Jumat, 18 September 2020

Makalah Kaidah-Kaidah Lughawiyah Dalam Memahami Sumber Aturan Islam

Nash-nash al Quran dan Hadis yaitu berbahasa Arab, untuk mengerti hukum dari kedua nash tersebut secara sempurna lagi benar tentunya haruslah mengamati pemakaian uslub-uslub (gaya bahasa) bahasa Arab dan cara penunjukan lafadz nash terhadap artinya. Oleh karena itu para ulama ahli Ushul Fiqh mengarahkan perhatiannya kepada observasi kepada uslub-uslub dan mirip-mirip bahasa Arab yang biasa dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan Arab dalam menggubah syair dan menyusun prosa.

Dari kajian itu, para ulama Ushul Fiqh menyusun kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang mampu dipergunakan untuk mengetahui nash-nash syari’at secara benar sesuai dengan pemahaman orang Arab itu sendiri, yang mana nash-nash itu diturunkan dalam bahasa mereka.

Ulama tersebut dalam pembahasannya memulai dari makna-makna dari suatu lafadz, sebab lafadz-lafadz itu dalam bahasa ialah diciptakan untuk menyatakan makna-makna tertentu. Mereka membagi lafadz dalam keterkaitannya dengan makna terhadap beberapa bagian.

Ditinjau dari sisi makna yang diciptakan untuk lafadz itu dibagi menjadi 3 bagian yaitu : Khash, Amm dan Musytarak. Ditinjau dari sisi makna yang dipakai untuknya lafadz itu dibagi menjadi 4 bagian yaitu : Hakikat, Majaz, Sharih dan Kinayah. Ditinjau dari terang dan tersembunyinya makna, maka lafadz itu dibagi menjadi 2 bagian ialah : Dhahir dan Khafi. Sedangkan ditinjau dari cara-cara penunjukan lafadz kepada makna berdasarkan kehendak pembicara, lafadz itu dibagi menjadi 4 bab adalah : Dalalah ibarat, Dalalah aba-aba, Dalalah dalalah dan Dalalah iqtidha’.[1]

Namun dalam makalah ini cuma akan membahas kekerabatan lafadz dengan makna ditinjau dari segi makna yang diciptakan untuknya, adalah : Khash, Amm dan Musytarak.
Khash :

a. Arti dan Hukum Lafadz Khash

Arti lafadz Khash yaitu lafadz yang diciptakan untuk memberi pemahaman satu satuan yang tertentu, baik menunuk pada eksklusif seseorang, menunjuk macam sesuatu, menunjuk jenis sesuatu, menunjuk benda kongkrit, menunjuk benda yang abstrak atau penunjukan arti kepada satu satuan itu secara hakiki, atau secara I’tibari ( lafadz yang diciptakan untuk memberi pemahaman banyak yang terbatas) seperti : tsalatsatun, mi’atun, jam’un dan fariqun.

Adapun aturan lafadz khash dalam nash syara’ adalah menunjuk terhadap dalalah qath’iyah terhadap makna khusus yang dimaksud, dan hukum yang ditunjuknya yakni qath’I bukan zhanni, selama tidak ada dalil yang memalingkannya terhadap makna lain.

Contoh aturan lafadz tersebut ialah :

فمن لم يجد فصيام ثلا ثة ايام فىالحج ……tetapi kalau beliau tidak mendapatkan (hewan korban atau tidak mampu)Maka wajib berpuasa tiga hari dalam kala haji..(Qs.al Baqarah 196)

قلنا يانار كونى بردا وسلاما على ابراهيم

فى كل اربعين شاة شاة
Dan disamping itu diantara dalil-dalil yang berafiliasi dan tidak terpisah dari nash al ‘Am, yang paling jelas yaitu istisna’(pengecualian),syarat,sifat dan al goyah.[2],artinya bahwa mukhashish ini tidak mampu berdiri sendiri sehingga maknanya berhubungan dengan sebelumnya (muttashil). Contohnya dalam al Qur’an adalah sebagai berikut :

الا ان تكون تجارة حا ضرة تد يرونها بينكم فليس عليكم جناح ان لا تكتبوها

…kecuali bila muamalah itu jual beli tunai yang kami jalankan Diantara kau, maka tak ada dosa lagi bagi kau bila kau tidak Menulisnya ( Q.s al Baqarah 282)

واذا ضربتم فى الارض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلواة ان حفتم انيتنكم الذ ين كفروا.

Dan jika kamu bepergian di paras bumi maka tidaklah mengapa Kamu mengkosorkan shalat mu kalau kau takut diserang orang kafir ( Q.s an Nisa’ 101)

من نسا ئكم اللا تى دخلتم بهن

…Dari isterimu yang telah kau campuri (Q.s an Nisa’ 23 )



وايد يكم الى المرا فق
… dan tanganmu sampai dengan siku (Q.s. al Maidah 6)

Lafadz Khash itu kadang datang secara mutlak, tanpa dibarengi oleh suatu syarat apapun, dan kadang muqayyad adalah dibatasi dengan sebuah syarat. Kadang juga tiba dengan shighat (bentuk) amr ialah tuntutan untuk dikerjakan suatuy perbuatan, dan juga kadang-kadang dengan shighat nahi yang melarang melakukan sebuah perbuatan.[3]

Pengertian lafadz khash yang mutlak yaitu lafadz khash yang tidak diberi qayyid (pembatasan) yang berupa lafadz yang mampu mempersempit keluasan artinya, acuan :

فتحر ير رقبة من قبل ان يتما سا

….Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak Sebelum kedua isteri itu bercampur ….(Q.s al Mujadalah 3)

Sedangkan pemahaman lafadz khash yang muqayyad ialah lafadz khash yang diberi qayyid yang berupa lafadz yang dapat menyederhanakan keluasan artinya, pola :

ومن قتل مؤمنا خطا فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الى اهله


…Dan barang siapa membunuh seorang mukmin alasannya adalah salah hendaklah Ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman dan mengeluarkan uang Diyah yang diserahkan terhadap keluarganya ( Q.s an Nisa’ 92)

Adapun lafadz khash yang berbentuk Amr adalah dipergunakan oleh orang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut terhadap orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu tindakan. Bentuk-bentuk lafadz amar itu ialah fi’il amr, fi’il mudhri’ yang dimasuki lam amr, sesuatu yang diperlakukan sebagai fi’il amr dan jumlah khabariyah yang diartikan sebagaijumlah insyaiyah (kalimat yang mengandung tuntutan)dan ushlub yang digunakan oleh al Qur’an dalam menuntut untuk melakukan suatu perbuatan.[4]Contoh yakni selaku berikut :

ولتكن منكم امة يد عون الى الخير وياء مرون بالمعروف وينهون عن المنكر والئك هم المفلحون

يا ايها الذ ين امنوا عليكم انفسكم لا يضر كم من ضل اذا هتد يتم

والمطلقات يتر بصن با نفسهن ثلا ثة قروء

ان الله ياء مركم ان تؤ دوا الاما نات الى اهلها

علمنا ما فر ضنا عليهم فى ازوا جهم


Sedangkan lafadz khash yang berupa nahi (larangan) ialah dipakai untuk menuntut biar meninggalkan suatu perbuatan. Bentuk-bentuknya ialah fi’il mudhari’ yang disertai la nahiyyah, jumlah khabariyah yang diartikan sebagaijumlah –insyaiyyah dan ushlub yang digunakan dalam menuntut untuk meninggalkan sebuah tindakan. Contohnya yakni sebagai berikut :

لا تفسدوا فى الا رض

ولا يحل لكم ان تاء خذ وا مما اتيتمو هن شياء

ولا تقربوا ما ل اليتيم الا با لتى هى ا حسن


3.‘Am :

Arti al ‘am secara terminologi yakni suatu lafadz yang maknanya meliputi satuan-satuan yang berhubungan dengan makna itu tanpa batas.[5] Contoh lafadz itu :

الزا نية والزانى فا جلد وا كل وا حد منهما ما ئة جلد ة

والسا رق والسا رقة فا قطعوا ايد يهما

Sedangkan menurut bahasa bermakna menawarkan atas meliputi dan menghabiskan semua satuan-satuan yang ada di dalam lafadz itu dengan tanpa menjumlah ukuran tertentu dari satuan-satuan itu. Maka lafadz كل عقد (setiap kesepakatan) di dalam usulan jago hukum Islam yang berbunyi “ untuk sahnya setiap kesepakatan disyaratkan sifat kemampuan (kecakapan,cakap bertindak) dari pada orang-orang yang melaksanakan komitmen” sehingga lafadz ‘am yang memberikan atas tercakupnya segala sesuatu yang mampu dibilang akad dengan tanpa membatasi pada kad tertentu.

Dari hal tersebut dapat dibilang bahwa keumuman itu yaitu termasuk sifat lafadz, sebab keumuman itu ialah dalalah lafadz atas mencakupnya terhadap semua satuan-satuannya.

3.1.Jenis-Jenis Bentuk Lafadz ‘Am

Jenis dan ragam lafadz ‘am yakni

- Lafadz متى اين ما من contoh dalam al qur’an ialah :


و ما تنفقوا من خير يو ف اليكم و انتم لا تظلمون ان يعمل سو ءا يجز به

- lafadz اى كل acuan dalam al Qur’an yakni :

كل نفس ذائقة الموت ايا ما تد عوا فله الا سماء الحسنى

- Lafadz jama’ yang dita’rifkan dengan ‘idhafah atau dengan alif lam jinsiyah,acuan:



للر جال نصيب مما ترك الوالدان والاقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان والاقربون


- Isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyah, isim-isim maushul seperti dalam teladan :

واحل الله البيع وحرم الربا

والذين يتو ؤون منكم ويذ رون ازواجا ىتربصن با نفسهن اربعة اشهر وعشر

واللائ يءسن منالمحيض من نسا ئكم ان ارتبتم فعد تهن ثلا ثة اشهر

- Isim-isim istifham dan isim nakirah, mirip dalam teladan :

قا لوا من فعل هذا با لهتنا

ما ذا ارادالله بهذا مثلا

لا هجرة بعد الفتح

3.2.Macam-Macam al ‘Am :

Ditinjau dari penggunaannya, lafadz ‘am ada 4 (empat) macam yaitu :

1. ‘Am yuradu bihi ‘amm ( yang betul-betul dimaksudkan untuk umum) yaitu yang diikuti qarinah yang menghilangkan kemungkinan untuk dikhususkan, contoh :


وما من دابة فى الارض الاعلى الله رز قها وجعلنا من الماء كل شيء حى

2. ‘Amm Yuradu bihi Khusus ( ‘amm tetapi yang dimaksudkan ialah khusus), ialah ‘amm yang diikuti qarinah yang menetralisir arti biasanya dan menerangkan bahwa yang dimaksud dengan ‘amm itu ialah sebagian dari satuannya, contohnya :

و لله على الناس حج البيت

3. ‘Amm Makhsush (‘Amm yang khusus untuk ‘amm),

yakni ‘amm yang mutlak, artinya ‘amm yang tidak disertai qarinah yang menghilangkan kemungkinan dikhususkan dan tidak dibarengi pula qarinah yang menghilangkan keumumannya. Nash-nash yang didatangkan dengan sighat biasa tidak disertai qarinah, sekalipun qarinah lafdziah, akliyah dan ‘urfiyah yang menyatakan keumumannya atau kekhususannya. Contoh pada lafadz al Muthallaqa tu ini :



والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلاثة قروء

4. Qashrul ‘Amm (menyederhanakan arti ‘amm) yaitu dipersempit ekspansi artinya kepada sebagian satuannya dengan salah satu dari 4 hal adalah :

a. Kalam mustaqil munfasil (kalimat tepat yang bangkit sendiri tetapi terpisah dengan kalimat yang pertama) pola :

والذين يرمون المخصنات ثم لم ياء توا باربعية شهداء فاجلدوا هم ثمانين جلدة

b. Kalam mustaqil muttashil (kalimat tepat yang bangun sendiri namun kalimat itu masih bersambung) acuan:

فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر

c. kalam ghair mustaqil (kalimat yang tidak bangkit sendiri atau kalimat tidak sempurna)

d. Maa laisa bikalam ( bukan berbentukkalimat), contoh :

قل الله خا لق كل شيئ تد مركل شيئ بامره واتوا حقه يوم حصاده

4. Musytarak

4.1.Pengertian Musytarak

Musytarak menurut bahasa bermakna sesuatu yang dipersekutukan adapun maknanya berdasarkan ungkapan (term) yaitu :

اللفض المو ضو عة لحققيقتين مختلفتين او اكثر

“ lafadz yang diciptakan untuk dua hakikat (makna) atau lebih yang kontradiksi”

Sehingga perbedannya dengan lafadz Amm atau khash, bahwa amm yakni lafadz yang diciptakan untuk satu makna dan makna yang satu itu meliputi satuan-satuan makna yang tidak terbatas walaupun dalam kenyatannya dapat terbatas, khash ialah lafadz yang diciptakan untuk satu satuan dari satuan-satuan yang terandung dalam suatu makna.

Adapun musytarak yakni dicipta untuk beberapa makna yang penunjukannya kepada makna itu dengan cara pergantian.[6]Contohnya mirip lafadz ‘ain (عين ) yang secara bahasa mempunyai makna-makna antara lain : mata untuk melihat, mata air dan mata-mata begitupun juga dengan lafadz quru’ (قر ء) yang secara bahasa juga memiliki makna lebih dari satu yakni : suci dan menstruasi(haid) seperti :

و المطلقت يتر بصن با نفسهن ثلثت قرو ء

4.2.Sebab – Sebab Timbulnya Lafadz Musytarak

Yang mengakibatkan lafadz itu menjadi musytarak antara lain adalah :

  • Lafadz itu digunakan oleh satu suku dengan suku yang lain berlawanan maknanya dan lalu sampai kepada kita dengan kedua makna itu tanpa ada keterangan dari hal p[erbedaan yang dimaksud oleh penciptanya. Misalnya lafadz “ yad” satu kabilah memaknai dengan hasta semuanya namun yang lain adalah telapak tangan hingga siku atau telapak tangan saja.
  • lafadz itu diciptakan menurut hakikatnya untuk satu makna kemudia dipakai pula kepada makna lain tetapi secara majazi (kiasan)
  • Lafadz itu semula diciptakan untuk satu makna lalu dipindahkan terhadap ungkapan syar’I untuk arti lainnya.[7]

4.3. Hukum Lafadz Musytarak

Apabila terdapat persekutuan arti lafadz musytarak pada suatu nash syar’i itu terjadi antara makna lughawi dengan makna ishtilahi syar’i maka hendaklah diambil makna berdasarkan ungkapan syar’i. Misalnya lafadz “ shalat” yang berdasarkan bahasa diartikan dengan do’a dan berdasarkan syara’ diartikan ibadah yang telah tertentu itu, maka dalam hal ini hendaklah diartikan berdasarkan arti ungkapan syar’i.

Dan jika komplotan arti lafadz musytarak pada sebuah nash syar’i itu terjadi antara beberapa makna lughawi, maka seseorang wajiblah berijtihat untuk menentukan arti yang dimaksud, karena syari’ tidak menginginkan seluruh arti lafadz musytarak melainkan salah satu arti dari beberapa arti yang banyak itu. Dalam hal ini mujtahid mesti mampu menunjukkan qarinah atau dalil yang dapat menentukan arti yang diharapkan.[8]

Jika tidak ada qarinah yang memperlihatkan kepada arti yang dimaksud, maka para ulama berlawanan pendapat dalam menentukan arti yang dikehendaki :

  • Menurut ulama hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah, lafadz musytarak itu tidak mampu dipakai untuk seluruh arti yang banyak itu dalam satu pemakaian. Andai kata dimaksud untuk arti keseluruhan, lafadz itu disebut ‘amm, bukan musytarak lagi dan bukan pula majaz
  • Menurut jumhur ulama aliran Syafi’iyah dan sebagian Mu’tazilah, bila tidak ada qarinah yang memberikan kepada arti yang diharapkan, maka lafadz musytarak itu hendaklah diartikan kepada seluruh artinya, selagi arti-arti itu mampu digabungkan. Seperti dalam Q.S al Hujjaj 18 :

ا لم ترا ان الله يسجد له من في السموات و من في لارض
Lafadz “yasjudu” dalam ayat tersebut yaitu musytarak artinya antara makna “meletakkan dahi diatas tanah” dengan “ketundukan pada sunnah Allah”. Arti keduanya memang diinginkan, alasannya adalah bila diartikan menurut arti yang pertama saja pasti perbuatan itu tidak bisa dilaksanakan oleh benda-benda yang tidak terpelajar dan bukan pula diartikan berdasarkan arti yang kedua saja, karena pasti tidak layaklah dikhitabkan Tuhan.

Daftar Pustaka
  • Al Qattan, Mana’ : Mubahits fi “ulumul Qur’an; Mansyuratul ‘asharil Hadist, Beirut, tt.
  • Farid, Miftah dan Agus Syihabuddin : al Qur’an Sumber Hukum Islam Yang Pertama, Bandung, Pustaka tahun 1989.
  • Khallaf, Abdul Wahab : al Ilmu Ushul al Fiqh, terj. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), cet III, Jakarta, Raja Grafindo Persada tahun 1994.
  • Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam, Cet III, Bandung, al Ma’arif tahun 1993.
Footnote
--------------
[1]Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman : Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,(Bandung, al Ma’berilmu) cet ke 3 Tahun 1993.h. 178-180
[2]Abdul Wahab Khallaf : Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh), terj, Ilmu Ushulul Fiqh (Jakarta, Raja Grafondo Persada 1993) cet ke 3 h. 310
[3]Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-Dasar h.183
[4]Ibid. h. 191 - 192
[5]Mana’ al Qattan : Mabahits fi ‘Ulumuil Qur’an ; Mansyuratul ‘Ashril Hadist, Beirut tt, h. 221
[6]Miftah Faridl dan Agus Syihabuddin : Al Qur’an Sumber Hukum Islam Yang pertama, ( Bandung, Pustaka, 1989 ) h. 186
[7]Yahya dan Fatkhurrahman, Dasar-Dasar …… h.225
[8]Ibid. 256
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon