Jumat, 06 November 2020

Makalah Pandangan Mutakallimin Tentang Keadilan Ilahi

A. Pendahuluan
Paham keadilan Tuhan dalam ajaran kalam banyak tergantung pada pandangan, apakah insan mempunyai keleluasaan dalam berkehendak dan berbuat ataukah manusia itu hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan kepada bebas atau tidaknya insan ini menimbulkan hadirnya makna “keadilan,” yang serupa-sama disepakati mengandung arti menaruh sesuatu pada tempatnya, menjadi berbeda.

Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderung mengerti keadilan ilahi dari sudut pandang keadilan manusia. Sedangkan aliran kalam tradisional yang memberi tekanan pada ketidakbebasan insan di tengah kekuasaan dan keinginanmutlak Tuhan, cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.[1] Ini memiliki arti bahwa keadilan Tuhan terkait dengan keleluasaan insan dalam berkehendak dan berbuat, selanjutnya juga terkait dengan keinginandan kekuasaan mutlak Tuhan. Secara biasa , persepsi perihal konsep keadilan Tuhan dibagi menjadi pedoman.

1. Aliran kalam rasional
Konsep keadilan bagi kalangan rasional banyak didominasi oleh usulan fatwa Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, prinsip keadilan ialah salah satu prinsip dari lima prinsip dasar Mu’tazilah yang umum disebut al-Ushul al-khamsah.[2] Konsep keadilan bagi mereka mempunyai dua sisi pembahasan, pertama; menyangkut hak dan kewajiban; dalam konteks ini keadilan mempunyai arti musuh dari kezaliman. Kedua; berkaitan dengan perbuatan Tuhan, dengan pemahaman bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mungkin beliau melaksanakan perbuatan buruk.[3]

Mewakili anutan mu’tazilah, menurut Abd al-Jabbar[4] bahwa “keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang jelek, tidak melewatkan segala keharusan-Nya kepada insan, dan segala perbuatan-Nya yakni baik”. Tuhan dalam persepsi mu’tazilah, mempunyai keharusan-keharusan yang diputuskan-Nya sendiri buat diri-Nya. Ayat al-Qur’an yang menjadi sandaran dalam memperkuat pertimbangan Mu’tazilah antara lain:

“Kami memakai neraca yang adil pada hari kiamat maka sesorang tidak akan dirugikan walau sedikitpun. Jika ada duduk perkara yang seberat biji sawi pun pasti akan kami datangkan. Cukuplah kami selaku pembuat perkiraan.” (QS. al-Anbiya:47)

“Pada hari itu seseorang tidak akan dizalimi sedikit pun dan kau tidak akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang kau kerjakan.”(QS. Yasin:54)

Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam hasratdan tindakan yang diketahui Mu’tazilah, pedoman Maturidiah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap insan. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan akhir yang sebanding dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya dan tidak akan memungkiri segala komitmen-Nya yang sudah disampaikan terhadap manusia. Abu Mansur al-Maturidi memberi dalil persepsi di atas dengan firman Allah ayat 160 surat al-An’am dan ayat 9 surat Ali Imran.[5]

Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa terdapat korelasi yang berpengaruh antara kebebasan dan kehendak manusia dengan keadilan Ilahi, alasannya adalah bagaimana mungkin, jikalau manusia itu tidak diberi keleluasaan dan kehendak dalam melaksanakan sesuatu tindakan dan lalu diminta pertanggung tanggapan atas akibat perbuatannya. Hal ini terang berlawanan dengan keadilan Allah yang menghendaki supaya insan itu diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang dijalankan dengan kehendaknya yang bebas bukan terpaksa. Dan selanjutnya, beliau dapat menghapus kezaliman dari Allah sebab kemungkaran budbahasa yang dikerjakan insan, dan sekiranya kemungkaran itu sudah diputuskan Allah atas manusia semenjak azali, maka akhir yang diberikan atasnya ialah sebuah kezaliman. Ini memiliki arti, asas keadilan Ilahi menanamkan dalam diri manusia rasa tanggung jawab atas segala perbuatannya, alasannya adalah dia yakin bahwa perbuatannya itu dikerjakan dengan sarat keinginandan pilihannya sendiri, dan kemudian beliau memperoleh akhir atas perbuatannya itu, maka itu yakni masuk akal dan adil.[6] Selanjutnya, “Allah tidak menggemari kerusakan dan tidak menciptakan tindakan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang sesuai dengan daya (qudrah) yang diletakkan Allah kepada mereka.[7]

Muhammad abduh menatap soal keadilan Tuhan bukan hanya dari sisi ke maha sempurnaan Tuhan, namun juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak mampu diberikan terhadap Tuhan, karena ketidakadilan tidak sejalan dengan ke maha bijaksanaan Tuhan, tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan-hukum-Nya dan tidak pula sejalan dengan kesempurnaan peraturan alam semesta.[8]

Keadilan dalam pandangan Abduh,[9] berhubungan dengan eksekusi dan akibat; baik aturan diberikan sesuai dengan kejahatan yang dijalankan dan balasan baik diberikan sesuai dengan kebaikan yang dibuat. Sifat pemurah Tuhan dapat mengganti derajat akibat baik terhadap tindakan yang baik dan melipat gandakannya. Tetapi dalam soal kejahatan perbandingannya tetap satu lawan satu. Sebuah keadilan tidak bisa mencakup bantuan sesuatu kepada orang yang tidak berhak mendapatkannya dan menahan sesuatu dari orang yang berhak memilikinya.

Bagi golongan Mu’tazilah, Tuhan yang maha bijaksana mesti memiliki sebuah maksud dari penciptaan alam semesta ini, dan bahwa terdapat keadilan, kebaikan dan keburukan yang objektif dalam ciptaan Tuhan, sekalipun kepada orang yang mengesampingkan aturan Ilahi (syari’ah) mengenai kebaikan dan keburukan. Tuhan tidak akan berbuat kejahatan dan bersifat tidak adil. Sebaliknya, kejelekan diciptakan oleh insan yang sudah diberikan oleh Tuhan kemerdekaan untuk melakukan tindakan baik atau jelek. Mereka itu bertanggung jawab terhadap tindakan-langkah-langkah dan akan mendapatkan pahala atau hukuman oleh Tuhan atas apa yang dilakukannya itu.[10]

Dalam hal ini, rancangan ‘keadilan Tuhan’ berdasarkan perspektif Syi’ah hampir memiliki persamaan dengan desain Mu’tazilah, dengan demikian Syi’ah pada hasilnya membela mazhab Mu’tazilah yang menekankan pada ‘pelimpahan kekuasaan’ (tafwidh) pada insan.[11] Walaupun tidak semua usulan Mu’tazilah mampu diterima kaum Syi’ah, tetapi secara garis besar dapat dimasukkan kedalam kelompok ini.

2. Aliran kalam tradisional atau Ahli Sunnah
Adapun pemikiran kalam tradisional disebut juga mahir Sunnah atau jago Hadits, yang menekankan kekuasaan dan keinginanmutlak Tuhan, memberi makna keadilan Tuhan dengan pengertian bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan dalam persepsi Asy’ariyah. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya kepada makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil kalau yang terpahami yakni Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.

Tidak ditemukan secara khusus ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Asy’ari dalam memperkuat persepsi tentang keadilan Tuhan ini. Hal ini disebabkan paham keadilan Tuhan dalam pandangan Asy’ari lebih bertitik berat pada makna kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sehingga ayat-ayat yang sering dipakai untuk menopang paham keadilan Tuhan ini adalah ayat-ayat yang juga dipergunakan untuk memperkuat persepsi ihwal kekuasaan dan hasratmutlak Tuhan tersebut.

Terkait korelasi antara kekuasaan mutlak Tuhan dengan keadilan Tuhan maka al-Baghdadi[12] menyampaikan, “Tuhan bersifat adil dalam segala tindakan-Nya. Tidak ada sebuah larangan pun bagi Tuhan. Ia berbuat apa saja yang dikehendakinya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintah-Nya yaitu di atas segala perintah. Ia tidak bertanggung jawab wacana perbuatan-perbuatan-Nya kepada semua orang.”

Sependapat dengan Asy’ariyah, pedoman Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dimengerti dalam konteks kekuasaan dan keinginanmutlak Tuhan. Secara terang al-Bazdawi menyampaikan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak memiliki komponen pendorong untuk membuat kosmos. Tuhan berbuat sekehendaknya sendiri. Keadaan Tuhan yang bersifat maha bijaksana tidak mengandung arti bahwa disebalik tindakan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Atau dengan kata lain, desain keadilan Tuhan bukan ditaruh pada kepentingan manusia, namun pada Tuhan selaku pemilik mutlak.[13]

Aliran Asy‘ariyah meninjau persoalan keadilan Tuhan dari segi “manusia mesti bersikap adil terhadap Tuhan,” sang khaliknya.[14] Tuhan ialah pencipta alam semesta dan dengan demikian yaitu pemilik mutlak alam semesta beserta isinya, tergolong insan. Sebagai pemilik mutlak, Tuhan berhak berbuat apa saja terhadap makhluknya, itulah keadilan. Ketidakadilan ialah sebaliknya, yaitu menempatkan Tuhan bukan selaku pemilik mutlak dari alam semesta sehingga tidak berhak berbuat sekehendak hati-Nya kepada milik-Nya. Karena wawasan Allah tentang keadilan yang bahu-membahu. Sifat adil di segi Allah ialah wawasan yang qadim.[15]

Dengan demikian bila kaum Mu’tazilah menempatkan keadilan Tuhan selaku keadilan raja konstitusional yang kekuasaannya dibatasi oleh aturan-aturan, walaupun aturan tersebut yaitu buatannya sendiri, maka kaum Asy’ariyah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja otoriter, yang memperlihatkan hukuman berdasarkan kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaannya sendiri.

Al-`dalah dan hubungannya dengan empat prinsip lainnya

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa bagi kalangan Mu’tazilah, desain keadilan Tuhan (al-‘Adalah), ialah salah satu dari lima prinsip dasar yang mempunyai kaitan antara satu dengan yang lainnya. Keadilan terkait dengan rancangan tauhid karena sifat Esa adalah sifat zat Tuhan sedangkan sifat adil ialah sifat tindakan Tuhan. Ilmu tauhid mencakup pada pembahasan dari segi Tuhan sebagai zat yang mutlak. Ketika terkait dengan keadilan, maka itu masuk terhadap pembicaraan tentang perbuatan Tuhan dari segi keterkaitannya dengan manusia. Hubungan itu wajib disandarkan terhadap Allah sekaligus terhadap insan.[16]

Kaitannya dengan prinsip selanjutnya, ialah akad dan bahaya (al-wa’ad wa al-wa’id). Sebagai suatu pemikiran, kaum Mu’tazilah meyakini bahwa Allah ta’ala yakni benar dengan janji dan ancamannya. Allah tidak akan mengubah janjinya dan pasti akan mewujudkan janjinya di hari akhir zaman.[17] Jika seorang mukmin melaksanakan amal shalih selama hidup di dunia dan tetap dalam kondisi ta’at sampai beliau mati, maka beliau berhak mendapat pahala dan masuk surga jikalau pahalanya lebih banyak dari dosanya. Demikan juga sebaliknya, jika dia selama di dunia, beliau banyak berbuat dosa dan tidak sempat bertobat, maka sebagaimana kesepakatan allah ialah ia di alam baka akan disiksa di neraka.

Dengan begitu, berdasarkan akad Allah yang demikian, maka keadilan akan tercukupi. Allah tidak akan berdusta dengan janjinya, tidak akan berbuat zalim dan aniaya memasukkan orang-orang yang jahat kedalam nirwana dan sebaliknya memasukkan orang salih kedalam neraka. Inilah desain yang adil bagi kelompok Mu’tazilah.

Sebagai kelanjutan dari prinsip al-wa’ad wa al-wa’id, maka sebagai suatu keadilan juga, kalau seorang pelaku dosa besar yang masih yakin kepada Allah dan Nabi Muhammad saw, ia bukanlah termasuk kafir, tetapi bukan juga mukmin alasannya imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak mampu masuk nirwana, dan sebab bukan kafir, beliau juga tidak layak masuk neraka. orang seperti ini berada dalam posisi al-manzilah bain al-manzilatain.

Prinsip kelima yaitu amr ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar, yaitu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan menghalangi berbuat kemunkaran. Ajaran ini ialah akumulasi praktis dalam mengamalkan keempat prinsip dasar lainnya. Dengan melakukannnya, bermakna sudah sempurnalah lima aliran dasar keimanan tersebut.

Kaitannya dengan konsep keadilan, karena dengan meyakini dan mengamalkan prinsip amr ma’ruf wa nahi ‘an al-munkar maka sebagai suatu kebajikan, pasti akan diberi ganjaran pahala dan kebaikan dari Allah, masuk kedalam klasifikasi orang-orang yang beriman dan layak untuk masuk nirwana, oleh karena Allah ta’ala bersifat adil terhadap hamba-hambanya yang sudah melaksanakan kebaikan.

SOLUSI PERSOALAN “KEADILAN TUHAN”
Perdebatan perihal “keadlian Tuhan” antara kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah menjadi terbentang antara dua kutub yang bertentangan. Dengan begitu, argumen-argumen yang dikemukakan kaum Mu’tazilah maupun Asy’ariyah dua-duanya memiliki kelebihan, sekaligus kekurangan. keunggulan masing-masing anutan ialah saat mengajukan keberatan-keberatan yang diajukan terhadap pihak musuh-nya. Sedangkan kelemahannya terlihat sewaktu masing-masing fatwa menjadikan mazhabnya selaku yang paling benar yang lalu dipertahankannya habis-habisan.

Adanya pertentangan yang terjadi di antara mazhab-mazhab kalam menjadikan respon atau sikap dari sebagian ulama utamanya ulama mutaakhirin, condong menghindari perdebatan berkaitan ihwal esensi zat Allah, sifat-sifat dan hal-hal yang menjinjing perdebatan sengit yang tak kunjung simpulan. Sayid Sabiq[18] mengatakan, “perdebatan-perdebatan perihal Tuhan ialah sesuatu yang bid’ah dan mesti dilenyapkan dari lubuk hati kaum muslimin. Sebab tidak lain hanyalah alasannya zat Allah ta’ala masih jauh lebih luhur dan lebih agung dari yang dipecahkan dengan pedoman persoalan-problem tersebut. Allah tidak memaksa kita untuk mencapainya, sebab problem-duduk perkara seperti di atas telah keluar dari batas kesanggupan akal fikiran insan sekalipun sepandai-pandainya insan tersebut. Akal insan amat terbatas sedangkan zat Allah SWT yakni jauh dari apa yang dicapai insan.”

Sebagai menjajal menjadi penengah, Seyyed Hossein Nasr menuliskan, “Sebagai suatu ‘kebenaran dan realitas absolut’ dan kesudahannya ‘realitas satu-satunya’ tanpa pembagian dan batasan apapun pada esensi-Nya, Tuhan ialah keadilan itu sendiri. Karena dia adalah dirinya sendiri dan tidak ada sesuatupun kecuali dirinya sendiri. Tidak mungkin ada ketidakadilan dan ketidakteraturan dalam diri-Nya, sebab memang tidak ada realitas lain baik di dalam atau di luar diri-Nya yang mau memunculkan kondisi-keadaan tersebut. Secara filosofis dan teologis, cuma Tuhan kenyataannya yang merupakan ‘keadilan tak berhingga dan tepat’ serta ‘Pemberi keadilan tepat’.” [19]

Selama berabad-era, hebat teologi muslim memperdebatkan apakah segala perbuatan Tuhan dibilang adil semata-mata alasannya tindakan itu yaitu perbuatan dewa, atau alasannya adalah Tuhan sebagai Tuhan, tidak mampu tidak harus bertindak adil, dan apakah sifat keadilan Tuhan mampu dimengerti dan dicicipi oleh kita sesuai dengan kecerdasan fikiran kita yang diberikan oleh Tuhan? Golongan Asy’ari yang mendominasi teologi Sunni, mendukung usulan pertama. Sedangkan Mu’tazilah dan Syi’ah mendukung usulan kedua. Namun hasil kesudahannya, sejauh persepsi dunia Islam yang biasa yaitu sama, adalah bahwa Tuhan yakni sungguh-sungguh maha adil dan pengelola keadilan yang sempurna bagi seluruh makhluk-Nya.[20]

BENARKAH ALLAH BERBUAT ADIL DALAM KEHIDUPAN INI?
Dalam kehidupan ini, kita sering mendengar pertanyaan dari orang-orang yang merasa bahwa dalam hidupnya dia tidak menerima keadilan dari Tuhan. Ini adalah suatu kesimpulan yang dia ambil sesudah merasakan dan melihat dalam kehidupannya sebuah kenyataan hidup yang pahit, baik itu tragedi, musibah, dan hal-hal yang lain yang tidak dikehendaki, misalnya petaka akhir hayat, kelaparan, sakit yang tak kunjung sembuh walaupun sudah berusaha optimal dan musibah lainnya.

Secara teologi, hal tersebut perlu dijelaskan dengan sebaik mungkin sebab bila pertanyaan tersebut tidak terjawab secara membuat puas, maka hal tersebut dapat menjinjing kerusakan iktikad seorang muslim, karena telah berprasangka buruk kepada Allah.

Persolan persoalan keadilan dalam hal ini terkait dengan setiap usaha insan dan persepsi insan kepada desain takdir. Takdir sebagaimana yang diketahui di bagi menjadi dua, adalah taqdir yang tetap (mubram) dan yang dapat diubah dan diusahakan (mu’allaq). Kaprikornus, perlu dikenali oleh setiap muslim bahwa dalam kehidupan ini daerah yang mu’allaq lebih besar porsinya dari kawasan yang mubram. Taqdir yang dapat diusahakan tersebut berada dalam setiap sisi kehidupan ini dan terkait dengan aturan karena akhir (kausalitas).

Sebagai pola, misalnya, jika seseorang ingin menjadi orang bakir maka ia mesti berguru dengan tekun dan bersungguh-sungguh; kalau ingin menjadi pebisnis kaya, maka mesti berupaya semaksimal mungkin dan berupaya mencari setiap kesempatan perjuangan yang dapat menghadirkan duit; atau, bila tidak mau mendapat musibah tsunami, maka carilah kawasan tinggal yang jauh dari wilayah pantai yang rawan tsunami. Kaprikornus, apa yang terjadi dalam kehidupan kita kini, tidak terlepas dari apa yang kita lakukan dan usahakan pada waktu terdahulu. Oleh alasannya itu, telah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berprasangka baik kepada Tuhan (husnun al-zhann) dalam kehidupannya. Untuk lebih mampu memahaminya, di bawah ini terdapat bagan yang dapat menawarkan gambaran bahwa konsep keadilan sangat terkait dengan desain taqdir.

KONSEP AL-‘ADALAH DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN
Manusia sebagai khalifah Allah di wajah bumi, diperintahkan untuk berlaku adil dan menjiplak keadilan Allah sebagimana Allah sudah berbuat adil kepada hambanya. Pada ketika manusia memaknai ‘keadilan’ bagi kehidupannya, maka pada saat tersebut insan sudah menjalani fitrahnya yang lurus. Dengan kata lain, ‘keadilan’ ialah suatu kewajiban susila yang berasal dari fitrah insan, terlepas dari kepercayaan-doktrin spiritual tertentu.[21] Oleh alasannya adalah itu, tidak hanya terhadap setiap muslim saja untuk dituntut melakukan keadilan, namun juga bagi kalangan non-muslim. Karena dengan melakukan keadilan berarti beliau telah melaksanakan dan mengalirkan fitrah manusia yang esensi. Orang yang tidak bersifat adil berarti beliau sudah membatasi keinginannaluri atau fitrahnya sebagai seorang manusia.

Keadilan memiliki banyak arti dan pemahaman yang luas. Jika keadilan dilihat dalam persepsi insan, apakah seseorang sudah dikatakan berbuat adil, bila ia tidak mempunyai sifat buruk terhadap orang lain, tidak melanggar hak-hak mereka, tidak membedakan sebagian orang dengan sebagian lainnya; kalau beliau bekerja pada sebuah daerah dan bertanggung jawab kepada negara, beliau memperlakukan masyarakat dengan sama dan tak pilih kasih; jika terjadi sebuah perbedaan pendapat, yang dibelanya adalah orang yang teraniaya dan yang ditentangnya adalah orang yang menganiaya, maka orang yang seperti ini sudah memiliki kesempurnaan, sebuah perilaku hidup yang baik, sehingga dapat disebut sebagai “orang yang adil”.[22]

Sebaliknya, orang yang melanggar hak orang lain, melakukan pembedaan tanpa argumentasi yang mewajibkan adanya perbedaan; sewaktu ia menjadi pegawapemerintah pemerintah dia selalu membela orang zalim; menindas orang lemah atau paling tidak bersikap netral kepada kontradiksi dan perdebatan yang terjadi antara orang zalim dan orang yang teraniaya, maka seseorang yang melaksanakan hal ini tidak memiliki rasa keadilan dan mampu disebut ‘orang zalim’.[23]

Bagi manusia biasa, baik pria maupun wanita, dilema yang selalu muncul adalah bagaimana dapat berlaku adil dalam berbagai situasi yang faktual, dan bagaimana mengetahui hal-hal yang menjadi hak-hak kita dan memperlakukan mereka sesuai dengan hak-haknya.

Petunjuk pertama yang diberikan Tuhan kepada umat insan mengenai bagaimana berbuat adil yakni al-Qur’an, Sunnah, dan syari’at, yang dalam statusnya masing-masing sebagai kalimat Tuhan, Ajaran Nabi, dan aturan Tuhan, mesti ialah petunjuk utama untuk memahami keadilan dan bertindak dengan adil. Hidup dan bertindak adil sesuai dengan hukum syari’at mempunyai arti bersikap adil terhadap Tuhan dan juga terhadap makhluknya.[24]

Penafsiran yang sudah diberikan orang-orang terdahulu perihal keadilan adalah, “memperlihatkan hak terhadap orang yang berhak menerimanya.” Setiap insan lahir ke dunia ini dengan membawa kesanggupan tertentu pada permulaan penciptaannya. Dari sini, hak-hak itu dibangun. Kita mesti mengetahui dan meneliti esensi masing-masing sesuatu. Setelah itu, barulah jelas, apa yang patut untuknya dan kesempatanyang dimilikinya. Pada badan manusia, misalnya, mata punya hak. Tangan juga punya hak yang lain. Jika kita memperlihatkan hak mata kepada tangan, maka kita bukan saja tidak berkhidmat kepada tangan, melainkan juga sudah memberhentikannya dari pekerjaannya.[25]

Misalnya, seandainya kita ada pertanyaan, mengapa si polan mampu menjadi seorang pejabat negara dari sekian banyak orang, pastilah orang menjawab bahwa beliau memang patut dan berkualifikasi menduduki jabatan itu. Demikian juga halnya dengan keadilan. Jadi, yang menjadi dasar yakni kelayakan dan kualifikasi. Jika kita memperlihatkan hak kepada orang yang tidak layak dan tidak berhak menerimanya, maka jelaslah bahwa kita telah berbuat zalim dan tidak adil.

Karena itu, agama Islam begitu menekankan prinsip keadilan antara sesama manusia (keadilan sosial). Kita mampu menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Kita tidak boleh mendahulukan hak dibandingkan keharusan, dan begitu juga sebaliknya. Contoh lainnya, misalnya dalam perdagangan, Islam melarang konsep riba alasannya dalam riba terdapat bagian menzalimi dan mampu menetralisir rancangan persaudaraan. inilah desain keadilan Islam yang mesti diterapkan dalam kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
  • Abdul Aziz. A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam, terjemahan: Ilyas Hasan, cetakan kedua, Mizan, Bandung, 1994
  • Abdul Karim Utsman, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1996
  • Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997
  • Ahmad Mahmud Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985
  • Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir, Yogyakarta, 1984
  • Ali Ya’kub Matondang, Pemikiran Kalam Mu’tazilah, Jabal Rahmat, Medan, 1996
  • Al-Munjid, Dar al-Masyriq, Beirut, 1998
  • Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, cetakan keempat, Bandung, 1996
  • _____________, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, 1987
  • _____________, Teologi Islam, UI Press, cetakan kedua, Jakarta, 1972
  • Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, terjemahan: Abd. Rahman Dahlan & Ahmad Qarib, Logos, Jakarta, 1996
  • Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, terjemahan: Agus Effendi, Mizan, Bandung, 1992
  • __________________, Islam Dan Tantangan Zaman, terjemahan: Ahmad Sobandi, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996
  • Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, terjemahan: Suharsono & Djamaluddin MZ, Yogyakarta, 1984
  • ___________________, The Heart Of Islam, Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, terjemahan: Nurasiah Fakih & Sutan Harahap, Mizan, Bandung, 2003
  • Sayid Sabiq, Aqidah Islam, terjemahan: Moh. Abdai Rathomi, cetakan kesembilan, Diponegoro, Bandung, 1989
  • Yunan Yusuf, Corak pemikiran kalam Tafsir al-Azhar, Penamadani, Jakarta, 2003
  • Zuhdi Jarallah, al-Mu’tazilah, Dar al Faris Li Nasyri wa al-Tauzik, Amman, 1990[26]
Footnote
--------------------------
[1] Yunan Yusuf, Corak anutan kalam Tafsir al-Azhar, Penamadani, Jakarta, 2003, h. 93
[2] Adapun lima prinsip dasar Mu’tazilah yaitu: at-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-manzilah baina al-Manzilataini, dan al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahi ‘ani al-Munkar, untuk lebih jelas lihat: Ahmad Mahmud Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami (1) al-Mu’tazilah, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985, h. 119
[3] Ali Ya’kub Matondang, Pemikiran Kalam Mu’tazilah, Jabal Rahmat, Medan, 1996, h. 57
[4] Yunan Yusuf, h. 94
[5] Ibid., h. 95
[6] Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, h. 106
[7] Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiah, terj. Abd. Rahman Dahlan & Ahmad Qarib, Logos, Jakarta, 1996, h. 152
[8] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, 1987, h. 79
[9] Ibid.,
[10] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, terjemahan: Suharsono & Djamaluddin MZ, Yogyakarta, 1984, h. 8
[11] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, terjemahan: Agus Efendi, Mizan, Bandung, 1992, h. 28
[12] Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, cetakan kelima, Jakarta, 1986, h. 118
[13] Ibid., h. 124
[14] Harun Nasution, Islam Rasional, h., 68
[15] Abdul Karim Utsman, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1996, h. 301
[16] Ahmad Mahmud Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985, h. 141
[17] Zuhdi Jarallah, al-Mu’tazilah, Dar al Faris Li Nasyri wa al-Tauzik, Amman, 1990, h. 59
[18] Sayid Sabiq, Aqidah Islam, terjemahan: Moh. Abdai Rathomi, cet. kesembilan, Diponegoro, Bandung, 1989, h. 115
[19] Seyyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam, pesan-pesan universal Islam untuk kemanusiaan, terj. Nurasiah Fakih & Sutan Harahap, Mizan, Bandung, 2003. h. 290
[20] Ibid.,
[21] Abdul Aziz. A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam, Perspektif Syi’ah, terjemahan: Ilyas Hasan, cetakan kedua, Mizan, Bandung, 1994, h. 202
[22] Murtadha Muthahhari, h. 43
[23] Ibid.,
[24] Seyyed Hossein Nasr, Op cit., h. 305
[25] Murtadha Muthahhari, Islam Dan Tantangan Zaman, terjemahan: Ahmad Sobandi, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)