Kamis, 10 September 2020

Makalah Ideologi Dan Praktek Kebudayaan

Kata ‘ideologi’ memang memiliki konotasi yang sedemikian jelek dalam kehidupan sehari-hari. Ia diasosiasikan dengan penipuan, mistifikasi, pembodohan, dan pertentangan politik. Namanya pun lekat dengan irasionalitas, emosional, dan fanatisme buta. Ideologi lekat dengan memori kekerasan dan pertentangan perang antara blok Barat yang dikomandani AS dan blok Timur dibawah kontrol US. Apalagi sejrah perang ideologi telah memakan korban jutaan manusia dalam perang dunia kedua, ditambah jutaan lainnya korban pemerintahan fasisme Nazi Jerman pimpinan Hitler. Usai perang dunia yang dimenangkan blok Barat dan kemenangan paham neoliberalisme dalam ekonomi jual beli, lalu para pengamat pun buru-buru mengklaim bahwa abad ke-20 ini ialah periode berakhirnya ideologi-ideologi dunia. Suatu kala yang penuh diwarnai dengan kekerasan, intrik, dan konflik politik.

Pandangan pejoratif wacana konsep ideologi ini bekerjsama mampu ditelusuri dari sejarah ungkapan ideologi sendiri. Istilah ini yakni derivasi dari ideologues yang timbul paska Revolusi Perancis. Napoleon Bonaparte menggunakan ungkapan ideologi untuk menyerang musuh-lawan politiknya yang memiliki ide-pandangan baru yang tidak realistik berkaitan dengan kepenntingan-kepentingan negara Perancis baru ketika itu.[1]

Selanjutnya Marx dan Engels menawarkan elaborasi yang sistematis tentang ideologi. Warna pejoratif pun masih begitu melekat dalam pandangan mereka. Istilah ideologi digunakan Marx untuk menyerang dan menyingkap distorsi, ilusi dan inversi yang membentuk idealisme filosofis tradisi Hegelian German. Dengan mendasarkan diri pada sistem materialisme historis, Marx mengkritik para ideolog German ini bahwa fikiran-anggapan mereka teralienasi dari kehidupan. Marx berpendirian, kapitalisme telah melahirkan pengertian/wawasan yang tidak merefleksikan realitas bantu-membantu (false knowledge), ialah realitas pertentangan kelas antara kaum borjuis dan proletar dalam masyarakat industrial-kapitalistik.[2]

Pengetahuan yang tidak merefleksikan realitas atau kesadaran yang teralenasi dari praksis inilah yang disebut dengan ideologi. Ideologi merupakan representasi yang keliru wacana insan dan dunia sebab menganggap suasana yang ada sebagai natural, ahistoris, dan memistifikasi sebuah tatanan sosial. Berkaitan dengan penduduk , ideologi ialah bab dari superstruktur yang melayani kekuatan substruktur ekonomi. Ideologi melegitimasi relasi sosial dan ekonomi, sekaligus senjata kelas berkuasa.[3]

Pandangan klasik wacana ideologi ini kini menuai kritik tajam. Pandangan klasik dan pejoratif wacana ideologi telah mengaburkan fakta, bahwa ideologi bahu-membahu beroperasi dalam ranah kehidupan sehari-hari, bahkan lebih dominan dalam sebuah tatanan sosial tertentu. Bahkan ideologi sebagai praktek kebudayaan relatif mempunyai otonominya sendiri, dan tidak bisa direduksi begitu saja kekuatan-kekuatan produksi dan kelompok ekonomi. Dalam kebudayaan sehari-hari, dalam seni pentasrakyat, Tayub, ketoprak atau seni ludruk, bahkan dalam ritual istighasah,[4]

Misalnya, bisa bersifat ideologis, atau dimasuki oleh aneka macam kepentingan dan kekuasaan. Ideologi tidak lagi terpusat dan menjadi iktikad politik person kekuasaan, melainkan tersebar dalam ranah keseharian, sebagaimana kekuasaan yang tersebar dalam seluruh tatanan sosial.

Memahami fenomena ini, aku banyak memanfaatkan insight para pemikir dan filsuf (post)strukturalis, terutama Louis Althusser[5] dan Michel Foucault[6]. Sekaligus insihgt dari disiplin antropologi dan sejarah yang ikut menyumbang hal yang amat penting dalam perkembangan konsep ideologi dan kebudayaan. 

Foucault dan Produksi Kekuasaan
Kritik tajam atas persepsi ideologi Marx ini dijalankan oleh Michel Foucault. Menurut Foucault, Marx masih terjerat mimpi dan kerinduan akan sebentuk kebenaran atau pengetahuan yang bebas dari distorsi, tipuan dan ilusi. Ia termakan untuk mempertentangkan antara false knowledge dan true knowledge. Bahwa gagasan atau wawasan yang merefleksikan realitaslah yang benar. Di sini Marx menilai realitas lebih prior dari pemikiran dan kehidupan mental bersifat sekunder dari determinan ekonomi material. Sedangkan baginya ideologi mesti dipertentangkan dengan apa yang dianggap sebagai kebenaran.[7]

Menurut Foucault, ihwal-perihal, wawasan-wawasan beserta institusi penopangnya pada dirinya sendiri tidaklah memuat kategori benar atau salah. Karena setiap masyarakat dan setiap zaman memiliki bentuk-bentuk wacananya sendiri yang di dalamnya kebenaran-kebenaran itu dibangun. Kebenaran ialah capaian sistem-metode wawasan yang menguasai tatanan sosial yang berisi teknik-teknik, prosedur-mekanisme nilai, tipe-tipe wacana, dan teknologi yang dikembangkan.

Masalah “kebenaran” selalu terkait dengan korelasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik. “Kebenaran tidak di luar kekuasaan”[8]. Karena kebenaran berada dalam banyak cara dan praktek-praktek kehidupan insan dalam mengontrol diri mereka dan orang lain. Kebenaran diproduksi dengan pembentukan wilayah-kawasan di mana praktek benar dan salah dapat diciptakan dalam sekali aturan dan terkait. Karenanya, setiap ilmu wawasan mempunyai rezim kebenarannya sendiri. 

Bagaimana kekuasaan dan kebenaran itu bekerjasama satu sama lain? Menurut Foucault, kedua ada di dalam praktek-praktek diskursif, kawasan di mana ucapan, tindakan, hukum-aturan yang diterapkan, argumentasi-argumentasi yang diberikan bertemu dan saling berhubungan, serta benar dan salah diputuskan di dalamnya. Melalui penelitian arkeologinya, Foucault menyelidiki dokumen-dokumen, tempat, serta bermacam-macam ritual pekerja dan publik, kawasan di mana genealogi bentuk-bentuk sejarah (”teknologi etika”, “rezim rasionalitas”) itu hadir: Seperti: dalam praktek pengobatan klinis, eksekusi penjara sebagai praktek menghukum umumnya; dan bagaimana orang ajaib dianggap sakit mental. Melalui bukti-bukti sejarah ini, Foucault menunjuk langsung pada praktek-praktek kekuasaan. Tipe praktek-praktek ini tidak cuma diatur oleh institusi, diputuskan oleh ideologi dan dituntun oleh kondisi pragmatis, tapi juga mensugesti regularitas mereka, nalar, taktik pembuktian diri dan argumentasi-argumentasi mereka. Dengan demikian mampu dikatakan bahwa ideologi bahu-membahu berjalin-kelindan dengan praktek-praktek diskursif dalam masyarakat di mana relasi kekuasaan berjalan dan kebenaran diciptakan.

Althusser dan Aparatus Ideologis
Jika Foucault menawarkan bahwa kekuasaan tersebar dalam kekerabatan sosial lewat proses diskursif, Althusser memberi santunan pada bagaimana ideologi beroperasi dan bagaimana ideologi direproduksi dan dipertahankan.

Pertama-tama dengan menolak Marx, beliau menyatakan bahwa mustahil kita bisa menangkap realitas sebetulnya karena kita tergantung pada bahasa. Paling-paling kita cuma bisa merasakan meski bukan ‘keadaan real’, cara-cara di mana kita sudah dibuat dalam ideologi lewat proses-proses pengenalan yang kompleks. Menurut Althusser, ideologi tidak mencerminkan dunia real, melainkan merepresentasikan “kekerabatan-kekerabatan imaginer” individu-individu terhadap dunia real. Bagi Althusser ideologi merupakan ciri yang diperlukan penduduk sejauh penduduk mampu memperlihatkan makna untuk membentuk anggotanya dan merubah keadaan eksistensialnya. Masyarakat insan menyembunyikan ideologi selaku unsur dan atmosfir yang sungguh diperlukan bagi nafas dan kehidupan sejarah mereka.[9]

Kedua, ideologi mempunyai eksistensi material, yaitu aparatus-aparatus dan praktek-prakteknya sehingga di dalamnya ideologi mampu hidup. Dalam aparatus dan praktek-praktek inilah ideologi diyakini dan dihayati oleh semua kelompok, dan terus mereproduksi keadaan-keadaan dan hubungan tatanan masyarakat yang telah ada, adalah tatanan masyarakat industri kapitalis. Menurutnya, semoga ideologi diterima, diyakini dan dihayati oleh semua kelompok, maka ia mesti dimaterialkan. Ideologi hidup dalam praktek-praktek kelompok kecil, dalam citraan, dan obyek yang digunakan dan ditunjuk masyarakat, dan dalam organisasi-organisasi. Misalnya, pada sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi jual beli, media massa, olahraga, pengadilan, partai politik, universitas dan seterusnya. Ideologi, menurut Althusser, eksis dalam dan melalui lembaga-kembaga ini. Aparatus adalah eksistensi material ideologi.[10]

Ketiga, ideologi membentuk individu-individu konkrit menjadi subyek.[11]
Dalam aparatus-aparatus, ideologi disosialisasikan dan diinterpelasi dalam diri subyek. Interpelasi subyek ini kemudian membentuk realitas nampak pada kita sebagai ‘benar’ dan ‘jelas’. Misalnya begini: saat kita bersepeda motor, datang-tiba ada bunyi peluit di belakang kita. Serentak terbayang dalam benak kita: ada polisi dan ada pelanggaran yang mungkin kita kerjakan. Lalu kita memalingkan tampang dan berbalik. Hadirnya disposisi perihal ‘benar/salah’, atau ‘melanggar/tidak melanggar’ serta adanya ketundukan atas ihwal otoritas (polisi) intinya sudah memberikan datangnya sebuah ideologi. Ideologi menggerakkan diri kita secara nir-sadar, lewat proses interpelasi subyektif. Jikalau seandainya kita tidak mengakui bahwa interaksi dengan polisi yakni ideologis, justeru di situlah kekuatan ideologi. Yakni ‘denegasi’ mudah dari huruf ideologi sendiri. Ideologi melakukan pekerjaan secara nir-sadar dan menjadi bagian hidup dan pola hidup sehari-hari.

Aparatus-aparatus ideologis ini merupakan alat hegemoni[12]yang paling canggih untuk melanggengkan kekuasaan, melestarikan struktur kelas secara umum dikuasai, dan mengabadikan penindasan. Caranya, dengan mengusahakan sedapat mungkin biar ideologi itu diyakini oleh seluruh kelas dan golongan, baik kelas berkuasa maupun yang dikuasai. Menurut Althusser, di sinilah ciri-ciri ideologi yang membingungkan itu memainkan peran. “Fungsi kelas ideologi ialah bahwa ideologi yang berkuasa ialah ideologi dari kelas yang berkuasa; Ideologi berkuasa menolong kelas penguasa dalam menguasai kelas tereksploitasi sekaligus memapankan dirinya sendiri sebagai kelas penguasa”.[13]

Teori ideologi sebagai penipuan penguasa memperlihatkan bahwa mereka yang berada dalam posisi dominan bekerjsama sama sekali tidak hadir secara alamiah atau sebab keahliannya. Karena bila benar demikian maka tidak lagi diperlukan ideologi, juga tak perlu menjelaskan atau mempertahankan eksploitasi mereka. Sebaliknya ini memperlihatkan persistensi stratifikasi sosial-politik dan ideologi mayoritas memerlukan legitimasi dua belah pihak dari penguasa dan yang dikuasai. Bila ideologi ini diterima oleh kedua pihak, ini artinya struktur kekuasaan dan privelegi yang timpang itu bisa dilestarikan. Dalam konteks ini ideologi sering memakai “bahasa resiprositas”. Dia mencontohkan bahwa imperialisme menganggap dirinya sah karena merasa bertanggng jawab atau berjasa membangun unit-unit sosial dan pentingnya relasi sosial yang serasi.[14]

Apa yang dikemukakan Althusser ini menawarkan insight gres wacana gagasan bagaimana ideologi itu dibuat dan pertahankan serta apa imbas-efeknya. Misalnya: bagaimana perbedaan kelas diinstitusionalisasikan melalui lembaga-lembaga sosial seperti sekolah; bagaimana institusi pendidikan itu menempatkan masyarakat dalam korelasi kelas-kelas yang ada; bagaimana mitos tentang persamaan individu, persamaan kesempatan, dan prestasi individu dimasukkan dalam teks dan praktek program sekolah dan kebijakan pendidikan nasional. Mitos-mitos kesamaan yang tumbuh dalam “buatan ketaksamaan” ini (buatan ketidaksetaraan kelas dan kelomopok sosial, diskriminasi gender, misalnya) menawarkan ide-gagasan yang ideologis.[15] Fungsi ideologi lainnya yaitu menghubungkan masyarakat satu sama lain, dengan suatu dunia dan khususnya diri mereka sendiri. Ideologi memberikan identitas tertentu.[16]

Misalnya, kalau seorang individu mengimani Tuhan kemudian pergi sembahyang secara terencana, mengakui dosa-dosanya dan seterusnya; iman itu kemudian direalisasikan dalam praktek-praktek tertentu yang dikontrol oleh ritual-ritual dengan menawarkan upacara-upacara yang melibatkan gerak dan sikap tubuhnya selaku mulut kekuasaan yang saling terkait serta berhubungan dengan aparatus ideologis.

Dari acuan-acuan di atas jelaslah bahwa sebuah gagasan memuat sekaligus langkah-langkah, sentimen, dan gesturenya. Gagasan-gagasan itu hidup dalam tindakan-langkah-langkah. Tindakan ini lalu menjadi praktik sehari-hari yang dikendalikan oleh ritual yang dia kerjakan. Tiga hal ini (pemikiran , praktek dan ritual) ialah faktor material dari aparatus ideologis. Dalam aparatus itu ideologi bekerja, memproduksi subyektifitas, dan memastikan identitas perihal siapa kita bahu-membahu.

Ideologi selaku Praktek Kebudayaan
Semakin terperinci sekarang, pemikiran -ide Althusser dan Foucault di atas memberi saham besar bagi ajaran baru perihal desain ideologi. Ideologi tidak lagi dilihat selaku salah atau benar, tetapi justeru menunjukkan kerangka dasar mendasar bagi individu dalam menafsirkan pengalaman dan ‘hidup’ sesuai dengan keadaan mereka. Kerangka dasar ini tidak cuma bersifat mental, tapi eksis selaku praktis hidup golongan sehari-hari. Dengan menganggap ideologi selaku praktek-praktek material atau praktek budaya, maka kita mampu mengatakan bahwa bahwasanya ideologi itu hidup bergerak dan karena itu pula insan sendiri selalu hidup dalam sebuah ideologi, di dalam representasi tertentu dari dunianya.

Dalam praktek-praktek budaya dan kebiasaan-kebiasaan sehari-hari inilah ideologi bekerjsama direproduksi. Yakni, lewat aparatus-aparatus ideologis sebagaimana ditegaskan oleh Althusser. Jika demikian, mudah ideologi memasuki seluruh ruang dalam kehidupan sehari-hari kita secara nir-sadar. Ideologi menjadi bab organik dari seluruh totalitas sosial dan dalam aktifitas keseharian.[17]

Karena unit-unit sosial ialah bentukan ideologis, produk dari formasi diskursif kekuasaan (menurut Foucault) atau imbas-efek dari apparatus ideologis yang beragam (dalam bahasa Althusser), maka untuk mengetahui totalitas sosial dan budaya ini membutuhkan “eksegesis” sebagaimana teks-teks sejarah dan sastra.

Pandangan bahwa budaya dan ideologi merupakan fenomana keseharian ini tidak lantas berarti cengkeraman ideologi sudah lemah, atau mungkin dianggap telah selsai. Justeru ideologi dan kekuasaan sudah mencengkeram seluruh tatanan sosial secara lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan apa yang selama ini dibayangkan. Ideologi beroperasi di semua lini dan diproduksi terus-menerus dalam ritual-ritual dan asosiasi-perkumpulan, kesenian-kesenian, dan citraan-citraan ideologis di mana representasi-representasi dan kategori-klasifikasi dibangkitkan dan disebarkan. Oleh sebab itu, kini ideologi tidak lagi bisa dipahami sekadar selaku produk kelas berkuasa atau efek dari kekuatan-kekuatan buatan. Melainkan hasil dari kombinasi aneka macam elemen lain dan kekuasaan yang kompleks dan tersebar.

Di dalam diskursus kebudayaan canggih, sebagaimana persepsi Stuart Hall, kebudayaan bantu-membantu tidak lagi bisa diketahui sebagai cerminan praktek-praktek lain di dunia idea. Melainkan ia sendiri yaitu sebuah praktek, yakni praktek “penandaan” yang menghasilkan makna. Makara bagi kaum strukturalis dan post-strukturalis, penitikberatan studi kebudayaan kini bergeser dari masalah isi budaya ke arah tipe-tipe penataan (ordering), dari pertanyaan tentang apa ke bagaimana metode-tata cara budaya itu.[18]

Misalnya, dalam periode globalisasi yang ditandai dengan pertumbuhan teknologi dan fasilitas komunikasi sekarang ini, penduduk sungguh-sungguhdicekoki oleh produksi konsumsi. Di sini kekuatan modal menghadirkan kekuasaan representasi lewat kuasa tanda dan simbol: dalam iklan dan mode, misalnya. Konsekuensi politiknya yaitu bahwa seluruh tatanan sosial sesungguhnya yaitu hasil sebuah konstruksi saja dari, dan serentak dengan, kekuasaan modal yang dibuat secara terus menerus.

Singkatnya, ideologi sekarang ini ialah praktek budaya; suatu imbas yang bersifat kultural dan terkait dengan institusi-institusi, kelompok-kelompok, dan struktur-struktur tertentu. Ideologi beroperasi secara ‘tersebar’ (decentered) dan menghadirkan dirinya dalam ‘ideologi-sebagai-kebudayaan.’ Artinya, ideologi berada dalam kompleksitas korelasi-relasi antara aneka macam bentuk kebudayaan (wawasan, citraan, dan lain-lain) dan institusi-institusinya, serta tentang-wacana dan aparatus-aparatusnya.

Lalu pertanyaannya jika kebudayaan sehari-hari tidak lepas dari ideologi, bagaimana dengan sains ilmiah. Apakah dia juga bersifat ideologis? Foucault memastikan bahwa korelasi-kekerabatan kekuasaan tidak berada di luar tipe-tipe korelasi-relasi seperti proses ekonomi, relasi pengetahuan, korelasi seksual, dan lain-lain. Melainkan kekuasaan justeru imanen dalam proses kekerabatan itu.[19]

Kekuasaan yaitu bermacam-macam korelasi-kekerabatan kekuatan yang beroperasi dan membentuk organisasi dalam ruang itu. Dengan demikian, sains sosial sekarang juga mesti dilihat selaku konfigurasi kekuatan-kekuatan itu yang membentuk landscape modernitas dan modernitas akhir. Sains sosial sendiri merupakan kekuatan dan bentuk kebudayaan yang tak bebas dari kepentingan. Demikian juga sains alam. Ia juga tak lepas dari kepentingan-kepentingan atau konsensus komunitas ilmuwan.

Dari uraian di atas makin jelas kini betapa besar dukungan kaum (post) strukturalis utamanya Louis Althusser dan Michel Foucault dalam memperkaya pemikiran perihal ideologi dan kebudayaan. Keduanya membuka tabir beroperasinya ideologi dengan mempertimbangkan kembali kekuasaan, cara kerja, dan manifestasi-manifestasinya, tak terkecuali dalam sains sosial. Tidak ada batasan lokasi ideologi. Ideologi tidak cuma ada dalam kolektifitas penduduk borjuis atau dalam struktur-struktur kekayaan dan kerja mereka, melainkan tersebar ke seluruh tatanan sosial. Ia bukan hanya bersifat mental, tapi juga bereksistensi material dan historis. Ada keterkaitan antara pengetahuan dan institusi-institusi, bidang-bidang wawasan dan praktek-praktek kebudayaan selaku tempat aneka macam kekuasaan (sosial, ekonomi, politik) diproduksi. 

Kesimpulan
Sekarang ini kita tidak bisa lagi mempertimbangkan ideologi dan cara kerjanya dalam pemahaman false consciousness atau memperlawankannya dengan sains, sebagaimana kaum marxis klasik lakukan. Ideologi selaku pengetahuan-pengetahuan yang dilakukan demi suatu kepentingan justeru menjadi praktek kebudayaan sehari-hari yang memberikan orientasi dan identitas sebuah golongan. Ideologi tersebar sebagaimana kekuasaan yang tersebar dalam praktek-praktek diskursif kehidupan.

Ideologi masuk dalam keseharian kita, dalam jaring-jaring kehidupan. Dengan meminjam kajian tentang mitos dan tanda, bisa dikatakan bahwa kalau budaya ialah metode simbol yang terdiri dari berbagai sistem tanda, sementara penanda-penanda sendiri bersifat arbriter sebagaimana Barthes katakan, maka kita sungguh bisa menyaksikan bagaimana suatu kebudayaan dan segala bentuk ritual dan hidup sehari-hari menjadi arena pertarungan ideologi untuk memainkan kuasanya. Kebudayaan yang ialah konvensi sosial adalah sasaran sistematik untuk dibuat seakan-akan ilmiah, menjadi mitos.[20] Membongkar hukum-aturan atau arahan-arahan dibalik mitos inilah tugas studi kebudayaan sekarang ini.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon