Selasa, 20 Oktober 2020

Makalah Tentang Adab Dalam Kajian Filsafat Islam

Pendahuluan
Etika atau umumnyadisebut filsafat sopan santun adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang memilih klaim bahwa tindakan dan keputusan tersebut secara sopan santun diperintahkan atau dihentikan. Oleh alasannya adalah itu observasi akhlak senantiasa menempatkan tekanan khusus kepada defenisi desain-desain adat, justifikasi atau evaluasi terhadap keputusan etika, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan jelek.[1]

Dalam agama Islam, rancangan-rancangan budbahasa, keagamaan dan prilaku individu dan sosial bantu-membantu sudah terdapat pada teks-teks suci, tetapi tidak berisi teori-teori budbahasa dalam bentuk baku meskipun dia membentuk keseluruhan ethos Islam. Makara bagaimanakah cara mengeluarkan nilai-nilai tersebut menjadi sungguh penting dalam studi etika Islam. Oleh kesudahannya, para teolog dan filosof mengambil posisi masing-masing dalam menggali otoritas al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoritis mereka dalam mengambil nilai-nilai yang terdapat dalam wahyu.

Para filosof muslim awal dalam kajiannya perihal budpekerti apakah Neo-Platonis seperti al-Farabi, Aristotelian mirip Ibnu Rusyd, atau Platonis mirip Abu Bakar al-Razi, berada dalam posisi yang berbeda dengan para teolog yang berangkat dari teks wahyu. Sekalipun mereka tidak udik atau secara sengaja menyangkal otoritas al-Qur’an, namun mereka setia kepada kaidah-kaidah dalil filsafat yang sudah diwariskan oleh filsafat Yunani. Pembahasan akhlak filosof-filosof muslim tersebut sering dihiasi dengan dalil-dalil al-Qur’an mirip cara-cara penulis muslim lazimnya , akan namun dikhususkan pada diktum-diktum yang memperkuat kesimpulan mereka. Kaprikornus untuk membedakan antara keduanya, bagi para teolog teks suci merupakan dasar kebenaran utama, sedangkan bagi para filosof yakni akal.[2]

Pada makalah ini akan diterangkan perihal apa dan bagaimana rancangan adat, sebagaimana diterangkan oleh beberapa filosof muslim, sekaligus akan dilihat pandangan-persepsi mereka selaku suatu perihal yang berkembang dalam tradisi filsafat Islam. Semoga makalah ini mampu menunjukkan wawasan yang lebih mendalam tentang kajian budpekerti dalam filsafat Islam.

Etika, Moral, dan Akhlak
Etika merupakan perumpamaan yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: budbahasa istiadat.[3] Sebagai cabang dari filsafat, maka adab berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu tindakan, apakah tindakan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atau tidak layak untuk dilakukan.

Sebagian orang berpendapat bahwa etika sama dengan etika. Persamaan itu memang ada, sebab keduanya membicarakan masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan budpekerti dalam pandangan filsafat adalah menerima inspirasi yang serupa bagi seluruh manusia di setiap waktu dan daerah dengan ukuran tingkah laris yang baik dan jelek sejauh yang dapat diketahui oleh logika anggapan. Akan namun dalam usaha mencapai tujuan itu, budbahasa mengalami kesulitan, sebab persepsi masing-masing kalangan di dunia ini wacana baik dan buruk mempunyai ukuran atau persyaratan yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.[4]

Perkataan etika berasal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang menurut lughat diartikan kecerdikan pekerti, perangai, tingkah laris dan watak. Kata tersebut mengandung segi-sisi keterkaitan dengan perkataan khalqun yang bermakna kejadian, serta bersahabat keterkaitannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan makhluq yang mempunyai arti diciptakan. Perumusan pengertian etika timbul selaku media yang memungkinkan adanya kekerabatan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk.[5]

Sementara perkataan tabiat berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos yang berarti akhlak istiadat. Dalam bahasa Indonesia, adab diterjemahkan dengan arti susila. Yang dimaksud dengan etika ialah sesuai dengan inspirasi-wangsit lazim yang diterima perihal tindakan manusia, mana yang bagus dan masuk akal. Makara sesuai dengan ukuran-ukuran langkah-langkah yang oleh umum diterima dalam lingkungan tertentu.

Ketiga istilah di atas ialah ungkapan-ungkapan yang banyak digunakan untuk mengungkapkan makna yang serupa atau hampir sama. Para peneliti adab secara sadar banyak menyebutkan budpekerti sebagai budpekerti atau juga budpekerti. Filsafat sopan santun disebut juga filsafat adat dan sebagainya. Istilah-ungkapan di atas yang maknanya disamaratakan sebetulnya mempunyai sedikit perbedaan, sebab dalam segi semantik mampu dilihat bahwa setiap kata intinya memiliki karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata lainnya. Karena kalau ada dua kata atau yang lebih itu mempunyai makna sama maka akan ada pemubaziran dalam berbahasa.

Untuk dapat membedakannya maka mampu dikenali bahwa adat memutuskan ukuran sesuatu bertitik tolak dari logika fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya dengan akhlak dalam persepsi Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu budpekerti adalah sebuah ilmu wawasan yang mengajarkan mana yang bagus dan mana yang buruk berdasarkan pedoman Allah dan Rasul-Nya. Ajaran budpekerti Islam sesuai dengan fitrah akal dan anggapan yang lurus. Sementara perbedaannya antara tabiat dan adab, adalah akhlak lebih banyak bersifat teori, sedangkan budpekerti lebih banyak bersifat simpel.


Jika kita boleh menawan garis batas antara budpekerti dan etika, maka susila yakni aturan-aturan normatif (dalam bahasa agama Islam disebut budbahasa) yang berlaku dalam sebuah masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata watak dalam kehidupan sehari-hari dalam penduduk tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedang budpekerti yakni bidang kajian filsafat. Realitas budbahasa dalam kehidupan penduduk yang terjernihkan lewat studi kritis (critical studies) yakni kawasan yang dibidangi oleh akhlak. Makara studi kritis terhadap moralitas menjadi daerah budbahasa, sehingga susila tidak lain ialah objek material dibandingkan dengan budbahasa.[6]

Berbeda dari adab (filsafat moral), maka etika lebih dimaksudkan selaku suatu ‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang mesti diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu mempertanyakan dan memeriksa secara kritis terlebih dahulu.

Akhlak atau moralitas yakni ialah seperangkat tata nilai yang ‘telah jadi’ dan ‘siap pakai’ tanpa dibarengi, bahkan menyingkir dari studi kritis. Sedangkan budpekerti justru sebaliknya, bertugas untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa kemudian yang telah menggumpal dan mengkristal dalam lapisan penduduk .[7]

Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap perumpamaan etika, etika dan adat, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan maksudnya sama atau nyaris sama, adalah tata budpekerti, kesusilaan, budi pekerti, akhlak, budbahasa, perangai dan tingkah laris atau kelakuan.

ETIKA DALAM AL-QUR’AN
Sebagaimana yang telah dijelaskan di permulaan bahwa al-Qur’an berisi nilai-nilai ethos yang akhirnya membentuk sistem adat Islam. Banyaknya term-term dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan persoalan adab akan menjadi konsentrasi pembahasan ini. Tentunya tidak seluruhnya dapat diuraikan dalam makalah ini. Ada beberapa hal yang dianggap paling menjamah dalam desain adab mirip penggunaan kata al-khayr, al-birrr, al-qisth, al-ma’ruf, dan beberapa kata yang lain akan dapat ditemui dalam al-Qur’an dan menjadi dasar-dasar pembentukan budpekerti Islam.

Dalam aliran Islam, pada dasarnya tidak ada konsep utama dalam al-Qur’an yang benar-benar bebas dari desain Tuhan, dan bahwa dalam lingkungan budbahasa insan setiap rancangan sucinya hanyalah refleksi yang suram—atau artifisial yang sungguh tidak tepat—dari sifat ketuhanan itu sendiri, atau yang mengacu kepada respon khusus yang diperoleh dari tindakan-tindakan ketuhanan.[8] Di sini, seorang muslim dituntut untuk sebisa mungkin menjiplak sikap etis Tuhan, sebab pada kenyataannya Tuhan ialah sumber dari segala yang etis sebagaimana yang tertera dalam teks suci al-Qur’an.

Banyak para hebat merasa kesusahan dalam menggolongkan kata-kata dalam al-Qur’an berhubungan dengan rancangan susila dan akhlak religius, seperti: al-khayr, al-birr, al-qisth, al-iqsath, al-‘adl, al-haqq, al-ma’ruf dan al-taqwa. Perbuatan-perbuatan yang bagus lazimdisebut shalihat, sedangkan tindakan yang jelek disebut sayyiat. Perbuatan sayyiat secara lazim disebut itsm atau wizr adalah dosa atau kejahatan yang arti asalnya ialah beban.[9]

BEBERAPA MASALAH ETIKA
Sebelum masuk kedalam pembahasan atau masalah yang berkaitan dengan adat, maka perlu diketahui tipe atau karakteristik yang mampu memungkinkan kita melihat konsep-desain ajaran para pemikir muslim berkaitan dengan konsep adat. Madjid Fakhry menerangkan karakteristik budpekerti Islam dengan membaginya ke dalam dua tipe, adalah: budbahasa teologis dan etika filosofis.

Tipe budpekerti teologis di dalamnya terdapat tiga anutan besar: (a) ajaran rasional yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Qadariah dan Mu’tazilah, (b) semi rasionalis dan voluntaris yang didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari yang condong lebih tunduk kepada kepada otoritas kitab suci dibandingkan dengan kaidah-kaidah rasional. Penganut anutan ini ialah al-Baqilaini, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali dan Fakhr al-din al-Razi. Aliran yang ketiga yaitu anti rasionalis (zahiriyah), yang mengharuskan supaya kitab suci selaku sumber pokok kebenaran diinterpretasikan secara harfiah. Tokoh-tokohnya di antaranya Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah.

Sedangkan adab filosofis pada awalnya dipengaruhi pemikiran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya etika yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi merefleksikan imbas filsafat Plato dan Sokrates mirip yang dibentuk oleh ajaran Cynic dan Stoa. Dalam goresan pena-goresan pena para filosof seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan Yahya ibn ‘Adi, dampak Platonisme lebih terasa dalam tulisan-tulisan mereka dan dimensi politik mulai terlihat pada masa ini, di mana sebelumnya tidak ada. Di dalam karya budpekerti Miskawaih, Platonisme berperan sebagai dasar pijakan elaborasi tata cara adab di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo Platonisme dan Stoa saling berjumpa , yang mungkin di bawah efek komentar Porphiry yang salah tentang karya Aristotelas Nicomachean ethics yang terkenal berasal dari sumber-sumber Arab. Akan tetapi di sini pulalah dimensi politik menjadi berkurang. Dimensi politik timbul kembali secara penuh dalam goresan pena-tulisan Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik perihal kesatuan organis antara politik dan budpekerti dibandingkan dengan pendahulunya.[10]

Sejauh yang dapat diketahui mengenai pokok-pokok pembahasan adab, di bawah ini akan dapat dilihat beberapa persepsi pemikir muslim—terutama para filosof—dalam beberapa hal seperti duduk perkara jiwa, tingkah laris (etika), kebaikan dan keburukan.

1. Jiwa
Jiwa insan merupakan diam-diam Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-Nya serta teka teki kemanusiaan yang belum mampu dipecahkan dan abarangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan membuat puas. Memang jiwa menjadi sumber pengetahuan beragam dan tidak tebatas, namun belum lagi dimengerti hakikatnya dengan segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber anggapan yang terperinci, tetapi sebagian besarpikiran-asumsi perihal jiwa diliputi oleh kegelapan dan kerahasiaan, meskipun manusia sejak kurun pertamanya sampai sekarang ini masih selalu berusaha dan memeriksa apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya dengan tubuh.

Jiwa merupakan pembahasan yang banyak diperbincangkan oleh para filosof muslim dari era klasik hingga modern. Sejak al-Kindi hingga Murtadho Muthahari persoalan jiwa masih menjadi perbincangan yang hangat. Ada yang menganggap jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga memiliki arti nafsu, atau apakah beliau juga mempunyai arti logika, masing-masing ahli punya pertimbangan yang berlainan-beda menurut argumennya masing-masing.

Sebenarnya problem jiwa dalam kajian budbahasa bukan berfokus pada pertanyaan-pertanyaan di atas, melainkan bagaimana jiwa tersebut mampu diketahui dan digali potensi-potensinya untuk melahirkan keadaan jiwa yang diidam-idamkan oleh manusia sebagaimana yang digambarkan dalam al-Qur’an, adalah jiwa yang mempunyai ketenangan sehingga dapat kembali kepada Tuhan dengan senang.

Wahai jiwa yang damai. Kembalilah kepada Tuhan-Mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.(al-Fajr:27-28)

Dalam diri manusia, terdapat ruh atau jiwa yang mempunyai tiga daya atau kekuatan, demikian menurut al-Kindi. Daya kasar yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Daya berfikir inilah yang disebut nalar.[11] Seseorang yang mampu menguasai tiga daya tersebut dan dapat mengendalikannya ke arah yang baik maka orang tersebut telah sukses dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya.

Perhatian yang khusus terhadap dilema jiwa telah dilakukuakn oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yakni Risalah al-Quwa al-Nafsiah telah membahas ihwal kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar sudah membagi sisi-sisi kejiwaan menjadi dua sisi, yaitu:

Segi fisika, yang membicarakan perihal macam-macam jiwa (jiwa tanam-tumbuhan, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan yang lain yang biasa termasuk dalam pemahaman ilmu jiwa yang bahu-membahu.

Segi metafisika, yang membicarakan wacana wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan tubuh dan keabadian jiwa.[12]

Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah terhadap budpekerti yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati insan dan memancarkan alhasil kepada anggotanya. Seseorang yang ingin menulis elok, pada mulanya harus memaksakan tangannya membiasakan menulis cantik. Apabila kebiasaan ini sudah lama, maka paksaan tidak diperlukan lagi sebab digerakkan oleh jiwa dan hatinya.[13]

Ibnu Miskawaih,[14] seorang filosof muslim yang terkenal dengan kitabnya Tahdzib al-Akhlak menerangkan bahwa jiwa yaitu sesuatu yang bukan tubuh, bukan pula bagian dari badan dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa” tersebut semakin jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa makin tepat, jika jiwa bebas dari indera, maka jiwa kian besar lengan berkuasa dan tepat serta kian bisa menganggap yang benar dan menangkap ma’qulat yang praktis. Inilah dalil terjelas bahwa tabiat dan subtansi jiwa ini berlawanan dengan tabiat wadah agresif, dan bahwa jiwa ialah subtansi yang lebih mulia dan mempunyai budbahasa yang lebih tinggi ketimbang semua benda yang ada di alam ini.

Selanjutnya Miskawaih menjelaskan bahwa jiwa terdiri dari tiga fakultas atau bab: fakultas yang berkaitan dengan berfikir, menyaksikan dan memikirkan realitas segala sesuatu; fakultas yang terungkapkan dalam murka, berani, khususnya berani menghadapi ancaman, dan ingin berkuasa, menghargai diri dan mengharapkan beragam kehormatan; fakultas yang menciptakan kita mempunyai nafsu syahwat dan makan, cita-cita pada nikmatnya kuliner dan minuman, senggama, dan ditambah kenikmatan-kenikmatan inderwi yang lain. Ketiga fakultas ini berlawanan satu dari yang lainnya. Hal ini bisa dimengerti dari kenyataan terlalu berkembangnya salah satu dari ketiga fakultas itu, dan menghancurkan yang yang lain. Salah satu dari ketiganya mampu meniadakan tindakan-tindakan dari lainnya, atau terkadang dianggap selaku tiga jiwa, dan seringkali selaku tiga fakultas dari satu jiwa.

Fakultas berfikir (al-quwwah al-natiqah) disebut fakultas raja, sedangkan organ tubuh yang digunakannya ialah otak. Fakultas nafsu syahwiyah disebut fakultas hewan, dan organ tuibuh yang dipakai adalah hati. Adapun fakultas amarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) disebut fakultas binatang buas, dan organ badan yang dipergunakan disebut jantung.[15]

Tingkah laku
Al-Ghazali menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang ialah “lukisan batinnya” sebab adanya penyesuaian-pembiasaan yang mewujud terhadap prilaku atau adat. Ia menerangkan bahwa kepribadian insan pada dasarnya dapat mendapatkan pembentukan, namun lebih cenderung kepada kebaikan ketimbang kejahatan. Jika lalu diri insan membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya. Demikian juga sebaliknya kalau membiasakan kebaikan, maka menjadi baiklah tingkah lakunya.[16]

Akhlak itu yaitu kebiasaan jiwa yang tetap dan terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak butuhberfikir menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku insan. Apabila lahir tingkah laris yang indah dan terpuji maka dinamakan etika yang bagus, dan jika yang lahir itu tingkah laris yang keji, dinamakanlah etika yang jelek. Selanjutnya ia menerangkan bahwa budpekerti yang bagus mampu mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan dalam diri manusia, yakni kekuatan berfikir, kekuatan hawa nafsu, dan kekuatan amarah.[17]

Adapun Ibnu Bajjah[18] membagi tindakan-tindakan insan kepada dua bab. Bagian pertama, yakni perbuatan yang muncul dari motif-naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik akrab atau jauh. Bagian kedua yakni tindakan yang muncul dari pedoman yang lurus dan kemauan yang higienis dan tinggi dan baigian ini disebut “perbuatan-tindakan manusia.”

Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan tindakan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menerangkan kedua macam tindakan tersebut, beliau mengemukakan seseorang yang terantuk watu, lalu dia luka-luka, kemudian ia melempar batu itu. Kalau dia melemparnya dikarenakan telah melukainya, maka ini yakni tindakan hewani yang didorong oleh naluri kehewanannya yang telak mendiktekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya.

Kalau melemparkannya biar watu itu tidak mengusik orang lain, bukan sebab kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada bersangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka ini yaitu pekerjaan kemanusiaan. Pekerjaan terakhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan budbahasa, alasannya menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja di bawah dampak pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada relevansinya dengan sisi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh Ibnu Bajjah dalam bukunya.

Setiap orang yang mau menundukkan sisi hewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus mengawali dengan melakukan segi kemanusiaannya. Dalam kondisi demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk terhadap ketinggian sisi kemanusiaan, dan seorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya, alasannya adalah kelemahan ini timbul disebabakan ketundukannya terhadap naluri.

2. Baik dan Buruk
Dalam duduk perkara baik dan jelek, Ibnu ‘Arabi memakai perumpamaan cahaya dan kegelapan yang berasal dari kaum Zoroaster. Wujud positip yaitu sumber segala kebaikan dan wujud negatif merupakan basis dari semua kejahatan. Sesuatu yang dianggap buruk alasannya adalah satu atau beberapa argumentasi[19], yakni:
  • alasannya adalah satu atau lain agama memandangnya demikian.
  • Relatif terhadap prinsip budpekerti atau persyaratan kebiasaan yang disahkan oleh kalangan masyarakat.
  • Karena hal-hal dan perbuatan itu berlawanan dengan temperamen perorangan
  • alasannya adalah hal-hal dan perbuatan itu tidak mampu membuat puas harapan-keinginan natural, watak atau intelektual dari suatu individu dan sebagainya
  • alasannya terdapat kekurangan atau kelemahan
Ada kategori buruk lainnya dari Ibnu ‘Arabi, adalah kebodohan, kebohongan, ketidak harmonisan, ketidakteraturan, ketidaksesuaian perangai, dosa dan kekafiran. Di dalam semua itu terdapat kekurangan. Beberapa wujud atau kualitas positip yang apabila disertakan pada hal-hal atau langkah-langkah-tindakan yang kita golongkan buruk, akan bermetamorfosis baik. Tak ada yang buruk, seluruhnya baik. Dengan perkataan lain, apa yang dinamakan jelek itu yaitu realitas subyektif, bukan realitas obyektif. Bahkan yang bagus itupun apabila dipertentangkan dengan yang buruk akan menjadi subyektif dan relatif. Satu-satunya kebaikan mutlak yaitu wujud murni ialah Tuhan.

Ibnu ‘Arabi menjelaskan kerelatifan baik dan jelek dalam cara lain. Penilaian kita kepada kebaikan dan keburukan dari hal-hal ialah relatif berdasarkan wawasan kita. Kita katakan hal atau tindakan itu buruk, oleh karena ketidaktahuan akan adanya baik yang tersembunyi di dalamnya. Setiap hal memiliki faktor eksternal dan internal. Di dalam aspek internal terletak tujuan dari sang pencipta dan bila kita awam terhadap tujuan seperti itu, kita cenderung mudah menyampaikan hal itu selaku yang buruk. Ibnu ‘Arabi mencontohkannya seperti makan obat. Di sisni ialah suatu kasus jelek yang nampak, seperti rasa mual yang disebabkan oleh rasa obat itu di mana pasien mencaci obatbya sebagai jelek, alasannya pasien tidak mengetahuinya.[20]

Miskawaih beropini bahwa kebaikan ialah hal yang dapat diraih oleh manusia dengan melaksanakan kemauannya dan berusaha dengan hal yang berkaitan dengan tujuan diciptakannya manusia. Sedangkan kejelekan ialah penghambat insan meraih kebaikan, di mana hambatan ini berupa kemauan dan upayanya, atau berupa kemalasan dan keengganan mencari kebaikan.[21]

Ia selanjutnya membagi jenis kebaikan pokok dan perbuatan jahat. jenis kebajikan pokok tersebut: kearifan, sederhana, berani, senang memberi, dan adil. Sementara kebalikan dari tindakan baik di atas yaitu, kolot, rakus, pengecut, dan lalim.

Manusia berdasarkan perilakunya mampu dibagi menjadi tiga golongan. Bahwa ada insan yang bagus dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimanapun, kalangan ini tidak akan berubah dan akan tetap akan cenderung baik. Golongan ini merupakan minoritas. Golongan yang memang jahat asalnya yaitu lebih banyak didominasi, sama sekali tidak akan condong kepada kebaikan. Di antara kelompok tersebut ada kalangan yang mampu beralih kepada kebaikan dan kejahatan, sebab pendidikan dan efek lingkungan.[22]

PENUTUP
Etika dalam kajian filsafat Islam pada mulanya ialah pembahasan yang dikembangkan selaku perpaduan antara budpekerti Yunani dan budpekerti yang ada dalam Islam yang berasal dari teks-teks suci. Perpaduan tersebut sudah melahirkan sebuah bentuk baru dalam disiplin keilmuan yang disebut filsafat akhlak, di mana akhlak sebagai rancangan-konsep praktis menjadi lebih tercerahkan dengan adanya kajian budbahasa. Sehingga nilai-nilai etika tersebut mampu dimunculkan dalam bentuk pandangan rasional dalam menunjukkan evaluasi baik-buruknya tingkah laris atau tindakan seseorang dalam kehidupannya.


DAFTAR PUSTAKA
  • Ahmad Amin, Ethika (Ilmu Akhlak), alih bahasa: Farid Ma’ruf, Bulan Bintang, Jakarta, 1995
  • Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995
  • Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996
  • Harun Nasution, Filsafat & Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973
  • Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996
  • Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon