Senin, 19 Oktober 2020

Makalah Ibnu Rusyd Dan Averroisme

Makalah  Ibnu Rusyd Dan Averroisme
Oleh: Sufriyansyah

PENDAHULUAN

Di Andalusia, tepatnya di kota Cordova lahir seorang filosof Muslim populer berjulukan Ibnu Rusyd. Ketika itu Andalusia (Spanyol) merupakan salah satu sentra peradaban Islam yang maju dan cemerlang serta banyak menghasilkan ilmuan-ilmuan muslim besar mirip Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail. Di segi lain, Eropa (baca: masyarakat kristen Eropa) masih berada dalam zaman kegelapan, kebodohan dan terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages), sehingga mampu dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan hadirnya peradaban Islam di Andalusia, sudah menjadi jembatan bagi Eropa untuk mengetahui dan mempelajari Ilmu wawasan utamanya filsafat. Dengan demikian dunia Islam kesudahannya memperlihatkan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa.

Sebagai seorang filosof, Ibnu Rusyd banyak menawarkan kontribusinya dalam khasanah dunia filsafat, baik filsafat yang berasal dari Yunani maupun yang berasal dari filosof-filosof muslim sebelumnya. Ibnu Rusyd dalam filsafatnya sangat mengagumi filsafat Aristoteles dan banyak memberikan ulasan-ulasan atau komentar terhadap filsafat Aristoteles sehingga ia populer selaku komentator Aristoteles.

Dalam makalah ini sedikit akan diuraikan anggapan-fikiran filsafat Ibnu Rusyd di samping efek pemikirannya dalam ilmu pengetahuan yang lalu memunculkan gerakan Averroisme di Barat.

PEMBAHASAN

A. RIWAYAT HIDUP DAN KARYANYA
Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia.[1] Ibnu Rusyd lahir di kota Cordova tahun 526-595 H atau 1126-1198 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh. Ayahnya seorang hakim. Demikian juga kakeknya sangat populer dengan selaku mahir fiqh. Sang kakek dengan cucunya mempunyai nama yang serupa, ialah Abu al-Walid. Maka untuk membedakannya, sang kakek dipanggil Abul Walid al-Jadd (kakek), sedang sang cucu Abul Walid al-Hafidz[2].

Semenjak kecil Ibnu Rusyd belajar ilmu fiqh, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Sevilla kemudian berhenti dan pulang ke Cordova untuk melaksanakan studi, penelitian, membaca buku-buku dan menulis.[3] Pada usia 18 tahun Ibnu Rusyd bepergian ke Maroko, di mana ia mencar ilmu terhadap Ibnu Thufail. Dalam bidang ilmu Tauhid (teologi) dia berpegang pada paham Asy’ariyah dan hal ini tetap menunjukkan jalan baginya untuk mempelajari ilmu filsafat. Ringkasnya Ibnu Rusyd ialah seorang yang jago dalam bidang filsafat, agama, syari’at, dan kedokteran yang populer pada kala itu.[4] Pada tanggal 19 Shafar 595 H/10 Desember 1197 Ibnu Rusyd meninggal dunia di kota Marakesh. Beberapa tahun sehabis ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya, kota Cordova.

Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rusyd yaitu filosof muslim besar era terakhir dalam dunia filsafat Islam[5]. Setelah wafatnya Ibnu Rusyd, secara berangsur-angsur filsafat Islam mulai mengalami kemunduran balasan kritikan tajam al-Ghazali kepada masalah-dilema filsafat dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah. Ketika budaya berfikir ala filsafat mulai dibenci dan banyak ditinggalkan umat Islam, maka pemikiran-pedoman filsafat beralih terhadap Eropa yang dibawa dan dikembangkan oleh murid-murid Ibnu Rusyd yang beragama non-muslim. Berawal dari sini, filsafat-filsafat Aristoteles dan Ibnu Rusyd kesudahannya mulai berkembang di Eropa secara perlahan walaupun pada mulanya mendapat kecaman yang keras dari pihak gereja. Namun pada akibatnya ilmu filsafat menjadi pintu gerbang bagi Eropa dalam menyongsong peradaban yang maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sebagai seorang penulis produktif, Ibnu Rusyd banyak menciptakan karya-karya dalam banyak sekali disiplin keilmuan. Menurut Ernest Renan (1823-1892) karya Ibnu Rusyd meraih 78 judul yang terdiri dari 39 judul ihwal filsafat, 5 judul tentang kalam, 8 judul perihal fiqh, 20 judul ihwal ilmu kedokteran, 4 judul perihal ilmu falak, matematika dan astronomi, 2 judul wacana nahu dan sastra[6]. Di antara karya-karyanya yang terkenal, adalah:
  • Tahafut al-Tahafut. Buku yang terkenal dalam lapangan ilmu filsafat dan ilmu kalam. Buku ini ialah pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali terhadap para filosof dan problem-persoalan filsafat dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-falasifah.
  • Al-Kasyf ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid ahl al-Millah. Buku yang menguraikan metode-tata cara demonstratif yang berafiliasi dengan dogma pemeluk agama.
  • Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Buku fiqh Islam yang berisi perbandingan mazhab (aliran-aliran dalam fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing).
  • Fashl al-Maqal Fi Ma Baina al-Himah Wa asy-Syirah Min al-Ittishal. Buku yang menjelaskan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at.[7]
  • Al-Mukhtashar al-Mustashfa fi Ushul al-Ghazali. Ringkasan atas kitab al-Mustashfa al-Ghazali
  • Risalah al-Kharaj. Buku tentang perpajakan
  • Kitab al-Kulliyah fi al-Thibb. Ensiklopedia kedokteran
  • Dhaminah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim. Buku apendiks tentang ilmu qadimnya Tuhan yang terdapat dalam buku Fashl al-Maqal
  • Al-Da’awi. Buku wacana hukum acara di pengadilan
  • Makasih al-Mulk wa al-Murbin al-Muharramah. Buku yang berisi ihwal perusahaan-perusahaan negara dan metode-tata cara ekonomi yang terlarang
  • Durusun fi al-Fiqh. Buku yang membicarakan beberapa persoalan fiqh.
Buku-buku yang disebutkan di atas merupakan karya orisinil dari pemikiran Ibnu Rusyd dalam banyak sekali bidang mirip filsafat, kedokteran, fiqh/ushul fiqh, politik dan sebagainya. Selain itu, Ibnu Rusyd juga menciptakan karya ulasan atau komentar terhadap karya filosof-filosof sebelumnya mirip Ibnu Sina, Plato, Aristoteles, Galen dan Porphiry, seperti: Urjazah fi al-Thibb, Kitab al- Hayawan, Syarh al-Sama’ wa al-A’lam, Syarah Kitab Burhan, Talkhis Kitab al-Akhlaq li Aristhuthalis, Jawami’ Siyasah Aflathun, dan sebagainya.[8]

B. FILSAFAT IBNU RUSYD
Sebagai komentator Aristoteles tak mengherankan jika fatwa Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles dan berupaya mengembalikan anutan Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd populer dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise (filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles kala ke-2 Masehi) dan Thamestius.[9]

Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles walaupun dalam beberapa dilema filsafat dia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya aliran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-bagian Platonisme yang dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh alasannya adalah itu, Ibnu Rusyd dianggap berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya, Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan anggapan-asumsi Aristoteles pada kala dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.[10] Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan bermakna dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menggandakan filsafat Aristoteles. Ibnu Rusyd juga mempunyai pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada abad klasik sampai sekarang.

1. Agama dan Filsafat
Ibnu Rusyd adalah tokoh yang ingin mengharmoniskan agama dan filsafat. Di antaranya tidak terdapat dua kebenaran yang kontradiktif, namun sebuah kebenaran tunggal yang dihadirkan dalam bentuk agama, dan melalui takwil, menciptakan pengetahuan filsafat. Agama yakni bagi setiap orang, sedangkan filsafat hanya bagi mereka yang memiliki kesanggupan-kesanggupan intelektual yang mencukupi. Meskipun demikian, kebenaran yang dijangkau suatu golongan tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang ditemukan kalangan lain.[11]

Seperti al-Kindi, Ibnu Rusyd juga beropini bahwa tujuan filsafat yaitu memperoleh wawasan yang benar dan berbuat benar. Dalam hal ini, filsafat sesuai dengan agama. Sebab tujuan agama-pun tidak lain yaitu untuk menjamin pengetahuan yang benar bagi umat insan dan memperlihatkan jalan yang benar bagi kehidupan yang praktis.[12] Agama dan filsafat yaitu sejalan dan mempunyai tujuan yang sama ialah untuk mencapai wawasan yang benar. Dengan demikian, berfilsafat secara benar dengan menggunakan sistem ilmu mantiq yang benar pula, akan didapat pengetahuan yang tidak berlawanan dengan aliran agama.

2. Tingkat Kemampuan insan
Dalam hal ini Ibnu Rusyd menciptakan perbedaan tingkat kapasitas dan kesanggupan manusia dalam mendapatkan kebenaran menjadi tiga golongan. Mereka adalah golongan yang menggunakan tata cara retorik (khathabi), metode dialektik (jadali) dan tata cara demonstratif (burhani). Metode yang pertama dan kedua dipakai oleh manusia awam, sedangkan sistem yang ketiga merupakan pengkhususan yang diperuntukkan bagi golongan manusia yang tingkat intelektual dan daya kesanggupan berfikirnya tinggi.

Tingkat kesanggupan manusia ini terkait dengan problem pembenaran atau pembuktian atas sesuatu yang dipengaruhi oleh kapasitas intelektualnya. Ibnu Rusyd menjelaskan, bagi manusia, adanya tingkatan pembuktian kebenaran secara burhani, jadali dan khatabi, alasannya kemampuan manusia dalam mendapatkan kebenaran itu berlawanan-beda dan bermacam-macam.[13] Pengelompokan ini, menurut Ibnu Rusyd sesuai dengan semangat al-Qur’an yang mengajarkan umat Islam untuk mengajak manusia kepada kebenaran dengan jalan pesan tersirat, pelajaran yang baik dan debat yang argumentatif.

Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu dengan cara nasihat, pengajaran yang baik dan ajak bicaralah (debat) mereka dengan cara yang bagus pula. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya dan Ia juga lebih tahu siapa yang menerima isyarat . (al-Nahl: 125)

3. Kebahagiaan
Mengenai desain kebahagiaan, Ibnu Rusyd sejalan dengan inspirasi al-Farabi dan Ibnu Sina bahwa ilmu pengetahuan yakni jalan pencapaian dan kebahagiaan spiritual. Derajat kesempurnaan tertinggi yaitu jika seseorang menembus tabir dan melihat dirinya faktor demi aspek di hadapan realitas-realitas. Ibnu Rusyd menolak jika kesederhanaan dan kejumudan orang-orang tasawuf ialah sarana untuk menyendiri dan bekerjasama dengan Tuhan. Dengan demikian dia tidak bisa menerima anggapan kaum sufi bahwa kebahagiaan seseorang mampu diraih tanpa ilmu pengetahuan.[14]

Ibnu Rusyd yakin bahwa konsep kebahagiaan hanya mampu dicapai melalui akal nyata dan ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa sejak bayi dilahirkan, beliau telah membawa kesiapan untuk menerima wawasan-pengetahuan lazim sehingga kalau ia mulai mencar ilmu, maka kesiapan ini menjelma akal kasatmata. Akal ini senantiasa berkembang dan meningkat sampai ia bisa bekerjasama dengan nalar yang tidak ada pada benda dan daripadanya mengambil pancaran ilham. Akal yang telah hingga kepada tahap menerima pancaran inspirasi ialah kesempurnaan tertinggi. Sedangkan jalan yang hendak menuntun untuk mencapainya, ialah perkembangan segala wawasan dan peningkatan persepsi manusia. Karena ilmu wawasan semata-mata yakni jalan kebahagiaan dan kekerabatan dengan alam nalar dan alam ruh.[15]

4. Akal dan Jiwa Manusia
Manusia menurut Ibnu Rusyd, mempunyai dua gambaran yang dalam bahasa Arab disebut ma’ani[16]. Kedua citra itu dinamakan percept (perasaan) dan concept (pikiran). Perasaan yakni citra khusus yang dapat diperoleh dengan pengalaman yang berasal dari materi. Ibnu Rusyd memberi perbedaan antara perasaan dan akal. Pemisahan ini menawarkan kecenderungan Ibnu Rusyd dalam memisahkan antara pengetahuan akali (aqli) dengan pengetahuan inderawi (naqli). Dengan sendirinya kedua wawasan ini berlawanan dalam hal cara insan memperolehnya. Pengetahuan inderawi diperoleh dengan percept (perasaan), sedangkan wawasan aqli diperoleh melalui logika, pemahamannnya dilaksanakan dengan pikiran sehat atau anggapan.

Akal sendiri dibagi menjadi dua jenis, yang pertama disebut nalar praktis dan yang kedua yakni logika teoritis. Akal mudah memiliki fungsi sensasi, di mana akal ini dimiliki oleh semua manusia. Di samping mempunyai fungsi sensasi, nalar simpel juga mempunyai pengalaman dan kenangan. Sedangkan nalar teoritis mempunyai peran untuk mendapatkan pengertian (konsepsi) yang bersifat universal.[17]

C. TANGGAPAN ATAS KRITIK AL-GHAZALI
Seperti dikenali, al-Ghazali dalam buku Tahafut al-Falasifah telah menyerang para filosof. Ada dua puluh problem yang diuraikan al-Ghazali berkenaan dengan kerancuan berfikir mereka. Tiga di antaranya, berdasarkan al-Ghazali, meneyebabkan para filosof telah kufur. Sebagai filosof, Ibnu Rusyd merasa berkewajiban membela para filosof dan aliran mereka dan mendudukkan masalah tersebut pada proporsinya. Untuk itu dia menulis sanggahan berjudul Tahafut al-tahafut. Judul buku ini mengisayaratkan bahwa al-Ghazali lah yang sesungguhnya semrawut dalam berfikirnya.

Tiga persoalan filsafat yang mengakibatkan kekafiran para filosof ialah berhubungan dengan duduk perkara qadimnya alam, pengetahuan Tuhan yang bersifat juz’iyyat, dan kebangkitan jasmani. Berikut ini akan dijelaskan jawaban Ibnu Rusyd kepada kritikan al-Ghazali perihal tiga duduk perkara tersebut.

1. Qadimnya Alam
Ibnu Rusyd menerangkan, perselisihan yang terjadi antara kaum teolog dengan kaum filosof klasik tentang masalah apakah alam semesta ini qadim (ada tanpa permulaan) atau hadits (ada sesudah tiada), lebih cenderung kepada soal penamaan belaka. Sebabnya, mereka sendiri pada dasarnya setuju perihal adanya tiga macam wujud: dua sisi wujud dan satu yang menengahi keduanya. Para teolog maupun filosof setuju dalam menunjukkan sebutan nama terhadap kedua sisi wujud itu, namun mereka berselisih tentang wujud pertengahan. Pada wujud yang pertengahan inilah alam semesta menempatkan posisinya.

Sisi wujud yang pertama adalah: Wujud yang tercipta dari sesuatu di luar dirinya sendiri dan berasal dari sesuatu yang berbeda, yang tercipta dari materi (bahan) tertentu dan didahului oleh zaman. Inilah kondisi benda-benda wujud yang tertangkap indera mirip air, udara, bumi, hewan flora dan sebagainya. Wujud ini disepakati untuk menamakannya selaku sesuatu yang muhdatsah (tercipta sehabis tidak ada).[18]

Sisi wujud yang berseberangan dengan segi tersebut di atas ialah: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak disebabkan oleh sesuatu apapun juga dan tidak didahului oleh zaman. Sisi wujud ini juga disepakati, untuk menamakannya selaku yang qadim (ada tanpa awal). Wujud ini adalah Allah Ta’ala, penggerak sesuatu yang ada.[19]

Adapun segi wujud yang di antara keduanya ialah: wujud yang keberadaannya tidak berasal dari sesuatu apapun, tidak didahului oleh zaman, akan namun keberadaannya disebabkan oleh sebuah penggerak. Sisi wujud ini adalah alam semesta dengan segala perangkatnya. Mereka semua baiklah adanya tiga sifat tersebut pada alam semesta. Para teolog mengakui bahwa zaman tidak mendahului alam semesta, alasannya adalah zaman yaitu sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Kaprikornus letak permasalahannya ialah segi wujud yang pertengahan ini menempati dan mempunyai persamaan dengan wujud yang muhdats maupun wujud yang qadim.[20]

2. Pengetahuan Tuhan
Dalam duduk perkara pengetahuan Tuhan, al-Ghazali menuduh para filosof berpendirian bahwa Tuhan tidak mengenali hal-hal yang kecil , kecuali dengan cara yang kulliyat (biasa , universal). Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali ini dengan memastikan bahwa al-Ghazali telah salah paham terhadap usulan filosof. Ibnu Rusyd meluruskan, pertimbangan filosof yaitu bahwa wawasan Tuhan tentang detail (juz’iyyat) berlawanan dengan wawasan manusia.[21] Pengetahuan insan yakni mengambil bentuk imbas, ialah lewat yang ditangkapnya oleh panca indera, sedangkan wawasan Tuhan ialah alasannya bagi terwujudnya rincian tersebut. Karena itu, wawasan manusia bersifat baharu dan wawasan Tuhan bersifat qadim, adalah semenjak azalinya. Tuhan mengenali segala hal yang terjadi di alam ini. Namun begitu, pengetahuan Tuhan tidak mampu diberi sifat-sifat kulliyat atau juz’iyyat, sebab sifat-sifat yang demikian hanya dapat dikaitkan terhadap makhluk saja. Secara pasti, pengetahuan Tuhan tidak mampu diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.

3. Kebangkitan Jasmani
Al-Ghazali menerangkan dalam Tahafut al-Falasifah ialah para filosof menyampaikan bahwa kebangkitan di akhirat nanti yakni bersifat rohani. Yang akan mendapatkan akhir baik atau buruk atas perbuatan insan selama di dunia ialah rohaninya bukan jasmani.[22]

Menanggapi masalah di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kebangkitan rohani berdasarkan pendapat para filosof ialah ta’wil (interpretasi) yang tidak butuhdipermasalahkan karena yang paling penting bahwa para filosof juga meyakini adanya hari kebangkitan dan tidak mengingkarinya. Pengingkaran kepada hari kebangkitan yang dapat dikategorikan kafir, bukan pada keberadaan kebangkitannya.[23] Baik para filosof maupun sufi setuju bahwa puncak kebahagiaan ialah pada rohaninya dan bukan pada materinya. Meskipun demikian, Ibnu Rusyd sendiri tidak menolak kemungkinan adanya kebangkitan jasmani juga, alasannya adalah tidak ada yang mustahil dilakukan oleh Allah SWT. Bagi orang awam (khatabi, jadali) yang masih berfikir sederhana dan belum mampu menangkap pesan-pesan al-Qur’an secara abstrak, penggambaran jasmani adalah untuk memotivasi mereka agar melakukan tindakan baik dan meninggalkan tindakan jahat.

D. GERAKAN AVERROISME DI EROPA
Sebagaimana dikenali sebelumnya, ajaran Ibnu Rusyd masuk ke Barat lewat gerakan penerjemahan karya-karyanya. Ibnu Rusyd begitu kuat bagi orang-orang kristen Eropa alasannya adalah diketahui selaku “komentator Aristoteles” yang menjinjing semangat rasional dan pencerahan bagi mereka. Melalui terjemahan karya-karya bahasa Arabnya ke dalam bahasa Ibrani dan Latin, para sarjana Barat era pertengahan banyak dipengaruhi persepsi-persepsi filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd.

Pengaruh Ibnu Rusyd ini makin memberikan bentuknya dengan munculnya gerakan Averroisme di Barat yang menjajal mengembangkan pemikiran -ide rasional Ibnu Rusyd. Averroisme ialah ungkapan yang dipakai untuk memperlihatkan penafsiran filsafat Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-Latin.[24] Pada awalnya istilah ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan terhadap pendukungnya. Tak seorang pun yang berani dengan tegas menyatakan dirinya selaku pendukung Averroisme. Barulah sehabis masa Johannes Jandun (1328) yang pertama kali memastikan dirinya secara terbuka sebagai pengikut Averroisme dan diikuti oleh Urban dari Bologna (1334) serta Paul dari Venesia (1429), para penunjang fatwa Ibnu Rusyd lainnya mulai berani secara terang-terangan menyatakan pendirian mereka.[25]

Tokoh yang populer selaku penggagas Averroisme yaitu Siger de Brabant (1235-1282) dan dibarengi oleh murid-muridnya seperti Boethius de Decie, Berner van Nijvel dan Antonius van Parma.[26] Para mahasiswa tersebut mempelajari, meneliti dan menelaah karya-karya ulasan Ibnu Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Landasan rasionalitas yang dikembangkan Ibnu Rusyd ternyata sangat menarik perhatian mereka. Timbul kesadaran di kalangan sarjana-sarjana Barat untuk memaksimalkan penggunaan nalar dan meninggalkan paham-paham yang bertentangan dengan semangat rasional.

Ajaran-anutan mereka yang terilhami oleh pemikiran Ibnu Rusyd antara lain yakni persepsi mereka ihwal pembuktian eksistensi Tuhan dengan teori gerak. Sama dengan Ibnu Rusyd, mereka memandang bahwa segala sesuatu di dunia ini mesti ada yang menggerakkannya. Karena tidak mungkin ada rentetan gerak yang tiada hentinya itu tanpa ada penggeraknya, maka sampailah mereka pada kesimpulan adanya penggerak utama. Itulah yang dalam bahasa Ibnu Rusyd disebut al-Muharrik al-Awwal (Tuhan) atau Prima Causa berdasarkan Aristoteles. Berdasarkan pandangan ini, mereka juga mengikuti Ibnu Rusyd dalam persepsi mereka perihal teori kausalitas. Meskipun Tuhan ialah penyebab segala sesuatu, Tuhan hanyalah membuat logika pertama saja, sedangkan secara seterusnya diciptakan oleh nalar-logika selanjutnya. Inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd dengan hukum-hukum alam terhadap penciptaan Tuhan. Makara, sebagaimana Ibnu Rusyd, mereka memahami bahwa penciptaan Tuhan terhadap segala sesuatu bukanlah secara eksklusif, tetapi lewat hukum-aturan alam yang tetap yang sudah diciptakan-Nya kepada segala ciptaan-Nya tersebut

Pada tahun 1270, paham Averroisme yang diajarkan Siger van Brabant dan murid-muridnya diharamkan oleh gereja. Para penguasa Kristen ketika itu menganggap anutan Ibnu Rusyd berbahaya bagi iman orang Katolik. Lalu, pada tahun 1277 pandangan-pandangan Averroisme secara resmi dilarang di Paris melalui suatu undang-undang yang dikeluarkan gereja. Siger van Brabant sendiri risikonya dieksekusi mati oleh gereja tujuh tahun kemudian. Pada tahun-tahun selanjutnya, Paus semakin meningkatkan aksinya menentang universitas yang mengajarkan anutan Aristoteles dan Ibnu Rusyd. Banyak tokoh-tokoh Averroisme dieksekusi dan buku-buku karangan Ibnu Rusyd dibakar. Namun demikian, larangan dan kutukan gereja kepada Averroisme tidak menciptakan surut kemajuan gerakan intelektual ini, sebaliknya malah makin menyebar ke berbagai daerah yang lain di Eropa.[27]

Melihat terhadap kondisi di atas, maka di lakukan usaha-usaha untuk mempertahankan dominasi mutlak gereja dan menolak gerakan Averroisme yang dikerjakan oleh tokoh-tokoh gereja. Meskipun dalam beberapa sisi mereka dapat menerima prinsip-prinsip Aristotelian yang dikembangkan Ibnu Rusyd, dalam beberapa hal mereka menolak prinsip-prinsip Aristotelian dan “menasranikannya” mirip yang dikerjakan oleh Arbertus the Great dan muridnya Thomas Aquinas. Keduanya yakni anggota ordo Dominican, sebuah ordo imam Katolik yang didirikan oleh St. Dominicus (m. 1221).[28]

Gerakan Averroisme yang ditandai oleh semangat rasional inilah yang yang melahirkan renaisans di Eropa. Tokoh-tokoh Averroisme meyakini kebenaran pandangan Ibnu Rusyd ihwal keselarasan antara akal dan wahyu, filsafat dan agama, menimbulkan kesadaran bagi mereka untuk mempelajari filsafat dan ilmu wawasan sebagai warisan dari peradaban Yunani dan Islam.

PENUTUP
Perlu disampaikan bahwa uraian-uraian anutan filsafat Ibnu Rusyd di atas belum sepenuhnya dapat diterangkan secara terperinci dan mendalam. Namun dapat dimengerti bahwa Ibnu Rusyd merupakan filosof muslim yang kaya dengan khasanah anutan-ajaran yang filosofis dan ilmiah, sehingga ajaran dan karya-karyanya tidak hanya dihargai di dunia Islam namun juga di dunia Barat yang ditandai dengan munculnya gerakan Averroisme di Eropa.

DAFTAR PUSTAKA
  • Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Pustaka Firdaus, cetakan kedelapan, Jakarta, 1997
  • Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996
  • C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Yayasan Obor, Jakarta, 1991
  • Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995
  • Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-1, Dar al-Ma’berilmu, Kairo, 1968
  • _____________, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Dar al-Ma’berilmu, Kairo, 1976
  • Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat Dengan Syari’at, judul asli, Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, terj. Ahmad Shodiq Noor, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996
  • Mahmud Qasim, Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Dar al-Ma’pandai, Kairo, 1973
  • Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983
  • Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2004
  • Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, Rajawali, Jakarta, 1989
  • Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1996
______________
[1] Mahmud Qasim, Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyah, Dar al-Ma’pandai, Kairo, 1973, h. 112
[2] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, penyunting: Sutardji Calzoum Bachri, Pustaka Firdaus, cetakan kedelapan, Jakarta, 1997, h. 107
[3] Ibid, h. 108
[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 165
[5] Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-2, Dar al-Ma’terpelajar, Kairo, 1976, h. 84
[6] Ernest Renan, Ibn Rusyd wa al-Rusydiyah, terj. ‘Adil Zu’aitir, (Kairo: Dar ihya’ al-Kitab al-‘Arabiyah, 1957) sebagaimana dikutip oleh; Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2004, h. 26
[7] Ahmad Hanafi., h. 165-167
[8] Ibid., h. 31-32
[9] Ahmad Fuad al-Ahwani., h. 108
[10] Sebagaimana dikisahkan oleh murid Ibnu Rusyd yang berjulukan Bendud bin Yahya al-Qurthubi bahwa Ibnu Rusyd bercerita: “Pada suatu hari Ibnu Thufail memanggilku datang, lantas berkata, “hari ini saya mendengar, Amirul Mukminin mengeluh alasannya adalah gusar membaca rumus-rumus filsafat Aristoteles, atau rumus dari orang-orang yang menerjemahkannya dan menyebut bahwa rumusan-rumusan itu tidak dapat dipahaminya. Ia mengatakan, seandainya ada orang yang sanggup menyimpulkan dan menerangkan rumus-rumus itu, tentu orang banyak akan mudah pula memahaminya. Ibnu Thufail melanjutkan: jika anda sanggup, kerjakanlah. Besar harapanku, anda bisa melaksanakan alasannya adalah saya tahu kecerdasan anda, kejernihan pandangan dan kuatnya minat anda pada ilmu filsafat. Aku sendiri (Ibnu Thufail) tidak bisa melaksanakan pekerjaan itu dan menumpahkan segenap perhatianku pada problem yang lebih penting”. Ibnu Rusyd mengakhiri ceritanya: “itulah yang mendorong diriku membuat kesimpulan dari buku-buku filosof Aristoteles”. Lihat, Ahmad Fuad al-Ahwani, h. 110
[11] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, terj. Suharsono & Djamaluddin M.Z., Pustaka pelajar, Yogyakarta, 1996, h. 55
[12] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, terj. Hasan Basari, Yayasan Obor, Jakarta, 1991, h. 85
[13] Ibnu Rusyd, Kaitan Filsafat dengan Syari’at, judul orisinil, Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal,terj. Ahmad Shodiq Noor, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996, h. 17
[14] Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, Juz-1, Dar al-Ma’pandai, Kairo, 1968, h. 56
[15] Ibid.,
[16] Miska Muhammad Amin, epitemologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983, h. 61
[17] Ibid.,
[18] Ibnu Rusyd, kaitan., h. 32
[19] Ibid., h. 33
[20] Ibid., h. 34
[21] Ibid., h. 29, lihat juga: Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. M. Amin Abdullah, Rajawali, Jakarta, 1989, h. 161
[22] al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Mesir, Dar al-ma’pandai) h. 206, sebagaimana dikutip oleh, Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd., h. 50
[23] Ibnu Rusyd, Kaitan., h. 47
[24] Averroisme atau al-Rusydiyah al-Latiniyyah yakni gerakan intelektual yang meningkat di Barat (Eropa) pada periode ke-14 sampai masa ke-17. pada prinsipnya gerakan Averroisme berusaha membuatkan ide anutan Ibnu Rusyd yang rasional, filosofis dan ilmiah. Averroisme mendorong lahirnya renaisans di Barat yang pada gilirannya menjinjing orang-orang Barat pada zaman modern dengan kemajuannya yang pesat dalam bidang filsafat, sains, dan teknologi. Lihat, Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1995, h. 116
[25] Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd., h. 96
[26] Ibid., h. 97
[27] Ibid., h. 99
[28] Ibid.,

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon