Makalah Neo-Sufisme: Konsep dan Prospeknya di Dunia Islam Modern
Pendahuluan
Ketika arus modernisasi menghujani dunia Islam, proses modernisasi ini menyebabkan dampak-dampak negatif bagi masyarakat Muslim seperti tumbuhnya materialisme, dunialisme dan sebagainya yang mengakibatkan kekosongan jiwa dan keringnya nilai-nilai spiritual umat Muslim. Pada saat insan Muslim menyadari akan kekeringan spirititualitas dan ingin menumbuhkannya kembali, maka satu-satunya jalan yang mampu ditempuh ialah dengan jalan tasawuf. Namun pada umumnya yang terjadi adalah Muslim tersebut cenderung mengikuti teladan-teladan sufisme ortodoks (tarekat-tarekat) yang pada jadinya membuatnya jauh dari hal-hal keduniaan, lari dari kewajibannya selaku khalifah di bumi dan mengelak dari tanggung jawabnya selaku manusia sosial. Maka terjadilah ketimpangan di sini, di mana hasilnya jalan spiritual yang dipilih membuatnya menjauhi hal-hal yang bersifat keduniaan dan cenderung lebih mementingkan masalah darul baka. dalam pola lainnya, misalnya, berkembangnya paham di penduduk Islam utamanya di Indonesia yang menyampaikan “lakukanlah apa yang kamu mau dan kamu suka saat masih muda, dan bila sudah renta barulah bertobat”. Paham yang terang-terang tidak sesuai degan fatwa Islam ini seperti menjadi semacam budaya tersendiri bagi generasi muda Islam sekarang.
Paham semacam ini mengakibatkan sebagian generasi muda Muslim jauh dari anutan agama dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas agama sehingga perbuatan-perbuatan maksiat dianggap sebagai hal yang biasa dan harus dicoba, dan saat sudah berusia tua, barulah datang kala bertobat. Belum lagi terjadinya tindak kekerasan dan kerusakan watak pada generasi muda Islam, mengakibatkan generasi Muslim sunyi dan jauh dari nilai-nilai anutan Islam. Ketika dia menyadari kesalahan-kesalahan yang sudah diperbuatnya selama ini, atau sebab sudah merasa lanjut usia dan sekarang tiba waktunya untuk bertobat, maka lagi-lagi, jalan yang mampu ditempuh untuk menenangkan jiwa dan ingin dekat dan bertobat di hadapan Tuhan, yaitu dengan jalan tasawuf. Ketika ia mengikuti acuan-pola sufisme klasik dengan menjadi seorang salik dan ikut dalam organisasi tarekat, cenderung ada keengganan untuk kembali ke masyarakat. Tidak mau terjun hadir dan ikut ikut serta dalam menghadapi dilema-dilema bareng , atau untuk menolong masyarakat yang memang memerlukan bantuannya. Dengan kata lain, ketika beliau ingin bertobat dan ingin mendapatkan ketenangan batin dengan jalan tasawuf klasik, maka yang dia dapatkan yaitu kesalehan individual dan bukan kesalehan sosial.
Paham yang diajarkan dalam tasawuf klasik pada kenyataannya menyebabkan umat Muslim lebih mementingkan yang hakikat ketimbang syari’at, atau lebih mementingkan masalah darul baka daripada urusan dunia. Pola-teladan tasawuf ortodoks ini telah berabad-abad dibudidayakan dalam masyarakat Muslim. Akibatnya, umat Islam jadi tertinggal dibanding dengan umat-umat yang lain karena lebih mementingkan problem darul baka dan condong menjauhi masalah dunia. Pantaslah kalau sebagian pemikir menyampaikan bahwa tasawuf telah menimbulkan umat Islam mundur dan terbelakang…? (mana referensinya)
Di sinilah perlu diketengahkan perihal rancangan neo-sufisme sebab inspirasi paling penting dari neo-sufisme yaitu tawazun atau keseimbangan, ialah keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara kesalihan individu dan kesalihan sosial.
Tetapi dikala kini, neo-sufisme dapat dibilang belum mempunyai kejelasan secara rancangan dan prakteknya atau belum begitu dikenal dalam sehingga dapat digunakan dalam kehidupan masyarakat Muslim sekarang. Masyarakat Muslim masih condong mengikuti pola-pola tasawuf klasik yang telah terperinci rancangan dan amalannya.
Neo-sufime yang merupakan gerakan “reformasi” sufisme terdahulu atau pembaruan sufisme ortodoks, digagas pertama kali oleh Al-Ghazali. Landasan pikir yang dikembangkannya adalah apa yang diketahui dengan istilah syari`at, thariqat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Artinya bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses gradual dan kumulatif antara syari`at dan sufisme. Sebelum memasuki dunia tasawuf, harus lebih dulu mengerti syari`at secara benar dan mendalam. Kemudian menjalani proses thariqat. Thariqat yaitu semacam tata cara esoteris yang mau menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi, yaitu hakikat. (A. Rivay Siregar, h. 246)
Terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir Muslim kontemporer, adalah Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul “Islam”. Sebelum Fazlur, sebetulnya di Indonesia, Hamka sudah menampilkan perumpamaan tasawuf modern yang digagasnya dalam suatu buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Tetapi dalam buku ini tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan buku ini, tampakadanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal uzlah. Kalau al-Gazali mensyaratkan `uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menginginkan supaya seseorang yang mencari kebenaran hakiki untuk tetap aktif dalam aneka macam faktor kehidupan masyarakat. (Rivay, h. 248)
Berdasarkan latar belakang persoalan di atas, maka pokok problem yang akan dibahas dalam penelitian ini yakni:
Bagaimana kesempatan Neo-sufisme ke depan dalam menumbuhkan nilai-nilai spiritual Muslim remaja ini?
Berbagai pertanyaan di atas ialah beberapa hal sentral yang menjadi pokok masalah dalam rancangan Neo-sufisme. Dalam penelitian ini nantinya akan merujuk pada goresan pena-tulisan yang berkaitan dengan persoalan tersebut, di antaranya:
1. Hamka, Tasawuf Modern
2. Ahmad Rivay Siregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme
3. Fazlur Rahman, Islam
4. Sulaiman Tebba, Tasawuf Positif
5. Seyyed Hossein Nasr, Spirituality in Modern World
6. dan beberapa buku lain yang dianggap mendukung.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagaimana diterangkan terdahulu, bahwa observasi ini membahas sebuah rancangan yang masih perlu diperjelas lagi. Untuk itu, tujuan observasi ini cuma memperlihatkan balasan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sudah dibatasi pada rumusan problem yang mengacu pada inventarisasi,[1] yaitu menghimpun semua karya literatur dan karya tulis yang berhubungan dengan rancangan Neo-sufisme, kemudian berupaya untuk merumuskannya dengan metodologi yang terang supaya menjadi pemikiran yang lebih utuh dan sistematis.
Adapun manfaat penelitian ini, diharapkan mampu memajukan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian ilmiah dan berfikir secara kritis dan sistematis. Sejajar dengan itu, hasil observasi ini dibutuhkan menjadi sumbangan pedoman terhadap kemajuan khazanah ilmu wawasan Islam utamanya dalam pemikiran tasawuf di Indonesia.
D. Batasan Istilah
Judul penelitian ini yaitu “Neo-sufisme: Konsep dan kesempatannya di Dunia Islam Modern”. Judul observasi ini meliputi beberapa istilah kunci yaitu Neo-sufisme, rancangan, prospek, dunia Islam, dan terbaru. Perlunya penegasan dan pembatasan istilah guna menyingkir dari kesimpang siuran pemahaman terhadap observasi ini.
Konsep dapat diartikan….
Prospek dapat diartikan….
Dunia Islam ialah….
Modern artinya “modern, canggih atau sikap dan cara berfikir serta cara bertindak sesuai dengan permintaan zaman”.[2]
Sementara itu, Islam ialah suatu agama yang berisi pemikiran-fatwa yang diturunkan Allah SWT terhadap insan lewat nabi Muhammad SAW yang diutus selaku rasul pembawa anutan tersebut.[3] Islam juga mengambil bentuk sikap penyerahan diri seluruhnya kepada kehendak Allah SWT atas segala kehendaknya.[4]
E. Kajian Terdahulu
F. Metodologi Penelitian
G. Garis Besar Isi Tesis
Latar belakanng Masalah
Istilah modernisasi, mirip beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang sudah digunakan dan masuk kedalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini ialah gerakan yang timbul antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M., sebuah masa yang populer dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, ialah abad pemujaaan nalar.[5] Modernisasi Eropa tersebut merupakan sebuah pemikiran, gerakan atau paham yang berupaya mengubah adat istiadat atau institusi-institusi lama dan sebagainya, biar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan kondisi-keadaan gres yang ditimbulkan oleh ilmu wawasan dan teknologi modern.
Ketika ungkapan modernisasi masuk dan diadopsi kedalam dunia Islam pada zaman modern ini, oleh para tokoh dan pemikir kadang kala istilah tersebut sering dibolak-balik menjadi Islam modern, modernisme Islam, modernitas dalam Islam dan dalam bentuk yang lain. Dalam hal ini, istilah-ungkapan tersebut sebenarnya memiliki makna yang serupa dan selaras tujuannya dengan modernisasi Islam. jadi, istilah ini merupakan istilah yang sering digaungkan dan didengungkan oleh para pemikir Islam untuk memperbaharui realitas-realitas yang terjadi pada penduduk Islam sekarang. Lantas, pertanyaan yang timbul kemudian ialah; bagaimana bahwasanya keadaan umat Islam sekarang? dan perlukah Islam itu dimodernisasi?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka ada baiknya bila kita menyaksikan eksklusif terhadap realitas yang terjadi pada umat Islam dikala ini. Salah satu realitas yang mampu ditunjukkan yaitu bahwa umat Islam dikala kini merupakan penduduk yang menempati posisi di bawah masyarakat Barat (Eropa) dalam aneka macam bidang kehidupan. Berbicara tentang peradaban yang maju, kemajuan ilmu wawasan dan teknologi juga kalah dari mereka. Ada apa bahu-membahu dengan Islam? sehingga banyak para pemikir Islam yang mengernyitkan dahinya untuk memikirkan hal ini hingga mencari solusinya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa umat Islam mundur alasannya adalah masih berkutat dengan tata cara atau acuan-contoh tradisional yang ortodok. Sistem yang digunakan khususnya berkaitan dengan pengertian keagamaan atau pola fikir umat Islam sudah usang dan tidak berkaitan lagi dengan keperluan zaman modern. Mungkin hal tersebut ada benarnya, sebab itu, modernisasi kelihatannya kembali digalakkan oleh para pemikir muslim untuk menyebabkan umat Islam sebagai umat yang memiliki kedinamisan dan bisa bertahan dengan berbagai permintaan zaman yang kian kompleks.
Jika melihat keadaan umat Islam yang ada di Indonesia, maka akan semakin terang bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia masih berkutat dalam pola-contoh dan tradisi lama. Pemahaman mengenai keyakinan-kepercayaan yang masih tradisional tampaknya masih terus dipelihara dan dipertahankan. Fazlur Rahman dalam penelitiannya mengatakan bahwa orang-orang Indonesia yang pergi ke Makkah dan tinggal bertahun-tahun di sana dan membuatkan intelektualisme Islam ortodoks-khususnya teologi ortodoks dan hadis,[6] dikala kembali ke Indonesia, mulai berbagi ilmu-ilmu mereka di pesantren-pesantren, yang sedikit demi sedikit berkembang menjadi madrasah. Alumni-alumninya lalu kembali ke masyarakat dan mengembangkan ilmu-ilmu klasik yang kebanyakan berisi doktrin-kepercayaan yang tidak akliah (rasional), aku dalam hal ini tidak menyatakan bahwa contoh-acuan tradisional tersebut buruk dan tidak baik (anutan-ajaran yang dikembangkan oleh ulama-ulama klasik itu sangat jenius dan mampu bertahan dalam era waktu yang panjang) tetapi ada masanya di mana paham-paham (pendapat) klasik tersebut tidak dapat menyikapi aneka macam masalah zaman yang semakin kompleks.
Studi mengenai Islam modern, sebetulnya meliputi asumsi-anggapan, dilema-persoalan dan gerakan yang muncul di dunia Islam modern sebagai akibat dari kontak yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam. Harun Nasution menyebutkan bahwa dalam usaha modernisasi itu, umat Islam sampai kini masih lebih banyak berkaitan dengan faktor dari material dari perkembangan barat seperti alat-alat industri, ekonomi, pendidikan, pers dan lain-lain, dari pada faktor spiritual dan mentalnya.[7] Jadi secara lahiriah umat Islam saat sekarang sudah menjadi terbaru, tetapi secara batiniah atau mental masih banyak yang bersifat tradisional, belum ada keseimbangan antara faktor material dengan aspek mental dalam upaya melaksanakan modernisasi ini.
Mungkin, sebuah pola yang bisa dikemukakan untuk mendukung pernyataan Harun nasution tersebut, bahwa penduduk Islam terutama di Indonesia cenderung masih belum bisa menerima banyak kebenaran. Kebenaran masih dipandang dari satu segi saja. Apabila berbeda dan melangkahi tuntunan dari agama secara normatif, maka telah dianggap salah dan bid’ah (mengada-ada), ini masih banyak terjadi di Indonesia. Belum lagi duduk perkara-dilema yang berkaitan dengan doktrin dan kepercayaan, condong masih sungguh rentan ada pernyataan “saya yang benar dan mereka itu salah”
Salah satu pemikir Islam yang tanggapandengan hal tersebut yakni Nurcholish Madjid. Pemikiran modern Nurcholish Madjid sudah dikenal pada tahun 1970-an. Modernisasi baginya identik dengan “rasionalisasi”. Bagi seorang muslim, katanya, modernisasi yaitu suatu kewajiban, bahkan suatu keharusan mutlak. Dalam arti rasionalisasi yakni kewajiban agama, karena diperintah oleh ilahi.[8] Akan tetapi pemikirannya sesudah tahun 1970-an dianggap selaku saat-saat lahirnya gerakan pembaharuan pada sebagian perjaka muslim yang sungguh radikal dalam pemikiran regio-politik Islam di masa orde gres Indonesia.[9]
Ide-ide pembaruan dikemukakan secara formal pertama kali dalam sebuah makalah yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970 dengan judul “Keharusan pembaharuan anutan Islam dan masalah integrasi umat”. Makalah ini dibacakan dalam rangka silaturahmi Idul fitri atau halal bil halal yang diadakan bersama oleh empat organisasi perjaka dan mahasiswa muslim terkemuka, HMI, GPI, PII, dan PERSAMI. Makalah tersebut berisii lima poin, yakni: 1) Pendahuluan, 2) Islam Yes, Partai Islam No, 3) Kwantita versus kwalita, 4) Liberalisasi persepsi kepada “pemikiran Islam” kini, yang terbagi terhadap: sekularisasi, keleluasaan berfikir, dan sikap terbuka (idea of progress), dan 5) Diperlukan kelompok pembaharuan yang liberal.[10]
Berdasarkan realitas tersebut, tak susah disepakati bahwa Nurcholish Madjid yang dekat disapa “Cak Nur” masuk kedalam klasifikasi pemikir neo-modernis Islam di Indonesia. Pemikiran dan gagasannya banyak dikagumi sekaligus dicaci maki oleh banyak orang. Meminjam istilah profesor Syahrin, maka Nurcholish Madjid ialah tipe seorang shocker (pembuat kejutan) terhadap ide-pemikiran yang diboomingkannya. Ketika umat Islam seperti sedang terbuai dalam tidur nyenyak, dibentuk terpelanting dari kawasan tidurnya alasannya kagetdengan gagasan pemikiran Islam cak Nur. Misalnya saja tentang masalah buku Fiqh Lintas Agama karya penulis-penulis Paramadina yang notabene cak Nur juga masuk di dalamnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Nurcholish Madjid juga merupakan pelanjut dari pejuang-pejuang pemikir modernis Islam di periode lampau. Menurutnya “Islam harus dilibatkan dalam pergumulan-pergulatan modernistik”. Daya tarik Nurcholish Madjid bahwasanya terletak dalam gagasannya tentang rasionalisasi, sekularisasi dan pluralisme agama. Jika konsep-rancangan tersebut ditelusuri dan dicari akarnya, itu ialah buah dari gagasannya mengenai modernisasi Islam, alasannya gagasan modernisasi akan melahirkan pandangan baru-ilham gres sebagai buah dari modernisasi tersebut seperti rasionalisme, nasionalisme, sosialisme, deomkrasi dan lain sebagainya.[11] Jadi, inspirasi-pandangan baru cak Nur yang “heboh intelektual” tersebut merupakan konsekwensi terhadap pemikiran modernisasi Islam itu sendiri.
Sebenarnya masih banyak lagi pemikiran -gagasan Nurcholish Madjid seputar problem-problem keislaman yang cukup menawan untuk dikaji. Namun dalam observasi ini, penulis akan memfokuskan observasi pada ide modernisasi Islam saja, dan akan menjalar terhadap pandangan baru-ide yang meningkat disekitarnya seperti rasionalisasi, sekularisasi dan pluralitas agama. Gagasan-pemikiran yang cukup menawan tersebut tentunya disokong oleh sosok Nurcholish Madjid sendiri selaku pemikir kontemporer Islam yang cukup terkenal di Indonesia dan gres saja pergi meninggalkan kita semua untuk menghadap sang pencipta Allah SWT. Semoga nilai-nilai perjuangannya kepada Islam diberi ganjaran yang setimpal
H. Penelitian Terdahulu
Sebagai pemikir muslim yang terkenal di Indonesia, penulis berhipotesis bahwa telah banyak sejumlah observasi yang sudah dilaksanakan terhadap Nurcholish Madjid yang tersebar di seluruh Indonesia, baik observasi itu dikerjakan oleh penulis-penulis Indonesia bahkan oleh peneliti Asing. Namun dalam hal ini observasi-penelitian wacana Nurcholish Madjid tersebut tidak dapat terdeteksi seluruhnya oleh penulis dikarenakan peluang dan waktu penulisan anjuran yang begitu singkat. Berdasarkan penelusuran penulis ke perpustakaan-perpustakaan dan toko buku, maka penulis memperoleh sebuah penelitian yang dilakukan kepada Nurcholish Madjid, adalah:
Aisyah, Konsep Pluralisme Agama Dalam Pemikiran Nurcholish Madjid Dan Aplikasinya Dalam Pembinaan Kerukunan Beragama Di Sumatera Utara (IAIN-SU: Tesis, 2002). Penelitian ini membicarakan ihwal pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme agama selaku sebuah kemajemukan yang harus sikapi dengan baik oleh umat Islam, dikaitkan dan diaplikasikan dengan pelatihan kerukunan umat beragama di Sumatera Utara.
I. Metodologi Penelitian
a. Sumber Data
Sumber data yang dipakai dalam observasi ini mencakup terhadap sumber primer dan sekunder. Sumber primer atau sumber pokok dalam penelitian ini, yaitu termuat dalam buku Nurcholish Madjid yang berjudul Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Sebuah buku yang berisi gagasan-pemikiran Nurcholish Madjid selama lebih kurang dua dasawarsa. Buku ini berisi ajaran-pemikirannya ihwal modernisasi Islam dalam konteks keindonesiaan, juga seputar duduk perkara-dilema atau isu yang berkembang dari desain modernisasi Islam itu sendiri mirip rasionalisasi, sekularisasi dan seterusnya.
Sedangkan sumber sekunder yakni sumber penunjang terhadap sumber pokok, ialah sumber atau acuan baik dalam goresan pena Nurcholish Madjid sendiri, maupun dari goresan pena orang lain tentang modernisasi Islam secara umum serta pembahasan-pembahasan yang bersinggungan dengan pemikiran Nurcholish Madjid mengenai modernisasi Islam. Adapun sumber-sumber sekunder tersebut antara lain:
Karena berhubungan dengan seorang tokoh yang hidup dalam kurun waktu tertentu, maka secara metodologis observasi ini menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) yang tercakup di dalamnya ihwal biografi tokoh yang diteliti, yaitu penelitian kepada latar belakang kehidupan tokoh dari abad kecilnya, pendidikan, orang-orang yang mensugesti pemikirannya, diskursus yang berkembang dikala pemikirannya muncul, keadaan politik, ekonomi, sosial budaya kala tersebut dan lain sebagainya.
Adapun dalam penelusuran data, observasi ini memakai observasi pustaka (library research) dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid sebagai sumber pokok dan sumber pendukung. Begitu juga dengan penulis-penulis lain yang berbicara tentang pemikiran Nurcholish Madjid tersebut atau yang berkaitan dengan info-berita seputar masalah modernisasi Islam di Indonesia.
J. Sistematika Pembahasan
Dengan menggunakan pendekatan dan sistem di atas, maka penelitian ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut:
Pada bagian pendahuluan akan dijelaskan tentang latar belakang duduk perkara, rumusan atau batasan problem, penegasan perumpamaan, tujuan dan faedah penelitian. Selanjutnya diterangkan mengenai kajian-kajian terdahulu menyangkut anutan-aliran Nurcholish Madjid, sumber-sumber yang dipakai, sistem dan pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini.
Pada bab kedua kajian pustaka, berisi perihal hal-hal yang melatar belakangi hadirnya gagasan Nurcholish Madjid wacana modernisasi Islam di Indonesia, info-gosip yang berkembang seputar modernisasi Islam seperti sekularisasi, rasionalisasi, pluralitas agama dan seterusnya. Bab ini juga akan menerangkan ihwal kehidupan Nurcholish Madjid yang terdiri dari; riwayat hidup, pertumbuhan intelektual, dan tokoh-tokoh yang menghipnotis pemikiriannya.
Selanjutnya pada bab tiga, akan diterangkan wacana tata cara dan pendekatan yang dijalankan oleh Nurcholish Madjid dalam mengecek fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat Islam Indonesia sehingga melahirkan ide tentang modernisasi Islam.
Pada bab empat akan berisi kesimpulan dari penelitian dan analisis peneliti tentang pemikiran Nurcholish Madjid perihal modernisasi Islam di Indonesia.
Referensi
[1] Inventarisasi: membaca dan mempelajari secara luas dan mendalam pedoman seorang tokoh sehingga mampu diuraikan setepat dan sejelas mungkin. Hal ini sangat urgen dijalankan alasannya untuk mengetahui pedoman seorang tokoh akan sukar dijalankan oleh orang yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam kepada objek yang diteliti. Lihat; George J Moily, The Science of Education Research, American Book Company, New York, 1963, h. 226
[2] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, h. 622
[3] Lihat; Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI-Press, Jakarta, 1985, h. 24
[4] Ibid.,
[5] Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, Cet. Ke-5, 1998, h. 181
[6] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Pustaka, Tentang Transformasi Intelektrual Bandung, 1985, h. 52
[7] Harun Nasution, Islam Rasional., h. 186
[8] Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Responses To “New Order” Modernisation In Indonesia, Terj. Ahmadi Thaha, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 30
[9] Ibid., h. 14
[10] Lihat goresan pena Nurcholish Madjid dalam Majalah Panji Masyarakat, no. 51, Pebruari 1970, h. 5-6
[11] Harun Nasution, Islam Rasional., h. 182
Paham semacam ini mengakibatkan sebagian generasi muda Muslim jauh dari anutan agama dan jauh dari nilai-nilai spiritualitas agama sehingga perbuatan-perbuatan maksiat dianggap sebagai hal yang biasa dan harus dicoba, dan saat sudah berusia tua, barulah datang kala bertobat. Belum lagi terjadinya tindak kekerasan dan kerusakan watak pada generasi muda Islam, mengakibatkan generasi Muslim sunyi dan jauh dari nilai-nilai anutan Islam. Ketika dia menyadari kesalahan-kesalahan yang sudah diperbuatnya selama ini, atau sebab sudah merasa lanjut usia dan sekarang tiba waktunya untuk bertobat, maka lagi-lagi, jalan yang mampu ditempuh untuk menenangkan jiwa dan ingin dekat dan bertobat di hadapan Tuhan, yaitu dengan jalan tasawuf. Ketika ia mengikuti acuan-pola sufisme klasik dengan menjadi seorang salik dan ikut dalam organisasi tarekat, cenderung ada keengganan untuk kembali ke masyarakat. Tidak mau terjun hadir dan ikut ikut serta dalam menghadapi dilema-dilema bareng , atau untuk menolong masyarakat yang memang memerlukan bantuannya. Dengan kata lain, ketika beliau ingin bertobat dan ingin mendapatkan ketenangan batin dengan jalan tasawuf klasik, maka yang dia dapatkan yaitu kesalehan individual dan bukan kesalehan sosial.
Paham yang diajarkan dalam tasawuf klasik pada kenyataannya menyebabkan umat Muslim lebih mementingkan yang hakikat ketimbang syari’at, atau lebih mementingkan masalah darul baka daripada urusan dunia. Pola-teladan tasawuf ortodoks ini telah berabad-abad dibudidayakan dalam masyarakat Muslim. Akibatnya, umat Islam jadi tertinggal dibanding dengan umat-umat yang lain karena lebih mementingkan problem darul baka dan condong menjauhi masalah dunia. Pantaslah kalau sebagian pemikir menyampaikan bahwa tasawuf telah menimbulkan umat Islam mundur dan terbelakang…? (mana referensinya)
Di sinilah perlu diketengahkan perihal rancangan neo-sufisme sebab inspirasi paling penting dari neo-sufisme yaitu tawazun atau keseimbangan, ialah keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, antara kesalihan individu dan kesalihan sosial.
Tetapi dikala kini, neo-sufisme dapat dibilang belum mempunyai kejelasan secara rancangan dan prakteknya atau belum begitu dikenal dalam sehingga dapat digunakan dalam kehidupan masyarakat Muslim sekarang. Masyarakat Muslim masih condong mengikuti pola-pola tasawuf klasik yang telah terperinci rancangan dan amalannya.
Neo-sufime yang merupakan gerakan “reformasi” sufisme terdahulu atau pembaruan sufisme ortodoks, digagas pertama kali oleh Al-Ghazali. Landasan pikir yang dikembangkannya adalah apa yang diketahui dengan istilah syari`at, thariqat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Artinya bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses gradual dan kumulatif antara syari`at dan sufisme. Sebelum memasuki dunia tasawuf, harus lebih dulu mengerti syari`at secara benar dan mendalam. Kemudian menjalani proses thariqat. Thariqat yaitu semacam tata cara esoteris yang mau menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi, yaitu hakikat. (A. Rivay Siregar, h. 246)
Terminologi Neo-Sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir Muslim kontemporer, adalah Fazlur Rahman dalam bukunya yang berjudul “Islam”. Sebelum Fazlur, sebetulnya di Indonesia, Hamka sudah menampilkan perumpamaan tasawuf modern yang digagasnya dalam suatu buku yang berjudul “Tasawuf Modern”. Tetapi dalam buku ini tidak ditemui kata Neo-Sufisme. Keseluruhan buku ini, tampakadanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal uzlah. Kalau al-Gazali mensyaratkan `uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menginginkan supaya seseorang yang mencari kebenaran hakiki untuk tetap aktif dalam aneka macam faktor kehidupan masyarakat. (Rivay, h. 248)
Berdasarkan latar belakang persoalan di atas, maka pokok problem yang akan dibahas dalam penelitian ini yakni:
- Bagaimanakah konsep Neo-sufisme yang meningkat dalam dunia tasawuf?
Berbagai pertanyaan di atas ialah beberapa hal sentral yang menjadi pokok masalah dalam rancangan Neo-sufisme. Dalam penelitian ini nantinya akan merujuk pada goresan pena-tulisan yang berkaitan dengan persoalan tersebut, di antaranya:
1. Hamka, Tasawuf Modern
2. Ahmad Rivay Siregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme
3. Fazlur Rahman, Islam
4. Sulaiman Tebba, Tasawuf Positif
5. Seyyed Hossein Nasr, Spirituality in Modern World
6. dan beberapa buku lain yang dianggap mendukung.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sebagaimana diterangkan terdahulu, bahwa observasi ini membahas sebuah rancangan yang masih perlu diperjelas lagi. Untuk itu, tujuan observasi ini cuma memperlihatkan balasan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sudah dibatasi pada rumusan problem yang mengacu pada inventarisasi,[1] yaitu menghimpun semua karya literatur dan karya tulis yang berhubungan dengan rancangan Neo-sufisme, kemudian berupaya untuk merumuskannya dengan metodologi yang terang supaya menjadi pemikiran yang lebih utuh dan sistematis.
Adapun manfaat penelitian ini, diharapkan mampu memajukan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian ilmiah dan berfikir secara kritis dan sistematis. Sejajar dengan itu, hasil observasi ini dibutuhkan menjadi sumbangan pedoman terhadap kemajuan khazanah ilmu wawasan Islam utamanya dalam pemikiran tasawuf di Indonesia.
D. Batasan Istilah
Judul penelitian ini yaitu “Neo-sufisme: Konsep dan kesempatannya di Dunia Islam Modern”. Judul observasi ini meliputi beberapa istilah kunci yaitu Neo-sufisme, rancangan, prospek, dunia Islam, dan terbaru. Perlunya penegasan dan pembatasan istilah guna menyingkir dari kesimpang siuran pemahaman terhadap observasi ini.
Konsep dapat diartikan….
Prospek dapat diartikan….
Dunia Islam ialah….
Modern artinya “modern, canggih atau sikap dan cara berfikir serta cara bertindak sesuai dengan permintaan zaman”.[2]
Sementara itu, Islam ialah suatu agama yang berisi pemikiran-fatwa yang diturunkan Allah SWT terhadap insan lewat nabi Muhammad SAW yang diutus selaku rasul pembawa anutan tersebut.[3] Islam juga mengambil bentuk sikap penyerahan diri seluruhnya kepada kehendak Allah SWT atas segala kehendaknya.[4]
E. Kajian Terdahulu
F. Metodologi Penelitian
G. Garis Besar Isi Tesis
Latar belakanng Masalah
Istilah modernisasi, mirip beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang sudah digunakan dan masuk kedalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini ialah gerakan yang timbul antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M., sebuah masa yang populer dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, ialah abad pemujaaan nalar.[5] Modernisasi Eropa tersebut merupakan sebuah pemikiran, gerakan atau paham yang berupaya mengubah adat istiadat atau institusi-institusi lama dan sebagainya, biar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan kondisi-keadaan gres yang ditimbulkan oleh ilmu wawasan dan teknologi modern.
Ketika ungkapan modernisasi masuk dan diadopsi kedalam dunia Islam pada zaman modern ini, oleh para tokoh dan pemikir kadang kala istilah tersebut sering dibolak-balik menjadi Islam modern, modernisme Islam, modernitas dalam Islam dan dalam bentuk yang lain. Dalam hal ini, istilah-ungkapan tersebut sebenarnya memiliki makna yang serupa dan selaras tujuannya dengan modernisasi Islam. jadi, istilah ini merupakan istilah yang sering digaungkan dan didengungkan oleh para pemikir Islam untuk memperbaharui realitas-realitas yang terjadi pada penduduk Islam sekarang. Lantas, pertanyaan yang timbul kemudian ialah; bagaimana bahwasanya keadaan umat Islam sekarang? dan perlukah Islam itu dimodernisasi?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka ada baiknya bila kita menyaksikan eksklusif terhadap realitas yang terjadi pada umat Islam dikala ini. Salah satu realitas yang mampu ditunjukkan yaitu bahwa umat Islam dikala kini merupakan penduduk yang menempati posisi di bawah masyarakat Barat (Eropa) dalam aneka macam bidang kehidupan. Berbicara tentang peradaban yang maju, kemajuan ilmu wawasan dan teknologi juga kalah dari mereka. Ada apa bahu-membahu dengan Islam? sehingga banyak para pemikir Islam yang mengernyitkan dahinya untuk memikirkan hal ini hingga mencari solusinya. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa umat Islam mundur alasannya adalah masih berkutat dengan tata cara atau acuan-contoh tradisional yang ortodok. Sistem yang digunakan khususnya berkaitan dengan pengertian keagamaan atau pola fikir umat Islam sudah usang dan tidak berkaitan lagi dengan keperluan zaman modern. Mungkin hal tersebut ada benarnya, sebab itu, modernisasi kelihatannya kembali digalakkan oleh para pemikir muslim untuk menyebabkan umat Islam sebagai umat yang memiliki kedinamisan dan bisa bertahan dengan berbagai permintaan zaman yang kian kompleks.
Jika melihat keadaan umat Islam yang ada di Indonesia, maka akan semakin terang bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia masih berkutat dalam pola-contoh dan tradisi lama. Pemahaman mengenai keyakinan-kepercayaan yang masih tradisional tampaknya masih terus dipelihara dan dipertahankan. Fazlur Rahman dalam penelitiannya mengatakan bahwa orang-orang Indonesia yang pergi ke Makkah dan tinggal bertahun-tahun di sana dan membuatkan intelektualisme Islam ortodoks-khususnya teologi ortodoks dan hadis,[6] dikala kembali ke Indonesia, mulai berbagi ilmu-ilmu mereka di pesantren-pesantren, yang sedikit demi sedikit berkembang menjadi madrasah. Alumni-alumninya lalu kembali ke masyarakat dan mengembangkan ilmu-ilmu klasik yang kebanyakan berisi doktrin-kepercayaan yang tidak akliah (rasional), aku dalam hal ini tidak menyatakan bahwa contoh-acuan tradisional tersebut buruk dan tidak baik (anutan-ajaran yang dikembangkan oleh ulama-ulama klasik itu sangat jenius dan mampu bertahan dalam era waktu yang panjang) tetapi ada masanya di mana paham-paham (pendapat) klasik tersebut tidak dapat menyikapi aneka macam masalah zaman yang semakin kompleks.
Studi mengenai Islam modern, sebetulnya meliputi asumsi-anggapan, dilema-persoalan dan gerakan yang muncul di dunia Islam modern sebagai akibat dari kontak yang terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam. Harun Nasution menyebutkan bahwa dalam usaha modernisasi itu, umat Islam sampai kini masih lebih banyak berkaitan dengan faktor dari material dari perkembangan barat seperti alat-alat industri, ekonomi, pendidikan, pers dan lain-lain, dari pada faktor spiritual dan mentalnya.[7] Jadi secara lahiriah umat Islam saat sekarang sudah menjadi terbaru, tetapi secara batiniah atau mental masih banyak yang bersifat tradisional, belum ada keseimbangan antara faktor material dengan aspek mental dalam upaya melaksanakan modernisasi ini.
Mungkin, sebuah pola yang bisa dikemukakan untuk mendukung pernyataan Harun nasution tersebut, bahwa penduduk Islam terutama di Indonesia cenderung masih belum bisa menerima banyak kebenaran. Kebenaran masih dipandang dari satu segi saja. Apabila berbeda dan melangkahi tuntunan dari agama secara normatif, maka telah dianggap salah dan bid’ah (mengada-ada), ini masih banyak terjadi di Indonesia. Belum lagi duduk perkara-dilema yang berkaitan dengan doktrin dan kepercayaan, condong masih sungguh rentan ada pernyataan “saya yang benar dan mereka itu salah”
Salah satu pemikir Islam yang tanggapandengan hal tersebut yakni Nurcholish Madjid. Pemikiran modern Nurcholish Madjid sudah dikenal pada tahun 1970-an. Modernisasi baginya identik dengan “rasionalisasi”. Bagi seorang muslim, katanya, modernisasi yaitu suatu kewajiban, bahkan suatu keharusan mutlak. Dalam arti rasionalisasi yakni kewajiban agama, karena diperintah oleh ilahi.[8] Akan tetapi pemikirannya sesudah tahun 1970-an dianggap selaku saat-saat lahirnya gerakan pembaharuan pada sebagian perjaka muslim yang sungguh radikal dalam pemikiran regio-politik Islam di masa orde gres Indonesia.[9]
Ide-ide pembaruan dikemukakan secara formal pertama kali dalam sebuah makalah yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid di Jakarta, pada tanggal 2 Januari 1970 dengan judul “Keharusan pembaharuan anutan Islam dan masalah integrasi umat”. Makalah ini dibacakan dalam rangka silaturahmi Idul fitri atau halal bil halal yang diadakan bersama oleh empat organisasi perjaka dan mahasiswa muslim terkemuka, HMI, GPI, PII, dan PERSAMI. Makalah tersebut berisii lima poin, yakni: 1) Pendahuluan, 2) Islam Yes, Partai Islam No, 3) Kwantita versus kwalita, 4) Liberalisasi persepsi kepada “pemikiran Islam” kini, yang terbagi terhadap: sekularisasi, keleluasaan berfikir, dan sikap terbuka (idea of progress), dan 5) Diperlukan kelompok pembaharuan yang liberal.[10]
Berdasarkan realitas tersebut, tak susah disepakati bahwa Nurcholish Madjid yang dekat disapa “Cak Nur” masuk kedalam klasifikasi pemikir neo-modernis Islam di Indonesia. Pemikiran dan gagasannya banyak dikagumi sekaligus dicaci maki oleh banyak orang. Meminjam istilah profesor Syahrin, maka Nurcholish Madjid ialah tipe seorang shocker (pembuat kejutan) terhadap ide-pemikiran yang diboomingkannya. Ketika umat Islam seperti sedang terbuai dalam tidur nyenyak, dibentuk terpelanting dari kawasan tidurnya alasannya kagetdengan gagasan pemikiran Islam cak Nur. Misalnya saja tentang masalah buku Fiqh Lintas Agama karya penulis-penulis Paramadina yang notabene cak Nur juga masuk di dalamnya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa Nurcholish Madjid juga merupakan pelanjut dari pejuang-pejuang pemikir modernis Islam di periode lampau. Menurutnya “Islam harus dilibatkan dalam pergumulan-pergulatan modernistik”. Daya tarik Nurcholish Madjid bahwasanya terletak dalam gagasannya tentang rasionalisasi, sekularisasi dan pluralisme agama. Jika konsep-rancangan tersebut ditelusuri dan dicari akarnya, itu ialah buah dari gagasannya mengenai modernisasi Islam, alasannya gagasan modernisasi akan melahirkan pandangan baru-ilham gres sebagai buah dari modernisasi tersebut seperti rasionalisme, nasionalisme, sosialisme, deomkrasi dan lain sebagainya.[11] Jadi, inspirasi-pandangan baru cak Nur yang “heboh intelektual” tersebut merupakan konsekwensi terhadap pemikiran modernisasi Islam itu sendiri.
Sebenarnya masih banyak lagi pemikiran -gagasan Nurcholish Madjid seputar problem-problem keislaman yang cukup menawan untuk dikaji. Namun dalam observasi ini, penulis akan memfokuskan observasi pada ide modernisasi Islam saja, dan akan menjalar terhadap pandangan baru-ide yang meningkat disekitarnya seperti rasionalisasi, sekularisasi dan pluralitas agama. Gagasan-pemikiran yang cukup menawan tersebut tentunya disokong oleh sosok Nurcholish Madjid sendiri selaku pemikir kontemporer Islam yang cukup terkenal di Indonesia dan gres saja pergi meninggalkan kita semua untuk menghadap sang pencipta Allah SWT. Semoga nilai-nilai perjuangannya kepada Islam diberi ganjaran yang setimpal
H. Penelitian Terdahulu
Sebagai pemikir muslim yang terkenal di Indonesia, penulis berhipotesis bahwa telah banyak sejumlah observasi yang sudah dilaksanakan terhadap Nurcholish Madjid yang tersebar di seluruh Indonesia, baik observasi itu dikerjakan oleh penulis-penulis Indonesia bahkan oleh peneliti Asing. Namun dalam hal ini observasi-penelitian wacana Nurcholish Madjid tersebut tidak dapat terdeteksi seluruhnya oleh penulis dikarenakan peluang dan waktu penulisan anjuran yang begitu singkat. Berdasarkan penelusuran penulis ke perpustakaan-perpustakaan dan toko buku, maka penulis memperoleh sebuah penelitian yang dilakukan kepada Nurcholish Madjid, adalah:
Aisyah, Konsep Pluralisme Agama Dalam Pemikiran Nurcholish Madjid Dan Aplikasinya Dalam Pembinaan Kerukunan Beragama Di Sumatera Utara (IAIN-SU: Tesis, 2002). Penelitian ini membicarakan ihwal pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme agama selaku sebuah kemajemukan yang harus sikapi dengan baik oleh umat Islam, dikaitkan dan diaplikasikan dengan pelatihan kerukunan umat beragama di Sumatera Utara.
I. Metodologi Penelitian
a. Sumber Data
Sumber data yang dipakai dalam observasi ini mencakup terhadap sumber primer dan sekunder. Sumber primer atau sumber pokok dalam penelitian ini, yaitu termuat dalam buku Nurcholish Madjid yang berjudul Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Sebuah buku yang berisi gagasan-pemikiran Nurcholish Madjid selama lebih kurang dua dasawarsa. Buku ini berisi ajaran-pemikirannya ihwal modernisasi Islam dalam konteks keindonesiaan, juga seputar duduk perkara-dilema atau isu yang berkembang dari desain modernisasi Islam itu sendiri mirip rasionalisasi, sekularisasi dan seterusnya.
Sedangkan sumber sekunder yakni sumber penunjang terhadap sumber pokok, ialah sumber atau acuan baik dalam goresan pena Nurcholish Madjid sendiri, maupun dari goresan pena orang lain tentang modernisasi Islam secara umum serta pembahasan-pembahasan yang bersinggungan dengan pemikiran Nurcholish Madjid mengenai modernisasi Islam. Adapun sumber-sumber sekunder tersebut antara lain:
- Karya-karya Nurcholish Madjid; Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), Perspektif Kebangkitan Islam Abad ke-21 (Jurnal Ulumul Qur’an), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta, Paramadina, 1994), Islam Doktrin Dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan (Jakarta, Paramadina, 1992), Islam Agama Kemanusiaan (Jakarta, Paramadina, 1995) dan lain sebagainya.
- Abdurrahman Wahid, dkk, Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1993) Fazlur Rahman, Islam And Modernitas, Transformation Of An Intellectual Tradition (Chicago, University Of Chicago Press, 1982) dan lain sebagainya.
Karena berhubungan dengan seorang tokoh yang hidup dalam kurun waktu tertentu, maka secara metodologis observasi ini menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) yang tercakup di dalamnya ihwal biografi tokoh yang diteliti, yaitu penelitian kepada latar belakang kehidupan tokoh dari abad kecilnya, pendidikan, orang-orang yang mensugesti pemikirannya, diskursus yang berkembang dikala pemikirannya muncul, keadaan politik, ekonomi, sosial budaya kala tersebut dan lain sebagainya.
Adapun dalam penelusuran data, observasi ini memakai observasi pustaka (library research) dengan membaca karya-karya Nurcholish Madjid sebagai sumber pokok dan sumber pendukung. Begitu juga dengan penulis-penulis lain yang berbicara tentang pemikiran Nurcholish Madjid tersebut atau yang berkaitan dengan info-berita seputar masalah modernisasi Islam di Indonesia.
J. Sistematika Pembahasan
Dengan menggunakan pendekatan dan sistem di atas, maka penelitian ini akan diuraikan dengan sistematika sebagai berikut:
Pada bagian pendahuluan akan dijelaskan tentang latar belakang duduk perkara, rumusan atau batasan problem, penegasan perumpamaan, tujuan dan faedah penelitian. Selanjutnya diterangkan mengenai kajian-kajian terdahulu menyangkut anutan-aliran Nurcholish Madjid, sumber-sumber yang dipakai, sistem dan pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini.
Pada bab kedua kajian pustaka, berisi perihal hal-hal yang melatar belakangi hadirnya gagasan Nurcholish Madjid wacana modernisasi Islam di Indonesia, info-gosip yang berkembang seputar modernisasi Islam seperti sekularisasi, rasionalisasi, pluralitas agama dan seterusnya. Bab ini juga akan menerangkan ihwal kehidupan Nurcholish Madjid yang terdiri dari; riwayat hidup, pertumbuhan intelektual, dan tokoh-tokoh yang menghipnotis pemikiriannya.
Selanjutnya pada bab tiga, akan diterangkan wacana tata cara dan pendekatan yang dijalankan oleh Nurcholish Madjid dalam mengecek fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat Islam Indonesia sehingga melahirkan ide tentang modernisasi Islam.
Pada bab empat akan berisi kesimpulan dari penelitian dan analisis peneliti tentang pemikiran Nurcholish Madjid perihal modernisasi Islam di Indonesia.
Referensi
[1] Inventarisasi: membaca dan mempelajari secara luas dan mendalam pedoman seorang tokoh sehingga mampu diuraikan setepat dan sejelas mungkin. Hal ini sangat urgen dijalankan alasannya untuk mengetahui pedoman seorang tokoh akan sukar dijalankan oleh orang yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam kepada objek yang diteliti. Lihat; George J Moily, The Science of Education Research, American Book Company, New York, 1963, h. 226
[2] Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, h. 622
[3] Lihat; Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI-Press, Jakarta, 1985, h. 24
[4] Ibid.,
[5] Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, Cet. Ke-5, 1998, h. 181
[6] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Pustaka, Tentang Transformasi Intelektrual Bandung, 1985, h. 52
[7] Harun Nasution, Islam Rasional., h. 186
[8] Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Responses To “New Order” Modernisation In Indonesia, Terj. Ahmadi Thaha, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 30
[9] Ibid., h. 14
[10] Lihat goresan pena Nurcholish Madjid dalam Majalah Panji Masyarakat, no. 51, Pebruari 1970, h. 5-6
[11] Harun Nasution, Islam Rasional., h. 182
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon