Makalah Teologi Dalam Islam Al Nurbainin
Ilmu yang dipakai untuk memutuskan aqidah-aqidah diniyah yang di dalamnya dijelaskan segala yang disampaikan Rasul dari Allah berkembang bersama-sama dengan tumbuhnya agama di dunia ini. Para Ulama di setiap umat berupaya memelihara agama dan meneguhkannya dengan aneka macam dalil yang mampu mereka kemukakan. Tegasnya, ilmu Kalam ini dimiliki oleh semua umat hanya saja dalam kenyataannyalah yang berlawanan-beda. Ada yang lemah, kuat, sempit, ada yang luas menurut keadaan kala dan hal-hal yang mempengaruhi kemajuan umat, seperti tumbuhnya beragam pembahasan.
Adapun ilmu yang memutuskan aqidah-aqidah Islamiyah dengan jalan mengemukakan dalil-dalil dan mempertahankan dalil-dalil itu, maka ilmu ini tumbuh bantu-membantu dengan tumbuhnya Islam, dan dia dipengaruhi oleh efek-pengaruh yang mensugesti jalan pimikiran umat Islam dan kondisi-kondisi mereka. Seluruh agama samawi di turunkan Allah ke wajah bumi ini menempatkan teologi pada posisi sentral. Begitu juga Islam, pedoman yang paling penting dari Islam ialah pemikiran Kalam yang menjadi dasar dari segala dasar disini ialah legalisasi tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa. Di samping ini, menjadi dasar pula soal kerasulan, wahyu, kitab suci al-Qur’an, soal mukmin dan muslim, soal orang kafir dan musyrik, korelasi makhluk, utamanya insan dengan pencipta, soal akhir hayat manusia ialah nirwana dan neraka, dan lain sebagainya. Semua dilema ini di diskusikan oleh ilmu Kalam yang dalam istilah baratnya disebut teologi. [1]
Masalah ini menawan untuk di diskusikan, alasannya pada periode Rasul hingga dengan periode Khalifah Usman Ibn Affan dilema teologis [2] di kalangan umat Islam belum begitu diperdebatkan. Persoalan teologi timbul sesudah khalifah yang ke empat ialah Ali Ibn Abi Thalib. Hal itu disebabkan oleh dilema arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah Ibn Abi Sofyan dan golongan yang menolak arbitrase tersebut. Sehingga lambat laun terkristalisasi dalam berbagai bentuk pemikiran teologi dengan berbagai macam tokoh dan pendekatannya masing-masing.
B. Makalah ini membicarakan secara historis tentang problem tersebut, cuma bersikisar dalam pengertian teologi, Tauhid, Kalam, Ushul Al-Din dan lain-lain sejarah kemunculan persoalan-problem teologi/Kalam dalam Islam serta sebab perbedaan pertimbangan dalam bidang politik dan pemerintahan di golongan kaum muslimin.
C. Pengertian Istilah Teologi, Tauhid, Kalam, Ushul Al-Din dan Lain-Lain
Perkataan Tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan. Asal arti tauhid yakni meng-Esakan, maksudnya mengi’tikatkan bahwa Allah yakni Esa. [3]
Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, ilmu Kalam ialah ilmu berisi alasan-argumentasi yang menjaga iman-keyakinan iktikad dengan menggukan dalil-dalil anggapan dan berisi bantahan kepada orang-orang yang menyeleweng dari doktrin-iman anutan kelompok salaf dan jago Sunnah. [4]
Selain itu ada pula ada yang mengatakan bahwa ilmu Kalam yaitu ilmu yang membahas bagaimana menetapkan keyakinan-dogma keagamaan dengan bukti-bukti yang meyakinkan. [5] Di dalam ilmu ini di bahas tentang cara ma’rifah (mengetahui secara mendalam) wacana sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil-dalil yang niscaya guna mencapai kebahagian hidup kekal. [6] Ilmu ini tergolong induk ilmu agama dan paling utama bahkan paling mulia, sebab berkaitan dengan zat Allah, zat para rasul-Nya.
Berdasarkan batasan tersebut tampakbahwa teologi adalah ilmu yang pada pada dasarnya berafiliasi dengan problem ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, sebab secara harfiah teologi berasal dari kata teo yang mempunyai arti Tuhan dan logi yang memiliki arti ilmu. [7]
Namun dalam perkembangan berikutnya ilmu Kalam/Teologi juga mengatakan perihal aneka macam duduk perkara yang berhubungan dengan keimanan serta balasan-risikonya, seperti persoalan doktrin, kufr, musyrik, murtad; dilema kehidupan alam baka dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya; hal-hal yang membawa pada semakin tebal dan tipisnya iktikad; hal-hal yang berkaitan dengan Kalamullah yaitu al-Qur’an; status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya. Sejalan dengan pertumbuhan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka Kalam acap kali di namai pula ilmu Tauhid, ilmu Usuluddin, ilmu ‘Aqaid, dan ilmu ketuhanan. Dinamai ilmu Tauhid, karena ilmu ini mengajak orang supaya meyakini dan mempercayai cuma pada satu Tuhan, ialah Allah SWT. Selanjutnya dinamai ilmu Usuluddin, karena ilmu ini membicarakan pokok-pokok keagamaan, yakni akidah dan keyakinan kepada Tuhan; dinamai pula ilmu ‘Aqaid, sebab dengan ilmu ini seseorang dibutuhkan semoga meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya cuma pada Allah selaku Tuhan. [8]
Abu Hanifah menyebut nama ilmu Kalam ini dengan Fiqh al-Akbar. Menurut persepsinya, aturan Islam yang diketahui dengan istilah Fiqh terbagi atas dua bab. Pertama, Fiqh al-Akbar, membicarakan keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, Fiqh al-Ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan dilema muamalah, bukan pokok-pokok agama, namun hanya cabang saja. [9]
Ilmu ini dinamakan juga dengan ilmu Kalam, sedangkan ulama-ulama yang mengakatannya dinamakan Mutakallimin, atau ulama Kalam.
Adapun sebabnya dinamakan ilmu Tauhid dengan ilmu Kalam yakni:
Karena problema-problema yang diperselisihkan para Ulama-ulama Islam dalam ilmu ini, menjadikan umat Islam terpecah dalam beberapa golongan, ialah problem Kalam Allah yang kita bacakan (al-Qur’an), apakah dia makhluk (diciptakan), ataukah qadim (bukan diciptakan).
Materi-bahan ilmu ini yakni merupakan teori-teori Kalam, tidak ada diantaranya yang diwujudkan ke dalam realita atau diamalkan dengan anggota.
Ilmu ini di dalamnya mengambarkan cara atau jalan memutuskan dalil untuk pokok-pokok aqidah serupa dengan ilmu mantiq. Karenanya dinamakan ilmu ini dengan nama yang sama maknanya dengan mantiq ialah Kalam.
Ulama-ulama mutaakhkhirin membahas dalam ilmu ini dilema-masalah yang tidak dibahas oleh Ulama Salaf, mirip pentakwilan ayat-ayat mutasyabihat, pembahasan perihal pemahaman qada, ihwal Kalam dan lain-lain, oleh kerena itu maka ilmu ini dinamakan dengan ilmu Kalam. Dan ungkapan ilmu Kalam gres terkenal di periode Bani Abbasiyah setelah terjadi banyak perdebatan, pertukaran anggapan dan bercampur problem-problem tauhid dengan problema-problema filsafat, mirip menyampaikan maddah (materi), susunan badan, aturan-hukum jauhar (zat), sifat dan lain-lain. [10]
Dari beberapa usulan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Kalam/Teologi yaitu ilmu yang secara khusus membicarakan perihal problem ketuhanan serta aneka macam persoalan yang berkaitan dengannya menurut dalil-dalil yang meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya mampu mengenali bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga keimanan tersebut semoga tidak hilang atau rusak.
D. Sejarah Kemunculan Persoalan-Persoalan Teologi/Kalam dalam Islam
Pada zaman Rasulullah, tauhid sebagai ilmu belum diketahui orang, sekalipun para ulama sependapat bahwa tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam fatwa Islam. Karena ketauhidan zaman Nabi ditanamkan oleh dia lewat perilaku dan tingkah laris bertauhid dan kalau muncul suatu masalah dapat ditanyakan pribadi kepada Nabi sendiri.
Tauhid selaku ilmu baru dikenal jauh setelah wafatnya Rasulullah. Istilah ilmu tauhid gres disebut-sebut orang pada kurun ke 3 H. atau tepatnya pada zaman Khalifah al-Makmun dan sebelumnya masalah yang bekerjasama dengan ketauhidan ini tergolong bab dari al-Fiqhu Fiddin selaku imbangan dari al-Fiqhu Fil Ilmi. Kehadiran Tauhid selaku ilmu ialah hasil dari pengkajian para ulama dari apa yang tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an dan al-Hadis dan orang yang dianggab pemula dalam menyusun Ilmu Tauhid yakni Abu Hasan Ali al-Asy’ari (260-324 H/873- 935 M). [11]
Agak janggal jikalau dibilang bahwa dalam Islam, selaku agama, problem yang mula-mula muncul yaitu dalam bidang politik bukan dalam bidang teologi. Tetapi masalah politik ini secepatnya berkembangmemjadi problem teologi. Supaya duduk perkara ini terang apalagi dulu kita lihat sejarah, tegasnya dalam pase perkembangannya. [12]
Sewaktu Nabi mulai memberitakan agama Islam di Mekkah, dia belum dapat membentuk sebuah masyarakat yang kuat lagi bangun sendiri. Umat Islam diwaktu itu masih dalam keadaan lemah, tidak mampu menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi bersama sobat dan umat Islam lainnya, terpaksa meninggalkan Mekkah dan pindah ke Madinah dan tiba di sana pada 24 September 622 M. [13]
Di Madinah keadaan Nabi dan umat Islam mengalami pergeseran yang besar. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya ialah umat yang lemah dan tertindas, di Madinah mereka memiliki kedudukan yang baik dan merupakan umat yang kuat dan dapat bangkit sendiri. Nabi Muhammad disamping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan dalam penduduk yang baru dibentuk itu yang sebelumnya di Madinah tidak ada kekuasaan politik yang akibatnya merupakan sebuah negara yang daerah kekuasaannya diakhir zaman Nabi mencakup seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain, di Madinah Nabi Muhammad tidak hanya memiliki sifat Rasulullah, tetapi juga mempunyai sifat kepala negara. [14]
Ketika dia wafat 8 Juni 632 M, ia harus diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang dia lewati itu. Dalam kedudukan dia sebagai Rasul, tentu tidak mampu diganti. Jadi tidak aneh jika penduduk Madinah pada waktu Nabi wafat sibuk menimbang-nimbang penggati ia untuk mengepalai negara yang gres terbentuk itu. Timbullah soal Khalifah, ialah soal pengganti Nabi selaku kepala negara. [15]
Sebagaimana kita ketahui dari sejarah pengganti ia yang pertama ialah Abu Bakar tahun 632 M. Abu Bakar menjadi kepala negara pada waktu itu dengan memakai gelar Khalifah, yang arti lafzinya yakni pengganti. Kemudian sesudah Abu Bakar wafat, Umar Ibn Khattab menggantikan ia selaku Khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan berikutnya menjadi Khalifah pada tahun 634 M yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul problem-dilema politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tidak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan kuat dalam penduduk Arab pada waktu itu. Ia mengangkat mereka menjadi Gubernur-gubernur di daerah-kawasan yang tunduk terhadap kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar, Khalifah yang diketahui sebagai orang yang berpengaruh dan tidak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya, diberentikan oleh Usman. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntung bagi kedudukan Usman selaku Khalifah. Sahabat-teman Nabi yang pada awalnya mendukung Usman, hasilnya berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi Khalifah atau orang-orang yang ingin calonnya menjadi Khalifah mulai pula menangguk di air yang keruh dari yang timbul itu. Di kawasan-tempat timbul perasaan tidak senang. Di Mesir Amr Ibn al-Ash diberentikan selaku Gubernur dan diganti dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari anggota keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pembrontak bergerak dari Mesir menuju Madinah. Perkembangan situasi di Madinah berikutnya menjinjing pada pembunuhan Usman oleh Wardan bin Samurah ialah salah seorang pemberontak dari Mesir. [16]
Setelah Usman wafat pada 17 Juni 656 M, Ali Ibn Abi Thalib, diangkat selaku Khalifah yang keempat di Mesjid Nabawi Madinah pada 24 Juni 656 M. Tetapi dia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah, terutama Talhah dan Zabeir dari Mekkah yang menerima bantuan dari Aisyah. Sehingga terjadi perang antara Ali dengan Aisyah pada 9 Desembar 656 M, Thalhah dan Zubeir yang diketahui dengan perang Jamal, dinamakan perang Jamal karena Aisyah waktu itu menunggangi unta, dalam pertempuran tersebut Talhah dan Zubeir dapat dikalahkan bahkan Talhah dan Zubeir mati terbunuh, sedang Aisyah dikirim kembali ke Mekkah. [17]
Tantangan kedua tiba dari Mu’awiyah pada 28 Juli 657 M, Gubernur Damaskus yang ialah anggota keluarga akrab Usman Ibn Affan. Mu’awiyah juga tidak mengakui Ali sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur tangan dalam pembunuhan Usman, alasannya salah satu dari pemuka pemberontak Mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Usman ialah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras kepada pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad diangkat menjadi Gubernur Mesir. [18]
Antara kedua golongan risikonya terjadi peperangan di Siffin (Irak), yang populer dengan perang Siffin pada 1 Shafar 37 H. Tentara Ali mampu memdesak serdadu Mu’awiyah, namun ajun Mu’awiyah adalah Amr Ibn Ash yang terkenal selaku orang yang licik minta berdamai dengan mengangkatkan al-Alquran ke atas. Imam-imam yang ada dipihak Ali mendesak Ali supaya menerima ajuan itu dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan rapat umum/hakam (arbitrase) pada bulan Januari 659 M di Adhruh. [19]
Sejarah menyampaikan antara keduanya terdapat komitmen untuk menjatuhkan kedua pemuka yang berlawanan, ialah Ali dan mu’awiyah. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Ibn al-Ash, mengumumkan cuma menyepakati penjatuhan Ali yang sudah diumumkan al-Asy’ari, namun menolak penjatuhan Mu’awiyah. [20]
Peristiwa ini menguntungkan bagi Mu’awiyah. Yang legal menjadi khalifah bekerjsama hanyalah Ali, sedangkan mu’awiyah kedudukannya hanyalah sebagai Gubernur tempat yang tidak ingintunduk kepada Ali selaku khalifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan jika keputusan ini ditolak Ali dan tidak mau meletakkan jabatannya, sampai beliau mati terbunuh pada 24 Januari 661 M ketika beliau dalam perjalanan menuju mesjid Kufah yang dijalankan oleh seorang pengikut Khawarij adalah Abd al-Rahman Ibn Muljam. [21]
Sikap Ali yang menerima tipu tipu muslihat Amr bin al-Ash, delegasi dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, Sungguhpun dalam kondisi terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa duduk perkara yang terjadi dikala itu tidak mampu di putuskan lewat tahkim/arbitrase manusia. Putusan hanya tiba dari Allah dengan kembali terhadap aturan-aturan yang ada dalam al-Alquran. La hukma illa Allah (tidak ada aturan selain dari hukum Allah) atau la hukma illa Allah (tidak ada perantara selain Allah) menjadi semboyan mereka. [22]
Mereka menatap Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golangan mereka inilah dalam sejarah Islam, populer dengan nama Khawarij, ialah orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders. [23]
Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang akhirnya menjinjing kepada timbulnya persoalan-persoalan Kalam. Timbullah duduk perkara siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij menatap bahwa orang-orang yang terlibat dalam kejadian tahkim, ialah Ali, Mu’awiyah, Amr bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari, ialah kafir, alasannya al-Quran menyampaikan:
Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu yakni orang-orang yang kafir”. (Q.S. al- Maidah: 44). [24]
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah. Karena keempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka sudah keluar dari Islam, yakni murtad, mereka mesti dibunuh. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, namun berdasarkan sejarah cuma orang yang dibebani membunuh Ali Ibn Abi Talib yang sukses dalam tugasnya. [25]
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami pergeseran. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak memilih hukum dengan al-Alquran, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yakni murtakib kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir. [26]
Persoalan orang-orang berbuat dosa inilah kemudian memiliki efek besar dalam pertumbuhan Kalam selanjutnya dalam Islam. Persoalannya yakni: Masihkah beliau bisa dipandang orang mukmin ataukah dia sudah menjadi kafir alasannya berbuat dosa besar itu?
Persoalan ini telah menimbulkan tiga ajaran teologi dalam Islam yakni:
1. Aliran Khawarij, mengatakan bahwa orang berdosa besar yaitu kafir, dalam arti telah keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan oleh alasannya adalah itu wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
3. Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pertimbangan di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arabnya populer dengan ungkapan al-manzilah baina manzilatain (posisi diantara dua posisi). [27]
Di luar pasukan yang membelot Ali, ada pula sebagian besar yang tetap mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kalangan Syi’ah. Menurut Watt, Syi’ah timbul saat berjalan pertempuran antara Ali dengan Mu’awiyah yang di kenal dengan perang Siffin. Sebagai tanggapanatas penerimaan Ali kepada arbitrase yang ditawarkan Mu’awiyah, pasukan Ali terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali lalu disebut Syi’ah dan kalangan lain menolak perilaku Ali lalu disebut Khawarij. [28]
Dalam Islam, muncul pula dua ajaran teologi yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, insan memiliki kemerdekaan dalam hasratdan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat sebaliknya bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan perbuatannya. [29]
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari kalangan tradisional Islam, khususnya dari kelompok Hanbali, ialah pengikut-pengikut mazhab Ibn Hanbal. Mereka yang menentang ini lalu mengambil bentuk pedoman teologi tradisional yang dipelopori Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M). Di samping pemikiran Asy’ariyah, muncul pula sebuah ajaran di Samarkand yang juga bermaksud menentang fatwa Mu’tazilah. Aliran ini di dirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini lalu terkenal dengan teologi al-Maturidiyah. [30]
Mengenai karena-sebab pemicu perbedaan pertimbangan , al-Dahlawi terlihat lebih menekankan faktor subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan perdapat. Penekanan senadapun pernah dibilang Imam Munawir. Ia menyampaikan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatar belakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan krebilitas seseorang selaku figur pembuat keputusan. Lain lagi yang dikatakan oleh Umar Sulaiman al-Syakar. Ia lebih menekankan objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan usulan. Menurutnya ada tiga masalah yang menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu persoalan dogma (aqa’id), duduk perkara syariah dan problem politik. [31]
Bertolak dari tiga persepsi di atas, perbedaan pertimbangan di dalam dilema objek teologi bahu-membahu berhubungan erat dengan cara (sistem) berpikir aliaran-pemikiran ilmu Kalam dalam menguraikan objek pengkajian (dilema-duduk perkara Kalam). Perbedaan tata cara berpikir secara garis besar mampu di katagorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berpikir rasional dan sistem berpikir tradisional. [32]
E. Sebab Perbedaan Pendapat dalam Bidang Politik dan Pemerintahan di Kalangan Kaum Muslimin
1. Fanatisme (‘Ashabiyyah) Arab
Fanatisme Arab merupakan salah satu alasannya adalah, bahkan alasannya adalah terpenting, lahirnya perbedaan pertimbangan yang mengakibatkan perpecahan umat. Sesungguhnya Islam sudah menyatakan perang kepada fanatisme di dalam beberapa nash al-Qur’an maupun hadis. Misalnya, dalam firman Allah Artinya: Hai manusia, bergotong-royong Kami membuat kau dari seorang pria dan seorang perempuan dan menyebabkan kau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku biar kamu saling mengenal… (QS. al-Hujarat: 13).
Sabda Nabi Artinya: Bukanlah dari golongan kami orang-orang yang menyerukan untuk bersikap fanatik.
Artinya: Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi bangsa Arab kepada bangsa lainnya kecuali dari sisi ketakwaan.
Pada periode Nabi, rasa fanatisme itu teredam dengan klarifikasi-klarifikasi di atas. Hal itu berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah Uman Ibn Affan. Baru pada selesai pemerintahannya kekuatan fanatisme ini mulai bangkit kembali, dimulia dengan timbulnya kontradiksi antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim. Sesudah itu, muncul kontradiksi antara kelompok Khawarij dan golongan yang lain. Pertentangan antara kedua kelompok ini ialah kontradiksi lama yang pernah terjadi di masa jahiliah anatara kabilah-kabilah Rabi’ dan kabilah-kabilah Mudhar. Pertentangan ini dapat diredam untuk sementara ketika agama Islam datang hingga hasilnya muncul kembali sebab disulut oleh tersebarnya mazhab Khawarij di kelompok kabilah Rabi’. [33]
2. Perebutan kekhalifahan.
Sebab pokok yang mengakibatkan kontradiksi di bidang politik yakni perbedaan perdapat perihal duduk perkara siapa yang paling berhak mengambil alih Nabi dalam memimpin umatnya. Masalah ini muncul eksklusif sehabis Nabi wafat. Kelompok Anshar menyampaikan, “Kamilah yang menyambut dan membantu Nabi. Maka, kamilah yang paling berhak menjadi khalifah”. Golongan Muhajirin mengatakan pula, “Kami lebih dulu dalam hal itu. Maka, kamilah yang paling berhak”. Kekuatan iktikad kalangan Anshar dapat meredakan kontradiksi itu tanpa kejadian apapun. Namun setelah insiden itu, perbedaan pertimbangan mengenai persoalan kekhalifahan kian tajam. Inti duduk perkara itu yakni siapa yang paling berhak memangku kedudukan itu: apakah beliau berasal dari kabilah Quraisy secara keseluruhan, ataukah cuma dari keturunan tertentu saja, dan ataukah setiap orang Islam tanpa membeda-bedakan kalangan dan keturunan sebab semuanya sama di sisi Allah sebagaimana digariskan di dalam firman-Nya Artinya: Orang yang paling mulia di segi Allah ialah yang paling taqwa di antara kau. (Q. S. al-Hujarat: 13).
Sabda Nabi Artinya: Tidak ada keutamaan bangsa Arab kepada bangsa lain kecuali dari sisi ketaqwaannya.
Dalam menjawab dilema itu kaum muslimin terpecah menjadi golongan Khawarij dan Syi’ah dan lain-lain. [34]
3. Pergaulan kaum Muslimin dengan penganut banyak sekali agama terdahulu dan masuknya sebagian mereka ke dalam Islam
Penganut agama terdahulu, yaitu Yahudi, Nashrani dan Majusi banyak yang memeluk agama Islam, tetapi dalam pikiran mereka masih tersisa anutan-anutan keagamaan yang mereka anut sebelumnya dan itu menguasai perasaan mereka. Karenanya, mereka berpikir wacana hakikat-hakikat pedoman Islam dalam perspektif dogma lama. Mereka menimbulkan di tengah-tengah kaum Muslimin persoalan keagamaan yang muncul dalam agama mereka, seperti duduk perkara keterpaksaan dan kebebasan berkehendak (al-jabr wa al-ikhtiyar), serta sifat-sifat Allah: apakah sifat-sifat itu sesuatu lainnya dari zat-Nya, ataukah sifat-sifat dan zat itu sama. [35]
Perlu ditegaskan bahwa sebagian mereka memeluk Islam dengan niat yang tulus, namun dalam pikiran mereka masih tersimpan sisa-sisa anutan keagamaan sebelumnya. Sebagian lagi memeluk Islam cuma lahirnya saja, tetapi bathinnya menyimpan sesuatu yang lain. Masuknya kalangan ini dalam Islam hanya membuat kesemrawutan pada pedoman agama dan berbagi aliran agama yang sesat. Karena itu, dikalangan kaum Muslimin didapatkan orang-orang yang mengembangkan banyak sekali maksud jahat, sebagaimana yang dijalankan oleh orang-orang zindiq (paham yang mengatakan bahwa alam awet, tidak percaya adanya hari akhir zaman dan keesaan ilahi) dan lainnya dalam bentuk dalam bentuk aliran-anutan yang menyesatkan. [36]
Berkaitan dengan hal ini, Ibn Hazm menandakan dalam kitabnya al-fashl fi al-Milal wa al-Nihal selaku berikut:
“Sebab pokok keluarnya manyoritas kalangan ini dari agama Islam yakni adanya fikiran orang-orang Persia bahwa mereka mempunyai kerajaan yang paling luas dan penguasa semua bangsa. Mereka memandang mulia diri sendiri sehingga menamakan diri mereka selaku orang-orang merdeka dan pribumi, sementara semua orang lain ialah hamba mereka. Ketika kekuasaan mereka diambil alih oleh orang-orang Arab yang kekuatannya tidak pernah mereka perhitungkan sama sekali, mereka sangat terpukul, sehingga selalu berupaya untuk memerangi Islam. Akan namun dalam setiap usaha itu Allah selalu mengungguli yang haq. Karenanya, sebagian mereka berpura-pura memeluk Islam dan Ahl al-Tasyayyu’ (Partai Ali) berpura-pura memcintai Ahlulbait serta mencaci maki para penganiaya Ali, kemudian menghukumi mereka sebagai orang kafir”. [37]
Sekalipun memusatkan perhatian pada acuan Partai Ali mirip Saba’yyah, yakni pengikut Abdullah Ibn Saba’, uraian di atas berlaku pula pada beberapa kelompok lainnya. Dalam perilaku kelompok senantiasa ada orang-orang semacam mereka, mirip Ibn al-Ruwandi dalam kalangan Mu’tazilah. Demikian pula dalam kalangan Musyabbihah dan Mujassimah. [38]
4. Adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an.
Allah berfirman yang artinya: Dialah yang menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepada (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan lainnya mutasyabihat. Dan adapun orang-orang yang dalam hatinya cenderung terhadap kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan unuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (al-Qu’an), semuanya dari segi Tuhan kami”. Tidak ada yang mampu mengambil pelajaran kecuali orang yang pintar. (Q. S. Ali Imran: 7).
Dari ayat di atas dikenali adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an antara lain merupakan cobaan dari Allah terhadap kekuatan iman orang yang beriman. Keberadaan ayat-ayat ini menjadi karena terjadinya penbedaan pendapat di kalangan ulama tetntang makna yang bahu-membahu.
Banyak ulama yang berusaha mencari takwil ayat-ayat itu dan meraih hakikat makna-maknanya. Akibatnya, mereka berlainan usulan tentang takwil yang bergotong-royong. Ada pula ulama yang sengaja menjauhi pentakwilan ayat-ayat tersebut dan menyerahkan makna yang bergotong-royong terhadap Allah sambil berdoa: Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sehabis Engkau beri isyarat terhadap kami, dan karuniakanlah terhadap kami rahmat dari sisi-Mu. (Q. S. Ali-Imran: 8).
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006.
- Anwar, Rosihon dan Razak, Abdul, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
- Hitti, K. Philip, History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.
- Hanafi, A., Teologi Islam Ilmu Kalam, cet. III. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
- Jassar-al, Muhammad bin Husen, al-Hushun al-hamadiyah li al-Muhafadzah ‘Ala al-‘Aqaid al-Islamiya. Bandung: syirkah al-Ma’terpelajar, t.t.
- Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid, I. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985.
- _____________, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 2008.
- Nata, Abuddin H., metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
- Syahrastani-al, Abi al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Baskar Ahmad, al- Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar -Fikr. t.t.
- Shiddieqy-Ash, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, cet. I. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
- Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
- Watt, Montgomery W., Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim. Jakarta: P3M, 1987.
- Zahrah Abu, Muhammad Imam, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publising House, 1996.
----------------
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1985), Jilid, I, h. 30.
[2] Sesungguhnya pada abad Rasul persoalan teologis telah dibicarakan, namun masih bersifat sederhana, gres kemudian pada periode pemerintahan khalifah Rasyidin yang terakhir dilema teologis baru dibicarakan secara mendalam. Walaupun pada awalnya duduk perkara yang pertama muncul bukan dalam bidang teologis, tetapi dalam bidang politik yang akhirnya bermuara kepada persoalan teologis. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 1.
[3] H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 1989), h. 494.
[4] A. Hanafi, Teologi Islam Ilmu Kalam, cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 10.
[5] Husen bin Muhammad al-Jassar, al-Hushun al-hamadiyah li al-Muhafadzah ‘Ala al-‘Aqaid al-Islamiyah, (Bandung: syirkah al-Ma’pintar, t.t.), h. 7.
[6] Ibid., h. 7.
[7] H. Abuddin Nata, metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 269.
[8] Nata, metodologi, h. 269.
[9] Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 13.
[10] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 10.
[11] Hanafi, Teologi Islam, h. 11.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, cet. v, (Jakarta: UI-Press, 2008), h. 3.
[13] Ibid., h. 4.
[14] Ibid.
[15] Ibid., h. 5.
[16] Ibid., h. 6.
[17] Ibid.
[18] Ibid., h. 7.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 227.
[22] Ibid., h. 8.
[23] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.
[24] Al-Alquran dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006), h. 153.
[25] Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran, h. 9.
[26] Ibid.
[27] Watt, Pemikiran Teologi, h. 8.
[28] Abi al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Baskar Ahmad al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr. t.t), h. 114.
[29] Ibid. h. 9.
[30] Ibid.
[31] Ibid., h. 32.
[32] Yunan yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 16-17.
[33] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos Publising House, 1996), h. 7.
[34] Ibid.
[35] Ibid., h. 8.
[36] Ibid., h. 9.
[37] Ibid.
[38] Ibid. Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon