Kamis, 20 Agustus 2020

Makalah Anutan Sufistik Syekh Abdul Wahab Rokan

Makalah Pemikiran Sufistik Syekh Abdul Wahab Rokan
Oleh : M. Iqbal Irham M.Ag

A. Pendahuluan

Manusia dilahirkan dengan kemampuan untuk mengenal Tuhan. Kemampuan ini ada sebagai suatu peluangyang serupa pada seluruh manusia sebab adanya “ruh” Tuhan pada dirinya. Potensi inilah yang disebut oleh Islam dengan fitrah.[3] Oleh karena ialah pembawaan secara intrinsik, maka kecenderungan berketuhanan ini tidak mampu dielakkan oleh siapapun. [4]

Kecenderungan kepada Tuhan selaku Realitas Mutlak dan Absolut ini, diekspresikan oleh sebagian orang dengan melakukan tindakan dalam bentuk ibadah formal seperti doa, shalat, puasa, haji dan ibadah syariah yang lain. Ekspresi ini lebih dikenal dengan fiqh. Sementara sebagian lainnya melaksanakan lebih dari sekedar ibadah formal ialah menghampiri Tuhan sedekat-dekatnya bahkan bersatu dengan-Nya. Ekspresi yang kedua inilah yang lalu disebut dengan tasawuf (mistisisme / mistyc). Dengan demikian tampakbahwa objek kajian tasawuf lebih mengarah pada kajian yang bersifat batin (esoteris), sedangkan fiqh lebih menekankan pada faktor-aspek luar (eksoteris). Keunikan tasawuf yang bersifat esoteris ini mengakibatkan dia lebih bersifat universal, luas, elastis dan inklusif.

Esoterisme tasawuf terlihat faktual alasannya perbincangan yang muncul di dalamnya selalu mengarah pada faktor ruhani adalah penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) untuk selanjutnya melakukan perjalanan menuju Tuhan. Pengalaman kerohanian ini lazimnya di ukur dengan rasa (dzawq) yang pastinya sungguh bersifat personal alasannya setiap individu merasakan pengalaman yang ditentukan tidak akan pernah sama dengan yang lain. Pengalaman ini juga meniscayakan keanekaragaman yang tak mungkin disatukan alasannya adalah hal ini terkait bersahabat dengan keadaan kejiwaan seseorang, tingkat pemahaman, iman, penghayatan dan perolehannya dari derma (mauhibah, jamaknya mawahib) Tuhan yang dituju.

Mauhibah Tuhan terhadap seseorang yang meniti jalan tasawuf biasanya diketahui dengan penyingkapan atau terbukanya tirai-tirai alam ghaib (kasyf al-hijab) yang sangat banyak jumlahnya.[5] Penyingkapan ini akan meraih titik puncaknya suatu ketika, dimana seseorang akan mencicipi tajalli-nya Tuhan Yang Maha Indah dan Sempurna. [6]

Pengalaman dalam mencicipi tajalli-nya Tuhan ini, merupakan sesuatu yang sulit diungkapkan oleh bahasa biasa (sehari-hari). Alih-alih memberikan perasaan ini kepada orang lain, seorang sufi seringkali lebih menentukan menutup mulutnya rapat-rapat, berdiam diri dan merahasiakannya dari orang lain. Hal ini biasanya dijalankan untuk terus menjaga kesucian diri, mencegah munculnya sifat-sifat kedirian (nafs) dalam bentuk ‘ujub, riya, sum’ah dan takabbur. Di samping itu, “gerakan tutup mulut” ini juga disebabkan karena adanya kegundahan jika apa yang mereka rasakan akan disalahpahami serta disalahmaknakan oleh orang lain.

Namun demikian, pengungkapan dari penelisikan tajalli Tuhan tersebut ternyata juga ialah sesuatu yang dibutuhkan apalagi untuk pendidikan dan pembelajaran bagi yang lain. Hanya saja, lazimnya pengungkapan ini memakai media tersendiri seperti seni, baik seni tari maupun bahasa sastra, dalam menyampaikan pengalaman yang tak terkatakan itu. [7]

Dalam sejarah, ternyata banyak sufi yang menyampaikan pengalaman kerohanian dan pengajaran (lebih tepatnya fatwa sufistik) mereka kepada orang lain dalam bahasa sastra yakni puisi, syair dan sejenisnya. Penyampaian dengan sistem ini sepertinya karena ada jembatan penghubung antara tasawuf itu sendiri dengan seni adalah rasa (dzawq).

Rabi’ah al-Adawiyah misalnya, dikenal dengan syair mahabbah-nya yang cukup masyhur. Ada juga Shana’i al-Ghaznawi, seorang pujangga sufi Persia pertama yang sangat produktif dalam memaparkan iktikad-akidah tasawufnya melalui media syair [8] semenjak paruh pertama periode ke-6 H. Enam puluh tahun sesudah Shana’i, ada Fariduddin al-‘Aththar (w.626 H), penyair yang juga sungguh produktif. Karya-karyanya berupa prosa dan puisi. Ia menulis risalah Tadzkirah al-Auliya’, yang berisi riwayat hidup dan karaktek para sufi. Kitabnya Mantiq at-Thayr juga ialah maha karya dalam bidang tasawuf. Ibn Faridh al-Mishri (w.632 H) merupakan sufi yang sajak-sajak tasawufnya sungguh mengagumkan. Ia terkenal dengan Diwan (himpunan sajak puitis)nya. Seorang penyair sufi Iran yang juga ternama yakni Jalaluddin Muhammad ar-Rumi (w.672 H) yang populer dengan Matsnawi-nya. Karyanya ini merupakan samudera ‘irfani yang penuhdengan visi spiritual dan sosial yang unik dan istimewa. Selain mereka juga ada Nizami, seorang sufi penyair persia yang cukup populer. Salah satu syair dari lima naratif (khamsah) yang digubahnya berjudul Makhazan al-Asrar (Khazanah Rahasia-Rahasia).[9]

Di Indonesia, ada Hamzah Fansuri yang dikenal dengan aneka macam syair-syairnya tergolong syair perahu. Sufi lain yang juga cukup populer adalah Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi al-Naqsyabandi al-Syazali (1230-1345 H/1811-1926M) yang lebih bersahabat disebut dengan nama “Tuan Guru Babussalam” (Besilam). Kepiawaiannya dalam tulis menulis tergolong syair-syairnya, diakui oleh Martin van Bruinessen yang menyebutkan bahwa Syekh Abdul Wahab pastilah ialah salah seorang tokoh Naqsyabandiyah yang paling produktif diantara para penulis di kelompok tarekat Naqsyabandiyah yang pernah ada.[10]

Syekh Abdul Wahab diketahui tidak hanya di tempat Babussalam, Langkat [11] sebagai daerah pengembangan anutan sekaligus kawasan pemakamannya yang cukup ramai dikunjungi -khususnya pada haul yang dikerjakan setiap tanggal 21 Jumadil Awal- namun juga nyaris di seluruh Sumatera Utara terutama di kawasan pesisir Timur, Riau serta di Asia Tenggara seperti Malaysia terutama di daerah Johor, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam dan beberapa negara Asia lainnya.[12]

Makalah ini akan menyoroti beberapa percikan ajaran sufistik Syekh Abdul Wahab yang terbatas pada zuhud, tarekat dan suluk dalam syair-syair, wasiat dan khutbah-khutbahnya.


PEMBAHASAN

B. Riwayat Singkat Syekh Abdul Wahab Rokan

Syekh Abdul Wahab dilahirkan dan dibesarkan dikalangan keluarga aristokrat yang taat beragama, berpendidikan dan sungguh dihormati. Ia lahir pada tanggal 19 Rabiul Akhir 1230 H[13] di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau dan diberi nama Abu Qosim. Ayahnya berjulukan Abdul Manaf bin Muhammad Yasin bin Maulana Tuanku Haji Abdullah Tambusei, seorang ulama besar yang ‘abid dan cukup ternama pada saat itu.[14] Sedangkan ibunya bernama Arbaiyah binti Datuk Dagi bin Tengku Perdana Menteri bin Sultan Ibrahim yang memiliki pertalian darah dengan Sultan Langkat.[15] Syekh Abdul Wahab meninggal pada usia 115 tahun pada 21 Jumadil Awal 1345 H atau 27 Desember 1926 M.

Masa sampaumur Syekh Abdul Wahab, lebih banyak dipenuhi dengan mencari dan menambah ilmu wawasan. Pada mulanya dia berguru dengan Tuan Baqi di tanah kelahirannya Kampung Danau Runda, Kampar, Riau. Kemudian beliau menamatkan pelajaran Quran pada H.M. Sholeh, seorang ulama besar yang berasal dari Minangkabau.

Setelah menamatkan pelajarannya dalam bidang al-Alquran, Syekh Abdul Wahab melanjutkan studinya ke daerah Tambusei dan mencar ilmu pada Maulana Syekh Abdullah Halim serta Syekh Muhammad Shaleh Tembusei. Dari kedua Syekh inilah, beliau mempelajari berbagai ilmu seperti tauhid, tafsir dan fiqh. Disamping itu dia juga mempelajari “ilmu alat” seperti nahwu, sharaf, balaghah, manthiq dan ‘arudh. Diantara Kitab yang menjadi tumpuan adalah Fathul Qorib, Minhaj al-Thalibin dan Iqna’. Karena kepiawaiannya dalam menyerap serta penguasaannya dalam ilmu-ilmu yang disampaikan oleh guru-gurunya, dia lalu diberi gelar “Faqih Muhammad”, orang yang hebat dalam bidang ilmu fiqh.

Syekh Abdul Wahab kemudian melanjutkan pelajarannya ke Semenanjung Melayu dan berguru pada Syekh Muhammad Yusuf Minangkabau. Ia menyerap ilmu pengetahuan dari Syekh Muhammad Yusuf selama kira-kita dua tahun, sambil tetap berdagang di Malaka.[16]

Hasrat belajarnya yang tinggi, membuat dia tidak puas hanya mencar ilmu sampai di Malaka. Ia seterusnya menempuh perjalanan panjang ke Mekah dan berguru pengetahuan selama enam tahun pada guru-guru ternama pada saat itu. Di sini pulalah dia memperdalam ilmu tasawuf dan tarekat pada Syekh Sulaiman Zuhdi hingga kesudahannya dia memperoleh ijazah sebagai “Khalifah Besar Thariqat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah”.[17]

Syekh Abdul Wahab dalam pencarian permulaan yang penulis lakukan, juga memperdalam Tarekat Syaziliyah. Hal ini terbukti dari pencantuman namanya sendiri dikala ia menulis buku 44 Wasiat ialah “Wasiat Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi Naqsyabandi as-Syazali…”. Selain itu, pada butir kedua dari 44 Wasiat, beliau menyampaikan “apabila kamu sudah baligh berilmu hendaklah mendapatkan Thariqat Syazaliyah atau Thariqat Naqsyabandiyah supaya sejalan kau dengan aku”.[18] Hanya saja hingga ketika ini, penulis belum menemukan data kapan, dimana dan pada siapa Syekh Abdul Wahab mempelajari Tarekat Syaziliyah ini.

Pada ketika belajar di Mekah, Syekh Abdul Wahab dan murid-murid lainnya pernah diminta untuk membersihkan wc dan kamar mandi guru mereka. Saat itu, pada umumnya dari kawan-kawan seperguruannya melaksanakan tugas ini dengan ketidakseriusan bahkan ada yang enggan. Lain halnya dengan Syekh Abdul Wahab. Ia melakukan perintah gurunya dengan sepenuh hati. Setelah semua berakhir, Sang Guru kemudian menghimpun semua murid-muridnya dan memberikan pujian kepada Syekh Abdul Wahab sambil mendoakan, gampang-mudahan tangan yang sudah membersihkan kotoran ini akan dicium dan dihormati oleh termasuk para raja.[19]

Salah satu kekhasan Syekh Abdul Wahab dibanding dengan sufi-sufi yang lain yaitu bahwa dia sudah meninggalkan lokasi perkampungan bagi anak cucu dan murid-muridnya. Daerah yang berjulukan “Babussalam” ini di bangun pada 12 Syawal 1300 H (1883 M) yang ialah wakaf muridnya sendiri Sultan Musa al-Muazzamsyah, Raja Langkat pada abad itu. Disinilah beliau menetap, mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah sampai akhir hayatnya.

Di sela-sela kesibukannya sebagai pimpinan Tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Abdul Wahab masih menyempatkan diri untuk menuliskan ajaran sufistiknya, baik dalam bentuk khutbah-khutbah, wasiat, maupun syair-syair yang ditulis dalam abjad Arab Melayu. Tercatat ada dua belas khutbah yang beliau tulis dan masih terus diajarkan pada jamaah di Babussalam. Sebagian khutbah-khutbah tersebut -enam buah diantaranya- diberi judul dengan nama-nama bulan dalam tahun Hijriyah adalah Khutbah Muharram, Khutbah Rajab, Khutbah Sya’ban, Khutbah Ramadhan, Khutbah Syawal, dan Khutbah Dzulqa’dah. Dua khutbah lain tentang dua hari raya yakni Khutbah Idul Fitri dan Khutbah Idul Adha. Sedangkan empat khutbah lagi masing-masing berjudul Khutbah Kelebihan Jumat, Khutbah Nabi Sulaiman, Khutbah Ular Hitam, dan Khutbah Dosa Sosial.

Wasiat atau yang lebih dikenal dengan nama “44 Wasiat Tuan Guru” yakni kumpulan pesan-pesan Syekh Abdul Wahab terhadap seluruh jamaah tarekat, terutama kepada anak cucu / dzuriyat-nya. Wasiat ini ditulisnya pada hari Jumat tanggal 13 Muharram 1300 H pukul 02.00 WIB [20] kira-kira sepuluh bulan sebelum dibangunnya Kampung Babussalam.

Karya tulis Syekh Abdul Wahab dalam bentuk syair, terbagi pada tiga bab adalah Munajat, Syair Burung Garuda dan Syair Sindiran. Syair Munajat yang berisi pujian dan doa terhadap Allah, sampai hari ini masih terus dilantunkan di Madrasah Besar Babussalam oleh setiap muazzin sebelum azan dikumandangkan. Dalam Munajat ini, terlihat bagaimana keindahan syair Syekh Abdul Wahab dalam menyusun secara lengkap silsilah Tarekat Naqsyabandiyah yang diterimanya secara turun temurun yang terus bersambung kepada Rasulullah Saw. Sedangkan Syair Burung Garuda berisi kumpulan petuah dan usulan yang didedikasikan khusus bagi anak dan remaja. Sayangnya, sampai dikala ini Syair Burung Garuda tidak diperoleh naskahnya lagi. Sementara itu, naskah asli Syair Sindiran sudah diedit dan dicetak ulang dalam Aksara Melayu (Indonesia) oleh Syekh Haji Tajudin bin Syekh Muhammad Daud al-Wahab Rokan pada tahun 1986.

Selain khutbah-khutbah, wasiat maupun syair-syair, Syekh Abdul Wahab juga meninggalkan berbait-bait pantun rekomendasi. Pantun-pantun ini memang tidak satu baitpun tertulis tetapi sebagian diantaranya masih dihafal oleh sebagian kecil anak cucunya secara turun temurun. Menurut Mualim Said, -salah seorang cucu Syekh Abdul Wahab yang menetap di Babussalam ketika ini- dia sendiri masih hafal beberapa bait pantun tersebut, mirip halnya dengan Syekh H. Hasyim el-Syarwani, Tuan Guru Babussalam kini.[21] Dalam karya-karya tulisnya inilah, akan terlihat ajaran-pedoman sufistik Syekh Abdul Wahab seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut.

Martin van Bruinessen menggambarkan sosok Syekh Abdul Wahab sebagai khalifahnya Sulaiman Zuhdi yang paling mencolokdi Sumatera, seorang Melayu dari Pantai Timur… Ia mengangkat seratus dua puluh khalifah di Sumatera dan delapan orang di Semenanjung Malaya. Syekh Melayu ini memiliki efek yang demikian luas di daerah Sumatera dan Malaya seimbang dengan apa yang diraih para Syekh Minangkabau semuanya…”. .[22]

Bahkan menurut Zikmal Fuad, mengutip pernyataan Nur A.Fadhil Lubis dalam suatu seminar “Perbandingan Pendidikan Indonesia Amerika” di Aula 17 Agustus, Pesantren Darul Arafah Medan, tahun 1992 nama Syekh Abdul Wahab sangat diketahui dan dipertimbangkan dikalangan Misionaris dan Orientalis di Amerika.[23]


C. Pemikiran Sufistik Syekh Abdul Wahab Rokan

Syekh Abdul Wahab menulis Syair Sindiran dalam tiga bab yang berlawanan. Meskipun demikian tidak ada penjelasan mengapa hal ini dilakukakannya. Bagian pertama menampung lima puluh tiga (53) bait, bagian kedua memuat dua puluh lima (25) bait, sedangkan bagian ketiga berisi enam belas (16) bait yang setiap baitnya terdiri dari empat baris.

Menurut Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran ini ditulisnya saat sedang berada di Malaysia, tepatnya di daerah Batu Pahat, Rantau Panjang.

Awal menyurat di Batu Pahat
Rantau Panjang namanya kawasan
Dibuat syair akan rekomendasi
Hendaklah dibaca besar lengan berkuasa-besar lengan berkuasa [24]

Syair Sindiran ditulis untuk seluruh murid-muridnya selaku suatu usulan berharga dari seorang guru. Syair ini ditulis dengan cara sindiran (kinayah) untuk menjadi menyerupai (pelajaran) sehingga membuat orang merasa nyaman, tidak merasa tersinggung atau terlecehkan. Syair Sindiran ini mampu teratasi -diungkapkan oleh Syekh Abdul Wahab dengan kerendahan hati- hanya dengan pertolongan Allah yang Rahman.

Faqir menciptakan akan sindiran
Dengan derma Tuhan Rahman
Siapa-siapa membaca ingatlah tuan
Janganlah ceroboh sekalian ikhwan [25]

Nasehat dalam bentuk syair ini bukan sekedar untuk diketahui, namun diperlukan menjadi suatu amalan tersendiri selaku bekal hidup di dunia yang menjadi daerah tanggal sementara. Pernyataan “hendaklah dibaca kuat-berpengaruh” dan “janganlah gegabah sekalian ikhwan” memberikan semoga syair dibaca, dipahami, diperdengarkan (diajarkan) kepada orang lain serta tentu saja diamalkan. Namun demikian, Syekh Abdul Wahab menggarisbawahi bahwa jikalau saran yang diberikannya tidak semua bisa dilakukan, maka amalkan sebatas apa yang mampu diamalkan sesuai dengan kesanggupan dan perjuangan yang telah diupayakan.

Tamatlah telah syair rekomendasi
Hendaklah ikhwan sekalian ingat
Serta faham segala ibarat
Serta amalkan mana-mana yang dapat [26]

Syair Sindiran yang diawali dengan menyebut asma Allah seraya mengharap ampunan-Nya ditujukan selaku nasehat mengenang mati (zikr al-kematian), alasannya diri akan berpindah ke alam barzakh.

Dimulai syair dengan bismillah
Memohonkan ampun terhadap Allah
Faqir mengarang berbuat lelah
Diperbuat sindiran menyerupai berpindah [27]
Inilah sindiran lama bertambah
Mengarang syair mirip berpindah
Syair mirip yang amat indah
Ingatlah diri akan berpindah [28]

Kematian, berdasarkan Syekh Abdul Wahab bahwasanya ialah hal yang pasti akan menjumpai siapapun yang hidup. Karenanya usulan ini adalah salah satu cara untuk mengingatkan orang akan hidup yang tidak infinit dan pasti berakhir.

Wahai sekalian adik dan kakak
Ingat-ingat janganlah tidak
Mati itu tak boleh tidak
Pikirlah tuan adik dan abang [29]

Berbeda dengan Syair Sindiran, dalam 44 Wasiat, Syekh Abdul Wahab memperlihatkan penitikberatan terhadap anak cucunya untuk mengamalkan pesan dan nasehatnya. Ia mengingatkan :

“Hendaklah simpan surat wasiat ini satu surat satu orang. Bacalah sejum’at sekali atau sebulan sekali, sekurang-kurangnya setahun sekali. Amalkan apa-apa yang tertulis di dalam wasiat ini agar kamu mampu martabat yang tinggi dan kemuliaan yang besar dan kaya dunia akhirat”.[30]

Penekanan ini bahkan beliau tegaskan lagi dengan menyatakan :

“Wahai anak cucuku, jangan sekali-kali engkau permudah dan jangan kau ringan-ringankan wasiatku ini, alasannya wasiatku ini datang dari pada Allah dan Rasul dan dibandingkan dengan Guru-Guru yang opsi, dan sudah kuterima kebajikan wasiat ini”.[31]


Beberapa fatwa sufistik Syekh Abdul Wahab antara lain sebagai berikut:
1. Zuhud

Zuhud yakni sebuah perilaku memalingkan diri dari dunia[32] atau melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Keberpalingan ini sebab menilai dunia hina atau menjauhinya karena dosa. Pada tingkat yang tinggi, seorang zahid akan menatap segala sesuatu kecuali Allah, tidak berharga. Karena itu beliau akan menjaga hatinya dari segala yang mampu memalingkannya dari Allah. Sejalan dengan ini, Abu Usman menyatakan bahwa zuhud adalah engkau tinggalkan dunia, lalu kau tidak perduli siapapun yang mengambilnya.[33]

Syekh Abdul Wahab mengingatkan murid-muridnya semoga “jangan bermegah-megah dengan dunia dan kebesarannya…jangan menghimpun harta benda banyak-banyak dan jangan dibanyakkan memakai busana yang halus.[34] Harta yang banyak, melebihi keperluan yang diharapkan cuma akan menghadirkan kelalaian hati dari berzikir terhadap Allah.

Kesenangan dunia ini hakikatnya hanyalah sebentar, sekejap mata. Tempat yang abadi itu ialah alam baka.[35] Karena itu hendaklah kita banyak-banyak menenteng bekal pulang ke alam baka, jangan sampai terpedaya dengan hawa nafsu yang mengajak pada keburukan dan kejahatan. Ingatlah dongeng-kisah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, karenanya mereka rugi dunia dan akhirat [36] Selagi masih hidup, lebih baik berbuat bakti terhadap Tuhan dan terhadap hamba-hamba-Nya. Hidup bukan sekedar mencari harta untuk pengisi peti (keranda jenazah).

Negeri darul baka kawasan menanti
Baiklah kita berbuat bakti
Sementara hidup sebelum mati
Jangan mencari harta pengisi peti [37]

Mengenai kezuhudan Syekh Abdul Wahab, H.A Fuad Said menceritakan, sebuah kali Abdul Wahab berlayar menuju Siak Indra Pura, Riau. Di sini dia dan rombongan dijamu –sebagaimana etika Melayu- oleh Sultan Kasim Abdul Jalil Saifuddin Ba’alawi dengan tepak sirih yang yang dibuat dari emas. Ulama-Ulama lain yang berasal dari Hadhramaut dengan bahagia hati merasakan sirih yang disuguhkan oleh Sultan. Lain halnya dengan Syekh Abdul Wahab. Ia dengan rendah hati menolak sambil mengatakan bahwa mereka (para ulama tersebut) mungkin sudah menerima argumentasi dan dalil yang mengijinkan, namun aku belum mendapatkannya. Ia gres mencicipi sirih tersebut sehabis tepak diganti dengan tepak umumyang yang dibuat dari kayu. Selanjutnya dia dengan sarat kesantunan memberikan usulan –pada dasarnya wacana zuhud- terhadap Sultan dan pengunjung yang lain. Sultan Kasim Abdul Jalil sedikitpun tidak menyangkal apa yang disampaikan, bahkan membenarkannya, hanya menurutnya dikala ini hal itu belum bisa ia kerjakan, masih sibuk dan belum ada kelapangan waktu. Syekh Abdul Wahab dengan mengutip al-Quran Surat At-Takatsur kemudian menjelaskan bahwa harta yang banyak memang mampu melupakan orang dari mengenang kematian dan alam kubur. [38]

Syekh Abdul Wahab -dalam mempraktekkan kezuhudan ini- telah membuat peraturan untuk seluruh penduduk yang tinggal menetap di Babussalam dikala itu. Seluruh penduduk dihentikan merokok di daerah lazim, tidak memakai tempat tidur yang terbuat dari besi dan dihentikan mengutamakan kemewahan dunia alasannya adalah semua harta ini akan ditinggalkan bila akhir hayat menjemput. Demikian pula kaum wanita dihentikan memakai pemanis yang menonjol dan dihentikan bertindik (memakai embel-embel anting-anting di indera pendengaran). Ia sendiri, makan dalam piring kayu atau upih (daun yang berasal dari pohon pinang), serta minum dalam tempurung. Para pembesar dan Sultan yang datang mengunjunginya juga disuguhinya kuliner dan minuman dalam wadah yang serupa.[39]

Dalam hal tata busana, Syekh Abdul Wahab mengingatkan untuk berpakaian sederhana, tidak mencolok, yang penting higienis dan suci serta tidak merasa tinggi hati (takabbur) dengan pakaian yang dikenakan. Karena itu jikalau berpakaian lengkap, jangan lupa untuk mengenakan pakaian jelek (jelek) bersamanya.

“Jika menggunakan pakaian yang lengkap, maka pakailah busana yang jelek di dalamnya, yang antaranya yang jelek itu sebelah atas.” [40]

Zuhud yang ialah perilaku memalingkan diri dari dunia atau menetralisir dunia dari dalam hati mempunyai arti menetralisir kecintaan pada dunia dan segala perhiasannya. Cinta pada dunia (hubb ad-dunya) bantu-membantu ialah hijab yang menjauhkan seseorang dari Tuhan. Rasulullah Saw. bahkan menegaskan bahwa hubb ad-dunya yakni salah satu dari dua penyakit hati[41] yang dapat melemahkan jiwa dan semangat umat untuk berjuang di jalan Allah. Penyakit ini dilarang didiamkan terlebih bersarang terlalu usang dalam diri seseorang. Agar tidak menjinjing pada kerusakan yang besar, harus secepatnya dicari obat untuk kesembuhannya. Kesembuhan penyakit ini, berdasarkan Syekh Abdul Wahab, membutuhkan penanganan yang intensif dari seorang ‘cendekia bi Allah, “thabib yang maqbul doanya” agar penyakit ini mampu diatasi dan “sembuh dengan segeranya”.

Tipu dunia terlalu besarnya
Tiadalah ingat pula kenanya
Cari thabib yang maqbul doanya
Supaya sembuh dengan segeranya [42]

Namun demikian, bagi Abdul Wahab, zuhud itu bukan mempunyai arti tidak memiliki penghidupan di dunia. Mencari nafkah yang halal dengan usaha sendiri merupakan hal yang penting dan sungguh dianjurkannya. Apabila sudah mempunyai harta dan kemuliaan, diingatkan untuk membuatkan dengan sesama.

“Hai sekalian orang yang kaya-kaya yang mampu pangkat dan kemuliaan. Hendaklah kuat berzakat dan beribadah serta banyakkan beramal dan berwakaf supaya awet kayanya itu dari dunia sampai ke darul baka.” [43]

Anjuran mencari nafkah penghidupan ditegaskannya dengan cara yang sungguh umum dilaksanakan dikala itu yakni bertani, berladang dan menjadi ‘amil. Bahkan bagi yang ingin mendapatkan laba yang lebih besar dia mengusulkan untuk berniaga (berjualan/berdagang) dengan melakukan syarikat (perkongsian/koordinasi) dengan orang lain.

“Jangan kamu berniaga sendiri, namun hendaklah bersyarikat. Dalam mencari nafkah hendaklah bertani, berladang, menjadi ‘amil dan sebagainya…” [44]

Mencari harta benda bukanlah ialah hal yang terlarang dalam agama, bahkan diusulkan seperti yang diterangkan Alquran dalam al-Qashash ayat 77.

“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri darul baka, dan janganlah kau melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat ihsan-lah sebagaimana Allah sudah berbuat ihsan kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di tampang bumi sebab sebetulnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” [45].

Karena itu, mencari dan menerima kekayaan dunia tidak tidak boleh oleh Syekh Abdul Wahab. Ia tetap mengingatkan biar kekhusyu’an hati dan amal ibadah dihentikan terganggu hanya sebab kemewahan duniawi. Mereka yang hidup dengan harta yang berlimpah sementara amal ibadah menyusut, bahu-membahu sedang mengikuti jalan syaitan dan iblis, jalan yang seharusnya ditinggalkan. Dengan nada setengah bertanya beliau menasehatkan, “apa faedahnya harta bertambah sementara umur berkurang dan bersahabat terhadap akhir hayat”.

“Janganlah kamu suka dengan hartamu yang bertambah banyak sedangkan amal ibadahmu menyusut, alasannya itu hasratsyaitan dan iblis. Apa faedahnya harta bertambah, umur menyusut, bersahabat terhadap mati.”[46]

Meskipun tidak dilarangnya orang mencari kekayaan yang banyak, tetapi Syekh Abdul Wahab mengingatkan bahwa orang yang memiliki harta kekayaan akan disukai oleh pengintai yang ingin mengambil hartanya. Akibat dari semua ini, hidup akan merasa terbelenggu dengan kekayaan dan kemewahan sebab waktu tersita untuk mempertahankan dan merawatnya. Kondisi ini bekerjsama berawal dari diri yang tidak dapat mengatur keinginan hawa nafsu. Dingatkannya, jika tidak rajin melawan dan menolak cita-cita hawa nafsu, maka bersiaplah untuk “menyesal di lalu harinya”.

Jikalau peti banyak isinya
Banyak pencuri ingin mengambilnya
Bersungguh-sungguh kita melawannya
Jangan menyesal kemudian harinya [47]

Menurut Syekh Abdul Wahab, tidak mudah memalingkan diri dari kemewahan dunia terlebih bagi mereka yang tidak mengenali apa dan bagaimana dunia itu bahu-membahu. Namun bagi mereka yang sudah mengikuti serta mengamalkan tarekat dengan benar, beribadah (suluk) dengan lurus, maka dia akan mengenali ancaman dan kerugian dunia. Orang yang seperti ini akan tahu bahwa dunia “tidaklah boleh dibentuk teman”.

Siapa orang ahli thariqat
Serta amalkan ibadahnya kuat
Tahulah dia dunia banyak mudharat
Tidaklah boleh dibuat teman [48]

Zuhud yang dinyatakan oleh Syekh Abdul Wahab ini, sepertinya sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitab Mukhtashar Minhaj al-Qashidin. Menurutnya, zuhud adalah citra tentang menghindari dari mengasihi sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Dengan kata lain, zuhud yaitu menyingkir dari dunia alasannya tahu akan kehinaannya bila ketimbang kehidupan akhirat.[49]

Syekh Abdul Qadir al-Jailani, seperti yang dikutip oleh Said bin Musfir Al-Qahthani memastikan “tidaklah sampai orang-orang yang sudah sampai (kepada Allah) itu kecuali dengan ilmu dan kezuhudan kepada dunia serta berpaling darinya dengan hati dan rasa.” [50]

Seseorang yang sudah “mengenali rasanya”, membersihkan niat dan maksudnya dari kepentingan duniawi apapun maka akan berubahlah “segala thabi’at-nya” (kebiasaan-kebiasaan buruknya), sehingga seluruh gerak kehidupannya menjadi amal shalih dengan niat dan tujuan yang baik.

Barangsiapa mengenali rasanya
Niscaya berganti segala thabi’atnya
Sedikit tak mengambil akan dunianya
Ke akhirat juga banyak tuntutannya [51]

Seorang mukmin sesungguhnya memiliki tujuan yang baik di semua perilakunya. Ia melakukan pekerjaan di dunia bukan untuk dunia, melainkan membangun dunia untuk darul baka. Jika ia melakukan yang lain, maksudnya yaitu untuk keluarga, fakir miskin dan apa yang sebaiknya beliau perlukan dalam kehidupan. Dia melaksanakan semua itu semoga kelak diberikan ganjaran di alam baka. Dia tidak menuntut apapun di dunia, “ke darul baka juga banyak tuntutannya”.


2. Tarekat

Tarekat (thariqah) mempunyai korelasi yang bersahabat dengan tasawuf. Jika tasawuf ialah usaha untuk mendekatkan terhadap Allah, maka tarekat yaitu cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan kata lain, tarekat sebenarnya ialah jalan yang mesti ditempuh untuk dapat sedekat mungkin dengan Tuhan. Namun dalam perkembangannya, tarekat lalu mengandung arti golongan atau asosiasi yang menjadi lembaga dan mengikat sejumlah pengikutnya dengan berbagai peraturan. Makara, tarekat yaitu tasawuf yang melembaga, dimana tiap tarekat memiliki syekh, upacara ritual dan zikir tersendiri.[52]

Tarekat pada tataran praktis, ialah sebuah metode untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara bermaksud dengan jalan asumsi, perasaan dan tindakan, terkendali terus menerus terhadap sebuah rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk dapat mencicipi hakikat yang bantu-membantu.[53]

Memasuki dunia tarekat yang demikian penting, Syekh Abdul Wahab mengingatkan bahwa sebelum mempelajarinya, seseorang harus terlebih dahulu mendalami Quran dan Hadis. Ia menyatakan “hendaklah kamu rajin belajar Alquran dan kitab-kitab terhadap Guru-Guru yang Mursyid...”.[54] Sejalan dengan ini, Syekh Abdul Qadir Jailani menasehatkan biar melihat diri dengan persepsi yang sarat kasih dan cinta. Jadikan al-Kitab dan Sunnah di depan mata, lihatlah keduanya kemudian amalkan. Jangan menentang sehingga tidak melaksanakan apa yang dibawanya.[55] Ia menyertakan “ambillah usulan dari Quran dengan mengamalkannya, bukan dengan jalan menentangnya. Keyakinan ialah kata yang pendek, tetapi bila dilakukan dia menjadi panjang. Berimanlah pada Quran, percayalah dengan hati, serta amalkan dengan anggota badan.” [56] Syekh

Abdul Wahab mengingatkan semoga berpengaruh-besar lengan berkuasa mencar ilmu Alquran, hilangkan rasa malas, rajin dan rajin dalam mempelajarinya serta “melancar (mengulang kembali pelajaran sambil terus memahaminya dengan baik) itu janganlah segan”.

Wahai anak muda aristokrat
Kuat-kuat engkau belajar Quran
Melancar itu janganlah segan
Supaya menjadi Qari opsi [57]

Amal ibadah insan bergotong-royong tergantung pada pemahamannya kepada pekerjaan yang sedang dilakukannya ialah ia mesti betul-betul memahami apa yang beliau amalkan alasannya ilmu merupakan dasar utama sebuah amal. Tanpa ilmu dan pengertian yang benar, dikhawatirkan seseorang akan cenderung pada kesesatan dan hawa nafsu. Karena itu, ilmu-ilmu syariat yang lain seperti ilmu fiqh, ushul al-fiqh, bahasa Arab, nahwu dan sharf harus tetap dipelajari. Ilmu-ilmu akan menjadi dasar berpijak serta menjadi syarat untuk memasuki dunia tarekat.

Apabila sempurna kaji Alquran
Ushul dan fiqh pula dipelajarkan
Serta ibadat berhari-harian
Faqih dan Qari orang panggilkan [58]

Menurut Syekh Abdul Wahab, mempelajari Quran dan Hadis mempunyai arti juga mempelajari syariat secara utuh, tergolong duduk perkara halal-haram, dosa dan fahala. Persoalan rukun, syarat dan budbahasa dalam ibadah syariat tidaklah dapat dipisahkan

untuk meraih kesempurnaan. Kelak bila semua ini dapat dilaksanakan, bersamaan dengan perjalanan spiritual dalam tarekat, “baharulah (barulah) lapang dada amal ibadatnya”.

Dalil dan Hadis diperbaikinya
Halal dan haram dosa fahalanya
Apabila sempurna adat syaratnya
Baharulah lapang dada amal ibadatnya [59]

Setelah ilmu-ilmu tersebut dipelajari dengan baik, Syekh Abdul Wahab kemudian memperkenankan seseorang untuk mempelajari tarekat dan mencar ilmu “kepada khalifah yang tinggi pangkat”, guru yang mursyid, mereka yang sungguh-sungguh faham ihwal perjalanan ruhani semoga “ilmu yang jauh menjadi rapat”.

Ambillah pula ilmu thariqat
Kepada khalifah yang tinggi pangkat
Ilmu yang jauh menjadi rapat
Tetapi ratib hendaklah berpengaruh [60]

Meskipun demikian, Syekh Abdul Wahab hanya membatasi tarekat pada dua pilihan yakni tarekat Syaziliyah dan Naqsyabandiyah. Pembatasan ini sepertinya alasannya dia sendiri telah sangat mendalami kedua tarekat tersebut. “Apabila kamu sudah baligh berakal hendaklah mendapatkan Thariqat Syazaliyah atau Thariqat Naqsyabandiyah agar sejalan kau dengan aku”.[61]

Seseorang yang sudah mempelajari tarekat, utamanya Naqsyabandiyah, mesti melepaskan diri dari hawa nafsu dan ikatan-ikatan keduniawian mirip status sosial yang mampu menenteng pada kebanggaan. Hawa nafsu dan ikatan duniawi yakni hijab yang harus dilepaskan supaya tercapai keseimbangan dan kesempurnaan ruhani. Syekh Abdul Wahab menggambarkan status sosial dan ikatan duniawi ini dengan kata “tengkuluk” adalah topi yang digunakan para bangsawan dalam busana budpekerti Melayu karena beliau merupakan citra dari kebesaran seseorang.

Disamping itu, seorang murid mesti meninggalkan semua perbuatan maksiat baik lahir maupun batin yang pernah dilakukannya selama ini alasannya maksiat akan menjauhkan dirinya dari Tuhan. Melepaskan diri dari maksiat bermakna berusaha terus menerus untuk mengekalkan ingat kepada Allah.

Apabila digunakan thariqat Naqsyabandiyah
Dibuang tengkuluk digunakan kopiah
Perbuatan yang haram ditinggalkanlah
Dikekalkan ingat kepada Allah [62]

Kaum sufi termasuk Syekh Abdul Wahab, meyakini bahwa segi batiniah dari syariat Islam ialah tarekat yang merupakan jalan menuju kebenaran hakiki (haqiqah) yakni tauhid, mengesakan Allah. Karena itu mereka mempercayai tiga hal yang mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya yakni syariat, tarekat dan hakikat. Syariat yakni fasilitas untuk meraih tarekat dan tarekat ialah fasilitas untuk mencapai hakikat. Dari sinilah akan terjadi pengenalan yang baik dan benar wacana Tuhan (ma’rifah).

Jikalau tuan memalai ilmu thariqat
Dibetul dulu bicara i’tiqat
Serta dikenal dalil haqiqat
Baharulah sempurna pula makrifat [63]

Murid yang meniti jalan tarekat di bawah tutorial khalifah mumpuni, beribadah dengan rajin, akan mengenali bahwa dunia ini penuh dengan hal yang mampu mendatangkan mudharat. Karena itu, dunia “tidaklah boleh dibuat sobat”

Siapa orang hebat thariqat
Serta amalkan ibadahnya kuat
Tahulah ia dunia banyak mudharat
Tidaklah boleh dibuat sobat [64]

Setelah berusaha melepaskan diri dari hawa nafsu dan keakuan diri, maka perjalanan menuju Allah (suluk) dilanjutkan dibawah bimbingan guru yang mursyid. Perjalanan ini pada puncaknya akan sampai pada titik pengenalan kepada kepada Allah (ma’rifah). Namun mirip halnya al-Ghazali, Syekh Abdul Wahab menjelaskan bahwa puncak ma’rifah bukanlah bersatu dengan Tuhan (ittihad), melainkan justru mengenali dengan konkret perbedaan yang terang antara makhluk dengan Sang Khaliq.

Apabila sempurna thariqatmu tuan
Shalawat dan suluk pula lakukan
Barulah putus makrifatmu tuan
Membezakan hamba dengannya Tuhan [65]


3. Suluk

Suluk memiliki keterkaitan yang erat dengan tarekat. Orang yang melaksanakan tarekat disebut salik dan perbuatannya di sebut suluk yang memiliki arti perjalanan seseorang menuju Allah.[66] Simuh, dengan bahasa yang sedikit panjang menerangkan bahwa kaum sufi yang sedang merasakan kerinduan kepada Tuhan kemudian berusaha mencari dan mendekatiNya menyebut dirinya sebagai pengembara (salik). Mereka melangkah maju dari satu tingkat (maqam) ke tingkat yang lebih tinggi. Jalan yang mereka tempuh ini dinamakan tarekat sedangkan tujuan final perjalanannya yakni mencapai penghayatan fana fi Allah yakni kesadaran leburnya diri dalam samudera kemahabesaran Ilahi. Jalan tasawuf ini sering dinamakan suluk. [67]

Suluk atau khalwat (dalam bahasa Parsi disebut cilla yang mempunyai arti empat puluh) ialah acara mengasingkan diri ke suatu kawasan tertentu (rumah suluk) dari kesibukan duniawi untuk beberapa waktu di bawah pimpinan seorang mursyid supaya mampu beribadah lebih khusyu’ dan sempurna. Dalam prakteknya, suluk dapat dilaksanakan selama 3, 7, 10, 20 dan 40 hari. Jumlah yang terakhir ini ialah kurun yang terbaik dalam pelaksanaan suluk.[68] Meskipun demikian, suluk ini tidak diwajibkan, tetapi dalam tarekat Naqsyabandiyah terutama di tempat Sumatera dan sebagian Jawa, hal ini sungguh disarankan.[69]

Mengerjakan suluk janganlah jemu
Dari kecil sampai besarmu
Pengajaran ini ketimbang hamba
Kepada adik dan abang tolong-menolong [70]

Sebelum membangun Babussalam, Syekh Abdul Wahab lebih dahulu membangun rumah suluk di tempat Batubara [71] (Kabupaten Asahan Sumatera Utara). Disinilah beliau mengajar murid-muridnya selama beberapa waktu sampai hadirnya permintaan untuk ‘mengaji’ dari Sultan Musa al-Muazzamsyah, Raja Langkat di Tanjung Pura.

Mendirikan suluk di Batubara
Karena berhajat sanak saudara
Datanglah faqir dengannya segera
Dari negeri Langkat si Tanjung Pura [72]

Suluk, pada hakikatnya adalah mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk (as-shifat al-madzmumat) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (as-shifat al-mahmudah).[73] Ia ialah perjalanan hati menuju kelurusan adab dan keimanan serta pen-tahqiq-an peringkat kepercayaan kepada-Nya. Perjalanan hati ini harus mendaki dari satu maqam ke maqam lainnya yang lebih tinggi secara terus menerus tanpa henti. Inilah perjalanan batin di atas perjalanan batin.[74] Kaprikornus, suluk merupakan perjuangan seorang hamba untuk dapat menemukan hakikat keyakinan yang tidak dapat diraih kecuali dengan membersihkan hati, yang merupakan tempat dogma dan daerah evaluasi Tuhan kepada amal hambaNya. FirmanNya dalam QS an-Nahl 69:

“Maka berjalanlah diatas jalan-jalan Tuhanmu dengan patuh”.[75]

Pelaksanaan suluk akan menghadirkan banyak manfaat bagi salik antara lain menerima lezat dunia dan darul baka serta menemukan limpahan kurnia dan cahaya Nur Ilahi.[76] Suluk akan mengangkat derajat seseorang kepada tingkatan yang lebih tinggi kalau memenuhi banyak sekali tolok ukur yang sudah sudah diputuskan antara lain niat yang ikhlas cuma karena Allah dan taubat dari segala maksiat lahir dan batin. Disamping itu, suluk mesti di bawah tutorial seorang guru yang mursyid yang ahli ma’rifah,[77] “thabib yang akil obat” supaya tidak menyimpang dari jalan menuju Tuhan sehingga menghadirkan mudharat / kerusakan atau kehancuran.

Maka bersuluk karena derajat
Karena jalan mengampuni taubat
Dicarilah thabib yang berakal obat
Supaya jangan menjadi mudharat [78]

Dalam melaksanakan suluk, dibutuhkan perilaku aktif seorang salik serta penolakan kepada apa saja yang mampu menghambat aktifitas suluk. Sikap-sikap ini akan menumbuhkan semangat yang besar lengan berkuasa sekaligus menghilangkan kemalasan dan keengganan dalam bersuluk agar tasbih yang dipegang, tidak dilepaskan.

Jikalau tiada besar lengan berkuasa mengajukan pertanyaan
Mana yang mampu segera hilangnya
Datanglah segan mengerjakannya
Tasbih dipegang dilepaskannya [79]

Rasa malas, segan dan lelah dapat mendera seorang salik dalam perjalanan spiritualnya menuju kedekatan kepada Allah (taqarrub). Karena itu Syekh Abdul Wahab menunjukkan tiga resep kunci yaitu, memperbanyak zikir terhadap Allah, sabar atas cobaan yang diberikan-Nya serta men-dawam-kan istighfar, memohon ampunan terhadap-Nya.

Jikalau datang segan dan lelah
Dibanyakkan kenangan terhadap Allah
Datang cobaan disabarkanlah
Meminta ampun barang yang salah [80]

Dalam pelaksanaan suluk, seorang murid berada di bawah panduan guru yang mursyid secara penuh untuk hingga kepada Allah. Mursyid akan menawarkan isyarat dan hukum yang harus dilakukan. Murid dilarang menyembunyikan dari mursyid sesuatu yang dirasakannya, seperti getaran kalbu, lintasan hati, insiden-

kejadian asing, maupun tersingkapnya hijab.[81] Apabila seorang murid mendapatkan keajaiban dalam amalannya, hendaklah diberitahukan terhadap mursyid dengan sesungguhnya. Seluruh perjalanan yang dilihat dan dinikmati harus disampaikannya terhadap mursyid secara utuh. Murid dalam hal ini, dilarang menyembunyikan sedikitpun atau sebaliknya, menambahi pandangan atau perasaannya .

Jikalau guru tiba bertanya
Hendaklah dikhabarkan dengan bekerjsama
Jangan dikurangi jangan dilebihinya
Sebanyak yang dilihat dikhabarkannya [82]

Bagi seorang murid, mursyid merupakan wasilah untuk hingga terhadap Tuhan. Ia tidak hanya sekedar memerlukan panduan mursyid-nya tapi lebih dari itu memerlukan campur tangan aktifnya selaku pembimbing spiritual dan para pendahulu sang pembimbing tergolong yang paling utama, Rasulullah Saw. Silsilah ini menawarkan rantai bersambung yang menghubungkan seseorang dengan Nabi dan lewat beliau hingga kepada Tuhan. Pemahaman terhadap silsilah ini dalam tarekat Naqsyabandiyah, membawa pada teknik rabithah mursyid yang bermakna mengadakan hubungan batin dengan sang pembimbing sebagai pendahuluan zikir dalam suluk. Rabithah ini dilaksanakan lewat penghadiran mursyid, membayangkan korelasi yang sedang dijalin yang kadang kala dalam bentuk seberkas cahaya yang memancar dari sang mursyid. [83]

Barangsiapa banyak was-wasnya
Dihadirkan rabithah rupa gurunya
Jikalau tidak tepat datangnya
Tiadalah faedah menolaknya [84]

Me-rabithah yakni menghadirkan wajah (rupa/gambar) mursyid bagi seorang murid sungguh direkomendasikan utamanya bagi mereka yang senantiasa dihinggapi was-was (keragu-raguan yang senantiasa timbul di dalam hati) dalam perjalanan suluknya. Dalam imajinasi murid, hatinya dan hati mursyid saling berhadapan. Murid harus membayangkan bahwa hati sang mursyid bagaikan samudera karunia spiritual yang mau melimpah ke hatinya sehingga menenteng pada pencerahan.[85] Apabila murid membiasakan fana pada mursyid yang menjadi rabithah-nya, maka ia akan hingga pada tingkatan muqobalah adalah taraf ruhani dimana seorang salik berhadap-hadapan dengan Sang Khaliq yang wajib al-wujud. [86]

Menghadirkan rabithah itu banyak faedah
Ialah menjinjing terhadap limpah
Melazimkan fana kepada rabithah
Itulah menjinjing kepada muqobalah [87]

Orang yang selalu melakukan suluk akan memperoleh faedah. Pertama, mempunyai pengalaman yang banyak dan persepsi yang jauh. Kedua, mempunyai pemahaman yang fundamental dan adat yang baik. Ketiga, mempunyai jiwa yang rela dan nalar yang bersih. [88]

Ayuhal ikhwan hendaklah tilik
Inilah kesudahan perjalanan suluk
Perjalanan laju tidak bertuluk
Karena Allah Tuhan yang Kholiq [89]

Akhir perjalanan suluk yaitu penyaksian akan kebesaran dan kekuasaan Allah yang Maha Agung dan Sempurna yang ialah pemberian (mauhibah) dari DIA sendiri. Hati yang putih higienis dan dipenuhi dengan cahaya Ilahy akan merasakan musyahadah ialah melihat dan melihat Allah dengan mata hari (sir) tanpa terhalang dengan apapun. Musyahadah ini dapat terjadi dalam waktu yang sebentar tetapi mampu pula berkepanjangan secara terus menerus sepanjang hayat. Inilah yang menjadi idaman dari seorang salik.

Kurnia Allah Tuhan yang baqi
Kepada hamba-Nya yang putih hati
Tafakur musyahadah tiada berhenti
Daripada hidup sampai ke mati [90]


Daftar Pustaka dan Footnote
  • Abdullah, H.W Muhd. Shaghir, Syekh Ismail al-Minangkabawi Penyiar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, (Solo: CV. Ramadhani, 1985).
  • Al-Haddad, Syekh Abdullah b. Alwi, Diwan ad-Durr al-Manzhum Li Dzawi al-‘Uqul wa al-Fuhum, (Mesir: Mathba’ah Isa al-Babi al-Halabi wa Syarikuhu, tt).
  • Al-Kaf, Idrus Abdullah, Bisikan-Bisikan Ilahi : Pemikiran Sufistik Imam al-Haddad dalam Diwan ad-Durr al-Manzhum (Bandung : Pustaka Hidayah, 2003).
  • Al-Kurdi, Muhammad Amin, Al-Mawahib as-Sarmadiyah fi Manaqib an-Naqsyabandiyah (Kairo: ttp, tt).
  • Al-Maqdisi, Ibn Qudamah, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, (Kairo: Mathba’ah al-Halabi Syirkahu, 1413 H).
  • Al-Qahthani, Said bin Musfir, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, (Jakarta: Darul Falah, 1425 H).
  • As. Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGraindo, 1996).
  • Berry, A.J., Pasang Surut Aliran Tasawuf, diterjemahkan oleh Bambang herawan, (Bandung: Mizan, 1993).
  • Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992).
  • Clark, Walter Huston, The Psychology of Religion, (New York: McMillan, 1967).
  • Effendi, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku I Entri A-B, (Universitas Sriwijaya: PT.Widyadara, 2000).
  • Fuad, Zikmal, Sejarah dan Metode Dakwah Syekh Abdul Wahab Rokan, (Jakarta: tp, 2002).
  • Musa, Muhammad Yusuf, Falsafah al-Akhlaqi fi al-Islam, (Kairo: Muassasah al-Khaniji, 1963).
  • Muslim, Abi Al-Husain, Shahih Muslim, juz III, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Auladih, 1377 H).
  • Muslim, Abi Al-Husain, Shahih Muslim, juz III, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Auladih, 1377 H).
  • Muthahhari, Murtadha, Mengenal ‘Irfan: Meniti Maqam-Maqam Kearifan, diterjemahkan oleh C.Ramli Bihar Anwar, (Jakarta: IIMAN & Hikmah, 2002).
  • Nasution, Harun, Islam di Tinjau Dari Beberapa Aspeknya (Jakarta, UI Press, 1986).
  • Nur, KH. Djamaan, Tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah, (Medan: USU Press, 2004).
  • Republik Indonesia, Departemen Agama Al-Quran dan Terjemahnya, (Surabaya: CV. Aisyiah, tt).
  • Said, H.A Fuad, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2005).
  • -------------------, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam (Medan: Pustaka Babussalam, 2001).
  • Said, Mualim, Wawancara, (Babussalam, Langkat, Minggu, 30 April 2006)
  • Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997).
  • Smith, Muhammad b. Zein, Ghayah al-Qashd wa al-Murad (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabi, tt.).
  • Sumatera Utara, IAIN, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1981).
  • -------------------, Majelis Ulama, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di Sumatera Utara, (Medan: Institut Agama Islam Negeri Aljami’ah Sumatera Utara, 1983).
  • Trimingham, J. Spencer, The Sufi orders in Islam, (London: Oxford University Press, 1971).
  • Wahab, Syekh Abdul, 44 Wasiat, (tp., ttp., tt).
  • ---------, Syekh Abdul, Khutbah Ular Hitam, dalam Kumpulan Khutbah Jumat, diedit oleh Khalifah H.Abdul Malik Said, (tp: Babussalam, tt).
  • --------, Syekh Abdul, Syair Sindiran, diedit oleh Syekh Haji Tajudin (tp, Babussalam Langkat:, 1986).
  • Yahya, H.Imanuddin, Bercerita (Pesantren Islam Al-Anshar : Tanjung Pura Langkat, 1982).
_______________
[3] Lihat Q.S al-Rum : 30. Juga dipertegas dengan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa setiap insan dilahirkan dalam keadaan fitrah; orang tuanyalah yang mengarahkan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Lihat, Abi Al-Husain Muslim, Shahih Muslim, juz III, (Mesir: Musthafa al-Baby al-Halaby wa Auladih, 1377 H), h. 216
[4] Rudolf Otto menyatakan “… they born with an innate capacity of sensing God and can not help themselves”. Lihat, Walter Huston Clark, The Psychology of Religion, (New York: McMillan, 1967), h. 80.
[5] Satu usulan mengatakan bahwa hijab (tirai-tirai pembatas alam ghaib) itu berjumlah tujuh puluh ribu.

[6] Penyingkapan yang terjadi pada Muhammad SAW. yang menjadi panutan dan acuan siapa pun yang ingin mendekat terhadap-Nya, telah diabadikan oleh Allah SWT “hatinya tidak mendustakan apa yang sudah dilihatnya…Dan sesungguhnya Myhammad sudah menyaksikan-Nya pada waktu yang lain, (ialah) di Sidrah al-Muntaha”. (QS. An-Najm : 11,13-14).

[7] Bandingkan dengan Idrus Abdullah Al-Kaf, Bisikan-Bisikan Ilahi : Pemikiran Sufistik Imam al-Haddad dalam Diwan ad-Durr al-Manzhum (Bandung : Pustaka Hidayah, 2003), h. 9.

[8] A.J. berry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, diterjemahkan oleh Bambang herawan, (Bandung: Mizan, 1993), h. 139-143.

[9] Murtadha Muthahhari, Mengenal ‘Irfan: Meniti Maqam-Maqam Kearifan, diterjemahkan oleh C.Ramli Bihar Anwar, (Jakarta: IIMAN & Hikmah, 2002), h. 50-52. Lihat juga dalam Idrus Abdullah Al-Kaf, op.cit, h. 16.

[10] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), h. 108.

[11] Babussalam terletak di Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, yang berjarak kira-kira 6 km dari Tanjung Pura, sentra kekuasaan Kerajaan Langkat periode dahulu dimana Sultan Abdul Aziz anak Sultan Musa, mendirikan Mesjid Azizi, salah satu mesjid yang terindah dan bersejarah di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara.

[12] H.W Muhd. Shaghir Abdullah, Syekh Ismail al-Minangkabawi Penyiar Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, (Solo: CV. Ramadhani, 1985), cet. I, h. 62.

[13] Selain tanggal di atas, terdapat perbedaan pertimbangan wacana tanggal kelahiran Syekh Abdul Wahab, tidak wacana tanggal wafatnya. Satu pertimbangan menyatakan tanggal 10 Rabiul Akhir 1246 H atau 28 September 1830 M. Riwayat lain menuliskan tanggal dan bulan yang sama dengan tahun yang berlainan ialah 1242 H bertepatan dengan 1817 H. Lihat Majelis Ulama Sumatera Utara, Sejarah Ulama-Ulama Terkemuka di Sumatera Utara, (Medan: Institut Agama Islam Negeri Aljami’ah Sumatera Utara, 1983), h.27. Sedangkan usulan ketiga menyebutkan bahwa ia dilahirkan 1234 H / 1837 M. Lihat, DR. Mochtar Effendi, SE., Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Buku I Entri A-B, (Universitas Sriwijaya: PT.Widyadara, 2000), cet. ke-9, h. 12.

[14] Selain sebagai seorang ulama yang terkemuka pada saat itu, memiliki ribuan murid yang berguru padannya, Tuanku Haji Abdullah Tambusei juga diketahui sebagai seorang petani yang gemar memberi dan tawadhu’ (rendah hati). Ia sering menolong fakir miskin dan anak yatim. Tak heran bila beliau dengan senang hati menanggung kehidupan sebagian kecil murid yang tinggal dan berkhidmat di rumahnya. Pada kurun final hayatnya, ribuan orang melayat jenazahnya di Tanah Putih. Lihat H.A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam (Medan: Pustaka Babussalam, 2001), cet. ke-9, h. 15-17.

[15] Mochtar Effendi, op.cit., h. 12

[16] Ibid.

[17] H.W Muhd. Shaghir Abdullah, op.cit, h. 62

[18] Syekh Abdul Wahab Rokan, 44 Wasiat, (tp., ttp., tt), h. 1.

[19] Riwayat ini penulis peroleh dari al-Ustadz H.Imanuddin Yahya (1930-2002 M.) pada mata pelajaran “Bercerita” setiap hari Kamis, di Madrasah Diniyah Pesantren Islam al-Anshar Tanjung Pura Langkat sekitar tahun 1982.

[20] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 1

[21] Wawancara penulis dengan Mualim Said di kediamannya di Babussalam, Langkat, Minggu, 30 April 2006

[22] Martin van Bruinessen, op.cit., h. 108 dan 135

[23] Lihat, Zikmal Fuad, Sejarah dan Metode Dakwah Syekh Abdul Wahab Rokan, (Jakarta: tp, 2002), h. 9.

[24] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, diedit oleh Syekh Haji Tajudin (tp, Babussalam Langkat:, 1986), h. 10.

[25] Ibid., h. 7.

[26] Ibid., h. 6.

[27] Ibid., h. 1

[28] Ibid., h. 8

[29] Ibid, h. 10

[30] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h.1

[31] Ibid.

[32] Murtadha Muthahhari, op.cit., h. 71.

[33] Dikutip dari Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 57

[34] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 2.

[35] Lihat QS. An-Nisa : 77.

[36] Syekh Abdul Wahab, Khutbah Ular Hitam, dalam Kumpulan Khutbah Jumat, diedit oleh Khalifah H.Abdul Malik Said, (tp: Babussalam, tt), h. 31

[37] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.5.

[38] Lihat H.A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam, h. 51-52.

[39] Ibid., h. 74

[40] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 2.

[41] Penyakit lainnya adalah karahiyat al-maut yaitu takut akan ajal.

[42] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.2.

[43] Syekh Abdul Wahab, Khutbah Ular Hitam, h. 34.

[44] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 1

[45] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, (Surabaya: CV. Aisyiah, tt), h. 623.

[46] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 4

[47] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 3.

[48] Ibid., h. 12.

[49] Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, (Kairo: Mathba’ah al-Halabi Syirkahu, 1413 H), h. 324.

[50] Said bin Musfir Al-Qahthani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, (Jakarta: Darul Falah, 1425 H), cet. ke-2, h. 490.

[51] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.6

[52] Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Beberapa Aspeknya (Jakarta, UI Press, 1986), jilid 2, h. 89. Lihat juga Muhammad Yusuf Musa, Falsafah al-Akhlaqi fi al-Islam, (Kairo: Muassasah al-Khaniji, 1963), h. 252.

[53] J. Spencer Trimingham, The Sufi orders in Islam, (London: Oxford University Press, 1971), h. 3-4

[54] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 1

[55] Said bin Musfir Al-Qahthani, op.cit., h. 417

[56] Ibid.

[57] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 12

[58] Ibid.

[59] Ibid.

[60] Ibid.

[61] Syekh Abdul Wahab, 44 Wasiat, h. 1

[62] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 3

[63] Ibid., h. 3

[64] Ibid., h. 12

[65] Ibid., h. 13

[66] IAIN-SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama, 1981), h. 269.

[67] Simuh, op.cit., h. 197.

[68] H.A Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2005), cet. Ke-6, h. 79.

[69] Martin van Bruinessen, op.cit., h. 88.

[70] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.10

[71] Menurut sebuah riwayat, Syekh Abdul Wahab tiba ke Batubara, Asahan, sekitar tahun 1270-an H. Ia berjumpa dengan Panglima Itam (ayah Panglima Itam, Bilal Yasin adalah saudaranya sebapa) yang diketahui sebagai hero yang sangat sakti, kebal dan tahan api. Kekuatannya diakui secara luas di Tanah Melayu. Syekh Abdul Wahab mengajaknya untuk kembali ke jalan yang benar. Tawaran ini pastinya ditolak oleh Panglima Itam alasannya adalah ia juga merasa mempunyai ilmu keampuhan. Dengan karomah-nya, Abdul Wahab berhasil menundukkan kemenakannya ini -setelah terjadi tabrak kesaktian- sampai kesannya menjadi seorang khalifah dalam tarekat Naqsyabandiyah. Lihat, H.A Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam, h. 42.

[72] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 1

[73] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGraindo, 1996), h. 353.

[74] Muhammad b. Zein b. Smith, Ghayah al-Qashd wa al-Murad (Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabi, tt.), juz I, h.123

[75] Depag RI , ibid, h. 412

[76] Muhammad b. Zein b. Smith, op.cit., h. 354.

[77] Syekh al-Haddad, Diwan ad-Durr al-Manzhum Li Dzawi al-‘Uqul wa al-Fuhum, (Mesir: Mathba’ah Isa al-Babi al-Halabi wa Syarikuhu, tt), h. 57 yang dikutip oleh Idrus Abdullah Al-Kaf, Bisikan-Bisikan Ilahi, h.181

[78] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 2.

[79] Ibid., h. 4.

[80] Ibid., h. 4

[81] H.A Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, h. 14

[82] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 4.

[83] Martin van Bruinessen, ibid., h. 82-83

[84] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h. 4.

[85] Bandingkan dengan Muhammad Amin al-Kurdi, Al-Mawahib as-Sarmadiyah fi Manaqib an-Naqsyabandiyah (Kairo: ttp, tt), h. 512

[86] Lihat dalam KH. Djamaan Nur, Tasawuf dan Tarekat Naqsyabandiyah, (Medan: USU Press, 2004), cet. Ke-3, h. 283

[87] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.4

[88] IAIN-SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 269

[89] Syekh Abdul Wahab, Syair Sindiran, h.4

[90] Ibid.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon