Minggu, 20 September 2020

Makalah Fatwa Aturan Islam Di Kelompok Ahlul Hadis

BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Muhammad Husein Hanafi, kurun tabi’in[1] diperkirakan timbul pada kala awal berdirinya Bani Umayyah dan selsai pada permulaan masa ke-II hijriah.[2] Dengan demikian priode ini ialah masa transisi antara periode apra teman dengan timbulnya pemikiran-pedoman hukum yang sangat marak dalam dunia Islam.

Pada masa ini, dikenal muncul dua kecenderungan sistem dalam pelegislasian aturan Islam. Pertama ialah ajaran yang condong menawarkan kelonggaran saat memutuskan hukum sebuah persoalan dan sistem ijtihadnya banyak berorientasi kepada daypikir (ra’yu), qiyas serta kajian kepada maksud dan tujuan diturunkannya syari’at Islam. Kedua adalah fatwa yang condong bersifat ketat dikala memutuskan hukum sebuah persoalan karena lebih mengedepankan hadis ketimbang ra’yu. Kelompok pertama inilah yang disebut dengan ahlur ra’yi dan yang kedua disebut dengan ahlul hadis.

Makalah ini akan memaparkan perihal perkembangan aliran hukum di golongan ahlul hadis. Deskripsi perkembangan tersebut akan menguraikan wacana mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, serta kajian berhubungan lainnya.

BAB II
PEMBAHASAN

B. Faktor-Faktor Yang Melatari Kemunculan Ahlul Hadis
Ahlul Hadis ialah istilah yang dipakai terhadap kalangan yang dalam memutuskan fikih lebih mendominankan penggunaan hadis dibandingkan dengan ra’yu. Kelompok ini lebih berkembang di Hijaz dan memperoleh fikih dari Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.[3] Menurut beberapa sumber bahwa munculnya kelompok ini di wilayah hijaz dikarenakan pengaruh beberapa aspek mirip:[4]

adanya ketertarikan untuk mengikuti sistem yang digunakan oleh para pendahulu terutama Abdullah bin umar yang sangat berpengaruh berpegangan terhadap hadis. banyaknya hadis yang beredar di kawasan tersebut, dikarenakan teman nabi memang pada umumnya tinggal di Hijaz utamanya di Mekkah dan Madinah. Lain halnya dengan ahlur ra’yi di Baghdad yang mempunyai sedikit sumber hadis, dan tercampur dengan hadis ahad yang belum tentu bisa dijadikan sebagai sumber aturan. pola hidup orang Hijaz yang esklusif dan orangnya yang tidak terlampau heterogen seperti halnya di Baghdad. sangat sedikit timbul dilema-masalah baru yang memerlukan ajaran aturan baru, hal ini dikarenakan orangnya yang homogen dan jauh dari pertentangan seperti di Iraq.

C. Metode Legislasi Hukum
Ahlul hadis, sesuai dengan namanya sungguh mengutamakan penggunakan hadis daripada ra’yu. Setiap masalah yang muncul, mereka selalu mencari jawabannya di dalam Quran al-Karim, dan kalau tidak diketemukan maka mereka mencarinya di dalam haids walaupun itu hadis minggu. Bila pada sumber kedua ini juga tidak didapatkan, maka anutan aturan duduk perkara tersebut akan dicari pada perkataan-perkataan para sobat utamanya khalifah rasyidah. Bila terjadi perbedaan pendapat perihal sebuah masalah, maka jalan yang dipakai adalah dengan melihat siapa tokoh yang paling wara’ dan paling berkompeten dalam memberikan pemikiran aturan. Apabila jalan ini tidak bisa ditempuh, maka usulan yang dianut yakni pertimbangan yang paling berkenan di hati dan gampang difahami.[5]

Dengan demikian terlihatlah bahwa ra’yu dipakai cuma dalam keadaan yang sangat terpaksa, jika upaya penelusuran dalil hukumnya tidak diketemukan di dalam Quran al-Karim, hadis, hadis ahad dan pertimbangan para teman. Ini lah yang membedakan antara ahlul hadis dengan ahlur ra’yi dimana ahlul ra’yi lebih memprioritaskan penggunaan logika kalau tidak mengetemukan dalil aturan pada Quran al-Karim dan sunnah yang dapat mengemban amanah, dibandingkan dengan menggunakan hadis minggu. Sumber hukum yang dipergunakan oleh ahlul hadis dalam merumuskan aturan ialah:

Quran al-Karim.
hadis Rasulullah saw. yang marfu’.
Amal Sahabat atau amal masyarakatMadinah.
Qiyas dalam makna biasa .

Lebih rinci lagi, imam Malik yang tinggal dan mengajar di Madinah memastikan bahwa tradisi Madinah pada masanyalah yang melestarikan tradisi Madinah permulaan, sebab Madinah tidak terpengaruh oleh Bani Ummayah seperti masyarkat Syiria, ataupun tidak terpengaruh oleh masyarakat Garnisun[6] mirip di Kufah. Masyarakat Madinah mengklaim bahwa tradisi mereka bukan cuma mencerminkan tradisi muslim permulaan namun juga lebih permulaan adalah tradisi masyarakat Muhammad SAW. Kitabnya Muwaththo’ disusun untuk melestarikan tradisi ini.

Madinah permulaan menawarkan beberapa prinsip dasar bagi perumus-perumus aturan sesudahnya. Prinsip yang pertama, yang nantinya menjadi basis perumusan aturan ialah observasi empiris atas perbuatan seorang yang disepakati oleh yang kuasa. Hal ini bukan legislasi suatu dewan atau kesimpulan manusia. Bagi Malik yang penting ialah perbuatan tipikal yang diakui dan disepakati oleh Madinah. Artinya mampu saja bukan perbuatan Nabi, tapi tindakan orang lain yang tidak ada keberatan dari Nabi. Intinya bukan siapa yang melakukan tetapi tindakan yang disetujui. Hal ini menjadi cikal bakal ijma’ pada abad pembentukan hukum dan dasar aturan.

Prinsip yang kedua yaitu, basis bagi organisasi dalam komunitas adalah penditribusian peran. Untuk tugas yang tidak mesti dipenuhi oleh setiap orang maka Muhammad SAW mengangkat orang yang bertanggung jawab atas hal tersebut, dan bila mereka telah melakukannya maka yang lain tidak tidak diberikan beban. Hal ini lalu dirumuskan selaku fardhu kifayah, sementara peran yang harus diemban sendiri yang Muhammad SAW tidak menunjuk orang untuk beratanggung jwab disebut fardhu ayn.

Prinsip yang ketiga yakni menyangkut dengan non muslim, ialah menyebarkan tata- cara ilahi yang benar keseluruh dunia. Mereka yang non muslim, bila tidak secara kasatmata-kasatmata menentang ketuhanan yang maha esa dan tidak menganggu ketertiban umum tetap diperbolehkan melaksanakan doktrin mereka, mereka juga diberi tanggung jawab atas ketertiban penduduk .

Di sinilah terlihat bahwa selain Quran al-Karim dan hadis nabawi, imam Malik juga mengistinbathkan aturan menurut amal penduduk Madinah yang beliau dinilai merefleksikan tata hidup Rasulullah saw.

Pada kala berikutnya muncullah imam Syafi’I dengan sistem ijtihadnya. Masa kehidupannya diwarnai dengan perbendaharaan fikih yang telah meningkat , perbincangan ihwal fikih yang begitu meriah diwarnai dengan polemik yang menarik di antara tokoh-tokoh yang berlainan pertimbangan . Imam Syafi’I ialah tokoh yang mendalami dua mazhab besar pada masanya, ia belajar mazhab Maliki langsung kepada imam Malik dan belajar mazhab Abu Hanifah terhadap Muhammad bin Hasan as-Syaibani yakni murid Abu Hanifah.

Dengan modal pengalaman dan pengetahuannya tersebut, imam Syafi’I menerima isyarat dan motivasi untuk merumuskan tata cara pengambilan aturan secara sistematis. Risalah yaitu suatu buku yang disusun oleh Syafi’I lalu diakui sebagai metode pengambilan hukum sistematis pertama yang lalu sungguh berpengaruh terhadap pedoman hukum berikutnya tergolong mazhab Ahmad bin Hanbal yang mendukung pengambilan hukum dari Alquran al-Karim dan hadis dan mengesampingkan ra’yu.

D. Syafi`i Hadist Dari Sang Nabi
Hadist pada mulanya yaitu riwayat-riwayat apa saja yang menyangkut praktek Muslim yang masih sederhana.[7] Riwayat-riwayat hadist dikutip dengan menggunakan menggunakan otoritas kaum muslim permulaan yang terkenal, dan dibuktikan dengan mata rantai isnad yang bersambung kepadanya. Pada abad al-Mahdi (775-785) dan Harun Ar-Rasyid sudah disepakati bahwa riwayat-riwayat yang dapat ditelusuri kepada Nabi harus diutamakan dari pada hadist yang hanya bisa ditelusuri terhadap sahabatnya. Riwayat-riwayat model kedua ini lalu ditentukan tidak mengikat (326/30).

Muhammad Bin Idris as-Syafi’i (94/716-179/820) ialah orang yang paling sukses dalam memurnikan hadist-hadist dari riwayat-riwayat yang bukan hadist. Dengan demikian beliau mencampakkan sandaran hukumnya dari tradisi lokal, bahkan dari tradisi Madinah dan menggantinya dengan hadist dan riwayat sang Nabi. Ia beropini cuma dengan bersandar terhadap hadislah impian nabi dapat dilihat dan disimpulkan. Menurutnya posisi Nabi dan hadistnya yakni sebagai penafsirnya. Otoritas Nabi yakni sejajar dengan Alquran sebagai sumber hukum, hadist tidak akan berseberangan dengan Alquran alasannya hadist merupakan penjelasan dari kitab tersebut.[8]

Hal ini tentu saja memperlihatkan Nabi dan hadistnya suatu posisi theologis yang lebih tinggi daripada posisi hadist menurut Ahli Hadist sendiri, yang menurut mereka bahwa bila ada perseberangan antara nash Alquran dengan hadist maka nash didahulukan. Tapi walaupun begitu Syafi’i menawarkan kretria ketat kepada hadist yang dapat diterima, adalah yang mampu dibuktikan isnadnya. Preseden-preseden sobat tidak bisa diterima sebagai sumber hukum. Dengan demikian bid’ah[9] mampu dihilangkan dari praktek-praktek kaum Madinah permulaan.

Tapi pada prakteknya ternyata ini lebih rumit. Karena riwayat yang telah beredar hanya sedikit yang bisa dikembalikan secara niscaya kepada Nabi, kebanyakan ialah riwayat-riwayat yang menawarkan opini bahwa riwayat tersebut bersandar terhadap Nabi. Menurut Marshall (juga berdasarkan Joseph Schacht) ada kalangan orang-orang shalih yang tidak segan membuat isnad untuk dapat menyandarkan riwayat yang baik kepada Nabi. Hal ini beradasarkan opini bahwa seluruh yang baik haruslah diucapkan oleh Muhammad SAW.

Tampaknya munculnya kelompok yang menginkari sunnah tidaklah sesimpel seperti yang kita baca sebelum ini. Bila sunnah dan hadist telah makin begitu luas cakupannya, termasuk riwayat para sahabat, tradisi lokal, tradisi Madinah yang murni dan bahkan riwayat-riwayat ihwal tabi’in permulaan, maka pasti tidak aneh jika mereka akhirnya mengingkari sunnah sebgai sumber aturan. Menurut yang kami fahami dari beberapa literatur karya-karya sarjana seperti Fazlurrahman, Joseph Schacht dan Abdullah Ahmad An-Naim, bahwa inkar sunnah ini tidaklah mengingkari praktek Nabi dan perkataannya selaku sumber hukum, tetapi yang mereka tolak yakni hadist dan sunnah yang pada ketika itu tidak mampu dibuktikan bersandar terhadap nabi. Syafi’i lalu diberi predikat pujian selaku nashirul hadist yang maksudnya adalah yang menetapkan hadist dan sunnah selaku sumber hukum yang asli.[10]

Keraguan akan keotentisan hadist dan sunnah yang disandarkan terhadap Nabi hasilnya tertutupi pada kala sesudah Syafi’i, yakni dengan hadirnya kritik isnad atau Ilmu Rijal dan Kritik Matan setelahnya. Dengan ilmu ini bisa diteliti apakah riwayat tersebut yakni Hadist dari Nabi atau tidak.[11]

E. Sistem Ushul Fiqh Syafi’i
Ada suatu kecenderungan umum yang berlaku semenjak masa Bani Marwan, bahkan sebelumnya, sampai kala Syafi’i, adalah penggunaan ra’yu atau pertimbangan pribadi. Maka ra’yu ini mesti dibatasi pada periode munculnya ushul fiqh Syafi’i. Sistem ini tampaknya cuma bisa menghalangi tanpa bisa menghilangkan, sebab telah begitu mewabah. Maka seluruh ra’yu harus disandarkan atas dalil yang mampu diakui dan dipertahankan degan jelas. Hingga muncullah qiyas yang menjadi sarana ra’yu.[12]

Kemudian ada satu hal lagi yang kemudian dipandang penting untuk melengkapi metode Ushul Fikih ini, adalah ijma’ yang sudah mewabah semenjak kurun sebelumnya. Cikal bakal ijma’ ini berasal dari sebuah keputusan bolehnya suatu tradisi lokal dikala orang-orang yang otoritatif telah setuju untuk mengizinkan tradisi tersebut (329/35). Tampaknya hal ini juga dipandang perlu oleh Syafi’i, sebab selain ijma’ sudah mengakar dalam persepsi orang-orang shalih, juga dicicipi perlu dalam merumuskan aturan bagi masyarakat yang sudah begitu bermacam-macam. Tapi tentu saja ijma’ ini mesti dialihkan dari desain ijma’ sebelumnya, juga kewenangannya mesti dibatasi. Maka Syafi’i lalu hanya mengakui ijma’ semua ummat Muhammad SAW.

Metode Syafi’i dipandang oleh Marshall sangatlah ketat, nyaris tidak memberi potensi untuk berfantasi pribadi. Bahkan dalam mengecek sebuah kata. Menurut Syafi’i semua kata-kata praktek dari seseorang niscaya berasal dari sebuah sebab, dalam waktu tertentu dan kondisi tertentu dan untuk orang tertentu (sadar atau tak sadar telah memberi catatan pentingnya mendalami perbedaan-perbedaan kecil bahasa Arab Mudhari pada kala Muhammad SAW).

Metodenya inipun mampu menyngkirkan tradisi, sebagai sumber hukum pada masanya, tapi memperlihatkan keleluasaan kepada pemikir-pemikir aturan untuk merumuskan aturan berdasarkan selera mereka, asalkan dengan sistem yang tepat. Bagi mereka yang ingin menggunakan ra’yu harus mampu menunjukan bahwa mereka menetapkan aturan tersebut beradasarkan dalil dan sumber yang terang, baik linguistik maupun logis.

Sistem ini juga ialah dorongan khusus kepada munculnya Ilmu Kritik Isnad atau Ilmu Rijal, dengan begitu kesahihan hadist mampu dipertahankan. Ada suatu implikasi yang perlu kita catat dari Ilmu Kritik Isnad ini adalah hadist wacana yang kurang menyenangkan bagi Sunni tapi sangat dipegang teguh oleh Syiah yang dahulunya mampu ditolak dengan alasan tidak otentiknya hadist tersebut, tapi apa jika ternyata sesudah terbukti hadist tersebut shahih maka para sunni cuma bisa menangkis hadist tersebut dengan pentakwilan, seperti yang banyak terjadi kini ini.

F. Aliran Mutakallimin: Aliran Pemikiran Ushul Fikih
Dalam sejarah perkembangannya, dalam kaitannya dengan ushul fikih ada dua aliran dominan. Perbedaan ini timbul balasan perbedaan dalam membangun teori undangan fikih yang mau digunakan dalam menggali hukum Islam. Dua aliran tersebut adalah pemikiran fukaha’ dan mutakallimin. Ahlul hadis dalam kajian kita ini pada dasarnya ialah kelompok mutakallimin.

Aliran mutakallimin ini membangun ajakan fikih secara teoritis, tanpa terpengaruh oleh masalah-duduk perkara furu’. Dalam membangun teori, fatwa ini menetapkan kaedah-kaedah dengan alasan yang besar lengan berkuasa baik dengan dalil naqli ataupun aqli. Karena itu, teori tersebut kadang era sesuai dengan hukum furu’ dan kadang abad tidak sesuai.[13]

Dalam perkembangannya, ada juga ulama mazhab Syafi’I yang berusaha untuk menyusun teorinya sendiri, sehingga terdapat perbedaan dalam fatwa ini. Seperti imam al-Amidi yang menyatakan bahwa ijma’ sukuti dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Hal ini berlawanan dengan usulan imam Syafi’I yang tidak menerima ijma’ sukuti selaku hujjah karena dia hanya menerima ijma’ para sobat. Ada banyak sumber yang dipakai oleh pemikiran mutakallimin, namun buku yang sering menjadi standar adalah kita Risalah, al-Mu’tamad yang disusun oleh Abu al-Husain Muhammad ibn Ali al-Basri, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh karya imam al-Juwaini dan tiga rangkaian kitab karya imam al-Ghazali ialah al-Mankhul minTa’liqat al-Ushul, Syifa’ al-Gali fi Bayan as-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik at-Ta’lil dan al-Mustasfa’ fi Ilm al-Ushul.


PENUTUP

Ahlul Hadis ialah istilah yang dipakai kepada golongan yang dalam memutuskan fikih lebih mendominankan penggunaan hadis daripada ra’yu. Kelompok ini lebih meningkat di Hijaz. Faktor yang paling mendukung kedatangan anutan ini yakni banyaknya hadis yang beredar di wilyah Hijaz. Tiga mazhab besar yang merupakan bagian dari kalangan ahlul hadis ialah mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali Sumber hukum yang dipergunakan oleh ahlul hadis dalam merumuskan hukum yaitu:

Alquran al-Karim.
hadis Rasulullah saw. yang marfu’.
Amal Sahabat atau amal masyarakatMadinah.
Qiyas dalam makna lazim.

Imam Syafi’i, tokoh yang pertamakali merumuskan sistem pemgambilan hukum sistematis, ialah orang yang sungguh berjasa dalam kemajuan aliran aturan khususnya dalam golongan ahlul hadis. Beliaulah lalu yang menguatkan posisi hadis selaku sumber hukum mirip yang tertuang dalam Risalah. Setelah munculnya ushul fikih sistematis, para ahli hukum berikutnya terbagi kepada dua fatwa ialah mutakallimin yang dianut oleh ahlul hadis, dan fukaha’ yang dianut oleh ahlul ra’yi.

Daftar Pustaka
  • Fath, Ahmad Abu, Kitab al-Mukhtarat fi Fathiyyat fi Tarikh at-Tasyri’ wa Ushul Fiqh. Mesir: Maktabah an-Nahdhah, 1924.
  • Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung; Pustaka, 1984.
  • Hanafi, Muhammad al-Husein, al-Madkhal li Dirasat al-Fiqh al-Islami, jil. I . Kairo: an-Nahdah al-Arabiyah, 1969
  • Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam. Jil. I. Chicago: Chichago University Press, 1974.
  • Khalaf, Abdul Wahab, Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo: t.p. 1956.
  • Musa, Muhammad Yusuf, Tarikh Fiqh al-Islami. Mersir: Dar Kitab, 1958.
  • Naim, Abdullah, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suedy.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
  • Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law. Inggris: Oxford Press, 1971.
  • Syalbi, Yusuf Sayyid, Muhadarat fi Tarikh al-Fiqh al-Islami. Kairo: Dar at-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1962.
  • Tim Penulis, Ensiklopedi Hukum Islam. Jil. IV. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
  • _________, Enskiklopedi Islam, jil. V. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
Footnote
-----------------
[1] Menurut terminologi, tabi’in berarti orang-orang Islam yang pernah bertemudengan teman Rasulullah saw. dan meninggal dalam kondisi Islam. Lihat Enskiklopedi Islam, jil. V (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 227.

[2] Muhammad al-Husein Hanafi, al-Madkhal li Dirasat al-Fiqh al-Islami, jil. I (Kairo: an-Nahdah al-Arabiyah, 1969), h. 69.

[3] Muhammad Yusuf Musa, Tarikh Fiqh al-Islami (Mersir: Dar Kitab, 1958) h. 109.

[4] Yusuf Sayyid Syalbi, Muhadarat fi Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kairo: Dar at-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1962), h. 119.

[5] Ahmad Abu Fath, Kitab al-Mukhtarat fi Fathiyyat fi Tarikh at-Tasyri’ wa Ushul Fiqh (Mesir: Maktabah an-Nahdhah, 1924), h. 127-128.

[6] Kota Garnisun berarti kota militer, yang mungkin dalam bahasa arab disebut dengan fusthot

[7] Pendapat ini adalah secara umum dikuasai di kelompok pengkaji-pengkaji Islam, lihat Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Inggris: Oxford Press, 1971), h. 29. Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung; Pustaka, 1984), h. 93. lihat juga Abdullah An-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suedy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994) hal. 32.

[8] Tim Penulis, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999) jil. IV, hal. 1679.

[9] Bid’ah ini pada mulanya berkonsep selaku yang bertentangan dengan tradisi maupun sunnah

[10] Fazlurrahman, Islam, hal 78.

[11] Marshall Hodgson, The Venture Of Islam (Chicago: Chichago University Press, 1974) jil. I, hal 338.

[12] Syafi’i sendiri lebih suka menggunakan tathobuq sebgai ganti qiyas

[13] Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: t.p. 1956), h. 17.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon