Rabu, 28 Oktober 2020

Makalah Integrasi Ilmu Pengetahuan Dan Islam: Perspektif Filsafat

Makalah Integrasi Ilmu Pengetahuan Dan Islam: Perspektif Filsafat
Oleh: Umi Mukaromah

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam Islam, ilmu merupakan salah satu mediator untuk memperkuat keimanan. Iman cuma akan bertambah dan menguat, bila disertai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuan besar, Albert Einsten menyampaikan bahwa “science without religion is blind and religion without science is lame”, ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu ialah lumpuh. Ajaran Islam tidak pernah melakukan dikotomi antar ilmu satu dengan lainnya. Karena dalam persepsi Islam, ilmu agama dan umum sama saja berasal dari Allah. Islam juga mengusulkan terhadap seluruh umatnya untuk tekun dalam mempelajari setiap ilmu wawasan. hal ini dikarenakan Al-Qur’an merupakan sumber dan referensi utama, ajaran-Nya menampung semua inti ilmu wawasan, baik yang menyangkut ilmu biasa maupun ilmu agama.

Pemikiran perihal integrasi atau islamisasi ilmu pengetahuan remaja ini dilakukan oleh golongan intelektual muslim. Secara totalitas, hal ini dikerjakan di tengah ramainya dunia global yang sarat dengan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah rancangan bahwa umat Islam akan maju dapat menyusul dan menyamai orang-orang Barat apabila mampu mentransformasikan dan menyerap secara positif kepada ilmu pengetahuan. Di samping itu terdapat asumsi bahwa ilmu wawasan yang berasal dari negara-negara Barat dianggap sebagai sekuler, oleh hasilnya ilmu tersebut harus ditolak, atau sekurang-kurangnyailmu tersebut mesti dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami.

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Integrasi Ilmu Pengetahuan Dan Islam: Perspektif Filsafat

A. Integrasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu yaitu bab dari wawasan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur, serta mampu dibuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu berdasarkan Al-Qur’an ialah rangkaian keterangan yang bersumber dari Allah yang diberikan kepada insan baik melalui Rasul-Nya atau pribadi kepada insan yang menghendakinya wacana alam semesta selaku ciptaan Allah yang bergantung berdasarkan ketentuan dan kepastian-Nya. Berbeda dengan pengertian di atas, Harold H. Titus sebagaimana termaktub dalam buku “Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan” karya Mahfud Junaedi, menerangkan bahwa science atau ilmu yaitu

1. A method of obtaining knowledge that is objective and veriviable;
2. A body of systematic knowledge built up through experimentation ang observation and having a valid theoretical base.

Dari definisi yang dikemukakan tersebut mampu dipahami bahwa “ilmu” meliputi tiga kompenen yang saling bertautan dan ialah kesatuan logis yang harus ada serta berurutan. (1) ilmu harus diusahakan dengan aktifitas insan, (2) aktifitas itu harus dilaksanakan dengan sistem tertentu, dan (3) jadinya aktifitas metodis itu menghadirkan pengetahuan yang sistematis. Bagan di atas menggambarkan kesatuan dan interaksi antara kegiatan, sistem, dan wawasan, sebagaimana digambarkan oleh The Liang Gie.[1][1]

Sementara itu, pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan bahwa pengetahuan adalah berita yang berbentukcommon sense, sedangkan ilmu telah ialah bab yang lebih tinggi dari itu sebab mempunyai sistem dan mekanisme tertentu. Islam yaitu agama yang mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan agama ialah sesuatu yang saling berhubungan dan saling melengkapi. Agama merupakan sumber ilmu wawasan dan ilmu wawasan ialah fasilitas untuk mengaplikasikan segala sesuatu yang tertuang dalam pemikiran agama. Di dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 750 ayat yang berhubungan dengan ilmu wawasan dan itu ialah bukti bahwa Islam yakni agama yang sangat menekankan pada pengembangan ilmu wawasan.

Marpuji Ali dalam karyanya yang berjudul “Buku Kultum: Integritas Iman, Ilmu, dan Amal” menjelaskan bahwa penopang utama kegemilangan peradaban ialah ilmu wawasan dan teknologi. Peradaban Barat meningkat dari perpaduan unsur-unsur kebudayaan-kebudayaan, filsafat, nilai-nilai, dan aspirasi Yunani dan Roma Kuno, fusi dengan agama Yahudi, agama Kristen, peradaban Barat. Perkembangan dan pembentukan lebih lanjut dikerjakan oleh bangsa-bangsa Latin, Germanik, Keltik, Nordik, dan Salvik.

1. Esensi Sains Islam
Wawasan perihal Dzat berkuasa atas segala sesuatu, yang sudah dihilangkan dari “Konsepsi Barat” tentang sains merupakan kritik konsentrasi utama dalam teori Islami. Sesungguhnya faktor pembeda cara berpikir Islami dari cara Barat ialah tentang keyakinan yang mendasar dari cara berpikir yang pertama, bahwa semua filsuf muslim, baik dari dunia Islam di Timur yang berpusat di Baghdad, Irak, mirip al-Kindi, ar-Razi, al-Farabi, para tokoh Ikhwan as Safa, Ibnu Maskawaih, dan Ibnu Sina, maupun dari dunia Islam serpihan Barat yang berpusat di Cordova, Spanyol mirip Ibnu Bajjah, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd, menyakini bahwa Allah berkuasa atas segala hal dan bahwa segala sesuatunya, tergolong wawasan, berasal dari satu-satunya sumber yang tidak lain, yaitu Allah.


2. The Unity of Knowledge atau Integrasi Keilmuan
Lima ayat pertama surah Al-Alaq, memperlihatkan perintah Allah terkait dengan sains, perintah membaca, menelaah, mengumpulkan wawasan dengan kalimat iqra’ bismi rabbik, menawarkan bahwa Al-Qur’an tidak sekedar menyuruh untuk membaca, tetapi “membaca” yakni lambang dari segala yang dilakukan oleh manusia baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Bisa aktif mengkaji sifat-sifat Allah, sifat Allah yang disebutkan dalam kitab suci merupakan sumber sahih pengetahuan wacana Allah. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam Al-Qur’an yaitu Al-Alim, yang bermakna “yang mempunyai sains”. Karena memiliki sains yang membedakan dari malaikat dan dari semua makhluk yang lain, dan melalui sains orang dapat menggapai kebenaran, dan kebenaran yakni nama lain dari Yang Riil dan Al-Haqq.

Dari dimensi Al-Haqq sebagai sumber semua kebenaran. Sudah barang pasti Al-Qur’an sebagai mediumnya, filsafat Islam berusaha menerangkan cara Allah menyampaikan kebenaran hakiki, dengan bahasa fatwa yang intelektual dan rasional. Tujuan seorang filsuf, menurut Al-Kindi ialah “mendapatkan kebenaran dan mengamalkannya, sedangkan bagian paling luhur dari filsafat adalah filsafat pertama, ialah mengetahui kebenaran pertama (Tuhan) dinamakan filsafat pertama alasannya adalah dalam pengetahuan wacana karena pertama itu terkandung pengetahuan ihwal semua bagian yang lain dari filsafat”. Dengan demikian The Unity of Knowledge atau kesatuan ayat Qur’aniyyah dengan ayat Kawniyyah, merupakan integrasi keilmuan yang mampu menjadi fasilitas penting mengembangkan keimanan dan haqqa tuqatih (taqwa yang sebenar-benarnya).[2][2]

Agama Islam memperhatikan pentingnya kepercayaan sama dengan pentingnya ilmu pengetahuan.

وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ

“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (Al-Baqarah: 255).

Allah juga memuliakan para ahli ilmu pengetahuan dengan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (۱۱)

Hai orang-orang beriman kalau dibilang kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah pasti Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan kalau dibilang: "Berdirilah kau", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kau lakukan. (Al-Mujadalah: 11)

Kebudayaan Islam, pada periode jayanya dan masa perkembangannya menawarkan warisan yang membanggakan pada umat manusia, menurut atas pengamatan dan berpikir induktif, pembagian terstruktur mengenai dan verifikasi serta konfirmasi. Orang Eropa mendapatkan warisan tersebut, lalu melakukan loncatan-loncatan yang jauh ke depan dan melengkapi kegiatan penelitian-penelitian dengan alat-alat canggih.[3][3]

Teori pengetahuan menurut Islam tidak hanya menonjolkan sudut yang khusus dari mana kaum Muslim memandang ilmu, akan tetapi juga menekankan keharusan yang mendesak untuk mencari ilmu. Seperti dimengerti perintah Allah yang pertama kepada Nabi lewat wahyu pertama yang diterimanya yaitu “bacaan dengan (menyebut) nama Allah”, dan dari sudut pandang Islam, membaca itu bukan cuma pintu menuju ilmu, akan namun juga cara untuk mengetahui dan menyadari Allah. Oleh alasannya itu, ilmu memiliki dua tujuan, adalah tujuan Ilahi dan tujuan duniawi. Ilmu berfungsi selaku pertanda Allah, sebab orang yang mempelajari alam dan proses-prosesnya dengan seksama dan mendalam akan menjumpai banyak masalah yang menunjuk terhadap tangan yang tidak terlihat , yang membina dan mengawasi semua kejadian di dunia.[4][4]

B. Ruang Pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu wawasan merupakan wawasan yang dikumpulkan dengan sistem ilmiah (scientific methods). Dalam klarifikasi lain, ilmu pengetahuan yakni himpunan wawasan yang sistematis yang dibangun lewat eksperimentasi dan pengamatan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan cuma akan terwujud kalau diusahakan, dibangun, dan dikembangkan. Ilmu tidak akan lahir dengan berpangku tangan. Sebuah statemen dalam dunia pengembangan ilmu, “tanpa ada penelitian, ilmu wawasan tidak akan bertambah maju”. Penelitian dalam konteks ini sebagai dasar untuk meningkat kembangkan ilmu pengetahuan.

Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan mensyaratkan dan memutlakkan adanya acara penelitian. Kegiatan observasi merupakan upaya untuk merumuskan persoalan, bertanya-pertanyaan tersebut, dengan jalan mendapatkan fakta-fakta dan memperlihatkan penafsiran yang benar. Tetapi lebih dinamis lagi, penelitian juga berfungsi dan bermaksud inventif, ialah terus-menerus memperbaharui kesimpulan dan teori yang sudah diterima menurut fakta-fakta dan kesimpulan yang telah ditemukan.

Terkait dengan problem ini, muncul beberapa pertanyaan yang koheren dengan pengembangan ilmu agama Islam. Apakah ilmu agama Islam juga tidak akan meningkat bahkan surut ke belakang kalau tanpa observasi? Apakah observasi mutlak diharapkan untuk pengembangan ilmu agama Islam? Apakah ilmu agama Islam dapat diteliti secara ilmiah sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lain? Tradisi anutan Islam periode pertengahan (abad klasik) memperlihatkan bahwa ilmu-ilmu agama sukses dikembangkan oleh ulama-ulama zaman klasik. Prestasi yang cukup membanggakan itu yaitu hasil dari observasi-penelitian yang tidak kenal lelah.

Pada tahap paling awal memang mesti disadari benar bahwa observasi agama sebagai perjuangan akademis berarti menjadikan agama selaku target penelitian. Secara metodologis agama haruslah dijadikan sebagai sebuah fenomena yang riil, betapapun mungkin terasa agama itu abstrak. Dari sudut ini, maka dapat dibedakan tiga klasifikasi agama sebagai fenomena. Yang menjadi subject matter penelitian, yaitu (1) agama selaku kepercayaan; (2) dinamika dan struktur masyarakat yang dibentuk oleh agama; dan (3) sikap penduduk terhadap iktikad. Kategori pertama, mempersoalkan substansi pedoman, kategori kedua, meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, dan klasifikasi ketiga, berusaha untuk mengenali corak penghadapan masyarakat kepada simbol dan pemikiran agama.[5][5]

Ilmu pengetahuan tepatnya kebenaran ilmu pengetahuan yaitu “it’s not akhir truth”. Ia bukan wahyu (kitab suci) yang kebenarannya yaitu selesai dan sewenang-wenang. Ilmu pengetahuan, dengan demikian bukan merupakan suatu monument baka, yang telah paten dan dilarang dikaji ulang. Ilmu (pengetahuan) ialah suatu proses yang terus menerus, “tidak akan pernah selsai” (a never ending journey), ia akan terus dan selalu berproses selama kehidupan ini exist. Suatu upaya unik menimbulkan ilmu (wawasan) agar tetap berkaitan dengan pertumbuhan zaman yaitu pengembangan ilmu itu sendiri. Hal yang demikian koheren dengan ilmu agama Islam. Pengembangan ilmu wawasan secara biasa dapat dibedakan ke dalam tiga strategi, yang oleh Prof. Kunto diterangkan selaku berikut:

1. Ilmu dikembangkan dari konteks atau tertutup untuk ilmu dengan semboyannya “science for the sake of science only”, dalam konteks ini ilmuwan berada dalam menara gading dan tidak kuat untuk siapapun dan apa yang ada di penduduk . Sehingga yang terjadi ialah nilai-nilai komunalisme, universalisme yang tidak lebih dari keterkaitan dan keterkungkungan yang tiada batas hentinya.

2. Ilmu lebur dalam konteks, dengan demikian ilmu cenderung untuk berubah-ubah terkadang menjadi ideologi yang diabadikan terhadap tercapainya tujuan tertentu, dengan semboyannya asimilasi, adaptasi, dan toleransi. Sehingga ilmu tidak memiliki identitas dan jati diri yang spesifik adanya dan kiprahnya yaitu semu.

Dalam konteks ini, maka filsafat mengabadi pada agama sebagaimana pada kala pertengahan. Oleh karena itu kebenaran dan kenyataan di bawah hegemoni kelompok tertentu.

3. Ilmu dan konteks saling berpengaruh, melengkapi serta saling memerlukan. Dalam konteks ini terjalin adanya relasi fungsional science, budpekerti, agama, seni, dan bahkan keterjalinan antara disiplin ilmu yang satu dengan lainnya. Konteks ini menjunjung tinggi “science for the sake of human progress”, ini adalah pendirinya.

Nampaknya strategi (konteks) ketiga inilah yang dapat mendukung pertumbuhan ilmu pengetahuan agama Islam secara utuh dan konsisten. Strategi pengembangan ilmu agama Islam ini mesti tetap berlandaskan pada dasar filsafat ilmu pengetahuan –tiga tiang penyangga ilmu pengetahun- ialah ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Di samping dasar filosofis pengembangan ilmu agama Islam juga harus mengamati faktor operasional ialah faktor penerapan teori-teori ilmu agama Islam dalam dunia empiris mudah di penduduk .[6][6]. Islam menyamakan dirinya dengan ilmu wawasan. Islam menjadikan ilmu pengetahuan selaku syarat ibadah. Islam sangat memuji orang yang rajin mencari pengetahuan, alasannya dalam Islam ilmu disebut sebagai cahaya kebenaran dan diyakini sebagai kunci kesuksesan dunia dan akhirat.

Kamsul Abraha menganggap bahwa sejarah peradaban insan tidak pernah mengenal satu agama pun yang menaruh perhatian yang begitu besar dan tepat kepada ilmu wawasan selain Islam. Jadi prinsipnya Islam sungguh menghargai ilmu pengetahuan dengan tetap mengoreksi terhadap cara-cara atau metode yang dianggap salah dalam menggali ilmu pengetahuan tersebut. Dan logika sebagai media atau alat untuk menggali pengetahuan.[7] Ilmu selalu mengalami pembaharuan dan perbaikan sesuai dengan kaidah atau norma kemajuan. Ilmu selalu berada antara yang kurang menjadi sempurna, yang kabur menjadi terperinci, yang bercerai berai menjadi terpadu, yang keliru menjadi lebih benar dan yang masih rekaan menjadi lebih percaya.

Dengan demikian tidak dibutuhkan dari kitab-kitab doktrin untuk mengikuti keadaan dengan masalah-masalah ilmu wawasan. Setiap kali munculnya duduk perkara yang baru di dunia ilmu pengetahuan dalam suatu generasi manusia, maka tidaklah sepatutnya bagi umat Islam untuk berupaya menafsirkan atau menunjukkan dari kitab sucinya perincian apa yang telah diperoleh dalam ilmu itu.[8][8] Tidak ada sebuah keutamaan yang mengangkat martabat seseorang insan selain daripada keutamaan ilmu. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (۱۱)

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dibilang: "Berdirilah kau", maka berdirilah, pasti Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan. (Al-Mujadilah:11)

Makara, Al-Qur’an tidak berlawanan atau bertentangan dengan ilmu, utamanya ilmu alam dengan pengertian yang sejalan dengan aliran iktikad. Kelebihan Islam yang paling besar yakni bahwa beliau membuka bagi umat Islam pintu-pintu ilmu wawasan seraya menghimbau mereka untuk masuk mencari dan berbagi ilmu itu. Bukanlah kelebihannya dalam menciptakan mereka malas mencari ilmu dan melarang mereka memperluas observasi dan akal sehat alasannya adalah semata-mata mereka menyangka bahwa mereka telah mempunyai semua jenis ilmu. Umat Islam dihimbau oleh Al-Qur’an untuk maju dalam kehidupan dengan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kedudukannya sebagai khalifah Allah di bumi ini.[9][9]

C. Islamisasi Ilmu
Menurut Zianudin Sardar, islamisasi ilmu pengetahuan yakni suatu usaha untuk menciptakan ilmu wawasan Islami yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam yang terlepas dari imbas ilmu pengetahuan yang ada di Barat. Pengertian islamisasi ilmu pengetahuan juga disampaikan oleh Abudin Nata, menurutnya islamisasi dalam makna yang luas memperlihatkan pada proses pengislaman, di mana objeknya yaitu orang atau insan, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya. Dari sini bisa dimengerti bahwa islamisasi ilmu pengetahuan merupakan upaya untuk membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, baik itu secara ontologis, epistimologis, maupun aksiologisnya. Berdasarkan analisis Ismail Razi Al-Faruqi, upaya menanggulangi dilema umat Islam adalah dengan islamisasi ilmu pengetahuan, yang ditempuh lewat tindakan sebagai berikut:

1. Memadukan metode pendidikan Islam. Dikotomi pendidikan biasa dan agama mesti dihilangkan.
2. Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam lewat dua tahap; pertama, mengharuskan bidang studi sejarah peradaban Islam; kedua, Islamisasi wawasan.
3. Untuk menangani duduk perkara metodologi ditempuh langkah-langkah berbentukpenegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam selaku berikut:

a) The Unity of Allah
b) The Unity of Creation
c) The Unity of Truth and Knowledge
d) The Unity of Life
e) The Unity of Humanity

4. Menyusun langkah kerja selaku berikut:

a) Menguasai disiplin ilmu terbaru
b) Menguasai warisan khazanah Islam
c) Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau daerah penelitian wawasan terbaru
d) Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis inovatif antara warisan Islam dengan wawasan terbaru
e) Mengarahkan anutan Islam pada arah yang tepat adalah sunnatullah

5. Penguasaan disiplin ilmu terbaru dengan cara membaginya ke dalam kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi, duduk perkara dan tema yang mayoritas di Barat.

6. Survei disiplin ilmu yang dibentuk dalam bentuk esai untuk mengenali garis besar asal-permintaan dan sejarah kemajuan maupun metodologinya, perluasan visi bidang kajiannya, dan kontribusi khususnya yang memperluas daya jangkaunya.

7. Menguasai warisan khazanah Islam sebagai titik tolak Islamisasi pengetahuan.
8. Penyajian disiplin ilmu Islam yang berkaitan dan khas Islam.
9. Penilaian kritis atas warisan Islam kepada disiplin khazanah ilmu.
10. Melakukan survei atas persoalan pokok umat Islam.
11. Melakukan analisis-sintetik kreatif. Ini cuma dapat dikerjakan jika sudah dikuasai disiplin ilmu, warisan Islam dan sekaligus pula melaksanakan analisis kritis terhadap keduanya.

12. Menata ulang disiplin ilmu di bawah frame work Islam: menyediakan text book untuk universitas.
13. Melaksanakan aneka macam pertemuan, pelatihan, workshop dan sebagainya sebagai faculty training.[10][10]

Jadi sesungguhnya mengislamkan ilmu wawasan bukanlah langkah konfrontataif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang telah berkembang remaja ini. Islamisasi ilmu wawasan memiliki arti memurnikan kembaliilmu pengetahuan atau mengembalikan esensi ilmu pengetahuan itu sendiri. Karena sebagaimana dinyatakan oleh para mahir sejarah bahwa peradaban Barat akil balig cukup akal ini yang dipandang sudah berhasil berbagi ilmu pengetahuan justru pada awalnya belajar dari Islam.

BAB III
PENUTUP

Makalah Integrasi Ilmu Pengetahuan Dan Islam: Perspektif Filsafat

Berdasarkan pembahasan di atas, mampu diambil kesimpulan selaku berikut:
Islam yaitu agama yang mengajarkan bahwa ilmu wawasan dan agama merupakan sesuatu yang saling berhubungan dan saling melengkapi. Agama ialah sumber ilmu pengetahuan dan ilmu wawasan merupakan fasilitas untuk mengaplikasikan segala sesuatu yang tertuang dalam anutan agama.

Islam menyamakan dirinya dengan ilmu pengetahuan. Islam menimbulkan ilmu pengetahuan selaku syarat ibadah. Islam sungguh memuji orang yang bersungguh-sungguh mencari pengetahuan, alasannya dalam Islam ilmu disebut selaku cahaya kebenaran dan diyakini selaku kunci kesuksesan dunia dan akhirat.

Kebudayaan Islam, pada kurun jayanya dan era perkembangannya memperlihatkan warisan yang membanggakan pada umat insan, berdasarkan atas pengamatan dan berpikir induktif, penjabaran dan verifikasi serta konfirmasi.

Perkembangan dan pengembangan ilmu pengetahuan mensyaratkan dan memutlakkan adanya acara observasi, adalah upaya untuk merumuskan urusan, bertanya-pertanyaan tersebut, dengan jalan mendapatkan fakta-fakta dan memperlihatkan penafsiran yang benar.

Tradisi aliran Islam periode pertengahan (era klasik) memberikan bahwa ilmu-ilmu agama berhasil dikembangkan oleh ulama-ulama zaman klasik dengan prestasi yang cukup membanggakan dari hasil penelitian-penelitian yang tidak kenal letih.adapun upaya untuk menjadikan ilmu (wawasan) supaya tetap relevan dengan kemajuan zaman yakni pengembangan ilmu itu sendiri. Hal ini koheren dengan ilmu agama Islam.

islamisasi ilmu pengetahuan ialah upaya untuk membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai Islam, baik itu secara ontologis, epistimologis, maupun aksiologisnya.

Upaya menanggulangi problem umat Islam yaitu dengan islamisasi ilmu wawasan, yang ditempuh lewat tindakan selaku berikut: (1) Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam, (2) Memadukan tata cara pendidikan Islam, (3) Penegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam, (4) Menyusun langkah kerja, (5) Penguasaan disiplin ilmu terbaru dengan cara membaginya ke dalam kategori-klasifikasi, prinsip-prinsip, metodologi, dilema dan tema yang dominan di Barat, (6) Survei disiplin ilmu, (7) Menguasai warisan khazanah Islam selaku titik tolak Islamisasi pengetahuan, (8) Penyajian disiplin ilmu Islam yang berkaitan dan khas Islam, (9) Penilaian kritis atas warisan Islam terhadap disiplin khazanah ilmu, (10) Melakukan analisis-sintetik inovatif, (11) Menata ulang disiplin ilmu di bawah frame work Islam.

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Djamali, Fadhil. 1993. Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam. Jakarta: IKAPI.
  • Ali, Marpuji, dkk. 2010. Buku Kultum: Integritas Iman, Ilmu, dan Amal. Magelang: PMW Jateng.
  • Junaidi, Mahfud. 2010. Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan. Semarang: RaSAIL Media Group.
  • Musa, M. Yusuf. 1988. Al-Qur’an dan Filsafat. Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna.
  • Praja, Juhaya S.. 2002. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. Jakarta: Teraju.
  • Qadir, C.A. 1988. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam diterjemahkan dari Philosophy and Science in the Islamic World. Jakarta: IKAPI.
  • Qomar, Mujamil. 2012. Merintis Kejayaan Islam Kedua: Merombak Pemikiran dan Mengembangkan Aksi. Yogyakarta: Teras.
Footnote
-----------
[1][1]Mahfud Junaidi, Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 4-5.
[2][2]Drs. H. Marpuji Ali, M.SI., dkk, Buku Kultum: Integritas Iman, Ilmu, dan Amal, (Magelang: PMW Jateng, 2010), hlm. 49-51.
[3][3]Prof. Dr. Fadhil Al-Djamali, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, (Jakarta: IKAPI, 1993), hlm. 129-130.
[4][4]C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam diterjemahkan dari Philosophy and Science in the Islamic World, (Jakarta: IKAPI, 1988), hlm. 16.
[5][5]Mahfud Junaidi, Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 34-36.
[6][6]Mahfud Junaidi, Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 38-39.
[7][7]Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., Merintis Kejayaan Islam Kedua: Merombak Pemikiran dan Mengembangkan Aksi, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 20-21.
[8][8]Prof. Dr. M. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, (Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna, 1988), hlm. 66.
[9][9]Prof. Dr. M. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, (Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna, 1988), hlm. 70.
[10][10]Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 73-74.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon