingga menghasilkan jiwa yang percaya dengan kebenarannya yang ditandai dengan perilaku menjahui dosa-dosa besar dan dari sejumlah dosa kecil. Adapun untuk mengetahui keadilan seorang perawi Hadis, dapat dilakukan dengan cara :
  • Melalui pemeberitahuan para kritikus Hadis atau dalam ungkapan ibn Shalah dan al Nawawi adalah melalui pernyataan dua orang mu’addil.
  • Melalui popularitas yang dimiliki seorang perawi bahwa dia yaitu seorang adil, sepertio Malik ibn Abbas atau Sufyan al Tsuri
  • Apabila terdapat berbagai pertimbangan para ulama tentang status keadilan seorang perawi, seperti ada yang menyatakan adil dan ada juga yang menyatakan jarh maka masalah ini harus teratasi dengan mempedomani kaidah dalam ‘Ilm al jarh wa al Ta’dl sehingga dapat ditarik kesimpulan perihal keadilannya.
c. Ke dhabit an Perawi
Al dhabit atau ke dhabit an seorang perawi dalam terminologi ulama Hadis yaitu kenangan (kesadaran) seorang perawi hadis sejak ia menerima Hadis, menempel (setia) nya apa yang dihafalnya di dalam ingatannya dan pemeliharaan goresan pena (kitab) nya dari segala macam pergeseran sampai ia memberikan (meriwayatkan) Hadis tersebut. Untuk mengenali ke dhabit an seorang perawi Hadis mampu dilaksanakan lewat cara-cara berikut:
  • Berdasarkan kesaksian atau pengakuan ulama yang sezaman dengannya.
  • Berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikan dengan riwayat dengan riwayat para perawi lain yang tsiqat atau yang sudah diketahui ke dhabit annya.
  • Apabila ia sekali-kali mengalami kekeliruan, hal tersebut tidaklah merusak ke dhabit annya, tetapi jika sering maka beliau tidak lagi disebut selaku seorang yang dhabit dan riwayatnya tidak mampu dijadikan sebagi hujjah.[15]
Tingkat ke dhabit an yang dimiliki oleh para perawi tidaklah sama, hal ini disebabkan oleh perbedaan kesetiaan daya ingat dan kesanggupan pengertian yang dimiliki oleh masing-masing perawi Setelah dijalankan tindakan observasi diatas dan diperoleh kesimpulan bahwa sanad suatu Hadis adalah shahih, maka langkah penelitian selanjunya yaitu penelitian kepada matan Hadis yang bersangkutan.

2. Matan Hadis
Suatu matan Hadis yang sampai ke tangan kita sungguh berhubungan dengan sanad nya, sementara kondisi sanad itu sendiri memerlukan penelitian secara cermat. Oleh karena itu observasi kepada matan juga diharapkan, karena tidak hanya adanya keterkaitan dengan sanad, namun alasannya adanya periwayatan Hadis secara makna.

Penelitian matan, intinya dapat dikerjakan dengan pendekatan semantik dan dari segi kandungan Hadis.[16]Bahwa penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah untuk kita kerjakan, sebab matan Hadis yang hingga ke tangan mukharrij nya masing-masing sudah melalui sejumlah perawi yang berlainan generasi dan latar belakang budaya serta kecerdasan, sehingga selanjunya ialah menimbulkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun ungkapan. Meskipun demikian, pendekatan bahasa juga sangat diharapkan, alasannya bahasa Arab lah yang dipakai oleh Nabi SAW dalam memberikan aneka macam Hadis selalu dalam susunan yang baik dan benar.

Dan dari segi kandungan Hadis memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok fatwa Islam. Oleh akibatnya ke shahih an matan Hadis dapat di lihat dari segi rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok anutan Islam disamping dari segi bahasa. Namun kebanyakan, dalam penelitian (kritik matan) dikerjakan perbandingan-perbandingan, seperti : memperbandingkan antara Hadis dengan Alquran, Hadis dengan Hadis dan sebagainya.[17]

Perbandingan antara Hadis dengan Alquran
Dalam hal ini yang diteliti yakni kesesuaian antara matan Hadis dengan Quran. Apabila matan sebuah Hadis bertentangan dengan ayat Alquran dan keduanya mustahil dikompromikan, dan tidak dapat pula dimengerti kronologi hadirnya, seperti, mana yang tiba duluan dan mana yang lalu sehingga dapat dijadikan dasar dalam penetapan nash, serta keduanya juga tidak mengandung takwil, maka Hadis tersebut tidak mampu diterima dan dinyatakan sebagai Hadis dhaif.[18]

Hadis-hadis yang berkemungkinan mengandung kontradiksi dengan Alquran meliputi bidang-bidang ketuhanan, kenabian, tafsir, pembalasan amal perbuatan insan dan problem-problem ke akhiratan. Contoh Hadis tersebut ialah yang diriwayatkan Abu Dawud dari Shalih:

و لد الزنا شر الثلا ثة “ Anak zina adalah salah satu dari tiga keburukan “

Hadis tersebut ditolak alasannya adalah alasannya kandungan hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT dalam al Quran surat al An’am ayat 164 : “ Seorang yang menciptakan dosa kemudharatannya tidak lain hanyalah kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain “

Sehingga para ulama hadis sepakat menyatakan bahwa hadis Abu Hurairah diatas yaitu tidak shahih. Perbandingan Beberapa Riwayat Tentang Suatu Hadis, Yaitu Perbandingan Suatu Riwayat dengan Riwayat Lain Caranya yaitu dengan membandingkan antara beberapa riwayat yang berlawanan mengenai sebuah Hadis. Dengan cara ini seorang kritikus akan dapat mengenali beberapa hal, yakni :

1. Adanya idraj, adalah lafadz Hadis yang bukan berasal dari Nabi SAW, yang disisipkan oleh salah satu dari perawinya, baik perawi yang berasal dari kelompok sobat atau yang lainnya

2. Adanya idhthirab, ialah kontradiksi antara dua riwayat yang sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan untuk dijalankan tarjih tehadap salah satunya.

3. Adanya al Qalb, yakni pemutarbalikan matan Hadis, hal ini terjadi alasannya adalah tidak dhabit nya salah seorang perawi dalam hal matan Hadis. Sehingga dia mendahulukan atau mengakhirkan lafadz yang semestinya tidak demikian atau ada pengubahan (tashif dan tahrif) yang merusak matan Hadis.

4. Adanya penambahan lafazh dalam sebagian riwayat atau disebut dengan ziyadah al tsiqat.[19]

Perbandingan Matan Hadis denngan Hadis Yang yang lain
Para ulama Hadis sudah sepakat bahwa tidak diterimanya suatu Hadis yang bertentangan dengan Hadis yang telah memiliki status yang tetap dan terang (al Sharihah al Tsabithah), bahwa sabda Nabi SAW tidak berlawanan antara yang satu dengan yang yang lain, oleh alasannya itu bila ditemukan pertentangan antara satu sabda Nabi SAW dengan sabda dia yang lain maka dalam hal ini pasti terjadi suatu kekeliruan dalam penukilannya atau kurang sempurnanya para perawi dalam meriwayatkan sabda atau tindakan Nabi tersebut, atau karena periwayatan dengan makna yang jauh menyimpang dari teks aslinya atau alasannya perawi merafa’ kan (menyandarkan terhadap Nabi SAW) sesuatu yang bukan ialah sabda Nabi SAW. Untuk mengatasi (menolak ) riwayat seperti tersebut diatas maka terlebih dulu terpenuhi dua syarat berikut[20] :

1. Apabila kedua Hadis tersebut dapat dikompromikan tanpa adanya kesan pemaksaan maka keduanya mampu dijadikan hujjah. Apabila tidak mampu dikompromikan maka mesti dijalankan tarjih, dengan memilih mana Hadis yang kuat (marjuh) dan mana yang lemah (rajih).

2. Melihat salah satu Hadis yang sifat periwayatannya mutawatir, apabila sudah jelas status Hadis tersebut maka dapat dijadikan sebagai sandaran dibandingkan Hadis yang status periwayatannya kurang terperinci.

Perbandingan Matan Hadis Dengan Berbagai Peristiwa Yang Dapat Diterima Akal Sehat, Panca Indera atau Berbagai Peristiwa Sejarah

Apabila matan Hadis bertentangan dengan nalar sehat, pengamatan panca indera dan aneka macam fakta sejarah yang kejadiannya tidak terperinci maka matan Hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Contoh hadis yang berlawanan dengan logika sehat, dirawikan yakni :

عن ابي هر يرة قالي قال رسول الله لا يد خل الفقر بيتا فيه اسمى :
Contoh Hadis yang bertentangan dengan pengamatan panca indera, dirawikan at Tirmidz yaitu :

عن ابن عباس ان رسول الله قال الحجر السود من الجنة وهوا اشد بياصا من اللبن فسودته خطايا بنى ادم
Contoh Hadis yang bertentangan dengan fakta sejarah, dirawikan al Hakim adalah :

عن على رضى الله عنه قال عبدت ا لله مع رسول الله سبع سنين قبل ان يعبده احد من هذه الامة

Para ulama Hadis sepakat menolak matan Hadis tersebut karena berlawanan dengan fakta sejarah sebagaimana yang dinyatakan oleh ad Dzahabi, bahwa setelah Nabi SAW menerima wahyu lalu ia eksklusif menyampaikannya kepada Khadijah, Abu Bakar, Zaid ibn Haritsah dan juga Ali. Oleh Karena itu mereka seluruhnya masuk Islam dalam waktu yang hampir berdekatan, tidak cuma seorang Ali sendiri saja yang mendapatkannya pada waktu itu.

Kritik Hadis Yang Tidak Menyerupai Kalam Nabi
Kadang-kadang kita akan dapatkan matan Hadis yang maknanya secara eksplisit tidak berlawanan dengan Alquran, Sunnah Nabi yang sudah berkedudukan tetap, logika, pengamatan panca indera atau fakta sejarah. Namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata matan dan makna Hadis tersebut tidak menyerupai kalam Nabi. Dalam hal ini, para Ulama Hadis sudah memberikan kriteria dalam menentukan bahwa suatu riwayat itu tidak menyerupai kalam Nabi, adalah :

- Riwayat yang menampung spekulasi tinggi yang tidak ada ukuran dan pertimbangannya (mujazafah)
- Riwayat yang memuat susunan kata yang semrawut, tidak sempurna atau tidak beraturan (rakakah)
- Riwayat yang menampung istilah-istilah yang dipergunakan oleh generasi yang dating jauh setelah periode Rasul Allah SAW atau pada masa modern ini.[21]

Kritik Hadis yang Bertentangan Dengan dasar Syari’ah Dan Kaidah yang Telah Tetap (baku)

Matan Hadis yang bertentangan dengan syari’ah dan kaidah yang sudah baku dalam Islam maka statusnya tidak shahih dan dilarang disandarkan terhadap Rasulullah, contohnya matan Hadis :

لا يد خل الجنة ولد زنى ولا وا لده ولا ولد ولده “ Tidak akan masuk surga anak zina, ayahnya, dan cucunya “

Matan Hadis tersebut berlawanan dengan ayat Quran yang menyatakan ihwal seorang tidak berhak menanggung dosa orang lain atau dengan kata lain ada dosa warisan dalam Islam.


Kritik Hadis Yang Mengandung Hal-Hal Yang Munkar Atau Mustahil
Yang dimaksud dengan munkar disini yaitu suatu kalimat atau pernyataan yang tidak mungkin lahir dan berasal dari Nabi SAW atau para Nabi lainnya. Sedangkan hal yang tidak mungkin ialah tidak mungkin pada dzat Allah dan keterkaitannya dengan manusia meski tidak tidak mungkin apabila dikaitkan dengan kekuasaan Allah. Contoh riwayat tersebut yaitu :

قيل يا رسول الله مما ربنا قال لا من الارض ولا من السماء خلق خيلا فا خبراها فعرقت فخلق نفسه من ذالك العرق

“Rasul ditanya seseorang wacana dari mana Tuhan kita berasal? Rasul menjawab (Tuhan kita) tidak berasal dari bumi dan juga tidak dari langit. Dia membuat seekor kuda maka kuda itu dijalankannya sehingga berkerinngat, maka dijadikan dirinya dari keringat itu “


BAB III
PENUTUP
Makalah Penelitian Sanad Dan Matan (Kritik Sanad Dan Matan)

Kualitas suatu Hadis sungguh ditentukan oleh kedudukan sanad dan matan Hadis. Apabila sanad nya otentik dan matan nya otentik maka Hadis tersebut mampu diketegorikan selaku Hadis Shahih serta dapat dijadikan selaku hujjah. Sebaliknya kalau sanad dan matan nya tidak asli maka dikategorikan Hadis dhaif dan tidak mampu dijadikan selaku hujjah. Para ulama Hadis berusaha membuat metodologi untuk mennganalisis keberadaan sebuah Hadis. Hal ini dijalankan alasannya adalah secara histories hadis mengalami pertumbuhan yang signifikan dengan tendensi tertentu sehingga berujung pada tercampur aduknya Hadis yang memang bersumber eksklusif dari Rasulullah SAW dengan Hadis yang bersumber dari individu atau kelompok tertentu. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diformulasikan beberapa pedoman untuk menguji dan menganalisis kualitas sanad dan matan Hadis.


DAFTAR PUSTAKA
  • ‘Azami, M.M. Manhaj al Naql ‘inda al Muhadditsin : Nasy’atuhu wa Tarikhutuhu. Riyadh:Maktabat al Kautsar, cet.III,1990
  • ---------Memahami Ilmu Hadis : Telaah Metodologi dan Literatur Hadis (terj) Studies in Hadith Methodology and Literature. Jakarta :Lentera, cet.III., 2003.
  • Bustamin dan M.Isa H.A.Salam. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta:Raja Grafindo Persada, cet.I, 2004.
  • Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta:Bulan Bintang,1992.
  • ---------, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta :Bulan Bintang,cet.III,1995.
  • Khatib, Ajjaj. Ushul al Hadist (terj) oleh Qadirun Nur dan Akhmad Musyafiq. Jakarta Gaya Media Pratama,cet.I 1998.
  • Thahan, Mahmud. Ulumul Hadis. Jakarta : Titian Ilahi Press, cet.VII,1997.
  • Yuslem,Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta : Mutiara Sumber Widya, cet.I.2001.
  • .Al Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam. Beirut : Dar al Masyriq,cet.34,1994.
______________________
[1] Al Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam ( Beirut : Dar al Masyriq, , 1994), cet 34. h.830.
[2] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, , 2001) cet I. h. 329.
[3] M.M ‘Azami, Manhaj al Naql ‘inda al Muhadditsin : Nasy’atuhu wa Tarikhutuhu (Riyadh : Maktabat al Kautsar, 1990) cet.III, h.5.
[4] QS 3 Ali Imran 179.
[5] ‘Ajjaj al khatib, Ushul al Hadist (terj) oleh Qadirun Nur dan Akhmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama,1998), cet I, h.32.
[6] Mahmud at Thahan, Ulumul Hadis (Jakarta : Titian Ilahi Press, 1997) cet VII,h.140.
[7]Ibid
[8] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h.330.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 329.
[10]M.M.Azami, Memahami Ilmu Hadis : Telaah Metodologi dan Literatur Hadis,terj. Studies in Hadith : Methodology and Literature (Jakarta: Lentera,2003), cet ketiga,h.89-91.
[11] Bustamin dan M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2004),Cet.I,h.7.
[12] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta:Bulan Bintang,1992) h.29.
[13] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hads (Jakarta :Bulan Bintang,1995) cet.II, h.85.
[14]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis….h.354.
[15]Ibn as Shalah, Al Suyuti, Ajjaj al Khatib, Al Jawabi dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis……h.362
[16] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis……h. 364.
[17]Ibid. h. 365 – 384.
[18] Musfir ‘Azm Allah al Damini dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis….h.366.
[19] Ad Damini dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis…h. 368.
[20]Ibid
[21] Al Adabi dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis….h.376

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon