Senin, 26 Oktober 2020

Makalah Filsafat Ilmu Lengkap

Makalah Filsafat Ilmu
Oleh: Uhar SuharsaPutra, M.Pd


I. PENDAHULUAN

Metode-tata cara dan penemuan-inovasi sains modern telah mendominasi dunia, dan filsafat cuma dianggap sebagai pramusaji sains. Kesuksesan dan perkembangan ilmiah telah diterima sebagai kebenaran, konsepsi dunia ilmiah mendikte apa yang boleh diterima secara filosofis, alasannya adalah filsafat diturunkan menjadi peran sekunder, peran justifikasi sains tidak lagi dianggap esensial. Sain memilih apa yang dimaksud dengan kebenaran, dan tidak ada ruang untuk mempertanyakan apakah sain satu-satunya kebanaran atau cuma sebuah jalan menuju kebenaran.(R. Trigg, dalam Rationality and Science)

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat Ilmu
Dilihat dari segi katanya filsafat ilmu mampu dimaknai selaku filsafat yang berhubungan dengan atau perihal ilmu. Filsafat ilmu ialah bagian dari filsafat wawasan secara umum, ini dikarenakan ilmu itu sendiri ialah sebuah bentuk wawasan dengan karakteristik khusus, tetapi demikian untuk memahami secara lebih khusus apa yang dimaksud dengan filsafat ilmu, maka dibutuhkan pembatasan yang mampu menggambarkan dan memberi makna khusus tentang istilah tersebut.

Para akhli sudah banyak mengemukakan definisi/pengertian filsafat ilmu dengan sudut pandangnya masing-masing, dan setiap sudut pandang tersebut amat penting guna pemahaman yang komprehensif perihal makna filsafat ilmu, berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi filsafat ilmu :
  • The philosophy of science is a part of philosophy which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience (Peter Caws)
  • The philosophy of science attemt, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry-observational procedures, patterns of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presupposition, and so on, and then to evaluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology anf metaphysics (Steven R. Toulmin).
  • Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole (L. White Beck)
  • Philosophy of science.. that philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presupposition, and its place in the general scheme of intelectual discipline (A.C. Benyamin)
  • Philosophy of science.. the study of the inner logic of scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e of scientific method (Michael V. Berry)
Pengertian-pemahaman di atas menggambarkan kombinasi persepsi beberapa akhli ihwal makna filsafat ilmu. Peter Caw memberikan makna filsafat ilmu selaku bagian dari filsafat yang kegiatannya menelaah ilmu dalam kontek keseluruhan pengalaman insan, Steven R. Toulmin memaknai filsafat ilmu sebagai suatu disiplin yang diarahkan untuk menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penelitian ilmiah, penentuan argumen, dan pikiran-pikiran metafisik guna menganggap dasar-dasar validitas ilmu dari sudut pandang logika formal, dan metodologi mudah serta metafisika. Sementara itu White Beck lebih melihat filsafat ilmu selaku kajian dan evaluasi kepada tata cara ilmiah untuk mampu difahami makna ilmu itu sendiri secara keseluruhan, persoalan kajian atas metode ilmiah juka dikemukakan oleh Michael V. Berry setelah mengungkapkan dua kajian yang lain yaitu akal teori ilmiah serta korelasi antara teori dan eksperimen, demikian juga halnya Benyamin yang memasukan dilema metodologi dalam kajian filsafat ilmu disamping posisi ilmu itu sendiri dalam konstelasi biasa disiplin intelektual (keilmuan).

Menurut The Liang Gie, filsafat ilmu yaitu segenap pemikiran reflektif terhadap duduk perkara-dilema tentang segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala sisi kehidupan manusia. Pengertian ini sangat lazim dan cakupannya luas, hal yang penting untuk difahami yaitu bahwa filsafat ilmu itu ialah telaah kefilsafatan terhadap hal-hal yang berkaitan/menyangkut ilmu, dan bukan kajian di dalam struktur ilmu itu sendiri. Terdapat beberapa istilah dalam pustaka yang dipadankan dengan Filsafat ilmu mirip : Theory of science, meta science, methodology, dan science of science, semua istilah tersebut tampaknya menandakan perbedaan dalam titik tekan pembahasan, namun semua itu pada dasarnya tercakup dalam kajian filsafat ilmu .

Sementara itu Gahral Adian mendefinisikan filsafat ilmu selaku cabang filsafat yang mencoba mengkaji ilmu wawasan (ilmu) dari segi ciri-ciri dan cara pemerolehannya. Filsafat ilmu selalu bertanya-pertanyaan yang fundamental/radikal kepada ilmu seperti wacana apa ciri-ciri spesifik yang menimbulkan sesuatu disebut ilmu, serta apa bedanya ilmu dengan wawasan biasa, dan bagaimana cara pemerolehan ilmu, pertanyaan - pertanyaan tersebut dimaksudkan untuk membongkar serta mengkaji perkiraan-asumsi ilmu yang umumnya diterima begitu saja (taken for granted), Dengan demikian filsafat ilmu ialah tanggapan filsafat atas pertanyaan ilmu atau filsafat ilmu ialah upaya penjelasan dan penelaahan secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu.

Secara historis filsafat ialah induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu semakin terspesifikasi dan mandiri, tetapi mengenang banyaknya dilema kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi rujukan untuk menjawabnya, filsafat memberi klarifikasi atau tanggapan substansial dan radikal atas problem tersebut, sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal, proses atau interaksi tersebut pada dasarnya ialah bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh alasannya adalah itu filsafat ilmu dapat dipandang selaku upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menilai rendah pada filsafat, dan filsafat tidak menatap ilmu sebagai suatu pengertian atas alam secara dangkal.


B. Orientasi Filsafat Ilmu

Setelah mengenal pengertian dan makna apa itu filsafat dan apa iti ilmu, maka pemahaman tentang filsafat ilmu tidak akan terlalu mengalami kesulitan. Hal ini tidak mempunyai arti bahwa dalam memaknai filsafat ilmu tinggal memadukan kedua pengertian tersebut, karena selaku sebuah istilah, filsafat ilmu sudah mengalami perkembangan pengertian serta para akhli pun telah memberikan pemahaman yang bermacam-macam, tetapi demikian pemahaman perihal makna filsafat dan makna ilmu akan sungguh menolong dalam mengerti pengertian dan makna filsafat ilmu (Philosophy of science).

Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-hal yang berhubungan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu ialah upaya pengkajian dan pendalaman perihal ilmu (Ilmu Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun faedah ilmu bagi kehidupan insan. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari contoh pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi, dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dijalankan oleh para akhli.

Secara historis filsafat dipandang selaku the mother of sciences atau induk segala ilmu, hal ini sejalan dengan pengesahan Descartes yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip dasar ilmu diambil dari filsafat. Filsafat alam mendorong lahirnya ilmu-ilmu kealaman, filsafat sosial melahirkan ilmu-ilmu sosial, tetapi dalam perkembangannya dominasi ilmu sangat menonjol, bahkan ada yang menyatakan sudah terjadi upaya perceraian antara filsafat dengan ilmu, meski hal itu bergotong-royong hanya upaya menyembunyikan asal usulnya atau perpaduannya seperti tampakdari ungkapkan Husein Nasr (1996) bahwa :

meskipun sains modern mendeklarasikan independensinya dari pemikiran filsafat tertentu, tetapi ia sendiri tetap menurut suatu pengertian filosofis partikular baik ihwal karakteristik alam maupun pengetahuan kita tentangnya, dan komponen terpenting di dalamnya yakni Cartesianisme yang tetap bertahan selaku bab inheren dari pandangan dunia ilmiah modern. dominasi ilmu khususnya aplikasinya dalam bentuk teknologi telah mengakibatkan pemikiran-ajaran filosofis cenderung terpinggirkan, hal ini berpengaruh pada cara berfikir yang sangat pragmatis-empiris dan partial, serta condong menilai fatwa radikal filosofis sebagai sesuatu yang gila dan terasa tidak simpel, padahal ilmu yang berkembang sampaumur ini di dalamnya terdapat pemahaman filosofis yang mendasarinya sebagaimana kata Nasr .

Perkembangan ilmu memang telah banyak pengaruhnya bagi kehidupan insan, aneka macam kemudahan hidup telah banyak dirasakan, semua ini telah menumbuhkan keyakinan bahwa ilmu ialah suatu fasilitas yang penting bagi kehidupan, bahkan lebih jauh ilmu dianggap selaku dasar bagi suatu ukuran kebenaran. Akan namun kenyataan pertanda bahwa tidak semua masalah mampu didekati dengan pendekatan ilmiah, sekuat apapun upaya itu dikerjakan, mirip kata Leenhouwers yang menyatakan:

Walaupun ilmu wawasan mencari pemahaman menerobos realitas sendiri, pengertian itu cuma dicari di tataran empiris dan eksperimental. Ilmu wawasan menghalangi kegiatannya cuma pada fenomena-fenomena, yang entah pribadi atau tidak langsung, dialami dari pancaindra. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak menerobos terhadap inti objeknya yang sama sekali tersembunyi dari pengamatan. Maka dia tidak memberi balasan prihal kausalitas yang paling dalam.

pernyataan di atas mengindikasikan bahwa yakni sukar bahkan mustahil ilmu bisa menembus batasan yang menjadi wilayahnya yang sungguh bertumpu pada fakta empiris, memang tidak mampu dianggap sebagai kegagalan jikalau demikian selama klaim kebenaran yang disandangnya diberlakukan dalam wilayahnya sendiri, tetapi jika hal itu menutup pintu refleksi radikal kepada ilmu maka hal ini mungkin mampu menjadi ancaman bagi upaya memahami kehidupan secara utuh dan kekayaan dimensi di dalamnya.

Meskipun dalam tahap permulaan pertumbuhan ajaran manusia khususnya jaman Yunani kuno cikal bakal ilmu terpadu dalam filsafat, tetapi pada tahap selanjutnya ternyata telah melahirkan berbagai disiplin ilmu yang masing-masing mempunyai perkiraan filosofisnya (terutama perihal manusia) masing-masing. Ilmu ekonomi menatap manusia sebagai homo economicus ialah makhluk yang mementingkan diri sendiri dan hedonis, sementara sosiologi memandang manusia selaku homo socius yakni makhluk yang selalu ingin berkomunikasi dan berafiliasi dengan lainnya, hal ini pertanda suatu pandangan insan yang fragmentaris dan kontradiktif, memang diakui bahwa dengan asumsi versi ini ilmu-ilmu terus berkembang dan makin terspesialisasi, dan dengan kian terspesialisasi maka analisisnya makin tajam, namun seiring dengan itu hasil-hasil penelitian ilmiah selalu berupaya untuk bisa membuat generalisasi, hal ini nampak seperti contradictio in terminis (pertentangandalam perumpamaan)

Dengan demikian eksistensi ilmu mestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang telah final, beliau perlu dikritisi, dikaji, bukan untuk melemahkannya namun untuk memposisikan secara sempurna dalam batas daerahnya, hal inipun mampu menolong terhindar dari memutlakan ilmu dan menganggap ilmu dan kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, disamping perlu terus diupayakan untuk melihat ilmu secara integral bergandengan dengan dimensi dan bidang lain yang hidup dan meningkat dalam memperadab insan. Dalam relasi ini filsafat ilmu akan membukakan pengetahuan wacana bagaimana sebetulnya substansi ilmu itu, hal ini alasannya adalah filsafat ilmu merupakan pengkajian lanjutan, yang menurut Beerleng, selaku Refleksi sekunder atas illmu dan ini ialah syarat mutlak untuk menentang ancaman yang memiliki kecenderungan kepada keadaan cerai berai serta kemajuan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada, melalui pemahaman perihal asas-asas, latar belakang serta korelasi yang dimiliki/dilaksanakan oleh sebuah aktivitas ilmiah.


C. Perkembangan Filsafat Ilmu

Secara biasa mampu dikatakan bahwa sejak perang dunia ke 2, yang sudah merusak kehidupan insan, para Ilmuwan makin menyadari bahwa kemajuan ilmu dan pencapaiannya sudah menjadikan banyak penderitaan manusia , ini tidak terlepas dari pengembangan ilmu dan teknologi yang tidak dilandasi oleh nilai-nilai watak serta komitmen etis dan agamis pada nasib manusia , padahal Albert Einstein pada tahun 1938 dalam pesannya pada Mahasiswa California Institute of Technology menyampaikan “ Perhatian terhadap manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan perhatian pada masalah besar yang tak kunjung terpecahkan dari pengaturan kerja dan pemerataan benda, supaya buah ciptaan dari fatwa kita akan ialah berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan (Jujun S Suriasumantri, 1999 : 249 ).

Akan namun penjatuhan bom di Hirosima dan Nagasaki tahun 1945 menandakan bahwa pertumbuhan iptek sudah menimbulkan kesengsaraan insan , meski disadari tidak semua hasil pencapaian iptek demikian, tetapi hal itu sudah mencoreng ilmu dan menyimpang dari pesan Albert Einstein, sehingga hal itu sudah mengakibatkan keprihatinan filosof perihal arah kemajuan peradaban manusia selaku balasan pertumbuhan ilmu (Iptek) .

Untuk itu kelihatannya para filosof dan ilmuan perlu merenungi apa yang dikemukakan Harold H Titus dalam bukunya Living Issues in Pilosophy (1959), dia mengutif beberapa usulan cendikiawan mirip Northrop yang mengatakan “ it would seem that the more civilized we become , the more incapable of maintaining civilization we are”, demikian juga pernyataan Lewis Mumford yang mengatakan perihal “the invisible breakdown in our civiliozation : erosion of value, the dissipation of human purpose, the denial of any dictinction between good and bad, right or wrong, the reversion to sub human conduct” (Harold H Titus, 1959 : 3)

Ungkapan tersebut di atas hanya untuk membuktikan bahwa memasuki dasawarsa 1960-an kecenderungan mempertanyakan faedah ilmu menjadi hal yang penting, sehingga pada masa ini (1960-1970) dimensi aksiologis menjadi perhatian para filosof, hal ini tak lain untuk meniupkan ruh etis dan agamis pada ilmu, semoga pemanfaatannya dapat menjadi berkah bagi insan dan kemanusiaan , sehingga telaah pada fakta empiris meningkat ke pencarian makna dibaliknya atau seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Ismaun, M.Pd (2000 : 131) dari telaah positivistik ke telaah meta-science yang dimulai semenjak tahun 1965.

Memasuki tahun 1970-an , penelusuran makna ilmu mulai meningkat khususnya di kelompok pemikir muslim , bahkan pada dasawarsa ini lahir gerakan islamisasi ilmu, hal ini tidak terlepas dari perilaku apologetik umat islam terhadap kemajuan barat, hingga-hingga ada pandangan baru untuk melaksanakan sekularisasi, mirip yang dilontarkan oleh Nurcholis Majid pada tahun 1974 yang lalu banyak menerima reaksi keras dari pemikir-pemikir Islam mirip dari Prof. H.M Rasyidi dan Endang Saifudin Anshori.

Mulai awal tahun 1980-an, kian banyak karya cendekiawan muslim yang berbicara tentang integrasi ilmu dan agama atau islamisasi ilmu, seperti terlihat dari aneka macam karya mereka yang mencakup kombinasi ilmu mirip karya Ilyas Ba Yunus wacana Sosiologi Islam, serta karya-karya dibidang ekonomi, seperti karya Syed Haider Naqvi Etika dan Ilmu Ekonomi, karya Umar Chapra Al Qur’an, menuju sistem moneter yang adil, dan karya-karya yang lain , yang pada intinya semua itu ialah upaya penulisnya untuk menimbulkan ilmu-ilmu tersebut mempunyai landasan nilai islam.

Memasuki tahun 1990-an , utamanya di Indosesia perbincangan filsafat diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai suatu kritik kepada modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim universalitas ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian agama.

Post modernisme yang sering dihubungkan dengan Michael Foccault dan Derrida dengan beberapa desain/paradigma yang kontradiktif dengan modernisme mirip dekonstruksi, desentralisasi, nihilisme dsb, yang pada dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil daripada narasi-narasi besar, tetapi post modernisme menerima kritik keras dari Ernest Gellner dalam bukunya Post modernism, Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia menyatakan bahwa post modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk itu beliau mengajukan rancangan fundamentalisme rasionalis, karena rasionalitas ialah standar yang berlaku lintas budaya.

Disamping itu gerakan meniupkan nilai-nilai agama pada ilmu semakin berkembang, bahkan untuk Indonesia disambut hangat oleh ulama dan penduduk tampakdari berdirinya BMI, yang intinya hal ini tidak terlepas dari gerakan islamisasi ilmu, utamanya dalam bidang ilmu ekonomi.

Dan pada kala ini pula teknologi isu sungguh hebat , berakibat pada kian pluralnya perbincangan/diskursus filsafat, sehingga susah memilih diskursus mana yang paling menonjol, hal ini mungkin sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Alvin Tofler selaku The third Wave, dimana informasi semakin cepat memasuki aneka macam penggalan dunia yang pada gilirannya akan menjadikan kejutan-kejutan budaya tak terkecuali bidang anutan filsafat.

Meskipun tampaknya prkembangan Filsafat ilmu dekat kaitan dengan dimensi axiologi atau nilai-nilai pemanfaatan ilmu, namun dalam perkembangannya keadaan tersebut sudah juga mendorong para akhli untuk lebih mencermati apa bantu-membantu ilmu itu atau apa hakekat ilmu, mengingat dimensi ontologis sebetulnya punya kaitan dengan dimensi-dimensi yang lain mirip ontologi dan epistemologi, sehingga dua dimensi yang terakhir pun menerima penilaian ulang dan pengkajian yang serius.

Diantara tonggak penting dalam bidang kajian ilmu (filsafat ilmu) adalah terbitnya Buku The Structure of Scientific Revolution yang ditulis oleh Thomas S Kuhn, yang untuk pertama kalinya terbit tahun 1962, buku ini ialah sebuah karya yang monumental mengenai perkembangan sejarah dan filsafat sains, dimana didalamnya paradigma menjadi konsep sentral, disamping desain sains/ilmu normal. Dalam persepsi Kuhn ilmu pengetahuan tidak hanya pengumpulan fakta untuk mengambarkan sebuah teori, alasannya adalah selalu ada anomali yang mampu mematahkan teori yang sudah mayoritas.

Pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang pedoman ilmiah sudah menciptakan teori-teori, kemudian teori-teori terspesifikasikan menurut karakteristik tertentu ke daLam sebuah Ilmu. Ilmu (teori) tersebut lalu dikembangkan , diuji sehingga menjadi mapan dan menjadi dasar bagi riset-riset selanjutnya , maka Ilmu (sains) tersebut menjadi sains normal ialah riset yang dengan teguh berdasar atas suatu pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh penduduk ilmiah tertentu pada suatu dikala dinyatakan sebagai pemberi fundasi bagi praktek (riset) selanjutnya ( Thomas S Kuhn, 2000 :10 ) .

Pencapaian anutan ilmiah tersebut dan terbentuknya sains yang wajar kemudian menjadi paradigma, yang mempunyai arti “apa yang dimiliki bareng oleh anggota suatu penduduk sains dan sebaliknya penduduk sains terdiri atas orang yang memiliki suatu paradigma tertentu ( Thomas S Kuhn, 2000 : 171 ). Paradigma dari sains yang normal kemudian mendorong riset normal yang cenderung sedikit sekali ditujukan untuk menghasilkan penemuan gres yang konseptual atau yang hebat (. Thomas S Kuhn, 2000 : 134 ). Ini berakibat bahwa sains yang wajar , manfaatnya sangat berfaedah dan bersifat kumulatif. Teori yang mendapatkan legalisasi sosial akan menjadi paradigma, dan keadaan ini ialah masa ilmu normal. Kemajuan ilmu berawal dari perjuangan kompetisi aneka macam teori untuk menerima pengakuan intersubjektif dari sebuah penduduk ilmu. Dalam kurun sain wajar ilmu hanyalah ialah pembenaran-pembenaran sesuai dengan perkiraan-perkiraan paaradigma yang dianut masyarakat tersebut, ini tidak lain dikarenakan paradigma yang berlaku telah menjadi standar bagi ilmu untuk melaksanakan penelitian, memecahkan problem, atau bahkan menyeleksi masalah-duduk perkara yang layak dibicarakan dan dikaji

Akan namun didalam kemajuan berikutnya ilmuwan banyak memperoleh hal-hal baru yang sering mengagetkan, semua ini diawali dengan kesadaran akan anomali atas prediksi-prediksi paradigma sains normal, lalu persepsi yang anomali ini dikembangkan sampai kesannya didapatkan paradigma gres yang mana pergantian ini sering sungguh revolusioner. Paradigma gres tersebut lalu melahirkan sain normal yang gres hingga ditemukan lagi paradigma baru berikutnya. Bila digambarkan nampak selaku berikut :
Pencapaian Manusia dalam aliran ilmiah


Sains Normal


Paradigma


Anomali


Perubahan paradigma/ revolusi sains


Sains Normal yang baru


Paradigma Baru
        Gambar 4.2, Struktur pergantian ke-Ilmuan

Pencapaian sain wajar dan paradigma baru bukanlah simpulan , tapi menjadi awal bagi proses pergantian paradigma dan revolusi sains selanjutnya, jikalau terdapat anomali atas prediksi sains wajar yang baru tersebut. Pendapat Kuhn tersebut pada dasarnya mengindikasikan bahwa secara substansial kebenaran ilmu bukanlah sesuatu yang tak tergoyahkan, suatu paradigma yang berlaku pada suatu saat, pada saat lainnya bisa tergantikan dengan paradigma gres yang telah mendapat pengesahan dari penduduk ilmiah, itu memiliki arti sebuah teori sifatnya sungguh tentatif sekali.


D. Ciri-Ciri Ilmu Modern

Dalam bagian terdahulu sudah dikemukakan ciri-ciri dari sebuah ilmu, ciri-ciri tersebut pada prinsipnya merupakan suatu yang normatif dalam sebuah disiplin keilmuan. Namun dalam perkembangannya ilmu utamanya teknologi sebagai aplikasi dari ilmu telah banyak mengalami pergantian yang sangata cepat, pergeseran ini berefek pada pandangan masyarakat tentang hakekat ilmu, perolehan ilmu, serta keuntungannya bagi masyarakat, sehingga ilmu cenderung dianggap selaku satu-satunya kebenaran dalam mendasari aneka macam kebijakan kemasyarakatan, serta telah menjadi dasar penting yang mensugesti penentuan prilaku manusia. Keadaan ini berakibat pada karakterisasi ciri ilmu terbaru, adapun ciri-ciri tersebut yakni :

1. Bertumpu pada paradigma positivisme. Ciri ini terlihat dari pengembangan ilmu dan teknologi yang kurang memperhatikan faktor nilai baik etis maupun agamis, alasannya memang salah satu aksioma positivisme yakni value free yang mendorong tumbuhnya prinsip science for science.

2. Mendorong pada tumbuhnya perilaku hedonisme dan konsumerisme. Berbagai pengembangan ilmu dan teknologi senantiasa mengacu pada upaya untuk mengembangkan kenikmatan hidup , meskipun hal itu dapat mendorong gersangnya ruhani insan akibat makin memasyarakatnya budaya konsumerisme yang terus dipupuk oleh media teknologi terbaru mirip iklan besar-besaran yang dapat membuat keperluan semu yang oleh Herbert Marcuse didefinisikan selaku keperluan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi kepentingan sosial tertentu dalam represinya (M. Sastrapatedja, 1982 : 125)

3. Perkembangannya sangat cepat . Pencapaian sain ddan teknologi modern pertanda percepatan yang fantastis , berganti tidak dalam waktu tahunan lagi bahkan mungkin dalam hitungan hari, ini terang sungguh berlawanan denngan perkembangan iptek sebelumnya yang jikalau menurut Alfin Tofler dari gelombang pertama (revolusi pertanian) memerlukan waktu ribuan tahun untuk meraih gelombang ke dua (revolusi industri, dimana sebagaimana dimengerti gelombang tersebut terjadi akibat pencapaian sains dan teknologi.

4. Bersifat eksploitatif kepada lingkungan. Berbagai kerusakan lingkungan hidupdewasa ini tidak terlepas dari pencapaian iptek yang kurang mengamati pengaruh lingkungan.


E. Paradigma Ilmu Modern Menurut Beberapa Aliran

Secara historis paradigma sains telah mengalami tahapan-tahapan pergeseran sebagaimana dikemukakan oleh S Nasution dalam bukunya “Metode observasi naturalistik kualitatif (1996 : 3). Tahap pertama disebut masa pra-positivisme, yang diawali dari jaman Aristiteles hingga David Hume, dimana aplikasinya dalam observasi ialah mengamati secara pasif, tidak ada upaya memanipulasi lingkungan dan melakukan eksperimen kepada lingkungan . Tahapan ini kemudian berganti dengan tahapan positivisme, dimana paradigma ini menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk observasi kuantitatif , yang mencoba mencari prinsip-prinsip atau aturan-aturan umum tentang dunia kenyataan . Paradigma berikutnya yang muncul yaitu paradigma post positivisme selaku reaksi atas pendirian positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran bukan sesuatu yang tunggal (it is an increasing complexity) sebagaimana diyakini positivisme.

Namun demikian paradigma yang paling menonjol di jaman modern ini tampaknya yaitu positivisme, walaupun ada beberapa sempalan dalam positivisme itu (Ahmad Sanusi, Majalah Matahari : 12). Untuk lebih mengetahuiberbagai paradigma sains terbaru, penulis sajikan tabel berikut yang dikutip oleh Ahmad Sanusi dalam Majalah Matahari halaman 12 sebagai berikut :

Tabel 4.2. Macam-macam Paradigma Ilmu
ALIRAN PARADIGMA WACANA ILMU
SUMBER/DAYA /POTENSI PENGERTIAN DAN TUGASNYA
BENTUK PENGETAHUAN DAN TUGASNYA
TITIK BERAT PADA
MODEL VERIFIKASI
MODALITAS MENYELURUH
ESENSI ONTOLOGIS
POSITIVISTIK
Akal sehat dan melaksanakan pengamatan
Empirikal Statis-tik dan menentukan metoda
fakta
Konsistensi dan Kepastian yang empirikal, rasional/logis
Obyek yang spesifik dan terukur
Realitas yang memisah/ khusus
FORMALISTIK/ STRUKTURALISTIK
Nalar reflektif dan Menemukan Makna
Empirikal statistikal dan Menyusun fakta
sistem
Konsistensi empirikal
Obyek yang spesifik dan terukur
Realitas yang melanjut
PENAFSIRAN (INTERPRETATIF)
Intuisi dan Menemukan Metoda
Teoritikal Filosofis Subyektivitas
Transendental, dan menerangkan teori
makna
Kohesi teoritik
Identitas obyek yang masuk logika dan kemampuan mentransformasikan
Realitas yang melanjut
TEORITIS
Intuisi dan Menemukan Nilai
Teoritikal Filosofis Menemukan Makna
Teori
Kohesi Teoritik
Identitas obyek yang masuk nalar dan karakteristik yang unggul
Realitas yang menyatu
KRITIS

Intuisi dan Menemukan Teori
Personal Sosial dan Melakukan Observasi
Nilai
Konsensus atas dasar pengalaman
Identitas obyek yang masuk logika dan karakteristik yang unggul
Realitas yang menyatu
PENGAMAT
PARTISIPAN
Akal sehat dan menemukan fakta
Personal Sosial dan Menemukan Fakta
Observasi
Konsensus atas dasar pengalaman
Identitas obyek yang masuk logika dan fungsi yang khas
Realitas yang  memisah

Paradigma-paradigma yang tercantum dalam tabel tersebut masih dapat dikelompokan pada klasifikasi yang sama atau mendekati. Dilihat dari esensi ontologisnya paradigma positivistik sama dengan pengamat partisipan ialah bahwa realitas itu terpisah, paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis, sedang paradigma formalistik strukturalis sama dengan paradigma interpretatif. Dilihat dari sumber, positivistik sama dengan pengamat partisipan dan mendekati paradigma interpretatif serta formalistik strukturalis, sedangkan paradigma teoritis sama dengan paradigma kritis.

Dari segi bentuk pengetahuan, positivistik sama dengan formalistik, interpretatif sama dengan teoritis, sedangkan paradigma kritis sama dengan paradigma pengamat partisipan , demikian juga dilihat dari segi versi verifikasi banyak kesamaannya, hanya dari tugas dan titik berat keenam paradigma itu berlawanan.

Namun demikian paradigma yang paling menonjol kini ini ialah paradigma positivistik, dimana realita menunjukan paradigma ini banyak memberikan pinjaman bagi kemajuan teknologi cukup umur ini , akan namun tidak berarti paradigma yang lain tidak berperan , peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma positivistik , hal ini terlihat dengan berkembangnya paradigma naturalistik yang sudah mendorong berkembangnya penelitian kualitatif . oleh alasannya adalah itu nampaknya paradigma-paradigma tersebut tidak bersifat saling menghilangkan namun lebih bersipat saling melengkapi , hal ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan kehidupan di dalamnya.


F. Hubungan Filsafat Dengan Ilmu

Meskipun secara historis antara ilmu dan filsafat pernah ialah sebuah kesatuan, namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih berpengaruh mempengaruhi pedoman insan, kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan ke duanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk mengisolasinya melainkan untuk lebih jernih melihat kekerabatan keduanya dalam konteks lebih mengerti khazanah intelektuan manusia

Harold H. Titus mengakui kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai relasi antara ilmu dan filsafat, alasannya adalah terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara ilmu dan filsafat, disamping dikalangan ilmuwan sendiri terdapat perbedaan persepsi dalam hal sifat dan keterbatasan ilmu, dimikian juga dikalangan filsuf terdapat perbedaan pandangan dalam menunjukkan makna dan tugas filsafat.

Adapaun persamaan (lebih tepatnya persesuaian) antara ilmu dan filsafat yaitu bahwa keduanya memakai berfikir reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal tersebut baik filsafat maupun ilmu bersikap kritis, berfikiran terbuka serta sangat konsern pada kebenaran, disamping perhatiannya pada wawasan yang terorganisisr dan sistematis.

Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan, dimana ilmu mengkaji bidang yang terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu memakai pengamatan, eksperimen dan klasifikasi data pengalaman indra serta berusaha untuk menemukan aturan-hukum atas tanda-tanda-tanda-tanda tersebut, sedangkan filsafat berusaha mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan meliputi hal-hal lazim dalam berbagai bidang pengalaman insan, filsafat lebih bersifat sintetis dan sinoptis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana dalam mempertanyakan duduk perkara korelasi antara fakta khusus dengan bagan masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji relasi antara temuan-temuan ilmu dengan klaim agama, etika serta seni.

Dengan memperhatikan ungkapan di atas nampak bahwa filsafat memiliki batas-batas yang lebih luas dan menyeluruh ketimbang ilmu, ini mempunyai arti bahwa apa yang sudah tidak mampu dijawab oleh ilmu, maka filsafat berupaya mencari jawabannya, bahkan ilmu itu sendiri mampu dipertanyakan atau dijadikan objek kajian filsafat (Filsafat Ilmu), tetapi demikian filsafat dan ilmu mempunyai kesamaan dalam menghadapi objek kajiannya adalah berfikir reflektif dan sistematis, meski dengan titik tekan pendekatan yang berlawanan.

Dengan demikian, Ilmu mengkaji hal-hal yang bersifat empiris dan dapat dibuktikan, filsafat mencoba mencari jawaban kepada dilema-problem yang tidak mampu dijawab oleh Ilmu dan jawabannya bersifat spekulatif, sedangkan Agama merupakan jawaban terhadap duduk perkara-problem yang tidak bisa dijawab oleh filsafat dan jawabannya bersifat mutlak/dogmatis. Menurut Sidi Gazlba (1976), Pengetahuan ilmu lapangannya segala sesuatu yang mampu diteliti (riset dan/atau eksperimen) ; batasnya hingga kepada yang tidak atau belum mampu dilaksanakan penelitian. Pengetahuan filsafat : segala sesuatu yang mampu dipikirkan oleh akal (rasio) manusia yang alami (bersifat alam) dan nisbi; batasnya yakni batas alam namun demikian dia juga mencoba memikirkan sesuatu yang diluar alam, yang disebut oleh agama “Tuhan”. Sementara itu Oemar Amin Hoesin (1964) mengatakan bahwa ilmu menawarkan kepada kita pengetahuan, dan filsafat memperlihatkan hikmat. Dari sini nampak terperinci bahwa ilmu dan filsafat mempunyai wilayah kajiannya sendiri-sendiri

Meskipun filsafat ilmu memiliki substansinya yang khas, namun ia ialah bidang wawasan campuran yang perkembangannya tergantung pada kekerabatan timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu, oleh alasannya itu pemahaman bidang filsafat dan pengertian ilmu menjadi sangat penting, terutama keterkaitannya yang bersifat timbal balik, meski dalam perkembangannya filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan otonom dilihat dari objek kajian dan telaahannya


G. Bidang Kajian dan Masalah-Masalah dalam Filsafat Ilmu

Bidang kajian filsafat ilmu ruang lingkupnya terus mengalami perkembangan, hal ini tidak terlepas dengan interaksi antara filsafat dan ilmu yang makin intens. Bidang kajian yang menjadi telaahan filsafat ilmu pun meningkat dan diantara para akhli tampakperbedaan dalam menentukan lingkup kajian filsafat ilmu, walaupun bidang kajian iduknya cenderung sama, sedang perbedaan lebih tampakdalam perincian topik telaahan. Berikut ini beberapa usulan akhli perihal lingkup kajian filsafat ilmu :

1. Edward Madden menyatakan bahwa lingkup/bidang kajian filsafat ilmu ialah:

a. Probabilitas
b. Induksi
c. Hipotesis


2. Ernest Nagel

a. Logical pattern exhibited by explanation in the sciences
b. Construction of scientific concepts
c. Validation of scientific conclusions

3. Scheffer

a. The role of science in society
b. The world pictured by science
c. The foundations of science

Dari beberapa pendapat di atas nampak bahwa semua itu lebih bersifat menambah terhadap lingkup kajian filsafat ilmu, sementara itu Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu. Dalam bentuk pertanyaan, pada dasar filsafat ilmu merupakan telahaan berkaitan dengan objek apa yang ditelaah oleh ilmu (ontologi), bagaimana proses pemerolehan ilmu (epistemologi), dan bagaimana faedah ilmu (axiologi), oleh alasannya adalah itu lingkup induk telaahan filsafat ilmu adalah :

1. ontologi
2. epistemologi
3. axiologi

ontologi berhubungan perihal apa obyek yang ditelaah ilmu, dalam kajian ini meliputi dilema realitas dan penampakan (reality and appearance), serta bagaimana hubungan ke dua hal tersebut dengan subjek/manusia. Epistemologi berkaitan dengan bagaimana proses diperolehnya ilmu, bagaimana prosedurnya untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah yang benar. Axiologi berkaitan dengan apa manfaat ilmu, bagaimana hubungan budpekerti dengan ilmu, serta bagaimana mengaplikasikan ilmu dalam kehidupan.

Ruang lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di dalamnya sesungguhnya menerangkan duduk perkara-problem yang dikaji dalam filsafat ilmu, problem-dilema dalam filsafat ilmu pada dasarnya menerangkan topik-topik kajian yang tentu saja mampu masuk ke dalam salahsatu lingkup filsafat ilmu. Adapun persoalan-dilema yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah (Ismaun) :

1. persoalan-dilema metafisis ihwal ilmu
2. persoalan-persoalan epistemologis wacana ilmu
3. masalah-masalah metodologis ihwal ilmu
4. duduk perkara-dilema logis perihal ilmu
5. masalah-duduk perkara etis perihal ilmu
6. problem-problem perihal estetika

metafisika ialah telaahan atau teori wacana yang ada, perumpamaan metafisika ini kadang-kadang dipadankan dengan ontologi bila demikian, sebab sesungguhnya metafisika juga meliputi telaahan yang lain mirip telaahan tentang bukti-bukti adanya Tuhan. Epistemologi ialah teori wawasan dalam arti lazim baik itu kajian mengenai wawasan biasa, wawasan ilmiah, maupun wawasan filosofis, metodologi ilmu yaitu telaahan atas metode yang dipergunakan oleh sebuah ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas metodenya. Masalah logis berhubungan dengan telaahan tentang kaidah-kaidah berfikir benar, utamanya berkenaan dengan sistem deduksi. Problem etis berhubungan dengan faktor-aspek budpekerti dari sebuah ilmu, apakah ilmu itu hanya untuk ilmu, ataukah ilmu juga perlu memperhatikan kemanfaatannya dan kaidah-kaidah sopan santun penduduk . Sementara itu dilema estetis berkaitan dengan dimensi keindahan atau nilai-nilai keindahan dari sebuah ilmu, terutama jika berhubungan dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan penduduk .


H. Kebenaran Ilmu

Ilmu pada dasarnya ialah upaya manusia untuk menerangkan berbagai fenomena empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut ialah untuk menemukan sebuah pengertian yang benar atas fenomena tersebut. Terdapat kecenderungan yang berpengaruh sejak berjayanya kembali nalar aliran insan ialah dogma bahwa ilmu merupakan satu-satunya sumber kebanaran, segala sesuatu klarifikasi yang tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti, atau diobservasi adalah sesuatu yang tidak benar, dan karena itu tidak patut dipercayai.

Akan namun kenyataan membuktikan bahwa tidak semua duduk perkara mampu dijawab dengan ilmu, aneka macam hal-hal yang merupakan konsern insan, sukar, atau bahkan mustahil dijelaskan oleh ilmu mirip dilema Tuhan, Hidup sesudah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non – empiris. Oleh alasannya adalah itu kalau manusia hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, maka ia sudah mempersempit kehidupan dengan cuma mengikatkan diri dengan dunia empiris, untuk itu diharapkan pemahaman ihwal apa itu kebenaran baik dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya.

Bila dilihat dari gradasi berfikir kebenaran dapat dikelompokan kedalam empat gradasi berfikir ialah :

1. kebenaran biasa. Yaitu kebenaran yang dasarnya yakni common sense atau logika sehat. Kebenaran ini biasanya mengacu pada pengalaman perorangan tidak tertata dan sporadis sehingga cenderung sungguh subjektif sesuai dengan variasi pengalaman yang dialaminya. Namun demikian seseorang mampu menganggapnya sebagai kebenaran kalau sudah dinikmati faedah praktisnya bagi kehidupan individu/orang tersebut.

2. Kebenaran Ilmu. Yaitu kebenaran yang sifatnya konkret sebab mengacu pada fakta-fakta empiris, serta memungkinkan semua orang untuk mengujinya dengan tata cara tertentu dengan hasil yang serupa atau paling tidak relatif sama.

3. Kebenaran Filsafat. Kebenaran model ini sifatnya spekulatif, mengenang sulit/tidak mungkin dibuktikan secara empiris, namun kalau tata cara berfikirnya difahami maka seseorang akan mengakui kebenarannya. Satu hal yang merepotkan yakni bagaimana setiap orang mampu mempercayainya, alasannya cara berfikir dilingkungan filsafatpun sangat beragam.

4. kebenaran Agama. Yaitu kebenaran yang didasarkan terhadap informasi yang hadirnya dari Tuhan lewat utusannya, kebenaran ini sifatnya dogmatis, artinya saat tidak ada kefahaman atas sesuatu hal yang berhubungan dengan agama, maka orang tersebut tetap harus mempercayainya sebagai sebuah kebenaran.

Dari uraian di atas nampak bahwa maslah kebenaran tidaklah sederhana, tingkatan-tingkatan/gradasi berfikir akan memilih kebenaran apa yang dimiliki atau diyakininya, demikian juga sifat kebenarannya juga berlainan. Hal ini pertanda bahwa jikalau seseorang mengatakan tentang sesuatu hal, dan apakah hal itu benar atau tidak, maka pertama-tama perlu dianalisis tentang tataran berfikirnya, sehingga tidak serta merta menyalahkan atas sesuatu pernyataan, kecuali bila pembicaraannya memang sudah mengacu pada tataran berfikir tertentu.

Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang srius, obrolan duduk perkara ini berkaitan dengan validitas wawasan/ilmu, apakah pengetahuan yang diliki seseorang itu benar/valid atau tidak, untuk itu para akhli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of Truth), yang dapat dikategorikan ke dalam berbagai macam teori kebenaran yaitu :

1. Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran, atau sesuatu itu dikatakan benar kalau terdapat kesesuaian antara sebuah pernyataan dengan faktanya (a proposition - or meaning - is true if there is a fact to which it correspond, if it expresses what is the case). Menurut White Patrick “truth is that which conforms to fact, which agrees with reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can be defined as fidelity to objective reality”. Sementara itu menurut Rogers, kondisi benar (kebenaran) terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya. Contoh : jikalau seseorang menyatakan bahwa Kualalumpur yaitu ibukota Malayasia, maka pernyataan itu benar kalu dalam kenyataannya memang ibukota Malayasia itu Kualalumpur.

2. Teori Konsistensi (The coherence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran ialah keajegan antara sebuah pernyataan dengan pernyataan yang lain yang sudah diakui kebenarannya, jadi suatu proposisi itu benar bila sesuai/ajeg atau koheren dengan proposisi lainnya yang benar. Kebenaran jenis ini umumnya mengacu pada aturan-hukum berfikir yang benar. Misalnya Semua insan niscaya mati, Uhar yakni Manusia, maka Uhar pasti mati, kesimpulan uhar niscaya mati sungguh tergantung pada kebenaran pernyataan pertama (semua insan niscaya mati).

3. Teori Pragmatis (The Pragmatic theory of truth). Menurut teori ini kebenaran yakni sesuatu yang mampu berlaku, atau mampu memberikan kepuasan, dengan kata lain sesuatu pernyataan atau proposisi dikatakan benar apabila mampu memberi faedah mudah bagi kehidupan, sesuatu itu benar kalau berguna.

Teori-teori kebenaran tersebut pada dasarnya pertanda titik berat kriteria yang berbeda, teori korespondensi menggunakan tolok ukur fakta, oleh sebab itu teori ini bisa disebut teori kebenaran empiris, teori koherensi menggunakan dasar pikiran selaku kriteria, sehingga mampu disebut selaku kebenaran rasional, sedangkan teori pragmatis menggunakan kegunaan sebagai kriteria, sehingga mampu disebut teori kebenaran simpel.


I. Keterbatasan Ilmu

Hubungan antara filsafat dengan ilmu yang mampu terintegrasi dalam filsafat ilmu, dimana filsafat menjajal menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ilmu, menandakan adanya keterbatasan ilmu dalam menjelaskan aneka macam fenomena kehidupan. Disamping itu dilingkungan daerah ilmu itu sendiri sering terjadi sesuatu yang dianggap benar pada satu saat ternyata disaat lain terbukti salah, sehingga muncul pertanyaan apakan kebenaran ilmu itu sesuatu yang mutlak ?, dan apakah seluruh problem manusia dapat dijelaskan oleh ilmu ?. pertanyaan-pertanyaan tersebut bahu-membahu menggambarkan betapa terbatasnya ilmu dalam mengungkap misteri kehidupan serta betapa tentatifnya kebenaran ilmu.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya diungkapkan usulan para akhli berhubungan dengan kekurangan ilmu, para akhli tersebut antara lain yaitu :

1. Jean Paul Sartre menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang telah akhir terfikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil observasi dan percobaan baru yang dikerjakan dengan sistem-metode gres atau alasannya adanya peralatan-peralatan yang lebih tepat, dan inovasi gres tiu akan disisihkan pula oleh akhli-akhli yang lain.

2. D.C Mulder menyatakan bahwa tiap-tiap akhli ilmu menghadapi soal-soal yang tak mampu dipecahkan dengan melulu menggunakan ilmu itu sendiri, ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar yang melebihi kompetensi ilmu, misalnya apakah hukum alasannya adalah akhir itu ?, dimanakah batas-batas lapangan yang aku selidiki ini?, dimanakah tempatnya dalam realita semuanya ini?, sampai dimana keberlakuan sistem yang dipakai?. Jelaslah bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu yakni filsafat.

3. Harsoyo menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat insan dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan diam-diam alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar umumnya diusik oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang mengakibatkan lebih gelisah lagi, dan umumnya mereka ialah orang-orang rendah hati yang semakin berisi kian menunduk. Selain itu Harsoyo juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut dan tamat sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah senantiasa terbuka untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta gres yang sebelumnya tidak dikenali.

4. J. Boeke menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita mengusut peristiwa-insiden yang dipertunjukan oleh zat hidup itu, bagaimanapunjuga kita menjajal menemukan persepsi yang jitu wacana keadaan sifatzat hidup itu yang bantu-membantu tersusun, namun asas hidup yang sebenarnya yakni rahasiah abadi bagi kita, oleh alasannya adalah itu kita mesti menyerah dengan perasaan saleh dan terharu.

Dengan mengamati penjelasan di atas, nampak bahwa ilmu itu tidak dapat dipandang sebagai dasar mutlak bagi pengertian insan wacana alam, demikian juga kebenaran ilmu harus dipandang secara tentatif, artinya senantiasa siap berganti kalau didapatkan teori-teori gres yang menyangkalnya. Dengan demikian dpatlah ditarik kesimpulan berhubungan dengan keterbatasan ilmu adalah :

1. ilmu cuma mengenali fenomena bukan realitas, atau mengkaji realitas sebagai sebuah fenomena (science can only know the phenomenal, or know the real through and as phenomenal - R. Tennant)

2. Ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena alam/kehidupan manusia dan lingkungannya
3. kebenaran ilmu bersifat sementara dan tidak mutlak

keterbatasan tersebut sering kurang disadari oleh orang yang mempelajari suatu cabang ilmu tertentu, hal ini disebabkan ilmuwan condong bekerja cuma dalam batas wilayahnya sendiri dengan sebuah disiplin yang sungguh ketat, dan kekurangan ilmu itu sendiri bukan merupakan konsern utama ilmuwan yang berada dalam daerah ilmu tertentu.


J. Manfaat Mempelajari Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu berusaha mengkaji hal tersebut guna menerangkan hakekat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pengertian yang padu tentang aneka macam fenomena alam yang sudah menjadi objek ilmu itu sendiri, dan yang cenderung terfragmentasi. Untuk itu filsafat ilmu berfaedah untuk :
  • Melatih berfikir radikal wacana hakekat ilmu
  • Melatih berfikir reflektif di dalam lingkup ilmu
  • Menghindarkan diri dari memutlakan kebenaran ilmiah, dan menilai bahwa ilmu sebagai satu-satunya cara mendapatkan kebenaran
  • Menghidarkan diri dari egoisme ilmiah, yaitu tidak
Download Dalam Format DOC


Daftar Pustaka
  • Abu Ahmadi. 1982. Filsafat Islam. Semarang. Toha Putra.
  • Abubakar Aceh, 1982. Sejarah Filsafat Islam, Surakarta. Ramadhani Sala
  • Achmad Charris Zubair. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia. Yogyakarta. LESFI.
  • Ahmad Fuad Al Ahwani, 1985. Filsafat Islam. Jakarta. Pustaka Firdaus.
  • Ahmad Syadali & Mudzakir, 1997. Filsafat Umum, Bandung. Pustaka Setia
  • Ahmad Tafsir.1992. Filsafat Umum. Bandung. Remaja Rosdakarya.
  • Al Ghazali, 1986. Tahafut Al Falasifah, Kerancuan Para Filosuf. Jakarta. Pustaka Panjimas. (terj. Ahmadie Thaha)
  • -----------, tt. Mi’yarul Ilmi, Beirut. Darul Fikri
  • -----------,1978. Al Munqidzu Min Addolal, Jakarta. Tintamas. (terj. Abdulah Bin Nuh
  • A. Epping O.F.M. et al. 1983. Filsafat Ensie. Bandung Jemmar.
  • Ahmad Daudy. 1984. Segi-segi Pemikiran Filsafi dalam Islam, Jakarta. Bulan Bintang.
  • A. Sonny Keraf, Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta. Kanisius.
  • Abubakar Aceh. 1982. Sejarah Filsafat Islam, Sala. Ramadhani
  • Bertrand Russel. 2002. Persoalan-duduk perkara seputar Filsafat. Yogyakarta. IKON, (terj. Ahmad Asnawi)
  • Anton Bakker, A.C. Zubair, 1990. Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta. Kanisius.
  • Ayn Rand. 2003. Pengantar Epistemologi Objektif. Yogyakarta. Bentang Budaya (terj. Cuk Ananta Wijaya)
  • Beerling, et.al. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Tiara Wacana.
  • C.A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Jakarta. Gramedia
  • Descartes, 2003. Diskursus Metode, terj. A.F. Ma’ruf, Yogyakarta, IRCiSoD.
  • Donny Gahral Adian, 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta. Teraju.
  • Endang Saifudin Anshori. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu,
  • Frithjof Schuon. 1994. Islam dan Filsafat Perenial. Bandung. Mizan. (terj. Rahmani Astuti)
  • Fuad Hasan. 1985. Berkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta. Pustaka Jaya.
  • ----------,1986. Apologia, Pidato Pembelaan Socrates yang diabadikan Plato (saduran). Jakarta. Bulan Bintang
  • ----------. 1977. Heteronomia. Jakarta. Pustaka Jaya
  • Harun Nasution, 1978. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta. Bulan Bintang
  • ----------. 1979. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta. UI Press
  • H.C. Webb, 1960. Sejarah Filsafat, Jogjakarta, Terban Taman 12.
  • H.M. Rasjidi, 1970. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang,
  • Harold H Titus. 1959, Living issues in philosophy, New York, American Book
  • Harry Hamersma. 1984. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta. Gramedia.
  • Husain Heriyanto. 2003. Paradigma Holistik. Bandung. Teraju
  • Ismaun, 2000. Catatan Kuliah Filsafat Ilmu (Jilid 1 dan 2), Bandung. UPI
  • Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar Harapan,
  • ----------,1996. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta. Yayasan Obor
  • JWM. Bakker, SY. 1978. Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta. Kanisius.
  • K. Berten, 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta. Kanisius
  • ----------, 1990. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta. Knisius
  • Keith Wilkes, 1977. Agama dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka.
  • Koentjaraningrat. et. al 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta. Gramedia
  • Lengeveld. Tt. Menuju ke Pemikiran Filsafat, terj. G.J. Claessen, Jakarta, PT Pembangunan.
  • Louis Leahy. 1984. Manusia Sebuah Misteri. Sintesis Filosofis perihal Makhluk Paradoksal. Jakarta. Gramedia
  • Mahdi Ghulsyani. 1995. Filsafat Sains menurut Al Qur’an. Bandung. Mizan (terj. Agus Effendi)
  • M. Arifin. 1995. Agama, Ilmu dan Teknologi. Jakarta. Golden Terayon Press.
  • Mohamud Hamid Zaqzuq. 1987. Al Ghazali. Sang Sufi Sang Filosof. Bandung. Pustaka. (terj. Ahmad Rofi’ Utsmani)
  • Maurice Mandelbaum, et al. 1958, Philosophic Problems, New York,Mc Millan Co,
  • M.A.W. Brouwer. 1983. Psikologi Fenomenologis. Jakarta. Gramedia
  • Mehdi Ha’iri Yazdi.1994. Ilmu Huduri, Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam. Bandung. Mizan
  • Mohammad Hatta. 1964. Alam Pikiran Yunani (Jilid 1 dan 2). Jakarta. Tintamas
  • M.T. Zen (ed). Sains, 1981 Teknologi dan Hari depan Manusia. Jakarta. Gramesia
  • Muhammad Baqir Ash Shadr. Falsafatuna, Bandung. Mizan. (terj. M. Nur Mufid Bin Ali)
  • Murthadho Muthahhari, 2002. Filsafat Hikmah, Bandung. Mizan
  • Nurcholis Madjid. 1978. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta. Bulan Bintang
  • Oemar Amin Hoesen. 1964. Filsafat Islam. Jakarta. Bulan Bintang
  • Osman Bakar. 1998. Hierarki Ilmu. Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu. Bandung. Mizan (terj. Purwanto)
  • Partap Sing Mehra, 2001. Pengantar Logika Tradisional. Bandung. Putra Bardin.
  • Pervez Hoodbhoy. 1997. Islam dan Sains. Pertarungan menegakan Rasionalitas. Bandung. Pustaka. (trj.Luqman)
  • Poedjawijatna, 1980. Pembimbing ke arah Alam Filsafat, Jakarta. PT Pembangunan.
  • ----------,1975. Filsafat Sana – Sini (jilid 1 dan 2). Yogyakarta. Yayasan Kanisius
  • Sastrapratedja. (ed). 1982. Manusia Multi Dimensional. Jakarta. Gramedia
  • Sidi Gazalba, 1976. Sistimatika Filsafat (Jilid 1 hingga 4), Jakarta. Bulan Bintang
  • ----------,1978. Ilmu, Filsafat dan Islam, perihal Manusia dan Agama. Jakarta. Bulan Bintang
  • Sindhunata.1982. Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta. Gramedia.
  • Siti Handaroh. et.al. 1998. The Qur’an and Philosophic Reflections. Yogyakarta. Titian Ilahi Press.
  • Soerjanto dan K. Bertens. 1983. Sekitar Manusia. Bunga Rampai wacana Filsafat Manusia. Jakarta. Gramedia
  • Sudarto, 1996. Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta. RajaGrafindo.
  • Sutan Takdir Alisjahbana, 1981. Pembimbing ke Filsafat, Jakarta, Dian Rakyat.
  • ----------- et al. 2001. Sumbangan Islam terhadap Sains dan Peradaban Dunia, Jakarta. Nuansa.
  • -----------, 1986. Antropologi Baru, Jakarta, Dian Rakyat.
  • Whitehead. Alfred North. 1960. Science and The Modern World.New York. The New American Library of World Literature.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon