Kamis, 22 Oktober 2020

Makalah Tentang Ulama Dan Kekuasaaan

A. Pendahuluan
Umat Islam kebanyakan mempercayai budbahasa holistic Islam. Sebagai instrument ilahiyah untuk mengerti dunia, Islam seringkali dipandang selaku lebih dari sekedar agama. Beberapa golongan malah menyatakan bahwa Islam juga dapat dipandang selaku “ penduduk madani”.Ini ialah penuturan Muhammad Iqbal dalam bukunya yang berjudul The Recontruction of Religion Thoght in Islam, . peradaban yang lengkap bahkan “agama dan Negara”. Yang melandasi rumusan – rumusan ini ialah pandangan yang luas diterima bahwa Islam mencakup lebih dari sekedar system teologi atau adab. Lebih jauh pandangan itu menyatakan bahwa Islam tidak mengakui tembok pemisah antara spiritual dan temporal, melainkan mengontrol semua aspek kehidupan.

Sementara pandangan – pandangan seperti itu memang tetap diterima oleh nyaris semua orang, artikulasinya pada tingkat mudah merupakan sesuatu yang cukup problematic. Hal ini tidak serta merta disebabkan oleh tingkat kesalehan yang berlainan dikalangan umat Islam, melainkan utamanya disebabkan oleh ciri biasa sebagian besar pedoman Islam yang memungkinkan multiinterpretasi terhadapnya, tergantung terhadap situasi yang dihadapi.(Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, h 61).

Kata ilmu dalamberbagai bentuknya terulang 854 kali dalam al- Qur’an. Kata ini dipakai dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek wawasan. Dalam persepsi al –Qur’an ilmu yaitu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul kepada makhluk – makhluk lain guna melaksanakan fungsi kekhalifahan. Manusia berdasarkan al – Qur’an memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seijin Allah. Karena itu bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk merealisasikan hal tersebut. Berkali – kali pula al-Qur’an memperlihatkan betapa tinggi kedudukan orang – orang yang berpengetahuan. ( M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung : Mizan, h 434 – 435)

Ilmu merupakan salah satu nilai yang luhur dibawa oleh Islam dan tegak diatasnya kehidupan manusia baik secara moril maupun secara material, dunia maupun ukhrawi. Islam menyebabkan selaku jalan menuju keimanan dan memotivasi amal. Sekaligus karunia ilmu ini pula yang membuat insan diberi amanah sebagai khalifah di paras bumi ini alasannya dengan ilmu tersebut, Adam sebagai bapak manusia diberi keunggulan atas malaikat ( dan makhluk yang lain) yang sempat ingin tau sehingga mempermasalahkan pertolongan amanah ini. ( Yusuf al – Qardhawi, Malamihu al – Mujtama’a al Muslim Alladzi Nasyuduh, Maktabah Wahbah Cairo : Mesir, 1417 H,h 120)

Kita megetahui bahwa tanpa adanya institusi yang membesarkan atau menempah para orang – orang yang akil tadi maka kita tidak akan menyakini bahwa mereka yaitu memiliki ilmu dan karena ilmu tadi mereka dijuluki dengan gelar ulama. Perlu kita tekankan di makalah ini bahwa institusi pendidikan Islam sangat banyak mulai dari Pesantren, Sekolah Islam, Perguruan Tinggi Islam, Institut Agama Negri Islam dan bahkan banyak jenis nama institusi pendidikan Islam, tetapi dalam makalah ini kita akan berbicara dalam intitusi salah satunya ialah madrasah yang ada di luar Indonesia.

Ulama merupakan orang yang berpengaruh dalam tatanan ilmu “ilmu agama Islam” ulama pada gilirannya akan mewariskan ilmu yang dimilikinya tersebut kepada para anak didiknya. Melihat keadaan ini bahwa jelas Islam akan mewariskan ilmu wawasan dari para ulama tersebut dan berguru kepadanya. Didalam makalah ini penulis akan mencoba menulis bahwa apa ada keterkaitan ulama dalam membentuk keilmuan yang ada dikalangan umat Islam dan menjadikan anak asuh atau ulama itu sendiri menjadi “kuat” dalam posisi kemasyarakatan dan kalau mampu membentuk keilmuan tersebut tentu akan menggapai pengaruh dalam masyarakat dan bahkan menjadi berkuasa di tatanan masyarakatnya.

B. Pengertian Ulama
Ulama yakni bentuk majemuk dari kata dalam bahasa Arab “alim” yang secara harfiyah yang memiliki arti orang yang cerdik musuh kata ilm ( Ilmu ) adalah jahi ( kolot). Latar belakang penegertian ini selalu dihubungkan dengan perumpamaan ilmu wawasan agama, baik dalam pengertian genosis maupun pengertian eksotis hokum agama. Pada era-kurun paling awal Islam yang disebut ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu agama[4]. Pada abad al-Khulafaur-Rasyidin tidak ada pemisahan antara orang yang mempunyai pengetahuan agama, ilmu wawasan ke alaman, dan pemisahan politik mudah. Para sahabat Nabi saw lazimnya mempunyai pengetahuan keagamaan, pengetahuan keagamaan dan sekaligus mereka juga pelaku pelaku politik mudah. Para teman ternama pada era itu lazimnya duduk dalam satu dewan usulanyang disebut Ahl al – Halli wa al – Aqd. Oleh ulama, para teman ini lalu disebut ulama salaf.

Baru pada masa pemerintahan bani Ummayyah dan sesudahnya, ungkapan ulama lebih ditekankan terhadap orang yang mempunyai ilmu pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, perumpamaan ulama lebih dipersempit lagi. Misalnya jago fiqh disebut fuqaha, jago hadits disebut muhaddisin, mahir kalam disebut mutakallim, ahli tasauf disebut mutasawwif, ahli tafsir disebut mufassir. Sementara itu orang yang mempunyai ilmu kelaman tidak lagi disebut dengan ulama, namun disebut mahir dalam bidang masing -masing.

Di Indonesia, ungkapan ulama atau alim ulama yang semula disebutkan dalam bentuk jamak berubah pengertiuannya menjadi bentuk tunggal. Pengertian ulama lebih menjadi sempit , karena diartikan sebagai orang yang mempunyai pengetahuan ilmu keagamaan dalam bidang fiqih, di Indonesia ulama identik dengan fuqaha, bahkan dalam pemahaman awam sehari – hari ulama yakni fuqaha dalam bidang ibadah saja.

Ada beberapa jenis istilah atau istilah bagi ulama di Indonesia. Di Aceh disebut Teungku, di Sumatera Barat disebut tuanku atau Buya di Jawa Barat disebut Ajengan Jawa tengah, Timur Kiyai Banjar ( Kalimantan Selatan ) sulawesi dan NTT disebut Tuanku Guru[5]. Ulama bentuk jamak dari alim “berakal” (cendikiawan) orang-orang yang diakui sebagai cenndikiawan atau sebagai pemegang otoritas wawasan agama Islam. Mereka yaitu para imam masjid – masjid besar ( agung) para hakim, guru – guru agama pada Universitas (PTII) dan secara umumia merupakan forum golongan cendekia atau kalangn cendikiawan keIslaman yang mempunyai hak penentu atas persoalan keagamaan. Khusunya dalam system monarkhis yang turun menurun. Para penguasa dikukuhkannya melalui keputusan dewan ulama. Untuk menguatkan kekuasaannya dalam memegang tampuk pemerintahan. Ulama selalu memegang legitimasi dalam persoalan pemerintahan dan keagaamaan. Dan ialah ancaman yang terkuat bagi setiap rejim, dimana posisi dewan ulama tetap bertahan sekalipun suatu sultan, penguasa,atau sebuah dinasti sudah mengalami kehancuran.[6]

Ulama dalam arti luas yaitu kaum bakir cendikawan dalam banyak sekali cabang ilmu wawasan sesuai dengan kekhususannya masing-masing. Sejalan dengan kelengkapan ajaran al –Qur’an dan sunnah yang mencakup segala aspek kehidupan insan. Maka para ulama ( dalam pemahaman luas ) dan lebih- lebih ulama dalam pengertia sempit ialah yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu agama. Secara jama’i mampu memecahkan dilema- duduk perkara yang dihadapi masyarakat menuju pertumbuhan hidup yang sehat, sejalan dengan nilai – nilai fatwa alquran dan sunnah.[7] Betapapun kian sempit pemahaman ulama dari dulu sampai kini, tetapi ciri khasnya tetap tidak mampu dilepaskan, yakni ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu diajarkan dalam jangka khasyyah ( adanya rasa takut atau tunduk) terhadap Allah swt.

C. Pengertian Ilmu
Ilmu dalam kepustakaan Islam banyak diartikan sama dengan ma’rifah, dan demikian pula sebaliknya. Masing -masing kata tersebut saling isi mengisi cakupan artinya. Menurut al – Jurjani ( Ali bin Muhammad) dalam kitab al–Ma’rifat, Ilmu atau ma’rifah diartikan sebagai “ mengetahui sesuatu berdasarkan yang bantu-membantu atau doktrin yang pasti sesuai dengan realitas ”.[8]

Ilmu ( science ) dapat diarti selaku cabang studi yang berkenaan dengan pengklasifikasian fakta - fakta, dan terutama dengan penetapan kaidah – kaidah biasa yang mampu diuji. Dalam artian ini ilmu terutama menyagkut studi tentang eksternalitas benda – benda yang menjadi target telaahnya, lalu berupaya menemukan aturan – hukum yang berlaku berdasarkan data valid. Dengan kata lain, ilmu menunjukkan judgement de faite atau penilaian terhadap realitas eksternal yang merupakan faite ( subtansi ). Perhatian ilmu dicurahkan untuk mengungkapkan karakteristik pelbagai keadaan (circum Stances) dan fenomena eksternal. Jika kita ikuti usulan Ali Syariati sesorang intelektual muslim raksasa dari Iran, maka ilmu yaitu wawasan insan perihal dunia fisik dan fenomenanya, ilmu merupakan imagi mental manusia perihal hal yang faktual. [9]

D. Madrasah Sebagai Ladang Pencarian Ilmu
Kebangkitan madrasah di tempat – tempat lain di Timur Tengah dalam waktu yang tidak terlampau usang segera menghipnotis Haramayn. Didalam buku jaringan ulama oleh Azyumardi Azra menyampaikan bahwa, Menurut sejarawan Taqi Al-Din Al-Fasi Al-Makki Al-Maliki ( 775-832/1373-1428), madrasah pertama di Makkah adalah madrasah Al-Ursufiyah yang didirikan pada 571/1175 oleh ‘Afif Abd Allah Muhammad Al-Ursufi ( w.595/1196) di erat pintu Umrah, bagian Selatan Masjid Al-Haram. Madrasah Al-Ursufiyah memiliki sebuah ribath yang disebut ribath Abi Ruqaibah ( Abi Qutaibah) setahun sebelum ‘Afif Al-Ursufi mendidrikan sebuah madrasah di Kairo. Sejak pembangunan madrasah Al-Ursufiyah hingga awal masa ke – 17 terdapat setidaknya 19 madrasah di Makkah.

Ciri terpenting madrasah – madrasah di Makkah adlah bahwa nyaris seluruh madrasah itu dibangun penguasa – penguasa atau dermawan non – Hijazi. Hanya satu madrasah, adalah madrasah Al-Syarif Al-‘Ajlan yang dibangun penguasa Makkah, ‘Ajlan Abu Syari’ah ( berkuasa 744-777/1344-1375). Yang terbanyak yang mendirikan madrasah di Mkkah yaitu penguasa – penguasa ‘utsmani mereka membengun 5 madrasah, yakni 4 dibangun Sultan Sulayman Al-Qanuni dan 1 oleh Sultan Murad (berkuasa 982-1003/1574-1595).selanjutnya, khalifah dan pejabat tingi Abbasiyah membangun 4 madrasah. Penuasa – penguasa Mesir tergolong Mamluk, dan penguasa Yaman masing – masing mendidirkan 3 madrasah. Kemudian, penguasa Muslim India membangun 2 madrasah.

Meski kita mempunyai jumlah madrasah yang cukup tidak mengecewakan di Makkah, cukup berargumentasi mengasumsikan bahwa tidak seluruh madrasah tersebut bertahan sepanjang periode tiga periode. Untuk mengemukakan satu acuan, madrasah Qa’it Bey yang megah mengalami kerusakan dalam 70 tahun. [10]

Sedangkan bagi Madinah, sejarah lembaga – lembaga pendidikan Islamnya nampaknya bahkan lebih gelap. Sumber – sumber yang berkenaan dengan sejarah Madinah kebanyakannya tidak berbicara apa –apa perihal hal ini. Pengembara Andalusia pada abad ke – 12 Ibn Jubayr, saat menghadiri beberapa kuliah di Baghdad tergolong yang diberikan di Madrasah Nizhamiyah menyatakan, beliau juga menghadiri kuliah semacam itu di Makkah dan Madinah pada 579/1183. tetapi dia tidak menyebutkan nama beberapa ulama ternama di kota itu, sama sekali tidak menyinggung madrasah. Ia mengamati, malam hari aktivitas keilmuan di selenggarakan di masjid Nabawi, di mana ulama dan murid – murid membentuk halaqah lengkap dengan al –Qur’an dan kitab – kitab lain.[11]

Tradisi keilmuan di kalangan ulama sepanjang sejarah Islam berhubungan erat dengan lembaga – lembaga social keagamaan dan pendidikan, seperti masjid, madrasah, ribath, dan bahkan rumah guru. Hal ini khusunya terang di Haramayn, dimana tradisi keilmuan menciptakan jaringan ulama ektensif, yang megatasi batas – batas daerah dan perbedaan – perbedaan pandangan keagamaan.

Tidak ragu lagi, kedua masjid suci Makkah dan Madinah ialah kancah paling penting bagi ulama yang terlibat dalam jaringan sejak dasawarsa – dasawarsa terakhir kala ke -15. meski jumlah madrasah dan ribath terus meningkat sesudah madrasah pertama dan kedua di Makkah masing – masing dibangun pada 571/1175 dan 578/1183, kedua masjid utama di Haramayn tetap menjadi embel-embel yang vital bagi dunia keilmuan di tanah suci.

Pada era itu madrasah – madrasah sudah diorganisasi secara lebih formal, dan sudah memiliki kepala – kepala, guru – guru, qadhi – qadhi, dan pegawai – pegawai lainnya yang diangkat resmi. Madrasah – madrasah itu juga mempunyai kurikulum tersendiri, dan bahkan kuota murid – murid dan alokasi waktu belajar sesuai dengan mazhab masing- masing. Bahwa jelas madrasah – madrasah ini utamanya diabdikan untuk memperlihatkan pengajaran dasar dan menengah dalam banyak sekali disiplin keislaman. Dengan semua formalitas ini, madrasah memiliki sedikit peluang untuk membawa murid – murid ketingkat keilmuan Islam lebih tinggi.[12] Segmen ulama di Madinah tampaknya tidak begitu berbeda dengan Makkah. Banyak mereka, jikalau tak manyoritas, bukan penduduk asli Hijaz. Jumlah mereka juga kelihatan lebih kecil.[13]

Footnote
----------------
[1] (Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998, h 61).
[2] M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung : Mizan, h 434 – 435
[3] Yusuf al-Qardhawi, Malamihu al – Mujtama’a al Muslim Alladzi Nasyuduh, Maktabah Wahbah Cairo : Mesir, 1417 H,h 120
[4] .( John L.Espito,The oxford encyclopedia of the ModernIslame World Vol 4, New York: Oxford University Press, 1995, h 258-259)
[5] .( Tim Penyusun Ensiklopedi. Insklopedi Islam, Jakarta : PT Ictiar Baru Van Hoeve, 2003, h 120 – 121 ).
[6] .( Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Raja Grapindo Persada, 2002 h 417 )
[7] .( Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan KeIslaman : Seputar Filsafat, Hukum, Politik Dan Ekonomi, Bandung : Mizan, 1993, h 259 )
[8] ( Muhammad Tholhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultur, Lanta Bora Press : Jakarta, 2005, h 51.)
[9] M.Amien Rais, Cakrawala Islam : Antara Cita Dan Fakta, Bandung : Mizan, 1987 , h 108
[10] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII, Bandung : Mizan, 1995, h 63.)
[11] .( Azyumardi Azra, Jaringan Ulama…, h 65 )
[12] .( Azyumardi , Jaringan Ulama……h, 75)
[13] .( Azyumardi , Jaringan Ulama……h, 83)
[14] ( Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies ( Sejarah Sosial Umat Islam), terjemah Ghufron A. Mas’adi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999, h 33 )
[15] ( Ira M Lapidus, A History……… h, 34 )

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon