A. Pendahuluan
Propaganda dalam rangka kemajuan dan perkembangan kaum Syiah dipacu oleh iktikad mereka kepada wasiat Nabi yang menunjuk Ali selaku Imam pertama di suatu kawasan yang terdapat genangan air yang dinamakan Ghadir Khumm, adalah ketika Nabi kembali ke Madinah pulang dari perjalanan haji.[1]
Wasiat tersebut dapt dipandang penting, alasannya dapat menimbulkan dan bahkan menjadi pangkal utama pertikaian antara kaum Syiah dan Sunni.Bagi kaum Syiah,wasiat tersebut ialah absah, sehingga menolak kekhalifahan Ustman, Umar dan bahkan Abu Bakar. Mereka disebut kaum Rafidlah (mereka yang menolak).Sementara bagi kaum Ahl al Sunnah Wa al Jamaah, wasiat ghadir Khum ialah imitasi yang dibentuk-buat oleh kaum Rafidlah.[2]
Pertikaian antara kaum Sunni dengan Syiah terus berlanjut sampai zaman kini, terutama di beberapa wilayah kaum muslimin. Namun meski demikian, ternyata dua kelompok besar dalam Islam ini memiliki andil yang sangat besar dalam modernisasi Islam. Makalah ini akan mengkaji ihwal modernisasi Islam dalam relevansinya dengan Sunni dan Syiah.
B. Pembaruan dan Modernisasi dalam Islam
Pada prinsipnya, pembaru Islam yaitu orang yang mempertimbangkan dan merespon fenomena kehidupan, biar umat terbebas dari belenggu metode yang stagnan menuju kemajuan (terbaru) dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam hakiki. Jalan mereka untuk membebaskan dan memajukan umat ini pun sungguh heterogen, ada yang akomodatif, provokatif, dan radikal.
Munculnya para pemikir dan pembaru mirip Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Muhammad bin Abdil-Wahab (1703-1792 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1968 M), dan Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966 M), yang lalu melahirkan apa yang disebut fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme, sekularisme Islam, nasionalisme, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk riil dari hasil interaksi intensif antara Islam dan persoalan kemasyarakatan.
Orientasi Pembaruan
Kemunduran umat Islam membuat kelompok intelektual Muslim berpikir keras bagaimana mengentaskan ketertinggalan umat Islam biar mampu berdiri sejajar dengan umat lain. Dalam rangka mengembangkan umat Islam dan mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, Jamaluddin Al-Afghani misalnya, lebih menitikberatkan pada nasionalisme Muslim dan persatuan umat Islam (Pan-Islamisme) untuk membebaskan umat Islam dari cengkraman penjajah, sedangkan Muhammad Abduh lebih banyak berorientasi pada bidang pendidikan dan pemahaman keagamaan dengan menghidupkan kembali ajaran rasional mu’tazilah dan menolak taklid buta. Tak heran bila banyak orang menyebut pedoman Abduh selaku Neo-Mu’tazilah.
Rasyid Ridha, salah seorang murid Abduh, dalam modernisasi umat Islam ia menganjurkan untuk kembali ke Alquran dan Sunnah. Menurut Ridha, dalam setiap menuntaskan masalah umat Islam harus berpaling ke dua sumber tersebut, dan tidak perlu berpaling ke Barat. Ridha juga menekankan pembaruan dalam bidang aturan, untuk hal ini membutuhkan restorasi Khilafah Islamiyah. Menurutnya, metode politik Islam yang benar adalah metode khilafah, di mana khalifah berkonsultasi terhadap ulama alasannya ulama ialah penafsir aturan Islam. Meskipun Ridha mendukung berdirinya tata cara khilafah, tetapi beliau juga mendukung nasionalisme. Menurutnya, nasionalisme tidak akan melemah persatuan umat Islam transnasional (Pan-Islamisme) sampai ideal Islam tetap utuh.[3]
Muhammad bin Adil-Wahab menghendaki penduduk Islam mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw. secara murni. Gerakan yang dimotorinya yaitu gerakan yang bermaksud menyelenggarakan purifikasi (pemurnian) atas pedoman Islam yang telah bercampur dengan budaya setempat. Dia menolak segala bentuk kemusyrikan seperti menziarahi kuburan orang-orang suci dengan maksud meminta berkah dan menyerang praktik-praktik pedoman sufi yang dianggapnya selaku bid’ah. Ia merekomendasikan kembali ke Alquran dan Sunah dan menolak otoritas kala lampau dengan tetap menghormatinya. Pemikiran Abdil-Wahab ini diilhami oleh paham Ibnu Taimiyah, yang secara berkala menyerukan untuk kembali ke “asal-seruan” Islam. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, dalam memberantas apa yang dianggapnya salah, Abdil-Wahab memakai kekuatan bersenjata dan kekerasan.
Hasan Al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimun), Al-Mawdudi (Pendiri Jema’at Islam), dan Sayyid Quthb (ideolog Ikhwanul Muslimun), ialah tokoh-tokoh yang sama berjuang melawan pemerintah yang tengah berkuasa yang dianggap tidak sesuai dengan fatwa Islam. Merekalah, berdasarkan L. Carl Brown (Wajah Politik Islam, 2003: 234), yang menawarkan landasan idologis bagi gerakan-gerakan radikal dari golongan Sunni. Mereka dianggap selaku inspirator yang melahirkan gerakan-gerakan radikal di seluruh penjuru dunia Islam, karangan-karang mereka ialah buku yang wajib dibaca bagi mereka yang masuk dalam gerakan-gerakan radikal. Berbeda dengan Brown yang memandang Hasan Al-Banna selaku fundamentalis, Karen Armstrong menyaksikan Al-Banna tidak selaku fundamentalis namun sebagai reformis yang mengharapkan reformasi fundamental penduduk Islam.[4]
Sementara itu, modernisasi umat Islam untuk mengejar-ngejar ketertinggalan dari masyarakat Barat, menurut Abdurraziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam. Menurut Raziq, Islam tidaklah tiba tidak untuk membentuk suatu negara dan begitu juga Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang nabi yang bertugas memberikan risalahnya, ia tak punya kewajiban membentuk suatu negara. Menurut Abdurraziq, Islam tidak memedulikan adanya forum kekhalifahan sebagaimana secara umum dimengerti oleh kaum Muslim. Lembaga kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan peran-tugas keagamaan. Islam tidak menyuruh untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang. Agama (Islam) menyerahkannya kepada pilihan kita yang bebas.[5]
Menuju Humanisme Religius
Gerakan-gerakan pembaruan anutan keagamaan yang berkembang dan meningkat di Timur Tengah pada prinsipnya yaitu upaya menghidupkan kembali pemikiran rasional mu’tazilah dan menolak taklid buta. Tak heran bila banyak orang menyebut pedoman Abduh sebagai Neo-Mu’tazilah.
Sementara itu, modernisasi umat Islam untuk memburu ketertinggalan dari masyarakat Barat, berdasarkan Abdurraziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam. Menurut Raziq, Islam tidaklah datang tidak untuk membentuk suatu negara dan begitu pula Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang nabi yang bertugas menyampaikan risalahnya, ia tidak mempunyai kewajiban membentuk suatu negara. Menurut Abdurraziq, Islam tidak memedulikan adanya forum kekhalifahan sebagaimana secara biasa dimengerti oleh kaum Muslim. Lembaga kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan tugas-peran keagamaan. Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang. Agama (Islam) menyerahkannya kepada opsi kita yang bebas.
Karena aliran dan gerakan itu terlalu “berorientasi kekuasaan”, bidang-bidang lain yang lebih menjamah keperluan riil masyarakat nyaris-hampir terlewatkan. Padahal, bidang-bidang sosial, pendidikan, dan ekonomi yang memberdayakan penduduk sungguh penting bagi perkembangan kaum Muslim. Pemikiran-ajaran rasional dalam gerakan pembaruan itu mestinya berpijak pada nilai intinya, adalah mengangkat harkat dan martabat manusia, yang tidak selama harus dengan kekuasaan.
Alquran ataupun hadits sudah menunjukkan instruksi untuk menangani dilema-duduk perkara kemanusiaan, tergolong bagaimana supaya kaum Muslim lepas dari kemiskinan. Persoalan ini pula berdasarkan Emil Salim yang menjadi tugas besar kaum Muslim. Agama tidak cuma mengajarkan bagaimana seorang hamba bekerjasama dengan Sang Khalik. Itulah yang mesti digarap oleh para tokoh-tokoh dan organisasi Islam. Kita harus menimbulkan Islam sebagai driving force, maka lahirlah perumpamaan revitalisasi kebangkitan Islam yang diperlukan bisa mengangkat derajat hidup penduduk Indonesia dari perangkap kemiskinan.
Pembaruan pedoman Islam menuntut upaya yang sungguh-sungguh, tidak hanya dalam bidang iktikad dan ibadah dalam arti khas, namun juga ibadah-ibadah sosial. Gerakan pembaruan Islam harus diketahui sebagai upaya kembali kepada sumber pedoman Islam yang dengan gamblang menuntut penggunaan logika untuk memahaminya dalam segala lapangan kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain sesuai perkembangan zaman.
Isu global yang menjadi tantangan umat cukup umur ini adalah humanisme sekular. Menurut Syafiq Mughni ummat mesti menanggapi informasi tersebut dengan semangat “reformasi”, yang memiliki arti pengertian teks-teks al-Alquran dan Hadits secara sistematik mengirimkan pada pengertian tujuannya secara reformatif.[6] Respons reformatif menuntut perumusan impian Islam dan lalu mengarahkan setiap pemikiran manusia dalam kerangka mendekati cita-cita itu.
Bentuk respons “reformatif”, berdasarkan Syafiq mampu diartikan selaku ijtihad yang paling proporsional, karena menuntut sikap terbuka namun kritis. Sikap terbuka bermakna kesediaan untuk memikirkan pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan universal, dan perilaku kritis berarti mengendalikan nilai-nilai itu semoga bergerak ke arah impian Islam. Reformasi mirip itu hanya dapat dikerjakan kalau mampu menertibkan “humanisme sekular” ke arah “humanisme religius”, ialah nilai-nilai kemanusiaan yang tidak terpisah dari sistem Islam.
Oleh alasannya itu, pemahaman ijtihad dan ruang lingkup ijtihad mesti diperluas, tidak hanya sebatas problem-masalah “fiqh khas”, namun juga meliputi bidang sosial ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Ijtihad juga harus berorientasi pada upaya-upaya membangun dan mempekerjakan penduduk sehingga betul-betul maslahat bagi kemajauan umat manusia.
C. Sunni dan Pemikirannnya
Dalam politik Islam, Sunni yakni kalangan dominan yang selalu memegang supremasi kekuasaan. Pemikiran politik Sunni sering dijadikan sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang sedang berkembang di dunia Islam. Beberapa tokoh Sunni merumuskan ajaran politik mereka yang cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan dan pro pada status quo. Pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris ialah ciri umum paradigma politik Sunni. Kepala negara atau khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sungguh luas. Rakyat dituntut untuk mematuhi kepala negara, bahkan di kelompok sebagian pemikir Sunni kadang-kadang sangat berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar legitimasi keutamaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Alquran dan Hadis Nabi Saw. Di antaranya yang mereka jadikan landasan yaitu surat al-Nisa, 4:59 yang memerintahkan umat Islam untuk patuh kepada Allah, Rasul-Nya dan ulu al-amr di antara mereka. Selain itu juga surat al-An`am, 6:165 yang menyatakan bahwa Allah mengakibatkan manusia selaku khalifah-Nya di bumi dan melebihkan sebagian atas yang lain.
Keberadaan kelompok Sunni dimulai sejak berakhirnya pemerintahan al-Khulafa` al-Rasyidun. Selain dinamakan Sunni, golongan ini juga dikenal dengan nama ahl al-hadis wa al-sunnah, ahl al-haqq wa al-sunnah dan ahl al-haqq wa al-din wa al-jama`ah.[7] Secara sederhana dapat dibilang bahwa paham Sunni yakni paham yang berpegang teguh pada tradisi salah satu mazhab dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali) dalam bidang fikih; fatwa Abu al-Hasan al-Asy`ari dan Abu Manshur al-Maturidi dalam bidang teologi; fatwa al-Junaid dan al-Ghazali dalam bidang tasauf[8] serta fatwa/aliran kalangan dominan ulama seperti al-Mawardi, al-Ghazali serta Ibn Taimiyah dalam bidang politik (siyasah). Istilah Sunni dikenal pemakaiannya dalam konteks politik dan untuk membedakannya dengan kelompok-kelompok politik lain seperti Khawarij dan Syi`ah.
Setelah Nabi Saw. wafat terjadi perdebatan di kelompok umat Islam ihwal siapa yang hendak mengambil alih dia sebagai pemimpin umat Islam. Sebelum wafat Nabi tidak menentukan dan menunjuk wacana siapa penggantinya kelak. Akhirnya, dalam sebuah pertemuan di Saqifah Bani Sa`idah, terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti Nabi. Setelah itu berturut-turut terpilih Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib sebagai pemimpin umat Islam. Mereka kemudian diketahui selaku Khulafa al-Rasyidin.
Setelah rampung masa khalifah yang empat tersebut, naiklah Mu`awiyah yang membangun Dinasti Bani Umaiyah. Namun naiknya Mu`awiyah menerima tantangan dari sebagian umat Islam yang mendukung Ali (Syi`ah) dan kalangan sempalan Khawarij. Akhirnya pada periode awal umat Islam terpecah menjadi tiga kalangan, ialah lebih banyak didominasi penunjang Mu`awiyah yang lalu diketahui dengan jamaah (Sunni), penunjang Ali (Syi`ah dan Khawarij. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Sunnilah yang paling mendominasi percturan politik Islam.
Sebagai golongan lebih banyak didominasi, ciri biasa pedoman politik Sunni ditandai oleh persepsi mereka wacana kekerabatan yang integral antara agama dan negara, khalifah sentris atau kewajiban taat terhadap kepala negara, pengutamaan suku Quraisy selaku khalifah, penolakan kepada oposisi dan akomodatif terhadap kekuasaan. Pandangan-pandangan demikian balasannya melahirkan prinsip lebih mengutamakan keharmonisan dalam politik Islam.
Dalam persepsi wacana hubungan yang integral antara agama dan negara, berdasarkan tokoh Sunni, al-Mawardi, negara dibentuk untuk mengambil alih posisi kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengontrol kehidupan dunia.[9] Pelembagaan negara ialah fardhu kifayah berdasarkan ijma` ulama. Pandangan al-Mawardi ini didasarkan atas realitas sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah setelah mereka, baik Bani Umaiyah maupun Bani Abbas, yang ialah lambang kesatuan politik umat Islam. Pandangan al-Mawardi ini juga sejalan dengan kaidah ushul fiqh ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu keharusan tidak tepat terpenuhi kecuali melalui fasilitas atau alat, maka fasilitas atau alat tersebut juga wajib dipenuhi). Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, maka mendirikan negara sebagai fasilitas membuat kemaslahatan tersebut juga wajib.
Pendapat al-Mawardi di atas juga sejalan dengan ajaran al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, insan ialah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa santunan orang lain. Di sinilah perlunya mereka hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, lanjut al-Ghazali, pembentukan negara bukan cuma untuk menyanggupi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk antisipasi bagi kehidupan alam baka kelak. Berdasarkan pandangan di atas al-Ghazali berpendapat bahwa keharusan pembentukan negara dan penyeleksian kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbanga rasio, melainkan menurut kewajiban agama (Syar`i). Hal ini dikarenakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat tidak tercapai tanpa pengamalan dan penghayatan agama secara benar.[10]
Berbeda dengan dua pemikir Sunni di atas, Ibn Taimiyah beropini bahwa mengendalikan masalah umat memang ialah keharusan agama yang terpenting, namun hal ini tidak bermakna pula bahwa agama tidak mampu hidup tanpa negara.[11] Ibn Taimiyah menolak landasan ijma` selaku alasan pembentukan negara seperti dalam persepsi al-Mawardi. Ia lebih menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Ibn Taimiyah, kesejahteraan manusia tidak mampu tercapai kecuali hanya dalam satu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung dan membutuhkan antara satu dengan yang yang lain. Bagi Ibn Taimiyah, penegakan institusi negara bukanlah atas dasar agama, melainkan cuma kebutuhan praktis saja.
Dalam persoalan kedua, semua pemikir Sunni yang menjadi objek observasi ini setuju tentang pentingnya kepatuhan terhadap kepala negara. Mereka menganggap kepala negara selaku sosok sentral dalam pemerintahan Islam. Otoritasnya dihentikan digugat dan perintahnya dilarang disangkal. Dalam batas-batas tertentu bahkan kepatuhan ini bersifat mutlak.
Al-Mawardi memulai pendapatnya ihwal kepatuhan terhadap kepala negara dengan proses penyeleksian kepala negara. Menurut al-Mawardi, pemilihan kepala negara harus menyanggupi unsur ahl al-ikhtiyar (orang yang berhak menentukan) dan ahl al-imamah (orang yang berhak menduduki jabatan kepala negara). Unsur pertama harus menyanggupi kualifikasi adil, mengenali dengan baik kandidat kepala negara serta memiliki wawasan yang luas dan kebijakan, sehingga mampu menimbang-nimbang hal-hal yang terbaik untuk negara. Kemudian, kandidat kepala negara mesti menyanggupi tujuh persyaratan, yakni adil, memiliki ilmu yang mencukupi untuk berijtihad, sehat panca indranya, punya kesanggupan mengerjakan perintah agama demi kepentingan rakyat, berani melindungi kawasan kekuasaan Islam, berjuang memerangi lawan serta berasal dari keturunan Quraisy.
Pemilihan kepala negara ini diawali dengan adanya kontrak antara ahl al-ikhtiyar dan ahl al-imamah ini. Dari perjanjian ini lahirlah hak dan keharusan secara timbal balik antara kepala negara sebagai pemegang amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah. Kepala negara wajib mengerjakan pemerintahannya dengan baik dan sesuai dengan pemikiran-anutan agama. Sebagai alhasil, kepala negara berhak mendapatkan kepatuhan dari rakyat. Di segi lain, rakyat yang telah memperlihatkan bai`at mereka atas kepala negara wajib taat terhadap kepala negara. Kewajiban taat ini tidak terbatas hanya untuk kepala negara yang baik dan adil, tetapi juga untuk kepala negara yang jahat.
Al-Mawardi melandaskan pandangannya pada surat al-Nisa’ ayat 49 yang mewajibkan umat Islam taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulul amri di antara mereka. Selain itu, al-Mawardi juga mengutip hadis Nabi dari Abu Hurairah, “Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kau sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan dan taatilah mereka sesuai denga kebenaran. Kalau mereka baik, maka kebaikan itu untuk kau dan mereka. Jika mereka jahat, maka akhir baiknya untuk kalian dan kejahatannya akan kembali terhadap mereka.”
Ibn Taimiyah mengembangkan rancangan ahl al-syaukah dalam teori politiknya. Menurut Ibn Taimiyah, ahl al-syaukah ini ialah orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan kedudukan yang dihormati dalam penduduk . Ahl al-syaukah inilah yang menentukan kepala negara dan melakukan bai`at yang kemudian disertai oleh rakyat. Seseorang tidak mampu menjadi kepala negara tanpa pemberian dari ahl al-syaukah.
Al-Ghazali juga merumuskan syarat-syarat kepala negara secara rinci. Menurutnya, kepala negara harus menyanggupi kualifikasi akil balig cukup akal, otak yang sehat, merdeka, pria, keturunan Quraisy, mendapatkan hidayah dan ilmu wawasan serta wara’. Bagi al-Ghazali, alasannya kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat, seperti pendapat al-Mawardi, tetapi dari Tuhan, maka kekuasaan kepala negara adalah suci dan tidak boleh dibantah. Kepala negara menempati posisi sentral dalam negara.[12]
Berbeda dengan al-Mawardi dan al-Ghazali yang merumuskan kualifikasi kepala negara secara rinci, Ibn Taimiyah hanya menetapkan syarat kejujuran (amanah) dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah) bagi seorang calon kepala negara dan tidak memutlakkan suku Quraisy. Indikasi kejujuran seseorang mampu dilihat dari ketakwaannya terhadap Allah, ketidakbersediaannya menjual ayat-ayat Allah demi kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis serta perilaku tidak takutnya kepada insan selama beliau berasa dalam kebenaran. Untuk mendukung pendapatnya, Ibn Taimiyah mengutip ayat Al-Alquran surat al-Nisa’, 4:58, yang menyuruh umat Islam untuk menyerahkan amanah terhadap yang berhak menerimanya.
Sementara syarat quwwah memegang peranan penting dalam konsepsi politik Ibn Taimiyah, alasannya adalah seorang kepala negara ialah pembimbing dan pengayom masyarakat. Tugas dan tanggung jawabnya sangat berat dengan otoritas tertinggi yang diperolehnya dalam masyarakat. Menurutnya, keharusan kepala negara adalah menegakkan institusi amar ma`ruf nahy munkar, sehingga hal-hal yang dikehendaki Allah dapat terwujud dalam kehidupan umat Islam dan hak-hak individu terjamin dalam penduduk .
Kelanjutan dari pendapat Ibn Taimyah ini yaitu penekanannya kepada kepatuhan rakyat pada kepala negara. Memang, sebagaimana halnya al-Mawardi, Ibn Taimiyah memandang figur kepala negara memegang posisi penting dalam negara. Sebagai pemimpin umat Islam, kepala negara mesti ditaati, bahkan sekalipun zalim. Menurut Ibn Taimiyah, sebuah masyarakat yang enam puluh tahun dipimpin oleh kepala negara yang zalim lebih baik ketimbang masyaralat tanpa negara dan pimpinan, walaupun cuma semalam.
Dari pedoman ihwal kekuasaan kepala negara di atas, ketiga ulama Sunni ini merumuskan aliran bahwa dilarang ada oposisi atau perlawanan terhadap kepala negara. Al-Mawardi menyatakan hadis Nabi, seperti dikutip di atas untuk mendukung pendapatnya bahwa kepala negara bersifat mutlak kekuasaannya. Melakukan oposisi, walaupun al-Mawardi menyebarkan teori persetujuan sosial, yakni hal yang dihentikan. Hal yang serupa juga ditegaskan oleh al-Ghazali. Bagi Hujjah al-Islam ini, wajib hukumnya atas rakyat dari tingkat mana pun untuk taat mutlak kepada kepala negara dan melakukan perintahnya.
Larangan oposisi dalam anutan politik Sunni klasik ini lebih didasarkan pada akhir jelek yang mungkin terjadi dalam penduduk . Sangat mungkin muncul situasi chaos dalam negara bila rakyat melaksanakan oposisi kepada kepela negara. Karena itu, bagi mereka, menghindarkan kesemrawutan yang lebih besar ialah hal yang perlu diambil. Lebih baik dalam suasana pemerintahan yang despotik, umpamanya, namun penduduk tidak bergolak, dibandingkan dengan menolak kepemimpinannya sehingga menimbul gejolak dalam masyarakat. Bagi ketiga pemikir Sunni ini, kepala negara yaitu bayang-bayang Allah di wajah bumi.
Syiah dan Perubahan Politik
1. Perubahan Sistem Politik Islam
Pada waktu Mu’awiyah menunjuk Yazid sebagai penggantinya, terjadi pergantian dan perubahan sistem politik Islam dari sistem khilafah (metode pemilihan, siapa yang paling 'alim, taat, baik akhlaknya). Dengan munculnya Mu'awiyyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah maka gelar khalifah tetap digunakan tetapi bukan Khalifaturrasul, melainkan khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh (pengganti wakil Allah dimuka bumi, bayang-bayang Allah dimuka bumi). Jadi, Mu'awiyyah lebih ahli lagi. Kalau Abu Bakar Siddik yang sungguh dekat dengan Rasulullah s.a.w. cuma menyebut dirinya khalifaturrasul (wakil Rasulullah), tapi Mu'awiyyah bin Abi Sufyan mengklaim sebagai khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh. Dari sinilah asal kemunculan Syiah, jelas merasa diliciki, dan memang diliciki oleh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan.
Mereka lalu menjadi kelompok yang kuat, yang diketahui dengan Syiah.Karena itulah konsep Syiah yang paling mencolokdan khas sebenarnya dalam bidang politik. Yang menjadi perbedaan antara pemikiran Syiah dengan Sunnah ialah dalam bidang fatwa politik. Hak kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, yang disebut Imam. Makara imam berlainan-beda dalam Syiah, karena dalam Syiah juga muncul berlainan-beda, ada Syiah moderat (dominan), ada juga kelompok ekstrem (ghulat). Kelompok ekstrem bahkan ada yang berpendapat (sebagian kecil), tidak hanya menolak kepemimpinan Mu'awiyyah, tapi juga kepemimpinan khulafaurrasyidin lain seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan mengatakan bahwa hak kerasulan yakni hak Ali bin Abi Thalib bukan hak Muhammad s.a.w. sebab sesungguhnya wahyu dipesankan oleh Allah lewat Jibril untuk disampaikan terhadap Ali bin Abi Thalib, bukan terhadap Muhammad s.a.w. Yang ektrem sangat sedikit, antara lain berada di Yaman. Yang paling banyak Syiah duabelas, Itsna As'ariyah, atau Syiah Imamiyah, adalah imamnya dua belas.Imam-imam Syiah itu ada duabelas. Pertama Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin, Sayidina Muhammad bin Ali Al-Baqir, Imam Ja'far Muhammad Shadiq, Imam Musa bin Ja'far Al-Qadhim, Imam Muhammad bin Ali Jawwad, Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi, Imam Hasan bin Muhammad Al-Askari, Imam Muhammad bin Hasan Al-Qaim (yang disebut sebagai imam yang ghaib) Imam Al-Muntadhar, imam yang dinantikan.Dalam tradisi Syiah, imam memiliki posisi politik yang tinggi, terutama sebelum munculnya kembali Imam Al-Muntadhar. Imam bukan cuma sebagai orang yang mempunyai otoritas dalam keagamaan, imam shalat, namun sekaligus selaku pemimpin politik. Dan oleh karena itu, politik atau kekuasaan yaitu milik imam. Dan imam yaitu orang yang ma'shum (bebas dari dosa).
Di dalam tradisi Syiah, ulama-ulama yang betul-betul jago dalam ilmu syariah, sekitar sepuluh sampai dengan lima orang, mereka diseleksi dan dibentuk semacam dewan. Mereka inilah yang membentuk sebuah forum yang disebut, dalam tradisi Syiah, wilayatul faqih. Dalam tradisi Sunni sejenis wilayatul faqih ini bahwasanya juga ada, disebut ahlul halli wal aqdhi. Yaitu kalangan ulama yang berwenang, mempunyai otoritas dan mengikat. Atau lebih diketahui dalam ungkapan lain, majelis syura. Di NU (Nahdhatul 'Ulama) ada Majelis Syura, yang fungsinya sama dengan wilayatul faqih dalam Syiah. Meski pun dalam prakteknya, berlawanan dengan di Iran. Fungsi majelis syura dikalangan Muslim Sunni sungguh lemah bahkan dalam bidang politik tidak banyak berperan. Jadi cuma memperlihatkan pandangan-persepsi keagamaan, tidak mempunyai kekuatan konkret. Tetapi dalam tradisi Syiah, yang namanya wilayatul faqih, sangat mayoritas, baik secara agama maupun politik.Itulah yang kita saksikan di Iran, sesudah Revolusi Islam Iran (RII), 1979, dan kini fungsi dan kedudukan wilayatul faqih sangat lebih banyak didominasi. Sejauh yang diterangkan dalam naskah ini, kemunculan Syiah berhubungan dengan perselisihan politik. Karena itu kemudian salah satu konsep sentral bagi Syiah yaitu soal politik, yaitu tentang kedudukan imam, kedudukan wakil imam, yang mutlak tidak cuma dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik. Dan karena itulah, kedudukan imam sungguh sentral. Setiap orang Syiah harus mengikuti imam. Makanya, orang ahlu sunnah wal jamaah sehabis RII 1979 merasa frustrasi alasannya adalah umat Islam tidak inginbersatu. Kemudian dikalangan umat Islam Indonesia timbul ide, tirulah desain imamah dari Syiah. Pada tahun 80-an timbul desain atau gerakan Islam di Indonesia yang mengadopsi kepemimpinan imamah yang sentralistik. Atau kemudian golongan ahlu sunnah wal jamaah mengambil desain tentang amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman. Tapi harus segera dibilang, kalau ada gerakan Indonesia yang menggunakan konsep kepemimpinan imamah, jangan dianggap Syiah. Tidak. Yang mereka ambil dengan imamah yaitu rancangan kepemimpinan yang sentralistik. Yang satu. Tidak terpecah-belah. Bisa dimengerti, gerakan Islam di Indonesia, khususnya anak muda, frustrasi dengan realitas kepemimpinan umat Islam Indonesia. Maka perlu mengadopsi kepemimpinan imamah seperti di Iran, kepemimpinan yang sentralistik, tunggal.Dalam Syiah, menyangkut kepemimpinan politik, sering dibandingkan orang dengan tradisi di dalam gereja. Di Nasrani, kepemimpinan berada di Vatikan, pada paus, uskup, pastor dan struktur kebawahnya. Di dalam Sunni tidak ada imamah tunggal sebab tradisi imamah dalam Sunni yakni imam masjid, tidak berfungsi sebagai social and political leadership. Imam, menurut Sunni tidak memainkan tugas kepemimpinan sosial dan politik tetapi hanya kepemimpinan dalam shalat saja. Inilah yang membuat frustrasi, banyak kalangan ahlu sunnah wal jamaah melihat kepemimpinan yang terpecah-belah, kesudahannya mengadopsi model kepemimpinan Syiah.
Ulama yang terpilih untuk menjadi anggota wilayatul faqih bukan ulama asal-asalan. Sangat dipercayai integritas dan keilmuannya. Mungkin berlainan dengan dalam tradisi Sunni; keulamaan longgar, siapa saja boleh menjadi ulama. Tapi dalam tradisi Syiah tidak begitu. Ada proses, bahkan ada training tertentu, pusatnya di Qum. Ada madrasah yang khusus mencetak kandidat ulama Syiah yang disiapkan menjadi mujtahid. Dalam bidang kalam, Syiah umumnya menganut kalam yang dikembangkan Mu'tazilah. Suatu ajaran tradisi kalam dalam Sunni yang menekankan akal, disebut kaum rasional. Bahkan Muhammad Abduh, pembaharu Islam di periode ke-20 dari Mesir, dipandang selaku orang yang paling berperan dalam menghidupkan kembali paham bahwa Islam yaitu agama rasional. Agama yang mendorong bahwa orang Islam harus proaktif, mesti punya prakarsa, tidak mengalah terhadap takdir, seolah takdir sudah ditentukan begitu saja, sehingga kita tidak perlu berupaya. Inilah sikap yang ditolak oleh orang Mu'tazilah.Kaprikornus, Mu'tazilah menekankan pada semangat rasional, semangat prakarsa. Orang Syiah mengikuti persepsi itu. Tentu saja ada perbedaan mirip itu dikalangan orang Syiah dengan Sunni. Yaitu dikala mengatakan mengenai semua orang yang dipandang ma'shum. Menurut tradisi Sunni, yang ma'shum cuma Rasulullah Muhammad s.a.w. setelah itu tidak ada lagi yang bebas dari dosa. Tapi orang Syiah menilai para imamnya yang duabelas ma'shum. Dalam persepsi orang Syiah, sama dengan orang Sunni, Allah Maha Adil, tidak mungkin menghukum orang yang tidak bersalah. Allah memberikan keleluasaan pada manusia untuk memilih, alasannya adalah melalui keleluasaan itulah maka bisa dituntut pertanggungjawabannya. Seseorang tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya jikalau terpaksa (mujbir). Inilah argumen kaum rasionalis dalam Islam yang disertai juga oleh Syiah.
2. Modernisasi Politik Di Iran 1963-1997
Iran ialah salah satu Negara Timur Tengah, dimana lebih banyak didominasi masyarakatnya bermazhab Shiism. Shiism yaitu salah satu gerakan politik keagamaan Islam pada pertengahan kurun ke-18 yang dalam perkembangannya berhasil mendirikan suatu negara Republik Islam Iran. Sebagai salah satu fatwa agama, ummat Shiism condong memiliki sifat fanatisme yang kuat kepada pemimpinnya dan anutan-fatwa mazhabnya (puritan) dan para mullah selalu aktif dalam perpolitikan sehingga mampu mengantarkan ”modernisasi politik” di Iran
Modernisasi politik di Iran telah dimulai sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979, dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh sejarah berdirinya Republik Islam Iran dimana Mazhab Shiism sebagai ideologi revolusioner memberikan nilai-nilai tersendiri bagi perjuangannya. Berkenaan dengan modernisasi politik Iran, nampaknya Proses modernisasi yang terjadi di Iran ibarat versi modernisasi tipe kolektifitas suci (cosumatorry collective) yang berjalan dalam metode mobilisasi (mobilized system) dimana rakyat menjadi distributor modernisasi.
Implikasi dari proses modernisasi yang demikian, minimal mampu menunjukkan citra tentang apa itu Shiism dan bagaimana politik Shiism, serta pemikiran-fatwa tradisi Shiism di Iran. Setidaknya juga memberitahukan betapa kuatnya masyarakat Iran memegang kebudayaan dan nilai-nilai yang diwarisi dari ajaran mazhab Shiism. serta melahirkan sebuah bentuk masyarakat politik terbaru dengan ciri dan karakter yang berbeda dari penduduk terbaru di negara lain.
Mempertemukan Sunni-Syiah
Mungkinkah mempertemukan Suni dengan Syiah? Pertanyaan itu menjadi susah, saat berhadapan berbagai soal. Bagi pengikut Syiah, Ali bin Abi Thalib RA dan keturunannya merupakan imam-imam, para pemimpin agama dan umat, sesudah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan bagi pengikut Suni, Ali bin Abi Thalib layaknya tiga Khulafaur Rasyidin lainnya—Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Usman bin Affan.
Menurut Syiah, Ali dan keturunannya lebih berhak menjadi khalifah dibandingkan dengan Muawiyah bin Abu Sofyan dan keturunannya. Sementara, bagi pengikut Suni atau Ahlus Sunnah wal Jamaah, pertentangan antara Muawiyah dan Ali telah merupakan Sunatullah. Bahkan, saat Muawiyah menurunkan kekhalifahan kepada anaknya, Yazid—sebelumnya kekhalifahan dipilih secara musyawarah—juga dianggap sebagai belakang layar Allah SWT dan bagian dari perjalanan sejarah umat Islam.
Pengikut Syiah yang berkembang di Iran saat ini adalah Syiah Ja’fari. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah memutuskan 12 imam selaku penerus risalahnya. Ke-12 imam ini dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menurun sampai ke keturunannya yang ke-12, Muhammad Al-Muntazar (Al-Mahdi).
Menurut beberapa pemikir Islam, bila dicari perbedaan antara Syiah dan Suni, akan bisa diurai panjang lebar dan tidak ada habisnya. Ujung-ujungnya, pertentangan berdarah berkepanjangan. Ia menunjuk kasus Irak, Pakistan, Lebanon, dan di negara-negara lain. Di negara-negara tersebut, konflik antarkelompok Islam sudah banyak mengkonsumsi korban. Padahal, Islam semestinya menjadi agama yang memberi kedamaian.
Berangkat dari fakta itu, para tokoh pemikir kaum muslimin berusaha mengampanyekan modernisasi Islam. Islam yaitu agama rahmatan lilalamin, agama yang memberi rahmat, bukan memberi kesengsaraan dan penderitaan. Modernisasi ajaran, terutama dalam ajaran Islam, diyakini dapat memberi basis toleransi dan keterbukaan berpikir. Dengan asumsi yang luas, diharapkan kesenjangan antara kaum Sunni dan Syiah perlahan-perlahan mampu direduksi.
Selain itu, dengan adanya modernisasi pemikiran, barangkali yang diharapkan bukan lagi bagaimana mempertemukan Suni dengan Syiah, tapi bagaimana menggalang kolaborasi yang lebih menguntungkan, tanpa menjamah perbedaan prinsipil masing-masing.
Penutup
Sunni dan Syiah ialah dua kelompok besar teologi dan politik di dalam Islam. Masing-masing-masing sudah muncul sejak kurun klasik, meski pelabelan nama “sunni-syiah” gres terjadi beberapa dikala kemudian. Dalam hal modernisasi, baik Sunni maupun Syi’ah menyumbang besar dalam pemikiran politik. Syiah dengan rancangan imamahnya di Iran sukses berubah menjadi menjadi suatu negara Muslim berbasis Syia. Dalam aliran teologi, tampaknya Sunni sering menerima kecaman selaku penolak modernisasi, alasannya adalah berbagai kepercayaan yang menyebabkan mandegnya berpikir. Seperti iktikad “tindakan manusia diciptakan oleh yang kuasa”.
---------------
[1]Seyyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam, terj. Nurasiah Faqih Sutan Harahap, Pesan-pesan Universal Islam untuk kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003), h. 80.
[2]Ibn Taimiyah,Minhaj al Sunnah al Nabawiyah fi Naqdl al Syiah wa al Qadariyah (Beirut,Dar al Kutub al Ilmiyah,tt)h.118
[3] Jhon L. Esposito, Islam dan Politik, terj. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), hal. 84-89.
[4] Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Jakarta: Citra Pustaka, 2001), h. 350.
[5] Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan, terj. (Jakarta: Mizan, 1996), h. 47.
[6] Syafiq Mughni, Nilai-nilai Islam; Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi (Jakarta: Persada Grafindo, 2001), h. 34.
[7] Muhammad Amin Suma, “Kelommpok dan Gerakan,” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 358; lihat juga Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-pedoman Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 64-65.
[8] Zamakhsyari Dhofier, Tradidi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 149.
[9] Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp.), h. 5.
[10] Al-Ghazali, al-Tibr al-Masbûk fî Nâshihat al-Mulûk, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail, (Bandung: Mizan, 1994), h. 136; lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74-76.
[11] Ibn Taimiyah, Al-Siyâsah al-Syar`iyah fî Ishlâh al-Râ`i wa al-Ra`iyyah, (Mesir: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1969), h. 161.
[12] Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunah al-Nabawiyah II, ( Riyadh : Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.t.), h. 209.
Propaganda dalam rangka kemajuan dan perkembangan kaum Syiah dipacu oleh iktikad mereka kepada wasiat Nabi yang menunjuk Ali selaku Imam pertama di suatu kawasan yang terdapat genangan air yang dinamakan Ghadir Khumm, adalah ketika Nabi kembali ke Madinah pulang dari perjalanan haji.[1]
Wasiat tersebut dapt dipandang penting, alasannya dapat menimbulkan dan bahkan menjadi pangkal utama pertikaian antara kaum Syiah dan Sunni.Bagi kaum Syiah,wasiat tersebut ialah absah, sehingga menolak kekhalifahan Ustman, Umar dan bahkan Abu Bakar. Mereka disebut kaum Rafidlah (mereka yang menolak).Sementara bagi kaum Ahl al Sunnah Wa al Jamaah, wasiat ghadir Khum ialah imitasi yang dibentuk-buat oleh kaum Rafidlah.[2]
Pertikaian antara kaum Sunni dengan Syiah terus berlanjut sampai zaman kini, terutama di beberapa wilayah kaum muslimin. Namun meski demikian, ternyata dua kelompok besar dalam Islam ini memiliki andil yang sangat besar dalam modernisasi Islam. Makalah ini akan mengkaji ihwal modernisasi Islam dalam relevansinya dengan Sunni dan Syiah.
Pada prinsipnya, pembaru Islam yaitu orang yang mempertimbangkan dan merespon fenomena kehidupan, biar umat terbebas dari belenggu metode yang stagnan menuju kemajuan (terbaru) dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam hakiki. Jalan mereka untuk membebaskan dan memajukan umat ini pun sungguh heterogen, ada yang akomodatif, provokatif, dan radikal.
Munculnya para pemikir dan pembaru mirip Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Muhammad bin Abdil-Wahab (1703-1792 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1968 M), dan Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966 M), yang lalu melahirkan apa yang disebut fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme, sekularisme Islam, nasionalisme, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk riil dari hasil interaksi intensif antara Islam dan persoalan kemasyarakatan.
Orientasi Pembaruan
Kemunduran umat Islam membuat kelompok intelektual Muslim berpikir keras bagaimana mengentaskan ketertinggalan umat Islam biar mampu berdiri sejajar dengan umat lain. Dalam rangka mengembangkan umat Islam dan mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, Jamaluddin Al-Afghani misalnya, lebih menitikberatkan pada nasionalisme Muslim dan persatuan umat Islam (Pan-Islamisme) untuk membebaskan umat Islam dari cengkraman penjajah, sedangkan Muhammad Abduh lebih banyak berorientasi pada bidang pendidikan dan pemahaman keagamaan dengan menghidupkan kembali ajaran rasional mu’tazilah dan menolak taklid buta. Tak heran bila banyak orang menyebut pedoman Abduh selaku Neo-Mu’tazilah.
Rasyid Ridha, salah seorang murid Abduh, dalam modernisasi umat Islam ia menganjurkan untuk kembali ke Alquran dan Sunnah. Menurut Ridha, dalam setiap menuntaskan masalah umat Islam harus berpaling ke dua sumber tersebut, dan tidak perlu berpaling ke Barat. Ridha juga menekankan pembaruan dalam bidang aturan, untuk hal ini membutuhkan restorasi Khilafah Islamiyah. Menurutnya, metode politik Islam yang benar adalah metode khilafah, di mana khalifah berkonsultasi terhadap ulama alasannya ulama ialah penafsir aturan Islam. Meskipun Ridha mendukung berdirinya tata cara khilafah, tetapi beliau juga mendukung nasionalisme. Menurutnya, nasionalisme tidak akan melemah persatuan umat Islam transnasional (Pan-Islamisme) sampai ideal Islam tetap utuh.[3]
Muhammad bin Adil-Wahab menghendaki penduduk Islam mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw. secara murni. Gerakan yang dimotorinya yaitu gerakan yang bermaksud menyelenggarakan purifikasi (pemurnian) atas pedoman Islam yang telah bercampur dengan budaya setempat. Dia menolak segala bentuk kemusyrikan seperti menziarahi kuburan orang-orang suci dengan maksud meminta berkah dan menyerang praktik-praktik pedoman sufi yang dianggapnya selaku bid’ah. Ia merekomendasikan kembali ke Alquran dan Sunah dan menolak otoritas kala lampau dengan tetap menghormatinya. Pemikiran Abdil-Wahab ini diilhami oleh paham Ibnu Taimiyah, yang secara berkala menyerukan untuk kembali ke “asal-seruan” Islam. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, dalam memberantas apa yang dianggapnya salah, Abdil-Wahab memakai kekuatan bersenjata dan kekerasan.
Hasan Al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimun), Al-Mawdudi (Pendiri Jema’at Islam), dan Sayyid Quthb (ideolog Ikhwanul Muslimun), ialah tokoh-tokoh yang sama berjuang melawan pemerintah yang tengah berkuasa yang dianggap tidak sesuai dengan fatwa Islam. Merekalah, berdasarkan L. Carl Brown (Wajah Politik Islam, 2003: 234), yang menawarkan landasan idologis bagi gerakan-gerakan radikal dari golongan Sunni. Mereka dianggap selaku inspirator yang melahirkan gerakan-gerakan radikal di seluruh penjuru dunia Islam, karangan-karang mereka ialah buku yang wajib dibaca bagi mereka yang masuk dalam gerakan-gerakan radikal. Berbeda dengan Brown yang memandang Hasan Al-Banna selaku fundamentalis, Karen Armstrong menyaksikan Al-Banna tidak selaku fundamentalis namun sebagai reformis yang mengharapkan reformasi fundamental penduduk Islam.[4]
Sementara itu, modernisasi umat Islam untuk mengejar-ngejar ketertinggalan dari masyarakat Barat, menurut Abdurraziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam. Menurut Raziq, Islam tidaklah tiba tidak untuk membentuk suatu negara dan begitu juga Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang nabi yang bertugas memberikan risalahnya, ia tak punya kewajiban membentuk suatu negara. Menurut Abdurraziq, Islam tidak memedulikan adanya forum kekhalifahan sebagaimana secara umum dimengerti oleh kaum Muslim. Lembaga kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan peran-tugas keagamaan. Islam tidak menyuruh untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang. Agama (Islam) menyerahkannya kepada pilihan kita yang bebas.[5]
Menuju Humanisme Religius
Gerakan-gerakan pembaruan anutan keagamaan yang berkembang dan meningkat di Timur Tengah pada prinsipnya yaitu upaya menghidupkan kembali pemikiran rasional mu’tazilah dan menolak taklid buta. Tak heran bila banyak orang menyebut pedoman Abduh sebagai Neo-Mu’tazilah.
Sementara itu, modernisasi umat Islam untuk memburu ketertinggalan dari masyarakat Barat, berdasarkan Abdurraziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam. Menurut Raziq, Islam tidaklah datang tidak untuk membentuk suatu negara dan begitu pula Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang nabi yang bertugas menyampaikan risalahnya, ia tidak mempunyai kewajiban membentuk suatu negara. Menurut Abdurraziq, Islam tidak memedulikan adanya forum kekhalifahan sebagaimana secara biasa dimengerti oleh kaum Muslim. Lembaga kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan tugas-peran keagamaan. Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang. Agama (Islam) menyerahkannya kepada opsi kita yang bebas.
Karena aliran dan gerakan itu terlalu “berorientasi kekuasaan”, bidang-bidang lain yang lebih menjamah keperluan riil masyarakat nyaris-hampir terlewatkan. Padahal, bidang-bidang sosial, pendidikan, dan ekonomi yang memberdayakan penduduk sungguh penting bagi perkembangan kaum Muslim. Pemikiran-ajaran rasional dalam gerakan pembaruan itu mestinya berpijak pada nilai intinya, adalah mengangkat harkat dan martabat manusia, yang tidak selama harus dengan kekuasaan.
Alquran ataupun hadits sudah menunjukkan instruksi untuk menangani dilema-duduk perkara kemanusiaan, tergolong bagaimana supaya kaum Muslim lepas dari kemiskinan. Persoalan ini pula berdasarkan Emil Salim yang menjadi tugas besar kaum Muslim. Agama tidak cuma mengajarkan bagaimana seorang hamba bekerjasama dengan Sang Khalik. Itulah yang mesti digarap oleh para tokoh-tokoh dan organisasi Islam. Kita harus menimbulkan Islam sebagai driving force, maka lahirlah perumpamaan revitalisasi kebangkitan Islam yang diperlukan bisa mengangkat derajat hidup penduduk Indonesia dari perangkap kemiskinan.
Pembaruan pedoman Islam menuntut upaya yang sungguh-sungguh, tidak hanya dalam bidang iktikad dan ibadah dalam arti khas, namun juga ibadah-ibadah sosial. Gerakan pembaruan Islam harus diketahui sebagai upaya kembali kepada sumber pedoman Islam yang dengan gamblang menuntut penggunaan logika untuk memahaminya dalam segala lapangan kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain sesuai perkembangan zaman.
Isu global yang menjadi tantangan umat cukup umur ini adalah humanisme sekular. Menurut Syafiq Mughni ummat mesti menanggapi informasi tersebut dengan semangat “reformasi”, yang memiliki arti pengertian teks-teks al-Alquran dan Hadits secara sistematik mengirimkan pada pengertian tujuannya secara reformatif.[6] Respons reformatif menuntut perumusan impian Islam dan lalu mengarahkan setiap pemikiran manusia dalam kerangka mendekati cita-cita itu.
Bentuk respons “reformatif”, berdasarkan Syafiq mampu diartikan selaku ijtihad yang paling proporsional, karena menuntut sikap terbuka namun kritis. Sikap terbuka bermakna kesediaan untuk memikirkan pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan universal, dan perilaku kritis berarti mengendalikan nilai-nilai itu semoga bergerak ke arah impian Islam. Reformasi mirip itu hanya dapat dikerjakan kalau mampu menertibkan “humanisme sekular” ke arah “humanisme religius”, ialah nilai-nilai kemanusiaan yang tidak terpisah dari sistem Islam.
Oleh alasannya itu, pemahaman ijtihad dan ruang lingkup ijtihad mesti diperluas, tidak hanya sebatas problem-masalah “fiqh khas”, namun juga meliputi bidang sosial ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Ijtihad juga harus berorientasi pada upaya-upaya membangun dan mempekerjakan penduduk sehingga betul-betul maslahat bagi kemajauan umat manusia.
C. Sunni dan Pemikirannnya
Dalam politik Islam, Sunni yakni kalangan dominan yang selalu memegang supremasi kekuasaan. Pemikiran politik Sunni sering dijadikan sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan yang sedang berkembang di dunia Islam. Beberapa tokoh Sunni merumuskan ajaran politik mereka yang cenderung bersifat akomodatif terhadap kekuasaan dan pro pada status quo. Pandangan mereka yang bersifat khalifah sentris ialah ciri umum paradigma politik Sunni. Kepala negara atau khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang sungguh luas. Rakyat dituntut untuk mematuhi kepala negara, bahkan di kelompok sebagian pemikir Sunni kadang-kadang sangat berlebihan. Biasanya mereka mencari dasar legitimasi keutamaan kepala negara atas rakyatnya pada Al-Alquran dan Hadis Nabi Saw. Di antaranya yang mereka jadikan landasan yaitu surat al-Nisa, 4:59 yang memerintahkan umat Islam untuk patuh kepada Allah, Rasul-Nya dan ulu al-amr di antara mereka. Selain itu juga surat al-An`am, 6:165 yang menyatakan bahwa Allah mengakibatkan manusia selaku khalifah-Nya di bumi dan melebihkan sebagian atas yang lain.
Keberadaan kelompok Sunni dimulai sejak berakhirnya pemerintahan al-Khulafa` al-Rasyidun. Selain dinamakan Sunni, golongan ini juga dikenal dengan nama ahl al-hadis wa al-sunnah, ahl al-haqq wa al-sunnah dan ahl al-haqq wa al-din wa al-jama`ah.[7] Secara sederhana dapat dibilang bahwa paham Sunni yakni paham yang berpegang teguh pada tradisi salah satu mazhab dari mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali) dalam bidang fikih; fatwa Abu al-Hasan al-Asy`ari dan Abu Manshur al-Maturidi dalam bidang teologi; fatwa al-Junaid dan al-Ghazali dalam bidang tasauf[8] serta fatwa/aliran kalangan dominan ulama seperti al-Mawardi, al-Ghazali serta Ibn Taimiyah dalam bidang politik (siyasah). Istilah Sunni dikenal pemakaiannya dalam konteks politik dan untuk membedakannya dengan kelompok-kelompok politik lain seperti Khawarij dan Syi`ah.
Setelah Nabi Saw. wafat terjadi perdebatan di kelompok umat Islam ihwal siapa yang hendak mengambil alih dia sebagai pemimpin umat Islam. Sebelum wafat Nabi tidak menentukan dan menunjuk wacana siapa penggantinya kelak. Akhirnya, dalam sebuah pertemuan di Saqifah Bani Sa`idah, terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti Nabi. Setelah itu berturut-turut terpilih Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib sebagai pemimpin umat Islam. Mereka kemudian diketahui selaku Khulafa al-Rasyidin.
Setelah rampung masa khalifah yang empat tersebut, naiklah Mu`awiyah yang membangun Dinasti Bani Umaiyah. Namun naiknya Mu`awiyah menerima tantangan dari sebagian umat Islam yang mendukung Ali (Syi`ah) dan kalangan sempalan Khawarij. Akhirnya pada periode awal umat Islam terpecah menjadi tiga kalangan, ialah lebih banyak didominasi penunjang Mu`awiyah yang lalu diketahui dengan jamaah (Sunni), penunjang Ali (Syi`ah dan Khawarij. Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok Sunnilah yang paling mendominasi percturan politik Islam.
Sebagai golongan lebih banyak didominasi, ciri biasa pedoman politik Sunni ditandai oleh persepsi mereka wacana kekerabatan yang integral antara agama dan negara, khalifah sentris atau kewajiban taat terhadap kepala negara, pengutamaan suku Quraisy selaku khalifah, penolakan kepada oposisi dan akomodatif terhadap kekuasaan. Pandangan-pandangan demikian balasannya melahirkan prinsip lebih mengutamakan keharmonisan dalam politik Islam.
Dalam persepsi wacana hubungan yang integral antara agama dan negara, berdasarkan tokoh Sunni, al-Mawardi, negara dibentuk untuk mengambil alih posisi kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengontrol kehidupan dunia.[9] Pelembagaan negara ialah fardhu kifayah berdasarkan ijma` ulama. Pandangan al-Mawardi ini didasarkan atas realitas sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah setelah mereka, baik Bani Umaiyah maupun Bani Abbas, yang ialah lambang kesatuan politik umat Islam. Pandangan al-Mawardi ini juga sejalan dengan kaidah ushul fiqh ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu keharusan tidak tepat terpenuhi kecuali melalui fasilitas atau alat, maka fasilitas atau alat tersebut juga wajib dipenuhi). Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, maka mendirikan negara sebagai fasilitas membuat kemaslahatan tersebut juga wajib.
Pendapat al-Mawardi di atas juga sejalan dengan ajaran al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, insan ialah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa santunan orang lain. Di sinilah perlunya mereka hidup bermasyarakat dan bernegara. Namun demikian, lanjut al-Ghazali, pembentukan negara bukan cuma untuk menyanggupi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk antisipasi bagi kehidupan alam baka kelak. Berdasarkan pandangan di atas al-Ghazali berpendapat bahwa keharusan pembentukan negara dan penyeleksian kepala negara bukanlah berdasarkan pertimbanga rasio, melainkan menurut kewajiban agama (Syar`i). Hal ini dikarenakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan akhirat tidak tercapai tanpa pengamalan dan penghayatan agama secara benar.[10]
Berbeda dengan dua pemikir Sunni di atas, Ibn Taimiyah beropini bahwa mengendalikan masalah umat memang ialah keharusan agama yang terpenting, namun hal ini tidak bermakna pula bahwa agama tidak mampu hidup tanpa negara.[11] Ibn Taimiyah menolak landasan ijma` selaku alasan pembentukan negara seperti dalam persepsi al-Mawardi. Ia lebih menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Ibn Taimiyah, kesejahteraan manusia tidak mampu tercapai kecuali hanya dalam satu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung dan membutuhkan antara satu dengan yang yang lain. Bagi Ibn Taimiyah, penegakan institusi negara bukanlah atas dasar agama, melainkan cuma kebutuhan praktis saja.
Dalam persoalan kedua, semua pemikir Sunni yang menjadi objek observasi ini setuju tentang pentingnya kepatuhan terhadap kepala negara. Mereka menganggap kepala negara selaku sosok sentral dalam pemerintahan Islam. Otoritasnya dihentikan digugat dan perintahnya dilarang disangkal. Dalam batas-batas tertentu bahkan kepatuhan ini bersifat mutlak.
Al-Mawardi memulai pendapatnya ihwal kepatuhan terhadap kepala negara dengan proses penyeleksian kepala negara. Menurut al-Mawardi, pemilihan kepala negara harus menyanggupi unsur ahl al-ikhtiyar (orang yang berhak menentukan) dan ahl al-imamah (orang yang berhak menduduki jabatan kepala negara). Unsur pertama harus menyanggupi kualifikasi adil, mengenali dengan baik kandidat kepala negara serta memiliki wawasan yang luas dan kebijakan, sehingga mampu menimbang-nimbang hal-hal yang terbaik untuk negara. Kemudian, kandidat kepala negara mesti menyanggupi tujuh persyaratan, yakni adil, memiliki ilmu yang mencukupi untuk berijtihad, sehat panca indranya, punya kesanggupan mengerjakan perintah agama demi kepentingan rakyat, berani melindungi kawasan kekuasaan Islam, berjuang memerangi lawan serta berasal dari keturunan Quraisy.
Pemilihan kepala negara ini diawali dengan adanya kontrak antara ahl al-ikhtiyar dan ahl al-imamah ini. Dari perjanjian ini lahirlah hak dan keharusan secara timbal balik antara kepala negara sebagai pemegang amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah. Kepala negara wajib mengerjakan pemerintahannya dengan baik dan sesuai dengan pemikiran-anutan agama. Sebagai alhasil, kepala negara berhak mendapatkan kepatuhan dari rakyat. Di segi lain, rakyat yang telah memperlihatkan bai`at mereka atas kepala negara wajib taat terhadap kepala negara. Kewajiban taat ini tidak terbatas hanya untuk kepala negara yang baik dan adil, tetapi juga untuk kepala negara yang jahat.
Al-Mawardi melandaskan pandangannya pada surat al-Nisa’ ayat 49 yang mewajibkan umat Islam taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulul amri di antara mereka. Selain itu, al-Mawardi juga mengutip hadis Nabi dari Abu Hurairah, “Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kau sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan dan taatilah mereka sesuai denga kebenaran. Kalau mereka baik, maka kebaikan itu untuk kau dan mereka. Jika mereka jahat, maka akhir baiknya untuk kalian dan kejahatannya akan kembali terhadap mereka.”
Ibn Taimiyah mengembangkan rancangan ahl al-syaukah dalam teori politiknya. Menurut Ibn Taimiyah, ahl al-syaukah ini ialah orang-orang yang berasal dari berbagai kalangan dan kedudukan yang dihormati dalam penduduk . Ahl al-syaukah inilah yang menentukan kepala negara dan melakukan bai`at yang kemudian disertai oleh rakyat. Seseorang tidak mampu menjadi kepala negara tanpa pemberian dari ahl al-syaukah.
Al-Ghazali juga merumuskan syarat-syarat kepala negara secara rinci. Menurutnya, kepala negara harus menyanggupi kualifikasi akil balig cukup akal, otak yang sehat, merdeka, pria, keturunan Quraisy, mendapatkan hidayah dan ilmu wawasan serta wara’. Bagi al-Ghazali, alasannya kekuasaan kepala negara tidak datang dari rakyat, seperti pendapat al-Mawardi, tetapi dari Tuhan, maka kekuasaan kepala negara adalah suci dan tidak boleh dibantah. Kepala negara menempati posisi sentral dalam negara.[12]
Berbeda dengan al-Mawardi dan al-Ghazali yang merumuskan kualifikasi kepala negara secara rinci, Ibn Taimiyah hanya menetapkan syarat kejujuran (amanah) dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah) bagi seorang calon kepala negara dan tidak memutlakkan suku Quraisy. Indikasi kejujuran seseorang mampu dilihat dari ketakwaannya terhadap Allah, ketidakbersediaannya menjual ayat-ayat Allah demi kekayaan duniawi dan kepentingan politik praktis serta perilaku tidak takutnya kepada insan selama beliau berasa dalam kebenaran. Untuk mendukung pendapatnya, Ibn Taimiyah mengutip ayat Al-Alquran surat al-Nisa’, 4:58, yang menyuruh umat Islam untuk menyerahkan amanah terhadap yang berhak menerimanya.
Sementara syarat quwwah memegang peranan penting dalam konsepsi politik Ibn Taimiyah, alasannya adalah seorang kepala negara ialah pembimbing dan pengayom masyarakat. Tugas dan tanggung jawabnya sangat berat dengan otoritas tertinggi yang diperolehnya dalam masyarakat. Menurutnya, keharusan kepala negara adalah menegakkan institusi amar ma`ruf nahy munkar, sehingga hal-hal yang dikehendaki Allah dapat terwujud dalam kehidupan umat Islam dan hak-hak individu terjamin dalam penduduk .
Kelanjutan dari pendapat Ibn Taimyah ini yaitu penekanannya kepada kepatuhan rakyat pada kepala negara. Memang, sebagaimana halnya al-Mawardi, Ibn Taimiyah memandang figur kepala negara memegang posisi penting dalam negara. Sebagai pemimpin umat Islam, kepala negara mesti ditaati, bahkan sekalipun zalim. Menurut Ibn Taimiyah, sebuah masyarakat yang enam puluh tahun dipimpin oleh kepala negara yang zalim lebih baik ketimbang masyaralat tanpa negara dan pimpinan, walaupun cuma semalam.
Dari pedoman ihwal kekuasaan kepala negara di atas, ketiga ulama Sunni ini merumuskan aliran bahwa dilarang ada oposisi atau perlawanan terhadap kepala negara. Al-Mawardi menyatakan hadis Nabi, seperti dikutip di atas untuk mendukung pendapatnya bahwa kepala negara bersifat mutlak kekuasaannya. Melakukan oposisi, walaupun al-Mawardi menyebarkan teori persetujuan sosial, yakni hal yang dihentikan. Hal yang serupa juga ditegaskan oleh al-Ghazali. Bagi Hujjah al-Islam ini, wajib hukumnya atas rakyat dari tingkat mana pun untuk taat mutlak kepada kepala negara dan melakukan perintahnya.
Larangan oposisi dalam anutan politik Sunni klasik ini lebih didasarkan pada akhir jelek yang mungkin terjadi dalam penduduk . Sangat mungkin muncul situasi chaos dalam negara bila rakyat melaksanakan oposisi kepada kepela negara. Karena itu, bagi mereka, menghindarkan kesemrawutan yang lebih besar ialah hal yang perlu diambil. Lebih baik dalam suasana pemerintahan yang despotik, umpamanya, namun penduduk tidak bergolak, dibandingkan dengan menolak kepemimpinannya sehingga menimbul gejolak dalam masyarakat. Bagi ketiga pemikir Sunni ini, kepala negara yaitu bayang-bayang Allah di wajah bumi.
Syiah dan Perubahan Politik
1. Perubahan Sistem Politik Islam
Pada waktu Mu’awiyah menunjuk Yazid sebagai penggantinya, terjadi pergantian dan perubahan sistem politik Islam dari sistem khilafah (metode pemilihan, siapa yang paling 'alim, taat, baik akhlaknya). Dengan munculnya Mu'awiyyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah maka gelar khalifah tetap digunakan tetapi bukan Khalifaturrasul, melainkan khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh (pengganti wakil Allah dimuka bumi, bayang-bayang Allah dimuka bumi). Jadi, Mu'awiyyah lebih ahli lagi. Kalau Abu Bakar Siddik yang sungguh dekat dengan Rasulullah s.a.w. cuma menyebut dirinya khalifaturrasul (wakil Rasulullah), tapi Mu'awiyyah bin Abi Sufyan mengklaim sebagai khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh. Dari sinilah asal kemunculan Syiah, jelas merasa diliciki, dan memang diliciki oleh Mu'awiyyah bin Abi Sufyan.
Mereka lalu menjadi kelompok yang kuat, yang diketahui dengan Syiah.Karena itulah konsep Syiah yang paling mencolokdan khas sebenarnya dalam bidang politik. Yang menjadi perbedaan antara pemikiran Syiah dengan Sunnah ialah dalam bidang fatwa politik. Hak kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, yang disebut Imam. Makara imam berlainan-beda dalam Syiah, karena dalam Syiah juga muncul berlainan-beda, ada Syiah moderat (dominan), ada juga kelompok ekstrem (ghulat). Kelompok ekstrem bahkan ada yang berpendapat (sebagian kecil), tidak hanya menolak kepemimpinan Mu'awiyyah, tapi juga kepemimpinan khulafaurrasyidin lain seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan mengatakan bahwa hak kerasulan yakni hak Ali bin Abi Thalib bukan hak Muhammad s.a.w. sebab sesungguhnya wahyu dipesankan oleh Allah lewat Jibril untuk disampaikan terhadap Ali bin Abi Thalib, bukan terhadap Muhammad s.a.w. Yang ektrem sangat sedikit, antara lain berada di Yaman. Yang paling banyak Syiah duabelas, Itsna As'ariyah, atau Syiah Imamiyah, adalah imamnya dua belas.Imam-imam Syiah itu ada duabelas. Pertama Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Ali bin Husein Zainal Abidin, Sayidina Muhammad bin Ali Al-Baqir, Imam Ja'far Muhammad Shadiq, Imam Musa bin Ja'far Al-Qadhim, Imam Muhammad bin Ali Jawwad, Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi, Imam Hasan bin Muhammad Al-Askari, Imam Muhammad bin Hasan Al-Qaim (yang disebut sebagai imam yang ghaib) Imam Al-Muntadhar, imam yang dinantikan.Dalam tradisi Syiah, imam memiliki posisi politik yang tinggi, terutama sebelum munculnya kembali Imam Al-Muntadhar. Imam bukan cuma sebagai orang yang mempunyai otoritas dalam keagamaan, imam shalat, namun sekaligus selaku pemimpin politik. Dan oleh karena itu, politik atau kekuasaan yaitu milik imam. Dan imam yaitu orang yang ma'shum (bebas dari dosa).
Di dalam tradisi Syiah, ulama-ulama yang betul-betul jago dalam ilmu syariah, sekitar sepuluh sampai dengan lima orang, mereka diseleksi dan dibentuk semacam dewan. Mereka inilah yang membentuk sebuah forum yang disebut, dalam tradisi Syiah, wilayatul faqih. Dalam tradisi Sunni sejenis wilayatul faqih ini bahwasanya juga ada, disebut ahlul halli wal aqdhi. Yaitu kalangan ulama yang berwenang, mempunyai otoritas dan mengikat. Atau lebih diketahui dalam ungkapan lain, majelis syura. Di NU (Nahdhatul 'Ulama) ada Majelis Syura, yang fungsinya sama dengan wilayatul faqih dalam Syiah. Meski pun dalam prakteknya, berlawanan dengan di Iran. Fungsi majelis syura dikalangan Muslim Sunni sungguh lemah bahkan dalam bidang politik tidak banyak berperan. Jadi cuma memperlihatkan pandangan-persepsi keagamaan, tidak mempunyai kekuatan konkret. Tetapi dalam tradisi Syiah, yang namanya wilayatul faqih, sangat mayoritas, baik secara agama maupun politik.Itulah yang kita saksikan di Iran, sesudah Revolusi Islam Iran (RII), 1979, dan kini fungsi dan kedudukan wilayatul faqih sangat lebih banyak didominasi. Sejauh yang diterangkan dalam naskah ini, kemunculan Syiah berhubungan dengan perselisihan politik. Karena itu kemudian salah satu konsep sentral bagi Syiah yaitu soal politik, yaitu tentang kedudukan imam, kedudukan wakil imam, yang mutlak tidak cuma dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik. Dan karena itulah, kedudukan imam sungguh sentral. Setiap orang Syiah harus mengikuti imam. Makanya, orang ahlu sunnah wal jamaah sehabis RII 1979 merasa frustrasi alasannya adalah umat Islam tidak inginbersatu. Kemudian dikalangan umat Islam Indonesia timbul ide, tirulah desain imamah dari Syiah. Pada tahun 80-an timbul desain atau gerakan Islam di Indonesia yang mengadopsi kepemimpinan imamah yang sentralistik. Atau kemudian golongan ahlu sunnah wal jamaah mengambil desain tentang amirul mukminin, pemimpin orang-orang beriman. Tapi harus segera dibilang, kalau ada gerakan Indonesia yang menggunakan konsep kepemimpinan imamah, jangan dianggap Syiah. Tidak. Yang mereka ambil dengan imamah yaitu rancangan kepemimpinan yang sentralistik. Yang satu. Tidak terpecah-belah. Bisa dimengerti, gerakan Islam di Indonesia, khususnya anak muda, frustrasi dengan realitas kepemimpinan umat Islam Indonesia. Maka perlu mengadopsi kepemimpinan imamah seperti di Iran, kepemimpinan yang sentralistik, tunggal.Dalam Syiah, menyangkut kepemimpinan politik, sering dibandingkan orang dengan tradisi di dalam gereja. Di Nasrani, kepemimpinan berada di Vatikan, pada paus, uskup, pastor dan struktur kebawahnya. Di dalam Sunni tidak ada imamah tunggal sebab tradisi imamah dalam Sunni yakni imam masjid, tidak berfungsi sebagai social and political leadership. Imam, menurut Sunni tidak memainkan tugas kepemimpinan sosial dan politik tetapi hanya kepemimpinan dalam shalat saja. Inilah yang membuat frustrasi, banyak kalangan ahlu sunnah wal jamaah melihat kepemimpinan yang terpecah-belah, kesudahannya mengadopsi model kepemimpinan Syiah.
Ulama yang terpilih untuk menjadi anggota wilayatul faqih bukan ulama asal-asalan. Sangat dipercayai integritas dan keilmuannya. Mungkin berlainan dengan dalam tradisi Sunni; keulamaan longgar, siapa saja boleh menjadi ulama. Tapi dalam tradisi Syiah tidak begitu. Ada proses, bahkan ada training tertentu, pusatnya di Qum. Ada madrasah yang khusus mencetak kandidat ulama Syiah yang disiapkan menjadi mujtahid. Dalam bidang kalam, Syiah umumnya menganut kalam yang dikembangkan Mu'tazilah. Suatu ajaran tradisi kalam dalam Sunni yang menekankan akal, disebut kaum rasional. Bahkan Muhammad Abduh, pembaharu Islam di periode ke-20 dari Mesir, dipandang selaku orang yang paling berperan dalam menghidupkan kembali paham bahwa Islam yaitu agama rasional. Agama yang mendorong bahwa orang Islam harus proaktif, mesti punya prakarsa, tidak mengalah terhadap takdir, seolah takdir sudah ditentukan begitu saja, sehingga kita tidak perlu berupaya. Inilah sikap yang ditolak oleh orang Mu'tazilah.Kaprikornus, Mu'tazilah menekankan pada semangat rasional, semangat prakarsa. Orang Syiah mengikuti persepsi itu. Tentu saja ada perbedaan mirip itu dikalangan orang Syiah dengan Sunni. Yaitu dikala mengatakan mengenai semua orang yang dipandang ma'shum. Menurut tradisi Sunni, yang ma'shum cuma Rasulullah Muhammad s.a.w. setelah itu tidak ada lagi yang bebas dari dosa. Tapi orang Syiah menilai para imamnya yang duabelas ma'shum. Dalam persepsi orang Syiah, sama dengan orang Sunni, Allah Maha Adil, tidak mungkin menghukum orang yang tidak bersalah. Allah memberikan keleluasaan pada manusia untuk memilih, alasannya adalah melalui keleluasaan itulah maka bisa dituntut pertanggungjawabannya. Seseorang tidak bisa dituntut pertanggungjawabannya jikalau terpaksa (mujbir). Inilah argumen kaum rasionalis dalam Islam yang disertai juga oleh Syiah.
2. Modernisasi Politik Di Iran 1963-1997
Iran ialah salah satu Negara Timur Tengah, dimana lebih banyak didominasi masyarakatnya bermazhab Shiism. Shiism yaitu salah satu gerakan politik keagamaan Islam pada pertengahan kurun ke-18 yang dalam perkembangannya berhasil mendirikan suatu negara Republik Islam Iran. Sebagai salah satu fatwa agama, ummat Shiism condong memiliki sifat fanatisme yang kuat kepada pemimpinnya dan anutan-fatwa mazhabnya (puritan) dan para mullah selalu aktif dalam perpolitikan sehingga mampu mengantarkan ”modernisasi politik” di Iran
Modernisasi politik di Iran telah dimulai sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979, dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh sejarah berdirinya Republik Islam Iran dimana Mazhab Shiism sebagai ideologi revolusioner memberikan nilai-nilai tersendiri bagi perjuangannya. Berkenaan dengan modernisasi politik Iran, nampaknya Proses modernisasi yang terjadi di Iran ibarat versi modernisasi tipe kolektifitas suci (cosumatorry collective) yang berjalan dalam metode mobilisasi (mobilized system) dimana rakyat menjadi distributor modernisasi.
Implikasi dari proses modernisasi yang demikian, minimal mampu menunjukkan citra tentang apa itu Shiism dan bagaimana politik Shiism, serta pemikiran-fatwa tradisi Shiism di Iran. Setidaknya juga memberitahukan betapa kuatnya masyarakat Iran memegang kebudayaan dan nilai-nilai yang diwarisi dari ajaran mazhab Shiism. serta melahirkan sebuah bentuk masyarakat politik terbaru dengan ciri dan karakter yang berbeda dari penduduk terbaru di negara lain.
Mempertemukan Sunni-Syiah
Mungkinkah mempertemukan Suni dengan Syiah? Pertanyaan itu menjadi susah, saat berhadapan berbagai soal. Bagi pengikut Syiah, Ali bin Abi Thalib RA dan keturunannya merupakan imam-imam, para pemimpin agama dan umat, sesudah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan bagi pengikut Suni, Ali bin Abi Thalib layaknya tiga Khulafaur Rasyidin lainnya—Abu Bakar, Umar bin Khathab, dan Usman bin Affan.
Menurut Syiah, Ali dan keturunannya lebih berhak menjadi khalifah dibandingkan dengan Muawiyah bin Abu Sofyan dan keturunannya. Sementara, bagi pengikut Suni atau Ahlus Sunnah wal Jamaah, pertentangan antara Muawiyah dan Ali telah merupakan Sunatullah. Bahkan, saat Muawiyah menurunkan kekhalifahan kepada anaknya, Yazid—sebelumnya kekhalifahan dipilih secara musyawarah—juga dianggap sebagai belakang layar Allah SWT dan bagian dari perjalanan sejarah umat Islam.
Pengikut Syiah yang berkembang di Iran saat ini adalah Syiah Ja’fari. Mereka meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah memutuskan 12 imam selaku penerus risalahnya. Ke-12 imam ini dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menurun sampai ke keturunannya yang ke-12, Muhammad Al-Muntazar (Al-Mahdi).
Menurut beberapa pemikir Islam, bila dicari perbedaan antara Syiah dan Suni, akan bisa diurai panjang lebar dan tidak ada habisnya. Ujung-ujungnya, pertentangan berdarah berkepanjangan. Ia menunjuk kasus Irak, Pakistan, Lebanon, dan di negara-negara lain. Di negara-negara tersebut, konflik antarkelompok Islam sudah banyak mengkonsumsi korban. Padahal, Islam semestinya menjadi agama yang memberi kedamaian.
Berangkat dari fakta itu, para tokoh pemikir kaum muslimin berusaha mengampanyekan modernisasi Islam. Islam yaitu agama rahmatan lilalamin, agama yang memberi rahmat, bukan memberi kesengsaraan dan penderitaan. Modernisasi ajaran, terutama dalam ajaran Islam, diyakini dapat memberi basis toleransi dan keterbukaan berpikir. Dengan asumsi yang luas, diharapkan kesenjangan antara kaum Sunni dan Syiah perlahan-perlahan mampu direduksi.
Selain itu, dengan adanya modernisasi pemikiran, barangkali yang diharapkan bukan lagi bagaimana mempertemukan Suni dengan Syiah, tapi bagaimana menggalang kolaborasi yang lebih menguntungkan, tanpa menjamah perbedaan prinsipil masing-masing.
Penutup
Sunni dan Syiah ialah dua kelompok besar teologi dan politik di dalam Islam. Masing-masing-masing sudah muncul sejak kurun klasik, meski pelabelan nama “sunni-syiah” gres terjadi beberapa dikala kemudian. Dalam hal modernisasi, baik Sunni maupun Syi’ah menyumbang besar dalam pemikiran politik. Syiah dengan rancangan imamahnya di Iran sukses berubah menjadi menjadi suatu negara Muslim berbasis Syia. Dalam aliran teologi, tampaknya Sunni sering menerima kecaman selaku penolak modernisasi, alasannya adalah berbagai kepercayaan yang menyebabkan mandegnya berpikir. Seperti iktikad “tindakan manusia diciptakan oleh yang kuasa”.
Daftar Pustaka
- Abdullah, Taufik ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.
- Amstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan, terj. Jakarta: Citra Pustaka, 2001.
- Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1994.
- Esposito, Jhon L., Islam dan Politik, terj. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990.
- Ghazali, al-Tibr al-Masbûk fî Nâshihat al-Mulûk, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail. Bandung: Mizan, 1994.
- Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan, terj. Jakarta: Mizan, 1996.
- Mawardi, Abu al-Hasan al-Ahkâm al-Sulthâniyah. Beirut: Dar al-Fikr, t.tp.
- Mughni, Syafiq, Nilai-nilai Islam; Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi. Jakarta: Persada Grafindo, 2001.
- Nasr, Seyyed Hossein, The Heart Of Islam, terj. Nurasiah Faqih Sutan Harahap, Pesan-pesan Universal Islam untuk kemanusiaan. Bandung: Mizan, 2003.
- Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-pedoman Sejarah Analisa Perbandingan,. Jakarta: UI Press, 1986.
- Taimiyah, Ibn, Minhaj al Sunnah al Nabawiyah fi Naqdl al Syiah wa al Qadariyah. Beirut,Dar al Kutub al Ilmiyah,tt.
- ________, Ibn, Minhaj al-Sunah al-Nabawiyah II. Riyadh : Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.t.
- ________, Ibn, Al-Siyâsah al-Syar`iyah fî Ishlâh al-Râ`i wa al-Ra`iyyah,. Mesir: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1969), h. 161.
---------------
[1]Seyyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam, terj. Nurasiah Faqih Sutan Harahap, Pesan-pesan Universal Islam untuk kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2003), h. 80.
[2]Ibn Taimiyah,Minhaj al Sunnah al Nabawiyah fi Naqdl al Syiah wa al Qadariyah (Beirut,Dar al Kutub al Ilmiyah,tt)h.118
[3] Jhon L. Esposito, Islam dan Politik, terj. (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990), hal. 84-89.
[4] Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Jakarta: Citra Pustaka, 2001), h. 350.
[5] Maududi, Abul A’la, Khilafah dan Kerajaan, terj. (Jakarta: Mizan, 1996), h. 47.
[6] Syafiq Mughni, Nilai-nilai Islam; Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi (Jakarta: Persada Grafindo, 2001), h. 34.
[7] Muhammad Amin Suma, “Kelommpok dan Gerakan,” dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), h. 358; lihat juga Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-pedoman Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 64-65.
[8] Zamakhsyari Dhofier, Tradidi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 149.
[9] Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp.), h. 5.
[10] Al-Ghazali, al-Tibr al-Masbûk fî Nâshihat al-Mulûk, terjemahan Ahmadie Thaha dan Ilyas Ismail, (Bandung: Mizan, 1994), h. 136; lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 74-76.
[11] Ibn Taimiyah, Al-Siyâsah al-Syar`iyah fî Ishlâh al-Râ`i wa al-Ra`iyyah, (Mesir: Dar al-Kitab al-`Arabi, 1969), h. 161.
[12] Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunah al-Nabawiyah II, ( Riyadh : Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.t.), h. 209.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon