Jumat, 28 Agustus 2020

Sejaran Kerajaan Kuningan






Pengertian Kerajaan Kuningan





Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah yaitu oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah sejaman dengan pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh (612-702 M). Sang Pandawa memiliki putera wanita bernama Sangkari. Tahun 617 Sangkari menikah dengan Demunawan, putra Danghyang Guru Sempakwaja, yaitu seorang resiguru di Galunggung. Sangiyang Sempakwaja merupakan putera tertua Wretikandayun, raja pertama Galuh. Demunawan inilah yang disebutkan dalam tradisi lisan masyarakat Kuningan mempunyai ajian dangiang kuning dan juga menganut agama sanghiyang.





Meskipun Kuningan adalah kerajaan kecil, akan tetapi kedudukannya cukup kuat dan kekuatan militernya cukup tangguh. Hal itu terbukti dengan kekalahan yang diderita pasukan Sanjaya (Raja Galuh) saat menyerang Kuningan. Kedatangan Sanjaya beserta pasukannya atas permintaan Dangiyang Guru Sempakwaja, besan Sang Pandawa dengan maksud guna memberi pelajaran terhadap Sanjaya yang bersikap pongah dan juga merasa diri paling kuat. Sanjaya adalah cicit Sang Wretikandayun, melalui putranya Sang Mandiminyak yang menggantikannya sebagai Raja Galuh (703-710) dan juga cucunya Sang Sena yang menjadi raja berikutnya (710-717).






Terjadi konflik Kerajaan Kuningan





Di Kerajaan Galuh terjadi lah konflik kepentingan, sehingga Resi Guru Sempakwaja mengambil keputusan. Diantaranya menempatkan Sang Pandawa menjadi guru haji atau (resiguru) di layuwatang (sekarang tempatnya di Desa Rajadanu Kecamatan Japara). Sedangkan kedudukan kerajaan digantikan Demunawan dengan yaitu gelar Sanghiyangrang Kuku, tahun 723.





Masa pemerintahan Rahyangtang Kuku, diberitakan bahwa ibu kota Kerajaan Kuningan merupakan Saunggalah. Lokasinya diperkirakan yaitu berada di sekitar Kampung Salia, sekarangtermasuk Desa Ciherang Kecamatan Nusaherang. Seluruh wilayahnya meliputi 13 wilayah diantaranya adalah  Galunggung, Layuwatang, Kajaron, Kalanggara, Pagerwesi, Rahasesa, Sumanjajah, Kahirupan, Pasugihan, Padurungan, Darongdong, Pegergunung, Muladarma dan juga Batutihang.





Pada Tahun 1163-1175, Kerajaan Saunggalah terungkap lagi setelah tidak ada juga catatan paska Demunawan. Saat itu tahta kerajaan dipegang oleh Rakean Dharmasiksa, yaitu anak dari Prabu Dharmakusumah (1157-1175) seorang raja Sunda yang berkedudukan di Kawali. Rakean Dharmasiksa memerintah Saunggalah menggantikan mertuanya, karena dia menikah dengan putri Saunggalah.





Akan tetapi Rakean Dharmasiksa tidak lama kemudian menggantikan ayahnya yang wafat 1175 sebagai Raja Sunda. Sedangkan kerajaan Saunggalah digantikan dengan puteranya yang bernama Ragasuci atau Rajaputra. Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki dengan  Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia pun memperistri Dara Puspa, putri seorang raja Melayu.





Tahun 1298, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan ayahnya yaitu dengan gelar Prabu Ragasuci (1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan puteranya yang bernama Citraganda. Pada masa kekuasaan Ragasuci, wilayah kekuasaannya bertambah meliputi Cipanglebakan, Geger Handiwung, Geger Gadung, dan juga Pasir Taritih di Muara Cipager Jampang.






Masa Keadipatian Kerajaan Kuningan





Berdasarkan tradisi lisan, sekitar abad 15 Masehi di daerah Kuningan sekarang dikenal dua lokasi yang memiliki kegiatan pemerintahan yaitu Luragung dan juga Kajene. Pusat pemerintahan Kajene ini terletak sekarang di Desa Sidapurna Kecamatan Kuningan. saat itu, Luragung dan juga Kajene bukan lagi sebuah kerajaan namuun buyut haden. Masa ini, dimulai dengan tampilnya tokoh Arya Kamuning, Ki Gedeng Luragung dan kemudian Sang Adipati Kuningan sebagai pemipun daerah Kajene, Luraugng dan juga kemudian Kuningan.





Mereka secara bertahap di bawah kekuasaan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Djati . Tokoh Adipati Kuningan ini ada beberapa versi. Versi pertama adalah Sang Adipati Kuningan itu merupakan  putera Ki Gedeng Luragung (unsur lama). Akan Tetapi kemudian dipungut anak oleh Sunan Gunung Djati (unsur baru).





Dia dititipkan oleh aya angkatnya kepada Arya Kamuning untuk dibesarkan dan juuga dididik. lalu menggantikan kedudukan yang mendidiknya. Versi kedua, Sang Adipati Kuningan merlupakan  putera Ratu Selawati, keturunan Prabu Siliwangi (unsur lama), dari pernikahannya dengan Syekh Maulanan Arifin (unsur baru). Disini jelas sekali terjadi kearifan sejarah.





Berdasarkan Buku Pangaeran Wangsakerta ditulis abad ke 17, Sang Adipati Kuningan yang berkelanjutan penjelasanya merpakan berita yang menyebutkan tokoh ini dikaitkan dengan Ratu Selawati. Bahwa Islam menyebar ke Kuningan berkat upaya Syek Maulana Akbar atau Syek Bayanullah. Dia merpakan  adik Syekh Datuk Kahpi yang bermukim dan membuka pesantren di kaki bukit Amparan Jati.







Syekh Maulana Akbar membukan pesantren pertama di Kuningan yaitu di Desa Sidapurna sekarang, ibu kota Kajene. Ia menikah dengan Nyi Wandansari, putri Surayana. Ada pun Surayana adalah putra Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana, Raja Sunda yang berkedudukan di Kawali (1475-1482) yang menggantikan kedudukan ayahnya Prabu Niskala Wastu Kancana atau lebih dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi.





Dari pernikahan dengan Nyi Wandansari berputra Maulana Arifin yang kemudian menikah dengan Ratu Selawati. Ratu Selawati bersama kakak dan adiknya yaitu Bratawijaya dan Jayakarsa adalah cucu Prabu Maharaja Niskala Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi. Bratawijaya kemudian memimpin di Kajene dengan gelar Arya Kamuning. Sedangkan Jayaraksa memimpin masyarakat Luragung dengan gelar Ki Gedeng Luragung.





Mereka bertiga, yakni Ratu Selawati, Arya Kamuning (Bratawijaya), Ki Gedeng Luragung (Jayaraksa) diIslamkan oleh uwaknya yakni Pangeran Walangsungsang. Adapun Sang Adipati Kuningan yang sesungguhnya bernama Suranggajaya adalah anak dari Ki Gedeung Luragung (namun hal itu masih merupakan babad peteng atau masa kegelapan yang sampai saat ini tidak diketahui kebenarannya sesungguhnya anak siapa Sang Adipati Kuningan).





Atas prakarsa Sunan Gunung Djati dan istrinyayang berdarah Cina Ong Tin Nio yang sedang berkunjung ke Luragung, Suranggajayadiangkat anak oleh mereka. Tetapi pemeliharaan dan pendidikannya dititipkanpada Arya Kamuning. Sedangkan Arya Kamuning sendiri dikabarkan tidak memilikiketurunan. Akhirnya Suranggajaya diangkat jadi adipati oleh Susuhunan Djati(Sunan Gunung Djati) menggantikan bapak asuhnya.




Cerita Rakyat Kuningan


Menelusuri jejak sejarah Kabupaten Kuningan, terutama membedah tokoh “Sang Adipati Kuningan” yang pernah menjadi pemimpin pemerintahan di Kuningan pada masa penyebaran Islam di Cirebon (Jawa Barat) dan sekitarnya akhirnya dapatlah diungkapkan bahwa nama Sang Adipati Kuningan yang sebenarnya adalah SURANGGAJAYA. Ia adalah putra Ki Gedeng Luragung (seorang kepala daerah di Luragung) bernama JAYARAKSA. Jayaraksa juga punya saudara laki-laki yang memimpin daerah Winduherang bernama BRATAWIYANA atau BRATAWIJAYA (?) yang dijuluki juga Ki Gedeng Kamuning atau Arya Kamuning.


Ketika Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam, di antaranya sampai pula ke Luragung, dia disusul kedatangannya ke Luragung oleh istrinya bernama putri Ong Tien (asal Campa) yang juga bernama Nyai Rara Sumanding. Ketika itu sang istri sedang mengandung tua, dan di Luragung pulalah akhirnya Nyai Rara Sumanding melahirkan anak. Namun sayang putra yang baru dilahirkannya itu meninggal dunia. Untuk mengobati hati dia yang sedang berduka itu, kemudian Sunan Gunung Jati meminta kepada Ki Gedeng Luragung untuk memungut putranya yang kebetulan masih bayi untuk diangkat anak oleh Sunan Gunung Jati. Anak tersebut namanya Suranggajaya.


Dalam cerita rakyat Kuningan versi lainnya yang berbau mitos menyebutkan bahwa yang dilahirkan oleh Nyai Rara Sumanding bukanlah anak, tetapi sebuah bokor yang terbuat dari logam Kuningan. Bokor Kuningan inilah yang nantinya menjadi logo maskot Kota Kuningan, selain Kuda Kuningan. Juga ada yang menyebutkan bokor kuningan itu sebagai barang “panukeur” atawa “tutukeuranna” antara bayi dari Ki Gedeng Luragung yang ditukar dengan bokor kuningan dari Nyai Rara Sumanding. Cerita-cerita mitos ini memang banyak mewarnai dalam penelusuran sejarah Kuningan.


Setelah ke Luragung perjalanan Sunan Gunung Jati diteruskan ke Winduherang (yang dulu diduga sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Kuningan/Kajene) untuk menemui saudaranya Jayaraksa yaitu Bratawiyana yang rupanya telah lebih dulu masuk Islam. Sementara itu pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Kuningan saat itu sedang diperintah oleh Nyai Ratu Selawati (keturunan Prabu Langlangbuana). Ratu Selawati yang tadinya penganut Hindu menjadi penganut Islam setelah menikah dengan Syekh Maulana Arifin (putra dari Syekh Maulana Akbar). Syekh Maulana Akbar sendiri adalah seorang ulama yang diduga asal Persia yang berhasil sampai ke Kuningan dan menyebarkan Islam di sana.


Kedatangannya ke Kuningan waktu itu kiranya terlebih dahulu atas seijin Sunan Gunung Jati penguasa Kerajaan Islam Cirebon yang mulai tumbuh dan giat menyebarkan Islam. Kedatangannya Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam ke Kuningan berarti lebih dulu daripada Sunan Gunung Jati. Mungkin dapat dikatakan Syekh Maulana Akbar sebagai perintis penyebaran Islam ke Kuningan, sementara Sunan Gunung Jati lebih menyempurnakan lagi. Kurun waktu kedatangan Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam di Kuningan diperkirakan mulai terjadi tahun 1450.


Ketika Sunan Gunung Jati sampai di Winduherang, dia menitipkan putra angkatnya tersebut (Suranggajaya) untuk diasuh oleh Bratawiyana (Arya Kamuning). Selain itu Sunan Gunung Jati berpesan bahwa anak tersebut setelah dewasa kelak akan diangkat menjadi penguasa daerah Kuningan. Dalam masa pengasuhan Arya Kamuning ini bahkan anak yang dititipkan itu diberi nama panggilan Raden Kamuning, kiranya untuk lebih mendekatkan hubungan psikologis (batin) antara ayah (asuh) dengan putra (asuh)nya.


Dalam sumber berita Cirebon (CPCN/Carita Purwaka Caruban Nagari) dan buku karya P.S Sulendraningrat bahkan disebutkan lagi bahwa bersamaan dengan mengasuh putra angkat Sunan Gunung Jati, sebenarnya Bratawiyana (Arya Kamuning) juga punya anak yang sedang sama-sama dibesarkan (seusia dengan Suranggajaya) yaitu Ewangga.


Tetapi di sumber lain menyebutkan bahwa tokoh Dipati Ewangga adalah seorang bangsawan yang asalnya dari Parahyangan (Cianjur) yang pada awalnya ingin berguru/belajar agama Islam kepada Sunan Gunung Jati, lalu oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk pergi ke Kuningan saja membantu putra angkatnya (yaitu Suranggajaya) dalam mengelola pemerintahan di Kuningan. Mana yang benar, yang jelas keberadaan tokoh Dipati Ewangga kiprahnya banyak diceriterakan sebagai tokoh “panglima” tentara Kuningan yang pernah ikut membantu Cirebon dan Mataram ketika menyerang Belanda di Batavia (sehingga ada nama perkampungan Kuningan di Jakarta).




Sejarah Wilayah Kuningan


Diperkirakan ± 3.500 tahun sebelum masehi sudah terdapat kehidupan ma-nusia di daerah Kuningan, hal ini berdasarkan pada beberapa peninggalan kehidupan di zaman pra sejarah yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neoliticum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan Megaliticum. Bukti peninggalan tersebut dapat dijumpai di Kampung Cipari Kelurahan Cigugur yaitu dengan ditemukannya peninggal-an pra-sejarah pada tahun 1972, berupa alat dari batu obsidian (batu kendan), pecahan-pecahan tembikar, kuburan batu, pekakas dari batu dan keramik.


Sehingga diperkirakan pada masa itu terdapat pemukiman manu-sia yang telah memiliki kebudayaan tinggi. Hasil penelitian menunjukan bahwa Situs Cipari mengalami dua kali masa pemukiman, yaitu masa akhir Neoleticum dan awal pengenalan bahan perunggu berkisar pada tahun 1000 SM sampai dengan 500 M. Pada waktu itu masyarakat telah menge-nal organisasi yang baik serta kepercayaan berupa pemujaan terhadap nenek moyang (animisme dan dinamisme). Selain itu diketemukannya pula peninggalan adat dari batu-batui besar dari zaman megaliticum.


Berdasarkan penemuan benda-benda budaya yang merupakan peninggal-an dari zaman purbakala atau zaman prasejarah, dapat diketahui bahwa sejak sekitar 4500 tahun yang lalu di daerah Kabupaten Kuningan telah ada kehidupan manusia. Pada masa itu manusia-manusia yang menetap di daerah Kuningan telah mampu mempertahankan dan mengembangkan hidup mereka baik secara perseorangan maupun secara berkelompok. Tentu mereka sudah memiliki mata pencaharian, sistem kepercayaan, dan organisasi sosial sendiri.
Mereka telah bercocok tanam, mempercayai adanya kekuatan gaib pada roh nenek moyang (animisme) dan benda ­benda tertentu (dinamisme).


Pemimpin mereka muncul dari kalangan mereka sendiri yang dipandang paling baik (primus interpares). Arwah para pemimpin mereka itulah yang kemudian dijunjung tinggi dan dipuja dalam acara ritual keagamaan mereka.
Benda-benda budaya dimaksud adalah berupa artefak prasejarah seperti beliung persegi, belincung, kapak, peti kubur, patung, gelang, manik-manik, meja, menhir, bangunan berundak, dan lesung yang semuanya terbuat dari batu.


Juga periuk, kendi, dan mangkuk sayuran yang terbuat dari tanah (gerabah) dengan diberi hiasan dan polos. Ada pula kapak kecil yang terbuat dari perunggu (logam). Sebagian benda budaya tersebut ditemukan di atas permukaan tanah, sebagian lagi diperoleh dari hasil penggalian (ekskavasi).




Letak Geografis


Kabupaten Kuningan terletak pada titik koordinat 108° 23” – 108° 47” Bujur Timur dan 6° 45” – 7° 13” Lintang Selatan. Sedangkan ibu kotanya terletak pada titik koordinat 6° 45” – 7° 50” Lintang Selatan dan 105° 20” – 108° 40” Bujur Timur.
Kabupaten Kuningan berba-tasan langsung dengan Kabupaten Cirebon di sebelah utara, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Majalengka di sebelah selatan, Kabupaten Majalengka di sebelah barat, Kabupaten Brebes provinsi Jawa Tengah di sebelah timur.




Wilayah Administratif


Kabupaten Kuningan, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, In-donesia. Pusat pemerintahan di Kecamatan Kuningan. Wilayah pemerintah-an Kabupaten Kuningan terdiri dari:




  • Wilayah Kecamatan :




1) Kecamatan Ciawigebang
2) Kecamatan Cibeureum
3) Kecamatan Cibingbin
4) Kecamatan Cidahu
5) Kecamatan Cigandamekar
6) Kecamatan Cigugur
7) Kecamatan Cilebak
8) Kecamatan Cilimus
9) Kecamatan Cimahi
10) Kecamatan Ciniru
11) Kecamatan Cipicung
12) Kecamatan Ciwaru
13) Kecamatan Darma
14) Kecamatan Garawangi
15) Kecamatan Hantara
16) Kecamatan Jalaksana
17) Kecamatan Japara
18) Kecamatan Kadugede
19) Kecamatan Kalimanggis
20) Kecamatan Karangkancana
21) Kecamatan Kramatmulya
22) Kecamatan Kuningan
23) Kecamatan Lebakwangi
24) Kecamatan Luragung
25) Kecamatan Maleber
26) Kecamatan Mandirancan
27) Kecamatan Nusaherang
28) Kecamatan Pancalang
29) Kecamatan Pasawahan
30) Kecamatan Selajambe
31) Kecamatan Sindangagung
32) Kecamatan Subang




Luas Wilayah


Luas wilayah 117.857,55 ha terdiri atas : sawah 29.839 ha, lahan kering 36.964 ha, hutan negara 35.000,84 ha dan lain-lain 6.503,71 ha.




Peta Kuningan


peta kuningan





demikianlah artikel dari dunipendidikan.co.id mengenai Sejaran Kerajaan Kuningan : Pengertian, Konflik, Masa Keadipatian, Cerita Rakyat, Letak Geografis, Wilayah, Luas, Peta, semoga artikel inni bermanfaat bagi anda semuanya.





Sumber jk.com


EmoticonEmoticon