A. Pendahuluan
Pemikiran pembaharuan dalam Islam timbul pada abad modern, ajaran tersebut timbul selaku hasil dan kontak yang terjadi antaa dunia Islam dan Barat. Sejalan dengan ini, maka wujud ketokohan Islam pun sudah mengalami penyebaran dari yang semula menempati garis marginal menjadi sosok-sosok yang berada di tengah arus perubahan sosial.
Harus dimengerti bahwa selaku sebuah pemikiran, maka tingkat kebenaran yang disediakan oleh Thaha Husein tetaplah pada posisinya yang relatif. Dalam makalah ini, penulis akan membicarakan dan memberikan citra tentang pedoman Thaha Husein mencakup biografi, tata cara berfikir, pemikiran ajaran dan ide sekularisasi Thaha Husein
B. Biografi Thaha Husein
Thaha Husein lahir pada tanggal 14 November 1889 di kota kecil di Mesir berjulukan Magbargha. Pendidikan dasarnya dimulai di maktab, forum pendidikan dasar yang kemudian dilanjutkan ke al-Azhar, akan namun setelah beberapa usang ia meninggalkan al-Azhar.
Setelah meninggalkan al-Azhar, Thaha Husein melanjutkan studinya di Universitas Kairo. Di sinilah beliau berkenalan secara sistematis dengan metode anutan Barat modern, ialah setelah berkenalan dengan Prof. Nallino, Prof. Ennolittman dan Prof. Santilana. Dari Universitas Kairo, Thaha Husein melanjutkan studi ke Perancis di Universitas Surbanne selaku anggota misi pendidikan Universitas Kairo.
Tiga tahun kemudian Thaha Husein mendapatkan gelar dokotr di Universitas Kairo dan berkarir di universitas tersebut selama tiga puluh tahun selaku guru besar dan administrator, pejabat kementrian pendidikan dan menteri pendidikan pada era pemerintahan partai Wald tahun 1950-1952.[1]
C. Metode Berfikir Thaha Husein
Dalam memandang setiap dilema dan menemukan pengetahuan, ternyata Thaha Husein memakai metode berfikir Cartesian. Hal ini diketahui dari penuturannya bahwa ia ingin mengikuti jalan para ilmuan dan filsafat modern dalam memperoleh ilmu wawasan. Sementara dalam berfilsafat Thaha Husein menggunakan metode filsafat yang diperkenalkan oleh Descartes dalam membahas segala hakikat.[2]
Thaha Husein tak mau mendapatkan apa yang telah dikatakan oleh para pendahulu kecuali setelah melalui pembahasan dan observasi walaupun karenanya tidak hingga kepada kepastian, akan namun dengan observasi dan kajian tersebut, seseorang bisa sampai kepada pertimbangan yang lebih berpengaruh..[3]
Thaha Husein merumuskan metode sebagai kaidah-kaidah yang ketat yang memelihara rasio seorang peneliti dari kesalahan dan memungkinnya untuk mencapai kebenaran. Dengan demikian seseorang akan terhindar dari usaha yang tidak berguna.[4]
Dengan pementingan metode ini tampaknya Thaha Husein ingin memastikan sikapnya untuk menolak taklid kepada produk para pendahulu, dan selanjutnya dia mengajurkan penggunaan logika bebas dan melaksanakan kritis atas segala sesuatu, alasannya adalah memandang baha penduduk Islam kebanyakan seolah-olah mendapatkan begitu saja produk-produk para pendahulu tanpa pernah mempertanyakan keabsahan dan kesesuaiannya dengan keadaan penduduk muslim pada kurun produk tersebut diterapkan.
Thaha Husein menghendaki kaum muslim untuk memakai kebebasan berfikirnya tanpa terikat dengan para pendahulu hingga terwujudnya dinamika intelektual yang dinamis. Metode kritis ini tidaklah berlawanan dengan Alquran. Sekalipun agama lebih tinggi dari akal, dan alasannya agama sejalan dengan akal maka hendakanya agama didekati lewat jalan argumen yang rasional dengan sistem yang kritis.
Selanjutnya, bertolak dari keinginannya untuk menerapkan tata cara kesangsian atau metode kritik, Thaha Husein menarik sebuah kaidah dasar bagi seorang peneliti yang ia ambil dari metode Descartes bahwa apabila seseorang ingin sampai kebenaran maka hendaklah dia mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu yang dia pahami sebelumnya dan mengawali pencarian dengan fatwa yang kosong.
Hal itu dimaksudkan oleh Thaha Husein agar pemikir-pemikir muslim tidak terikat dengan tendensi-tendesi, paradigma dan aksioma dan segala tatanan keyakinan yang ada pada dirinya, khususnya kebencian akan sesuatu.[5] Seorang pemikir hendaknya memandang sebuah kasus dengan persepsi yang murni dan kosong, tidak timbul dari sentimen dan hawa nafsu dan tidak dipengaruhi oleh kebenaran dan agama akan namun hanyalah pandangan-pandangan seorang sejarawan yang mengosongkan diri dari sentimen dan keinginan-keinginan walau dengan perbedaan fenomena, tumpuan dan tujuan.[6]
Metode ilmiah pada hakekatnya ialah suatu pengajaran terhadap kebenaran yang dikontrol oleh pertimbangan logis, karena ideal suatu ilmu adalah untuk memperoleh interelasi sistematis dari fakta.Metode berfikir dan sistem pendekatan ilmiah yang bebas dari sentimen-sentimen, tergolong sentimen kegamaan bukan berarti terlepas dari kebenaran seseorang terhadap yang kuasa.
Metode berfikir yang demikian dapat ketimbang pemikiran -gagasan yang dibilang sebagai desekularisasi yang menginginkan pemandua antara berfikir dan dzikir. Aktivitas berfikir didasarkan pada daya berfikir yang ada dalam diri insan sementara kegiatan berzikir didasarkan pada daya merasa yang ada pada diri insan, walaupun hasil acara berfikir juga dipandang selaku zikir.
D. Gagasan Pemikiran Thaha Husein
1. Antara Rasion dan Agama
Rasio dan agama sama-sama sangat diperlukan seorang insan, seseorang belum cukup cuma dengan agama, ia juga memerlukan rasio dan sebaliknya. Pertentangan antara keduanya yakni sesuatu yang pasti, akan tetapi hakikat permasalahannya bukanlah ada atau tidaknya kontradiksi itu, akan tetapi apakah kontradiksi itu membahayakan atau menguntungkan, atau dengan kata lain apakah agama dan ilmu pengetahuan memperlihatkan kesejateraan pada manusia ataukah menawarkan kesengsaraan.
Lebih lanjut, Thaha Husein menilai bahwa rasio mesti menjadi penunjuk jalan bagi manusia meski rasio memiliki kekurangan terhadap duduk perkara tertentu yang hanya mampu dimengerti dengan agama. di sinilah tampakbahwa Thaha Husein tidak begitu kepincut dengan pembahasan metafisika alasannya adalah menurutnya naif dan tidak terperinci.[7]
2. Determenisme Historis
Metode berfikir lain yang menjadi titik tolak fatwa Thaha Husein ialah keyakinannya yang begitu kuat terhadap determenisme historis yang menerangkan bahwa setiap fenomen baik materi maupun non-bahan dapat direfer terhadap kekuatan sosial, alam, atau peristiwa sejarah yang kesemuanya merupakan akhir dari aspek sosial dan alam dan ialah suatu objek untuk diteliti dan dianalisa sebagaimana materi yang ialah subjek dari proses kimiawi. Ada tiga kritik yang selalalu dihadapkan terhadap determenisme historis, yaitu:
Sebelum menguraikan wacana ide Thaha Husein yang dipandang sekuler, berikut pemakalah uraikan sekilas tentng pengertian perumpamaan “sekuler”.
Kata-kata “Sekuler” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda, dan lain-lain).[8] Menurut kamus bahasa Indonesia “Sekular” artinya bersifat duniawi kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian).[9] Kata sekuler yang di adopsi dari kata latin “Seaculum, pada awalnya mempunyai arti “abad atau “ generasi” dan juga memiliki arti konotasi rangkap ditandai dengan waktu yang tepat. Dalam bahasa Prancis, laïcité, yang juga memiliki arti sekularisme, tetapi makna aslinya menunjuk pada pemahaman “masyarakat biasa“, mereka yang bukan golongan pendeta.[10] Waktu memberikan pengertian kini atau pada kala sekarang, dan waktu memperlihatkan pada pengertian dunia atau duniawi. Tekanan maknanya terletak pada suatu waktu tertentu atau abad tertentu di dunia yang dipandang sebagai sebuah proses sejarah.[11]
Sekulerisasi, menurut Harun Nasution ialah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kendali agama, dengan demikian sekulerisasi adalah proses melepaskan diri dari agama dan mampu berakibat/mengarah terhadap ateisme.[12] Harvey Cox menandakan perbedaan antara Sekularisasi dengan Sekularisme sebagai berikut:
Bagaimanapun, sekularisasi sebagai ungkapan deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berlainan-beda, tergantung terhadap sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia muncul, beliau harus dibedadkan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, nyaris pasti tidak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Sekularisasi pada dasarnya perkembangan pembebasan. Sedangkan Sekularisme yakni nama untuk sebuah idiologi, suatu pandangan dunia gres yang tertutup yang berfungsi sungguh mirip selaku “agama gres”(Sekularism is the name for an ideology, a new closed world view which fungtion very much like a new religion).[13]
Juga sekularisme ialah sebuah paham, adalah paham keduniawian,sebuah paham yang tertutup, sebuah system idiologi tersendiri dan lepas dari agama atau penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini. [14]
Dalam ensiklopedi Britama disebutkan bahwa sekulerisme merupakan gerakan kemasyarakatan yang bermaksud memalingkan manusia dari kehidupan alam baka dengan semata-mata berorientasi terhadap dunia.[15] Sebagai sebuah paham, sekulerisme menyampaikan bahwa kehidupan duniawi ini ialah mutlak dann terakhir tidak ada kehidupan sesudahnya yang umumnya agama-agama menyebutnya dengan darul baka (hari lalu, hari kebangkitan, dan sebagainya)[16]
1. Kebudayaan
Tujuan manusia yaitu untuk menegakkan peradaban, jikalau ummat Islam ingin maju maka mereka mesti mengambil usulan Eropa dan bahkan mereka mesti menjadi orang Eropa dalam segala hal. Thaha Husein menganggap bahwa ummat Islam mesti berupaya menempuh jalan orang-orang Eropa semoga mampu setara dan menjadi partner dalam peradaban.[17]
Di sinilah terlihat bahwa Thaha Husein ingin “memisahkan” urusan agama dengan masalah dunia. Untuk membangun suatu peradaban yang maju, maka ummat Islam harus mengambil teladan dan mengikuti jalan peradaban yang sudah terbukti maju.
2. Pendidikan
Ada tiga faktor yang menimbulkan lambatnya pertumbuhan pendidikan, adalah:
Politik ialah hal yang terpisah dari agama, politik ialah politik dan agama adalah agama. Hendaknya metode pemerintahan dan pembentukan negara didasarkan atas azas manfaat prkatis bukan yang yang lain.
Menurut Thaha Husein, bahwasanya tidak ada kesulitan bagi ummat Islam untuk mengambil tata cara pemerintahan demokrasi. Hal ini dikarenakan bahwa dari dahulu, dari permulaan perkembangannya, pemerintahan masyarakat muslim sudah berpaling dan tidak menyebabkan agama Islam sebagai dasar, pemerintahan masyarakan muslim membangun politiknya atas dasar kepentingan-kepentingan simpel. Selain itu bahwa pedoman dan tingkah laris politik Barat telah menjadi pedoman dan tingkah laris politik ummat Islam khususnya di Mesir.[18]
Menurut Thaha Husein bahwa Quran tidak mengatur sistem pemerintahan secara umum maupun khusus, dengan demikian bahwa pemerintahan Nabi di Madinah maupun khilafahnya tidak dianggap selaku pemerintah.
Penutup
Thaha Husein ialah seornag pemikir muslim yang menganut determinisme historis. Ia diketahui selaku seorang pembaharu yang objektif dan kritis. Ia memakai fisalafat sebagai metodologi penelitian dan metode berfikir. Kritik Thaha Husein mengacu terhadap dua hal penting yakni peninggalan taqlid dan mendorong ijtihad yang menegakkan penelaran bebas. Thaha Husein melaksanakan usaha pembaharuan dalam dua tahap adalah melancarkan gagasan sekularisasi dengan melepaskan persoalan duniawi dari pemahaman agama (“ajaran” agama yang tidak esensial). Gagasan ini meliputi bidang budaya, pendidikan dan agama.
Daftar Pustaka
---------------------
[1] Syahrin Harahap, Quran dan Sekularisasi: Kajian Kritis kepada Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 2.
[2] Thaha Husein, Fil Adab al-Jahili (Beirut: Kitab al-Humany, 1973), h. 69.
[3] Ibid. h. 64.
[4] Penerbit, Thaha Husein Kama Ya’rifuhu al-Kuttab Ashrih (Mesir: Dar al-Hilal, t.th.), h. 114.
[5] Abdul Aziz Syaraf, Thaha Husein Wazainud al-Mustama’ at-Taqlidi (Mesir: t.p., 1977), h. 168.
[6] Thaha Husein, al-Fitan al-Kubra (Beirut: al-Kitab al-Lubnan, 1973), h. 199.
[7] Syahrin, Alquran dan Sekularisasi, h. 47.
[8]Nurcholish Madjid. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,1998), h. 216
[9]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), edisi kedua, h. 894
[10]John L.Esposito. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern (Jakarta: Mizan, 2002)Jilid 5, h. 128. lebih terperinci lihat Niyazi Berkes. The Devolopment of Sekularism in Turkey (Montreal,1964), h. 5
[11]Muhammad al-Naquib al-Attas. Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan H.M.Mukhtar Zoemi.(Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 14
[12]Harun Nasution.Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), h. 188
[13]Harvey Cox.Religion in The Sekuler City-Toward a Postmodern Theology (New York: Simon and Schuster,1984),h. 56
[14]Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan…., h. 218 dan 257.
[15]Yusuf Qardhawi. Sekuler Ekstrim, Terj. Daat Nuhani Idris (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 2
[16]Nurchalish Madjid, Islam Kemoderenan….., h. 219
[17] Thaha Husein, Mustaqbal at-Tsaqafah fi Ushr (Beirut: Dar al-Kitab, 1973), h. 54.
[18] Syahrin, Quran dan Sekularisasi, h. 113.
Pemikiran pembaharuan dalam Islam timbul pada abad modern, ajaran tersebut timbul selaku hasil dan kontak yang terjadi antaa dunia Islam dan Barat. Sejalan dengan ini, maka wujud ketokohan Islam pun sudah mengalami penyebaran dari yang semula menempati garis marginal menjadi sosok-sosok yang berada di tengah arus perubahan sosial.
Harus dimengerti bahwa selaku sebuah pemikiran, maka tingkat kebenaran yang disediakan oleh Thaha Husein tetaplah pada posisinya yang relatif. Dalam makalah ini, penulis akan membicarakan dan memberikan citra tentang pedoman Thaha Husein mencakup biografi, tata cara berfikir, pemikiran ajaran dan ide sekularisasi Thaha Husein
B. Biografi Thaha Husein
Thaha Husein lahir pada tanggal 14 November 1889 di kota kecil di Mesir berjulukan Magbargha. Pendidikan dasarnya dimulai di maktab, forum pendidikan dasar yang kemudian dilanjutkan ke al-Azhar, akan namun setelah beberapa usang ia meninggalkan al-Azhar.
Setelah meninggalkan al-Azhar, Thaha Husein melanjutkan studinya di Universitas Kairo. Di sinilah beliau berkenalan secara sistematis dengan metode anutan Barat modern, ialah setelah berkenalan dengan Prof. Nallino, Prof. Ennolittman dan Prof. Santilana. Dari Universitas Kairo, Thaha Husein melanjutkan studi ke Perancis di Universitas Surbanne selaku anggota misi pendidikan Universitas Kairo.
Tiga tahun kemudian Thaha Husein mendapatkan gelar dokotr di Universitas Kairo dan berkarir di universitas tersebut selama tiga puluh tahun selaku guru besar dan administrator, pejabat kementrian pendidikan dan menteri pendidikan pada era pemerintahan partai Wald tahun 1950-1952.[1]
C. Metode Berfikir Thaha Husein
Dalam memandang setiap dilema dan menemukan pengetahuan, ternyata Thaha Husein memakai metode berfikir Cartesian. Hal ini diketahui dari penuturannya bahwa ia ingin mengikuti jalan para ilmuan dan filsafat modern dalam memperoleh ilmu wawasan. Sementara dalam berfilsafat Thaha Husein menggunakan metode filsafat yang diperkenalkan oleh Descartes dalam membahas segala hakikat.[2]
Thaha Husein tak mau mendapatkan apa yang telah dikatakan oleh para pendahulu kecuali setelah melalui pembahasan dan observasi walaupun karenanya tidak hingga kepada kepastian, akan namun dengan observasi dan kajian tersebut, seseorang bisa sampai kepada pertimbangan yang lebih berpengaruh..[3]
Thaha Husein merumuskan metode sebagai kaidah-kaidah yang ketat yang memelihara rasio seorang peneliti dari kesalahan dan memungkinnya untuk mencapai kebenaran. Dengan demikian seseorang akan terhindar dari usaha yang tidak berguna.[4]
Dengan pementingan metode ini tampaknya Thaha Husein ingin memastikan sikapnya untuk menolak taklid kepada produk para pendahulu, dan selanjutnya dia mengajurkan penggunaan logika bebas dan melaksanakan kritis atas segala sesuatu, alasannya adalah memandang baha penduduk Islam kebanyakan seolah-olah mendapatkan begitu saja produk-produk para pendahulu tanpa pernah mempertanyakan keabsahan dan kesesuaiannya dengan keadaan penduduk muslim pada kurun produk tersebut diterapkan.
Thaha Husein menghendaki kaum muslim untuk memakai kebebasan berfikirnya tanpa terikat dengan para pendahulu hingga terwujudnya dinamika intelektual yang dinamis. Metode kritis ini tidaklah berlawanan dengan Alquran. Sekalipun agama lebih tinggi dari akal, dan alasannya agama sejalan dengan akal maka hendakanya agama didekati lewat jalan argumen yang rasional dengan sistem yang kritis.
Selanjutnya, bertolak dari keinginannya untuk menerapkan tata cara kesangsian atau metode kritik, Thaha Husein menarik sebuah kaidah dasar bagi seorang peneliti yang ia ambil dari metode Descartes bahwa apabila seseorang ingin sampai kebenaran maka hendaklah dia mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu yang dia pahami sebelumnya dan mengawali pencarian dengan fatwa yang kosong.
Hal itu dimaksudkan oleh Thaha Husein agar pemikir-pemikir muslim tidak terikat dengan tendensi-tendesi, paradigma dan aksioma dan segala tatanan keyakinan yang ada pada dirinya, khususnya kebencian akan sesuatu.[5] Seorang pemikir hendaknya memandang sebuah kasus dengan persepsi yang murni dan kosong, tidak timbul dari sentimen dan hawa nafsu dan tidak dipengaruhi oleh kebenaran dan agama akan namun hanyalah pandangan-pandangan seorang sejarawan yang mengosongkan diri dari sentimen dan keinginan-keinginan walau dengan perbedaan fenomena, tumpuan dan tujuan.[6]
Metode ilmiah pada hakekatnya ialah suatu pengajaran terhadap kebenaran yang dikontrol oleh pertimbangan logis, karena ideal suatu ilmu adalah untuk memperoleh interelasi sistematis dari fakta.Metode berfikir dan sistem pendekatan ilmiah yang bebas dari sentimen-sentimen, tergolong sentimen kegamaan bukan berarti terlepas dari kebenaran seseorang terhadap yang kuasa.
Metode berfikir yang demikian dapat ketimbang pemikiran -gagasan yang dibilang sebagai desekularisasi yang menginginkan pemandua antara berfikir dan dzikir. Aktivitas berfikir didasarkan pada daya berfikir yang ada dalam diri insan sementara kegiatan berzikir didasarkan pada daya merasa yang ada pada diri insan, walaupun hasil acara berfikir juga dipandang selaku zikir.
D. Gagasan Pemikiran Thaha Husein
1. Antara Rasion dan Agama
Rasio dan agama sama-sama sangat diperlukan seorang insan, seseorang belum cukup cuma dengan agama, ia juga memerlukan rasio dan sebaliknya. Pertentangan antara keduanya yakni sesuatu yang pasti, akan tetapi hakikat permasalahannya bukanlah ada atau tidaknya kontradiksi itu, akan tetapi apakah kontradiksi itu membahayakan atau menguntungkan, atau dengan kata lain apakah agama dan ilmu pengetahuan memperlihatkan kesejateraan pada manusia ataukah menawarkan kesengsaraan.
Lebih lanjut, Thaha Husein menilai bahwa rasio mesti menjadi penunjuk jalan bagi manusia meski rasio memiliki kekurangan terhadap duduk perkara tertentu yang hanya mampu dimengerti dengan agama. di sinilah tampakbahwa Thaha Husein tidak begitu kepincut dengan pembahasan metafisika alasannya adalah menurutnya naif dan tidak terperinci.[7]
2. Determenisme Historis
Metode berfikir lain yang menjadi titik tolak fatwa Thaha Husein ialah keyakinannya yang begitu kuat terhadap determenisme historis yang menerangkan bahwa setiap fenomen baik materi maupun non-bahan dapat direfer terhadap kekuatan sosial, alam, atau peristiwa sejarah yang kesemuanya merupakan akhir dari aspek sosial dan alam dan ialah suatu objek untuk diteliti dan dianalisa sebagaimana materi yang ialah subjek dari proses kimiawi. Ada tiga kritik yang selalalu dihadapkan terhadap determenisme historis, yaitu:
- Bahwa di alam ini mampu terjadi sebuah peristiwa yang kebetulan tanpa melalui karena-akhir dan juga tanpa dijadwalkan.
- Peristiwa sejarah sering terjadi sebagai sesuatu yang gres yang tidak terduga.
- Kebebasan insan juga senantiasa menjadi bahan kritik sebuah subjek sejarah.
Sebelum menguraikan wacana ide Thaha Husein yang dipandang sekuler, berikut pemakalah uraikan sekilas tentng pengertian perumpamaan “sekuler”.
Kata-kata “Sekuler” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda, dan lain-lain).[8] Menurut kamus bahasa Indonesia “Sekular” artinya bersifat duniawi kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian).[9] Kata sekuler yang di adopsi dari kata latin “Seaculum, pada awalnya mempunyai arti “abad atau “ generasi” dan juga memiliki arti konotasi rangkap ditandai dengan waktu yang tepat. Dalam bahasa Prancis, laïcité, yang juga memiliki arti sekularisme, tetapi makna aslinya menunjuk pada pemahaman “masyarakat biasa“, mereka yang bukan golongan pendeta.[10] Waktu memberikan pengertian kini atau pada kala sekarang, dan waktu memperlihatkan pada pengertian dunia atau duniawi. Tekanan maknanya terletak pada suatu waktu tertentu atau abad tertentu di dunia yang dipandang sebagai sebuah proses sejarah.[11]
Sekulerisasi, menurut Harun Nasution ialah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kendali agama, dengan demikian sekulerisasi adalah proses melepaskan diri dari agama dan mampu berakibat/mengarah terhadap ateisme.[12] Harvey Cox menandakan perbedaan antara Sekularisasi dengan Sekularisme sebagai berikut:
Bagaimanapun, sekularisasi sebagai ungkapan deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam samaran-samaran yang berlainan-beda, tergantung terhadap sejarah keagamaan dan politik suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia muncul, beliau harus dibedadkan dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, nyaris pasti tidak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Sekularisasi pada dasarnya perkembangan pembebasan. Sedangkan Sekularisme yakni nama untuk sebuah idiologi, suatu pandangan dunia gres yang tertutup yang berfungsi sungguh mirip selaku “agama gres”(Sekularism is the name for an ideology, a new closed world view which fungtion very much like a new religion).[13]
Juga sekularisme ialah sebuah paham, adalah paham keduniawian,sebuah paham yang tertutup, sebuah system idiologi tersendiri dan lepas dari agama atau penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini. [14]
Dalam ensiklopedi Britama disebutkan bahwa sekulerisme merupakan gerakan kemasyarakatan yang bermaksud memalingkan manusia dari kehidupan alam baka dengan semata-mata berorientasi terhadap dunia.[15] Sebagai sebuah paham, sekulerisme menyampaikan bahwa kehidupan duniawi ini ialah mutlak dann terakhir tidak ada kehidupan sesudahnya yang umumnya agama-agama menyebutnya dengan darul baka (hari lalu, hari kebangkitan, dan sebagainya)[16]
1. Kebudayaan
Tujuan manusia yaitu untuk menegakkan peradaban, jikalau ummat Islam ingin maju maka mereka mesti mengambil usulan Eropa dan bahkan mereka mesti menjadi orang Eropa dalam segala hal. Thaha Husein menganggap bahwa ummat Islam mesti berupaya menempuh jalan orang-orang Eropa semoga mampu setara dan menjadi partner dalam peradaban.[17]
Di sinilah terlihat bahwa Thaha Husein ingin “memisahkan” urusan agama dengan masalah dunia. Untuk membangun suatu peradaban yang maju, maka ummat Islam harus mengambil teladan dan mengikuti jalan peradaban yang sudah terbukti maju.
2. Pendidikan
Ada tiga faktor yang menimbulkan lambatnya pertumbuhan pendidikan, adalah:
- Kurangnya atau lemahnya perhatian dan daya pemerintah.
- Kurikulum pendidikan yang bercorak tradisional dan hanya beriorentasi bagai kepentingan pemerintah saja.
- Tidak adanya pendalaman kepada bahasa Arab dan kesusteraannya.
Politik ialah hal yang terpisah dari agama, politik ialah politik dan agama adalah agama. Hendaknya metode pemerintahan dan pembentukan negara didasarkan atas azas manfaat prkatis bukan yang yang lain.
Menurut Thaha Husein, bahwasanya tidak ada kesulitan bagi ummat Islam untuk mengambil tata cara pemerintahan demokrasi. Hal ini dikarenakan bahwa dari dahulu, dari permulaan perkembangannya, pemerintahan masyarakat muslim sudah berpaling dan tidak menyebabkan agama Islam sebagai dasar, pemerintahan masyarakan muslim membangun politiknya atas dasar kepentingan-kepentingan simpel. Selain itu bahwa pedoman dan tingkah laris politik Barat telah menjadi pedoman dan tingkah laris politik ummat Islam khususnya di Mesir.[18]
Menurut Thaha Husein bahwa Quran tidak mengatur sistem pemerintahan secara umum maupun khusus, dengan demikian bahwa pemerintahan Nabi di Madinah maupun khilafahnya tidak dianggap selaku pemerintah.
Penutup
Thaha Husein ialah seornag pemikir muslim yang menganut determinisme historis. Ia diketahui selaku seorang pembaharu yang objektif dan kritis. Ia memakai fisalafat sebagai metodologi penelitian dan metode berfikir. Kritik Thaha Husein mengacu terhadap dua hal penting yakni peninggalan taqlid dan mendorong ijtihad yang menegakkan penelaran bebas. Thaha Husein melaksanakan usaha pembaharuan dalam dua tahap adalah melancarkan gagasan sekularisasi dengan melepaskan persoalan duniawi dari pemahaman agama (“ajaran” agama yang tidak esensial). Gagasan ini meliputi bidang budaya, pendidikan dan agama.
Daftar Pustaka
- Attas, Muhammad al-Naquib. Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan H.M.Mukhtar Zoemi. Surabaya: Bina Ilmu, 1986.
- Berkes, Niyazi. The Devolopment of Sekularism in Turkey. Montreal,1964.
- Cox, Harvey. Religion in The Sekuler City-Toward a Postmodern Theology. New York: Simon and Schuster,1984.
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
- Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jil.V. Jakarta: Mizan, 2002.
- Harahap, Syahrin. Alquran dan Sekularisasi: Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.
- Husein, Thaha. Fil Adab al-Jahili. Beirut: Kitab al-Humany, 1973.
- ____________. Mustaqbal at-Tsaqafah fi Ushr. Beirut: Dar al-Kitab, 1973.
- __________. al-Fitan al-Kubra. Beirut: al-Kitab al-Lubnan, 1973.
- Madjid, Nurcholish. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan,1998.
- Nasution, Harun Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.
- Penerbit, Thaha Husein Kama Ya’rifuhu al-Kuttab Ashrih. Mesir: Dar al-Hilal, t.th.
- Qardhawi, Yusuf. Sekuler Ekstrim, Terj. Daat Nuhani Idris. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.
- Syaraf, Abdul Aziz. Thaha Husein Wazainud al-Mustama’ at-Taqlidi. Mesir: t.p., 1977.
---------------------
[1] Syahrin Harahap, Quran dan Sekularisasi: Kajian Kritis kepada Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 2.
[2] Thaha Husein, Fil Adab al-Jahili (Beirut: Kitab al-Humany, 1973), h. 69.
[3] Ibid. h. 64.
[4] Penerbit, Thaha Husein Kama Ya’rifuhu al-Kuttab Ashrih (Mesir: Dar al-Hilal, t.th.), h. 114.
[5] Abdul Aziz Syaraf, Thaha Husein Wazainud al-Mustama’ at-Taqlidi (Mesir: t.p., 1977), h. 168.
[6] Thaha Husein, al-Fitan al-Kubra (Beirut: al-Kitab al-Lubnan, 1973), h. 199.
[7] Syahrin, Alquran dan Sekularisasi, h. 47.
[8]Nurcholish Madjid. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,1998), h. 216
[9]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), edisi kedua, h. 894
[10]John L.Esposito. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern (Jakarta: Mizan, 2002)Jilid 5, h. 128. lebih terperinci lihat Niyazi Berkes. The Devolopment of Sekularism in Turkey (Montreal,1964), h. 5
[11]Muhammad al-Naquib al-Attas. Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan H.M.Mukhtar Zoemi.(Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 14
[12]Harun Nasution.Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), h. 188
[13]Harvey Cox.Religion in The Sekuler City-Toward a Postmodern Theology (New York: Simon and Schuster,1984),h. 56
[14]Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan…., h. 218 dan 257.
[15]Yusuf Qardhawi. Sekuler Ekstrim, Terj. Daat Nuhani Idris (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 2
[16]Nurchalish Madjid, Islam Kemoderenan….., h. 219
[17] Thaha Husein, Mustaqbal at-Tsaqafah fi Ushr (Beirut: Dar al-Kitab, 1973), h. 54.
[18] Syahrin, Quran dan Sekularisasi, h. 113.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon