Pendahuluan
Di kalangan ummat Islam, timbul seorang tokoh muslim sekitar kala XVIII yang meresponi filsafat perennial dengan mencoba menimbulkan kembali dogma-keyakinan tradisional yang disebut dengan filsafat tradisi. Diskursus wacana tradisi Islam di tengah modernitas sebai telaah terhadap fatwa Seyyed Hossein Nasr, pasti tidak bisa mengabaikan pemikirin filsafat ia yakni filsafat perennial atau filsafat tradisi. Karena dalam aliran filsafatnya itulah terangkum anutan-pedoman beliau tentang tradisi Islam.
Istilah perenial[1] pertama kali digunakan di dunia Barat oleh Augustinus Stechus (1497-1548) dengan judul bukunya “De Pereni Philoshopia” yang diterbitkan pada tahun 1540. Istilah tersebut kemudian dipopulerkan oleh Leibinitz pada tahun 1715.[2] Lalu timbul pertanyaan bagimanakan respon Seyyed Hossein Nasr wacana perenial ini, dan bagaimana pula pemikirannya wacana tradisi Islam di tengah modernitas yang terangkum dalam filsafat perenial ia.
B. Biograpi Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran. Ayahnya berjulukan Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan pendidik pada kala dinasti Qajar. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual terbaru dengan matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, Islad tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah. Beliau sempat menemukan pendidikan Barat terbaru di Institiut Teknologi Massachussets dan Universitas Harvard.[3]
Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan berikutnya oleh ayahnya dia diantarke Qum untuk melakukan pekerjaan dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk at-Thabtaba’I untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal Quran dan syair-syair klasik Persia.
Pada masa pendidikannya di Iran, ketegangan sudah mewarnai hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan Barat yang modern dengan segala corak moralnya telah mensugesti negara-negara Musli yang dalam banyak hal sungguh bertentangan dengan Islam tradisional. Barangkali hal ini yang mendorong impian Seyyed Hossein Nasr untuk mencar ilmu ke Barat, bahwa untuk melawan ajaran sekuler Barat mesti masuk ke sarangnya.[4]
Pada usia 13 tahun, Seyyed Hossein Nasr berangkat ke Barat untuk melanjutkan studi sekolah tingkat atas dan berikutnya perguruan tinggi. Ia mengikuti jurusan matematikan dan fisika di Massachussets di bawah panduan seorang guru terkenal yaitu Bertrand Russel.
Pada tahun 1954, Seyyed Hossein Nasr melanjutkan studinya ke Universitas Harvard. Pada mulanya dia mengambil jurusan geologi dan geofisika, namun kemudian beralih mendalami disiplin ilmu tradisional dengan menggeluti bidang filsafat dan ilmu wawasan yang bertitik konsentrasi pada ilmu wawasan Islam dan filsafat. Di sinilah Seyyed Hossein Nasr mencar ilmu sejarah dan fatwa Islam dari tokoh terkenal yang lain yakni H.A.R. Gibb, sejarah ilmu wawasan pada George Sarton dan sejarah Teologi dan Filsafat pada Harry Wolfson.[5]
Selama kurun pendidikannya, baik secara akademis maupun lewat kontak pedoman, Seyyed Hossein Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh pemikir keIslaman tradisional mirip Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan sebagainya. Salah satu ide mereka yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein Nasr ialah anutan filsafat metafisika universal.
Pada tahun 1958, Seyyed Hossein Nasr sukses merai gelar doktor dengan judul disertasi “An Introduction to Islamic Cosmological Doctrin” di bawah panduan H.A.R. Gibb yang lalu diterbitkan pada tahun 1964.
C. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr : Tradisi Islam di Tengah Modernitas
Istilah tradisi berasal dari kata tradition yang mempunyai arti ada kebiasaan yang berlaku. Terkait dengan tradisi Islam, Patrick Hughes[6] dan Noach Webster[7] memberi defenisi tradisi sebagai iktikad terhadap seluruh anutan nabi Muhammad yang tidak tertulis dalam Quran baik berupa susila maupun iman-iktikad. Sedangkan Poerdawrminto mengartikan tradisi selaku sesuatu yang sifatnya turun temurun mirip adab, upacara maupun pemikiran-fatwa.
Terlepas dari beberapa defenisi di atas, Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya “Traditional Islam in the Modern World” memaparkan dengan tegas bahwa yang dia maksud ialah tradisi yang menyiratkan sesuatu yang sakral mirip yang disampaikan kepada manusia lewat wahyu maupun pengungkapan dan pengembangan prean sakral itu di dalam sejarah kemanusiaan tertentu untuk dimaksudkan dalam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan yang horizontal dengan sumber asli maupun vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan realitas transenden meta-historis.[8]
Lebih lanjut, Seyyed Hossein Nasr merinci tradisi dengan tiga ciri ialah: tradisi yang bersifat suci karena diturunkan yang kuasa pada berbagaia gama lewat pewahyuan dalam konteks zaman dan tempat yang berlawanan. Tradisi selalu tidak berganti alasannya adalah mengandung kontinuitas, mengandung sain tentang realitas mutlak dan cara mengaktualisir dan merealisasi wawasan pada kurun kawasan dan kala yang berbeda.[9] Jelasnya tradisi merupakan seruan dari pusat keberadaan, mengandung kebenaran metafisis dan senantiasa memancarkan yang bersumber dari realitas transenden.
Di samping itu, menurut Seyyed Hossein Nasr , bahwa tradisi mencakup tiga hal adalah: ad-din selaku agama yang meliputi semua faktor dan segala cabangnya, as-sunnah sebagai sesuatu yang sakral dan telah dan sudah menjadi keiasaan bebuyutan di kelompok masyarakat tradisional. Yang terakhir adalah as-silsilah sebagai mata rantai yang mengaitkan masing-masing priode, episode atau tahap kehidupan dan pedoman dalam dunia tradisional terhadap sumber segala sesuatu.[10]
Tradisi mirip pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat tuhan dan dari pohon itulah berkembang batang dan rantingnya yang berkembang sepanjang kala. Tradisi ini menyiratkan kebenaran yang kudus, yang infinit serta penerapan prinsip-prinsip yang berkesinambungan kepada banyak sekali situasi ruang dan waktu.[11]
Tradisi yang disediakan oleh Seyyed Hossein Nasr ini ialah versus paham modern yang melepaskan diri dari yang kuasa dan dari prinsip-prinsip baka yang dalam realitasnya mengendalikan segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar anutan yang beliau bangun.
Modernisasi oleh Seyyed Hossein Nasr dibilang bahwa selain membawa dampak postif juga menjinjing dampak negatif. Dampak ini bersumber dari penolakan terhadap hakekat ruh dan penyingkiran maknawiyah secara gradual dalam kehidupan insan. Modernitas menjajal hidup dengan roti semata, berusaha membunuh ilahi dan menyatakan keleluasaan dari kehidupan alam baka.[12]
Masyarakat Barat yang diketahui selaku “the post industrial society” ialah suatu masyarakat yang mencapai tingkat kesejahteraan materi dari seperangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis. Kemewahan ini bukan kian mendekati kebahagiaan, malah kian dihinggapi oleh rasa cemas. Masyarakat modern telah berkembang menjadi penyembah wawasan dan teknologi sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi dan terperangkap dalam pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak human. Bahkan mereka lupa ihwal siapa mereka, untuk hidup dan kemana sesudahnya.
Demikian kritik Seyyed Hossein Nasr kepada modernitas mirip yang disaksikannya pada penduduk modern di Barat. Mereka kehilangan visi keilahian dan hilang kesanggupan untuk menyaksikan realitas hidup dan kehidupan secara intlectus.[13]
Ungkapan yang senada juga dibilang Marcel, hilangnya batas-batas yang dianggap dan diyakini selaku sesuatu yang sakral dan absolut menimbulkan insan modern yang melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relatif utamanya metode nilai dan moralitas yang dibangun. Barat sudah kehilangan rasa super natural secara besar-besaran.[14] Dalam perspektif inilah Seyyed Hossein Nasr memberikan pendekatan tradisionalnya dengan sufisme selaku alternatif yang mampu menyanggupi kebutuhan spritual manusia modern.
Menurut Seyyed Hossein Nasr , insan untuk mampu mencapai level keberadaan mesti menyelenggarakan pendekatan spritual dan melatih ketajaman intelektus[15] sebab menurutnya wawasan pragmatis tidak mampu digunakan untuk melihat realitas yang utuh kecuali bila beliau mempunyai visi intelektus wacana yang utuh tadi. Di samping itu, insan juga bisa mengatahui dirinya sendiri secara utuh jikalau dia mendapat derma ilmu dari dewa alasannya adalah eksistensi yang sifatnya relatif akan mempunyai arti bila dihubungkan dengan yang adikara yaitu tuhan. Oleh alasannya itu menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa jikalau mereka mengakhiri kesesatan yang mereka timbulkan sendiri balasan terlalu mengagungkan rasio, mereka harus mengganti perilaku dan kehidupan keagamaan.[16]
Krisis masyarakat terbaru yang di Barat juga memberi dampak yang cukup besar dalam dunia Islam[17] yang pada ketika itu mengalami krisis. Negara-negara muslim internasional menjajal mengambil bentuk modernisasi dan industrialisasi secara mentah-mentah yang menjadikan dunia Islam juga mengalami krisis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat.[18]
Konsep modernisme yang disediakan oleh pemikir-pemikira Islam oleh Seyyed Hossein Nasr dipandang sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Menurutnya, ummat Islam mesti mengkaji kembali tradisi-tradisi sahih Islam untuk mengobati krisi yang muncul tanpa harus mengambil konsep Barat. Karena menurutnya rancangan-desain tersebut bertentangan dengan Islam. Humanisme, rasionalisme dan sekularisme dan modernisme ialah lawan bagi Islam tradisional.
Alternatif yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam upaya pembebasan insan modern melalui filsafat tradisional adalah sufisme. Menurutnya bahwa pemikiran agama terbagi kepada dua klasifikasi. Pertama yang berhubugnan dengan faktor kesyari’ahan atau eksoteris dan yang kedua ialah aspek sufisme atau esoteris. Sufisme tidak akan bisa diterapkan tanpa telebih dahulu mempraktekkan ajaran syari’ah dengan benar.[19] Artinya bahwa antara syari’ah dengan sufisme terdapat kekerabatan yang sangat dekat. Kesatuan antara keduanya.
Bagi Seyyed Hossein Nasr bahwa sufisme bagaikan jiawa yang menghidupkan badan dan merupakan jantung dari pewahyuan dewa. Sufisme bisa meniupkan semangatnya ke dalam seluruh struktur Islam baik dalam manifestasi sosial maupun intelektual, bahkan sufisme sebagai institusi yang terorganisasi dalam matriks yang lebih besar mampu memainkan peran dalam struktur penduduk .[20]
Dari uraian di atas tampaknya pendekatan filsafat tradisional yang disediakan Seyyed Hossein Nasr pada intinya menuntun insan abad kini keluar dari kungkungan ketidakpedulian kawasan dunia terbaru untuk memperoleh dirinya.
D. Titik Temu Antara Agama dengan Filsafat Perenial
Dalam melaksanakan studi keagamaan dan mencari titik temu agama, Seyyed Hossein Nasr juga memakai pendekatan filsafat perenial atau yang juga dikenal dengan filsafat tradisional. Studi ini dijalankan bermula dari adanya pandangan yang menyampaikan bahwa semua agama yakni sama atau neo-vedantisme yang berkembang di Amerika sesudah perang dunia ke-II.
Pendekatan tradisional yang dikerjakan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam studi keagamaan selalu mengamati aspek-aspek keagamaan, mirip hubungan insan dengan ilahi, wahyu dengan seni, sakral dengan simbol, ritual-ritual dan syari’at agama juga metafisikand an teologi.
Menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa perbedaan fundamental anutan-ajaran ajaran lain dalam studi agama muncul dari perbedaan pandang perihal hakekat realitas, di mana kaum tradisional menolak pandangan Barat yang menyederhanakan realitas yang mulanya timbul dari rasionalisme dan emperisme setelang kurun-abad pertengahan.
Menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa kajian fatwa tradisional meliputi daerah agama mulai dari adab, teologi, mistisme, ritus, simbol dari setiap agama dengan semangat asal dewa yang absolut tanpa menolak manifestasi-manifestasi atau kemungkinan lainnya yang mengalami perubahan sebab pergantian waktu.
Aliran tradisional dalam mencari titik temu agama memakai pendekatan yang bersifat metafisik. Dengan pendekatan ini kebenaran sebuah agama tidak hanya diukur sebatas pada upacara keagamaan yang sifatnya lahiriah, tetapi melebihi setiap bentuk dan manifestasi lahiriah tersebut menuju transendental.
Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa bahwa titik temu atau kesatuan agama yang dibicarakan yakni kesatuan transendental yang bersifat metafisik dan melebihi setiap bentuk dan manifestasi lahiriah.[21]
Filsafat perenial menilai bahwa kebenaran mutlak cuma satu mengandung makna bahwa hakekat agama bekerjsama hanya satu tetapi alasannya adalah agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Setiap bentuk dan bahasa keagamaan juga mengadung muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitas dan melahirkan pengelompokan ideologis.
Titik temu di antara agama-agama berdasarkan Seyyed Hossein Nasr hanya mampu dikerjakan pada level ilahiah atau wilayah esoteris bukan pada level eksoteris atau pada tataran syari’ah dan manhajnya, sehingga seandainya semua agama di atas bumi ini lenyap tapi realitas asal yang dihadirkan setiap agama akan senantiasa ada. Kesatuan agama-agama terjadi pada langit ilahiah bukan pada atmosfir manusia.[22]
PenutupPemikiran Seyyed Hossein Nasr ialah ihwal tradisi Islam atau Islam tradisional di tengah modernitas ialah kritik terhadap teladan pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Menurut Islam tradisional menurut aliran Seyyed Hossein Nasr bahwa acuan pikir yang demikian akan menjinjing insan kepada keterambangan dan tidak mempunyai tujuan sampai menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian.
Islam tradisional disediakan selaku alternatif untuk menggantikan modernitas yang tidak mampu menatap realitas kehidupan secara keseluruhan. Visi Islam tradisional lebih utuh untuk mampu memandang realitas alasannya Islam tradisional memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang terhubungan dengan keilahian.
Tradisi ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari pohon itulah tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh sepanjang kurun. Tradisi yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang melepaskan diri dari yang kuasa dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengendalikan segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar fatwa yang dia bangkit.
-----------------
[1] Dari sisi bahasa, perenial berasal dari bahasa Latin “prennis” yang lalu diadopsi ke dalam bahasa Inggris yang artinya abadi atau kekal. Istilah ini dipakai ketika berbicara tentang tuhan sebagai wujud yang sewenang-wenang, sumber dari segala wujud. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadian, 1995), h. 1.
[2] Sementara itu ada usulan lain yang mengatakan bahwa ungkapan perenial pertama kali dipakai oleh Leibinitz dan dipopulerkan oleh Aldous Hunley. Lihat Frithjot Schoun, Islam dan Filsfat Perenial, terj. (Bandung: Mizan, 1993), h. 7. lihat juga Ahmad Norma Permata, Antara Sinkretis dan Pluralitas Perenial Nusantara (Yogyakarta: TWY, 1996), h. 1.
[3] Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi of Seyyed Hosein Nashr from 1958 through 1993 (Kuala Lumpur: t.p, 1994), h. xiii.
[4] M. Thabthaba’I, Islam Syi’ah (Jakarta: Grafiti Press, 1989), h. 95.
[5] Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi, h. 95.
[6] Homas Patrick Hughes, Dictionary of Islam (New Delhi: Cosmo Publication, 1982), h. 639.
[7] Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of Englisng Language (London: William Collins Publisher, 1980), h. 1934.
[8] Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam in the Modern World. Terj. (Bandung: Pustaka, 1994), h. 3.
[9] Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight of Modern. Terj. (Bandung: Pustaka, 1994), h. 7-9.
[10] Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam, h. 3.
[11] Sayyed Hosein Nashr, Knowledge and Sacre (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), h. 65.
[12] Sayyed Hosein Nashr, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man (London: Alen and Unwin, 1967), h. 18.
[13] Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight, h. 4.
[14] Marcel A. Boisard, L’Humanisme de L’Islam. Terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 79.
[15] Istilah intelektus memiliki konotasi mata hati, yakni satu-satunya elemen esensi insan yang sanggup memandang bayang-bayang dewa yang diisyaratkan oleh alam semesta.
[16] Sayyed Hosein Nashr, Man and Nature, h. 47.
[17] Sayyed Hosein Nashr mengelompokkan masyarakat muslim pada ketika itu terhadap tiga kelompok: masyarakat muslim tradisional, masyarakat yang mengadopsi unsur modernisme dan masyarakat yang berada di tengah-tengahnya. Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight, h. 27.
[18] Jalur masuknya anutan Barat ke dunia Islam mampu dilihat pada Harun Nasutio, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 12.
[19] Sayyed Hosein Nashr, Islamic Life and Thought (London: Allen and Unwin, 1981), h. 193.
[20] Sayyed Hosein Nashr, Sufe Essays (London: Allen and Unwin, 1981), h. 18.
[21] Ibid. h. 91.
[22] F. Schoun, Understanding Islam (London: Unwin Paperback, 1981), h. 14.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comDi kalangan ummat Islam, timbul seorang tokoh muslim sekitar kala XVIII yang meresponi filsafat perennial dengan mencoba menimbulkan kembali dogma-keyakinan tradisional yang disebut dengan filsafat tradisi. Diskursus wacana tradisi Islam di tengah modernitas sebai telaah terhadap fatwa Seyyed Hossein Nasr, pasti tidak bisa mengabaikan pemikirin filsafat ia yakni filsafat perennial atau filsafat tradisi. Karena dalam aliran filsafatnya itulah terangkum anutan-pedoman beliau tentang tradisi Islam.
Istilah perenial[1] pertama kali digunakan di dunia Barat oleh Augustinus Stechus (1497-1548) dengan judul bukunya “De Pereni Philoshopia” yang diterbitkan pada tahun 1540. Istilah tersebut kemudian dipopulerkan oleh Leibinitz pada tahun 1715.[2] Lalu timbul pertanyaan bagimanakan respon Seyyed Hossein Nasr wacana perenial ini, dan bagaimana pula pemikirannya wacana tradisi Islam di tengah modernitas yang terangkum dalam filsafat perenial ia.
B. Biograpi Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr dilahirkan pada tanggal 17 April 1933 di kota Teheran, Iran. Ayahnya berjulukan Sayyed Vailullah Nashr yang dikenal sebagai ulama, dokter dan pendidik pada kala dinasti Qajar. Seyyed Hossein Nasr adalah seorang tradisionalis yang ingin menggeser peradaban intelektual terbaru dengan matrik intelektual tradisional. Ia hidup dalam dua tradisi, Islad tradisional dan Modernitas Barat. Beliau dibesarkan di dalam keluarga ulama Syi’ah. Beliau sempat menemukan pendidikan Barat terbaru di Institiut Teknologi Massachussets dan Universitas Harvard.[3]
Pendidikan dasarnya dimulai di Teheran dan berikutnya oleh ayahnya dia diantarke Qum untuk melakukan pekerjaan dengan sejumlah ulama besar Iran termasuk at-Thabtaba’I untuk mendalami filsafat, ilmu kalam, tasawwuf dan menghafal Quran dan syair-syair klasik Persia.
Pada masa pendidikannya di Iran, ketegangan sudah mewarnai hubungan antara Barat dan Timur. Kebudayaan Barat yang modern dengan segala corak moralnya telah mensugesti negara-negara Musli yang dalam banyak hal sungguh bertentangan dengan Islam tradisional. Barangkali hal ini yang mendorong impian Seyyed Hossein Nasr untuk mencar ilmu ke Barat, bahwa untuk melawan ajaran sekuler Barat mesti masuk ke sarangnya.[4]
Pada usia 13 tahun, Seyyed Hossein Nasr berangkat ke Barat untuk melanjutkan studi sekolah tingkat atas dan berikutnya perguruan tinggi. Ia mengikuti jurusan matematikan dan fisika di Massachussets di bawah panduan seorang guru terkenal yaitu Bertrand Russel.
Pada tahun 1954, Seyyed Hossein Nasr melanjutkan studinya ke Universitas Harvard. Pada mulanya dia mengambil jurusan geologi dan geofisika, namun kemudian beralih mendalami disiplin ilmu tradisional dengan menggeluti bidang filsafat dan ilmu wawasan yang bertitik konsentrasi pada ilmu wawasan Islam dan filsafat. Di sinilah Seyyed Hossein Nasr mencar ilmu sejarah dan fatwa Islam dari tokoh terkenal yang lain yakni H.A.R. Gibb, sejarah ilmu wawasan pada George Sarton dan sejarah Teologi dan Filsafat pada Harry Wolfson.[5]
Selama kurun pendidikannya, baik secara akademis maupun lewat kontak pedoman, Seyyed Hossein Nasr banyak dipengaruhi oleh guru dan tokoh-tokoh pemikir keIslaman tradisional mirip Massigon, Henry Corbin, F. Schoun dan sebagainya. Salah satu ide mereka yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein Nasr ialah anutan filsafat metafisika universal.
Pada tahun 1958, Seyyed Hossein Nasr sukses merai gelar doktor dengan judul disertasi “An Introduction to Islamic Cosmological Doctrin” di bawah panduan H.A.R. Gibb yang lalu diterbitkan pada tahun 1964.
C. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr : Tradisi Islam di Tengah Modernitas
Istilah tradisi berasal dari kata tradition yang mempunyai arti ada kebiasaan yang berlaku. Terkait dengan tradisi Islam, Patrick Hughes[6] dan Noach Webster[7] memberi defenisi tradisi sebagai iktikad terhadap seluruh anutan nabi Muhammad yang tidak tertulis dalam Quran baik berupa susila maupun iman-iktikad. Sedangkan Poerdawrminto mengartikan tradisi selaku sesuatu yang sifatnya turun temurun mirip adab, upacara maupun pemikiran-fatwa.
Terlepas dari beberapa defenisi di atas, Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya “Traditional Islam in the Modern World” memaparkan dengan tegas bahwa yang dia maksud ialah tradisi yang menyiratkan sesuatu yang sakral mirip yang disampaikan kepada manusia lewat wahyu maupun pengungkapan dan pengembangan prean sakral itu di dalam sejarah kemanusiaan tertentu untuk dimaksudkan dalam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan yang horizontal dengan sumber asli maupun vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan realitas transenden meta-historis.[8]
Lebih lanjut, Seyyed Hossein Nasr merinci tradisi dengan tiga ciri ialah: tradisi yang bersifat suci karena diturunkan yang kuasa pada berbagaia gama lewat pewahyuan dalam konteks zaman dan tempat yang berlawanan. Tradisi selalu tidak berganti alasannya adalah mengandung kontinuitas, mengandung sain tentang realitas mutlak dan cara mengaktualisir dan merealisasi wawasan pada kurun kawasan dan kala yang berbeda.[9] Jelasnya tradisi merupakan seruan dari pusat keberadaan, mengandung kebenaran metafisis dan senantiasa memancarkan yang bersumber dari realitas transenden.
Di samping itu, menurut Seyyed Hossein Nasr , bahwa tradisi mencakup tiga hal adalah: ad-din selaku agama yang meliputi semua faktor dan segala cabangnya, as-sunnah sebagai sesuatu yang sakral dan telah dan sudah menjadi keiasaan bebuyutan di kelompok masyarakat tradisional. Yang terakhir adalah as-silsilah sebagai mata rantai yang mengaitkan masing-masing priode, episode atau tahap kehidupan dan pedoman dalam dunia tradisional terhadap sumber segala sesuatu.[10]
Tradisi mirip pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat tuhan dan dari pohon itulah berkembang batang dan rantingnya yang berkembang sepanjang kala. Tradisi ini menyiratkan kebenaran yang kudus, yang infinit serta penerapan prinsip-prinsip yang berkesinambungan kepada banyak sekali situasi ruang dan waktu.[11]
Tradisi yang disediakan oleh Seyyed Hossein Nasr ini ialah versus paham modern yang melepaskan diri dari yang kuasa dan dari prinsip-prinsip baka yang dalam realitasnya mengendalikan segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar anutan yang beliau bangun.
Modernisasi oleh Seyyed Hossein Nasr dibilang bahwa selain membawa dampak postif juga menjinjing dampak negatif. Dampak ini bersumber dari penolakan terhadap hakekat ruh dan penyingkiran maknawiyah secara gradual dalam kehidupan insan. Modernitas menjajal hidup dengan roti semata, berusaha membunuh ilahi dan menyatakan keleluasaan dari kehidupan alam baka.[12]
Masyarakat Barat yang diketahui selaku “the post industrial society” ialah suatu masyarakat yang mencapai tingkat kesejahteraan materi dari seperangkat teknologi yang serba mekanis dan otomatis. Kemewahan ini bukan kian mendekati kebahagiaan, malah kian dihinggapi oleh rasa cemas. Masyarakat modern telah berkembang menjadi penyembah wawasan dan teknologi sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi dan terperangkap dalam pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak human. Bahkan mereka lupa ihwal siapa mereka, untuk hidup dan kemana sesudahnya.
Demikian kritik Seyyed Hossein Nasr kepada modernitas mirip yang disaksikannya pada penduduk modern di Barat. Mereka kehilangan visi keilahian dan hilang kesanggupan untuk menyaksikan realitas hidup dan kehidupan secara intlectus.[13]
Ungkapan yang senada juga dibilang Marcel, hilangnya batas-batas yang dianggap dan diyakini selaku sesuatu yang sakral dan absolut menimbulkan insan modern yang melingkar-lingkar dalam dunia yang serba relatif utamanya metode nilai dan moralitas yang dibangun. Barat sudah kehilangan rasa super natural secara besar-besaran.[14] Dalam perspektif inilah Seyyed Hossein Nasr memberikan pendekatan tradisionalnya dengan sufisme selaku alternatif yang mampu menyanggupi kebutuhan spritual manusia modern.
Menurut Seyyed Hossein Nasr , insan untuk mampu mencapai level keberadaan mesti menyelenggarakan pendekatan spritual dan melatih ketajaman intelektus[15] sebab menurutnya wawasan pragmatis tidak mampu digunakan untuk melihat realitas yang utuh kecuali bila beliau mempunyai visi intelektus wacana yang utuh tadi. Di samping itu, insan juga bisa mengatahui dirinya sendiri secara utuh jikalau dia mendapat derma ilmu dari dewa alasannya adalah eksistensi yang sifatnya relatif akan mempunyai arti bila dihubungkan dengan yang adikara yaitu tuhan. Oleh alasannya itu menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa jikalau mereka mengakhiri kesesatan yang mereka timbulkan sendiri balasan terlalu mengagungkan rasio, mereka harus mengganti perilaku dan kehidupan keagamaan.[16]
Krisis masyarakat terbaru yang di Barat juga memberi dampak yang cukup besar dalam dunia Islam[17] yang pada ketika itu mengalami krisis. Negara-negara muslim internasional menjajal mengambil bentuk modernisasi dan industrialisasi secara mentah-mentah yang menjadikan dunia Islam juga mengalami krisis seperti yang dialami oleh masyarakat Barat.[18]
Konsep modernisme yang disediakan oleh pemikir-pemikira Islam oleh Seyyed Hossein Nasr dipandang sangat bertentangan dengan Islam tradisional. Menurutnya, ummat Islam mesti mengkaji kembali tradisi-tradisi sahih Islam untuk mengobati krisi yang muncul tanpa harus mengambil konsep Barat. Karena menurutnya rancangan-desain tersebut bertentangan dengan Islam. Humanisme, rasionalisme dan sekularisme dan modernisme ialah lawan bagi Islam tradisional.
Alternatif yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam upaya pembebasan insan modern melalui filsafat tradisional adalah sufisme. Menurutnya bahwa pemikiran agama terbagi kepada dua klasifikasi. Pertama yang berhubugnan dengan faktor kesyari’ahan atau eksoteris dan yang kedua ialah aspek sufisme atau esoteris. Sufisme tidak akan bisa diterapkan tanpa telebih dahulu mempraktekkan ajaran syari’ah dengan benar.[19] Artinya bahwa antara syari’ah dengan sufisme terdapat kekerabatan yang sangat dekat. Kesatuan antara keduanya.
Bagi Seyyed Hossein Nasr bahwa sufisme bagaikan jiawa yang menghidupkan badan dan merupakan jantung dari pewahyuan dewa. Sufisme bisa meniupkan semangatnya ke dalam seluruh struktur Islam baik dalam manifestasi sosial maupun intelektual, bahkan sufisme sebagai institusi yang terorganisasi dalam matriks yang lebih besar mampu memainkan peran dalam struktur penduduk .[20]
Dari uraian di atas tampaknya pendekatan filsafat tradisional yang disediakan Seyyed Hossein Nasr pada intinya menuntun insan abad kini keluar dari kungkungan ketidakpedulian kawasan dunia terbaru untuk memperoleh dirinya.
D. Titik Temu Antara Agama dengan Filsafat Perenial
Dalam melaksanakan studi keagamaan dan mencari titik temu agama, Seyyed Hossein Nasr juga memakai pendekatan filsafat perenial atau yang juga dikenal dengan filsafat tradisional. Studi ini dijalankan bermula dari adanya pandangan yang menyampaikan bahwa semua agama yakni sama atau neo-vedantisme yang berkembang di Amerika sesudah perang dunia ke-II.
Pendekatan tradisional yang dikerjakan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam studi keagamaan selalu mengamati aspek-aspek keagamaan, mirip hubungan insan dengan ilahi, wahyu dengan seni, sakral dengan simbol, ritual-ritual dan syari’at agama juga metafisikand an teologi.
Menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa perbedaan fundamental anutan-ajaran ajaran lain dalam studi agama muncul dari perbedaan pandang perihal hakekat realitas, di mana kaum tradisional menolak pandangan Barat yang menyederhanakan realitas yang mulanya timbul dari rasionalisme dan emperisme setelang kurun-abad pertengahan.
Menurut Seyyed Hossein Nasr bahwa kajian fatwa tradisional meliputi daerah agama mulai dari adab, teologi, mistisme, ritus, simbol dari setiap agama dengan semangat asal dewa yang absolut tanpa menolak manifestasi-manifestasi atau kemungkinan lainnya yang mengalami perubahan sebab pergantian waktu.
Aliran tradisional dalam mencari titik temu agama memakai pendekatan yang bersifat metafisik. Dengan pendekatan ini kebenaran sebuah agama tidak hanya diukur sebatas pada upacara keagamaan yang sifatnya lahiriah, tetapi melebihi setiap bentuk dan manifestasi lahiriah tersebut menuju transendental.
Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa bahwa titik temu atau kesatuan agama yang dibicarakan yakni kesatuan transendental yang bersifat metafisik dan melebihi setiap bentuk dan manifestasi lahiriah.[21]
Filsafat perenial menilai bahwa kebenaran mutlak cuma satu mengandung makna bahwa hakekat agama bekerjsama hanya satu tetapi alasannya adalah agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka pluralitas bentuk dan bahasa agama tidak bisa dielakkan dalam realitas sejarah. Setiap bentuk dan bahasa keagamaan juga mengadung muatan nilai-nilai budaya dari sebuah komunitas dan melahirkan pengelompokan ideologis.
Titik temu di antara agama-agama berdasarkan Seyyed Hossein Nasr hanya mampu dikerjakan pada level ilahiah atau wilayah esoteris bukan pada level eksoteris atau pada tataran syari’ah dan manhajnya, sehingga seandainya semua agama di atas bumi ini lenyap tapi realitas asal yang dihadirkan setiap agama akan senantiasa ada. Kesatuan agama-agama terjadi pada langit ilahiah bukan pada atmosfir manusia.[22]
PenutupPemikiran Seyyed Hossein Nasr ialah ihwal tradisi Islam atau Islam tradisional di tengah modernitas ialah kritik terhadap teladan pikir modernitas yang mengagungkan rasionalitas dalam segala hal. Menurut Islam tradisional menurut aliran Seyyed Hossein Nasr bahwa acuan pikir yang demikian akan menjinjing insan kepada keterambangan dan tidak mempunyai tujuan sampai menjadikan hidup manusia jauh dari kebahagian.
Islam tradisional disediakan selaku alternatif untuk menggantikan modernitas yang tidak mampu menatap realitas kehidupan secara keseluruhan. Visi Islam tradisional lebih utuh untuk mampu memandang realitas alasannya Islam tradisional memandang realitas dalam bingkai yang lebih besar yang terhubungan dengan keilahian.
Tradisi ibarat pohon yang akarnya terbenam dalam hakekat ilahi dan dari pohon itulah tumbuh batang dan rantingnya yang tumbuh sepanjang kurun. Tradisi yang ditawarkan oleh Seyyed Hossein Nasr ini merupakan versus paham modern yang melepaskan diri dari yang kuasa dan dari prinsip-prinsip abadi yang dalam realitasnya mengendalikan segala sesuatu. Inilah yang menjadi titik landasan dan dasar fatwa yang dia bangkit.
Daftar Pustaka
- Aminrazavi, Mehdi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi of Seyyed Hosein Nashr from 1958 through 1993. Kuala Lumpur: t.p, 1994.
- Boisard, Marcel A., L’Humanisme de L’Islam. Terj. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
- Hidayat, Komaruddin, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta: Paramadian, 1995.
- Hughes, Homas Patrick, Dictionary of Islam. New Delhi: Cosmo Publication, 1982.
- Nashr, Sayyed Hosein, Traditional Islam in the Modern World. Terj. Bandung: Pustaka, 1994.
- ___________________, Islam and the Plight of Modern. Terj. Bandung: Pustaka, 1994.
- ___________________, Knowledge and Sacre. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981.
- ___________________, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man. London: Alen and Unwin, 1967.
- ___________________, Islamic Life and Thought. London: Allen and Unwin, 1981.
- __________________, Sufe Essays. London: Allen and Unwin, 1981.
- Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
- Permata, Ahmad Norma, Antara Sinkretis dan Pluralitas Perenial Nusantara. Yogyakarta: TWY, 1996.
- Schoun, F., Understanding Islam. London: Unwin Paperback, 1981.
- Schoun, Frithjot, Islam dan Filsfat Perenial, terj. Bandung: Mizan, 1993.
- Thabthaba’I, M., Islam Syi’ah. Jakarta: Grafiti Press, 1989.
- Webster, Noah, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of Englisng Language . London: William Collins Publisher, 1980.
-----------------
[1] Dari sisi bahasa, perenial berasal dari bahasa Latin “prennis” yang lalu diadopsi ke dalam bahasa Inggris yang artinya abadi atau kekal. Istilah ini dipakai ketika berbicara tentang tuhan sebagai wujud yang sewenang-wenang, sumber dari segala wujud. Lihat Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadian, 1995), h. 1.
[2] Sementara itu ada usulan lain yang mengatakan bahwa ungkapan perenial pertama kali dipakai oleh Leibinitz dan dipopulerkan oleh Aldous Hunley. Lihat Frithjot Schoun, Islam dan Filsfat Perenial, terj. (Bandung: Mizan, 1993), h. 7. lihat juga Ahmad Norma Permata, Antara Sinkretis dan Pluralitas Perenial Nusantara (Yogyakarta: TWY, 1996), h. 1.
[3] Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi of Seyyed Hosein Nashr from 1958 through 1993 (Kuala Lumpur: t.p, 1994), h. xiii.
[4] M. Thabthaba’I, Islam Syi’ah (Jakarta: Grafiti Press, 1989), h. 95.
[5] Mehdi Aminrazavi dan Zailan Moris, The Complete Bibliografi, h. 95.
[6] Homas Patrick Hughes, Dictionary of Islam (New Delhi: Cosmo Publication, 1982), h. 639.
[7] Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary of Englisng Language (London: William Collins Publisher, 1980), h. 1934.
[8] Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam in the Modern World. Terj. (Bandung: Pustaka, 1994), h. 3.
[9] Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight of Modern. Terj. (Bandung: Pustaka, 1994), h. 7-9.
[10] Sayyed Hosein Nashr, Traditional Islam, h. 3.
[11] Sayyed Hosein Nashr, Knowledge and Sacre (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), h. 65.
[12] Sayyed Hosein Nashr, Man and Nature: The Spritual Crisis of Modern Man (London: Alen and Unwin, 1967), h. 18.
[13] Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight, h. 4.
[14] Marcel A. Boisard, L’Humanisme de L’Islam. Terj. (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 79.
[15] Istilah intelektus memiliki konotasi mata hati, yakni satu-satunya elemen esensi insan yang sanggup memandang bayang-bayang dewa yang diisyaratkan oleh alam semesta.
[16] Sayyed Hosein Nashr, Man and Nature, h. 47.
[17] Sayyed Hosein Nashr mengelompokkan masyarakat muslim pada ketika itu terhadap tiga kelompok: masyarakat muslim tradisional, masyarakat yang mengadopsi unsur modernisme dan masyarakat yang berada di tengah-tengahnya. Sayyed Hosein Nashr, Islam and the Plight, h. 27.
[18] Jalur masuknya anutan Barat ke dunia Islam mampu dilihat pada Harun Nasutio, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 12.
[19] Sayyed Hosein Nashr, Islamic Life and Thought (London: Allen and Unwin, 1981), h. 193.
[20] Sayyed Hosein Nashr, Sufe Essays (London: Allen and Unwin, 1981), h. 18.
[21] Ibid. h. 91.
[22] F. Schoun, Understanding Islam (London: Unwin Paperback, 1981), h. 14.
EmoticonEmoticon