PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM FAZLUR RAHMAN
Abstrak
Fazlur Rahman bin Maulana Shahab Al-Din, lahir pada 21 September 1919, di Hazara seblah Barat bahari pakistan. Suatu negara yang sebelumnya merupakan kawasan territorial india. Ia dilahirkan dan berkembang berkembang dari dan dalam keluarga yang “cinta ilmu” dan taat bergama. Oleh sebab itu, tidaklah mengehrankan kalau Rahman dalam usia 10 tahun telah telah hafal Al-Qur’an.
Rahman dinilai sebagian kelompok, memang memiliki aliran orisinil perihal Islam. Terutama pandangan baru-ilham Neomodernismenya ialah gagasan brilian yang datang dalam wacana baru cara menggali sumber nilai Islam pribadi pada pokoknya adalah Al-Qur’an. Dengan ajaran itu, ia mengasah pendekatan metodologis ihwal Al-Qur’an cuma dikaji dalam potongan-pecahan tidak secara utuh. Sedangkan metodologi yang ditawarkannya mau memberi cara holistik dan menyeluruh perihal Al-Qur’an itu sendiri, sehingga ruh tersirat tersuratnya mampu ditangkap sepanjang zaman.
Neomodernismenya memang selain menyarakan kemodrenan pengertian Islam juga ditambah dengan kesanggupan menggunakan metodologi sistematik ihwal Al-Qur’an.
Pendahuluan
Fazlur Rahman lahir pada tahun 1919 M (1318) H saat belum dewasa benua Indo Pakistan masih terpecah ke dalam dua negara merdeka, di sebuah daerah yang kini terletak di Barat Laut pakistan. Anak benua ini memang populer dengan sederetan pemikir liberalnya mirip Syah Wali Allah, Sir Sayyid, Amir Ali dan Iqbal. Dengan latar belakang semacam ini, tidaklah mengherankan kalau Fazlur Rahman lalu berkembang menjadi seorang pemikir liberal dan radikal dalam peta pembaruan Islam.
Fazlur Rahman tergolong seorang ilmuan dan pemikir Islam kenamaan, yang jasanya-jasanya sungguh besar bagi dunia Islam kekinian.
Di waktu masyarakat umum berpendapat bahwa sebuah hal yang asing kalau seorang yang ingin mendalami ilmu tentang Islam, namun dia pergi ke Barat untuk mencar ilmu, disaat inilah Fazlur Rahman pergi ke Barat yaitu Universitas Oxford untuk memperdalam ilmu tentang Islam. Di universitas ini, selain mengambil dan mengikuti kuliah-kuliah formal, ia juga ulet mempelajari bahasa-bahasa Barat. Penguasaannya kepada bahasa-bahasa tersebut pada gilirannya sangat menolong upayanya dalam memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya. Khususnya dalam studi-studi Islam lewat penelusuran literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka. Fazlur Rahman merasa tidak puas mencar ilmu perihal Islam di negeri-negeri muslim, sebab menurutnya studi Islam di negeri muslim tidak kritis. Oleh Karena itu Ia pergi ke Barat untuk berguru dan pernah juga sebaagi tenaga pengajar.
Riwayat Hidup Fazlur Rahman
Fazlur Rahman bin Maulana Shahab Al-Din, lahir pada tanggal 21 September 1919, di Hazara sebelah Barat bahari pakistan. Suatu negara yang sebelumnya ialah kawasan territorial India. Ia dilahirkan dan tumbuh meningkat dari dan dalam keluarga yang “cinta ilmu” dan taat bergama. Oleh alasannya itu, tidaklah mengehrankan bila Rahman dalam usia 10 tahun telah telah hafal Al-Qur’an.
Ayahnya Maulana Shahab al-Din adalah seorang ulama modernis alumnus Deoban, sebuah madrasah tradisional yang paling penting di anak benua Indo-pakistan saat itu yang diresmikan oleh Muhammad Qasim Nanotawi pada tahun 1867. Meskipun ayah Rahman alumnus forum pendidikan yang sistem pendidikannya tradisional, tetapi ia mempunyai contoh pikir modernis. Dialah yang mengajari Rahman pelajaran agama sejak usia dini tergolong mengajari Rahman untuk menghafal Al-Qur’an. Oleh alasannya adalah itu orangtua sendirilah yang menjadi guru Rahman paling utama yang telah mengantarkannya ke hadapan “pintu gerbang” ilmu yang tidak bertepi. Ayah ibu Rahman tercatat selaku penerus tradisi mazhab Hanafi yang terkenal sunni-rasionalis. Keduanya ikut membentuk perilaku Rahman yang jujur, disiplin, dan bersemanngat tinggi, utamanya dalam berguru. Di Deoband, Shahab al-Din berguru dengan beberapa tokoh ternama. Di antaranya Maulana Mahmud Hasan yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Hind, dan seorang Fakih terkemuka Maulana Rasyid Ahmad Gangohi. Meskipun Fazlur Rahman tidak berguru di Darul Ulum, ia menguasai kurikulum Darse-Nizami yang ditawarkan di forum tersebut dalam kajian privat dengan ayahnya. Ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam Tradisional dengan perhatian khusus pada fiqih, Ilmu Kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat.[1]
Begitu semangatnya Maulana Shahab al-Din untuk menyekolahkan Rahman. Pada tahun 1933 dia “dihijrahkan” dari desa kelahirannya ke Lahore. Di Lahore, Rahman dimasukkan ke sebuah madrasah terbaru. Di samping malamnya, dia menerima pelajaran agama dari orang tuanya sendiri.[2]
Kemudian tahun 1940, Rahman sudah menyelesaikan studinya di madrasah itu. Pada tahun itu pula Rahman melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran Universitas Punjab. Pada tahun 1942, Rahman berhasil menyandang gelar BA, dan dua tahun sesudah itu, Rahman memperoleh MA di Universitas Punjab dalam sastra Arab.
Setelah menemukan gelar MA, Rahman ingin melanjutkan studinya. Karena mutu pendidikan di India ketika itu amat rendah, Rahman risikonya memutuskan melanjutkan studinya ke Inggris. Keputusan ini merupakan langkah yang sangat berani alasannya pada waktu itu bahkan sampaumur ini terdapat fikiran umum bahwa merupakan suatu hal yang sangat aneh kalau seorang muslim pergi ke Barat untuk belajar Islam di sana, dan kalaupun ada yang berani mengambil langkah semacam ini, maka ia tidak akan diterima kembali di negeri asalnya. Inilah sebabnya pada umumnya pelajar muslim merasa khawatir bahwa apabila mereka belajar Islam di Barat, dan secara otomatis mempelajari serta menerapkan metode kritis dan analisis modern kepada materi-materi keislaman, mereka akan dikucilkan dalam masyarakatnya sendiri bahkan akan mengalami penindasan.
Namun keputusan telah diambil, dan Rahman tampaknya telah siap menghadapi segala konsekuensinya. Keputusan untuk melanjutkan studi ke Barat yakni ke oxford University memang dilatar belakangi oleh ketidak puasan Rahman terhadap pendidikan tinggi Islam di negeri-negeri Muslim.
Pada tahun 1946, Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di universitas ini, selain mengikuti kuliah formal, dia giat mempelajari bahasa-bahasa tersebut, pada gilirannya sungguh menolong upayanyan dalam memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya, utamanya dalam studi-studi Islam, lewat pencarian terhadap literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka.
Karya –Karya Fazlur Rahman
Pada tahun 1950, Rahman sukses merampungkan studi doktoralnya di oxford dengan mengajukan suatu disertasi wacana ibn sina. Dua tahun kemudian, Oxford University Press mempublikasikan terjemahan Inggris nya dari karya Ibn Sina, Kitab An-Najat dengan judul Avicenna’s Psychology. Ia juga menyunting karya Ibn Sina yang lain, kitab An-Nafs yang merupakan bab dari kitab Al-syifa’ dengan judul Avicenna’s De Anima. Setelah meraih doctor of philosopy (D.Phil) dari Oxford University, Rahman tidak eksklusif kembali ke Pakistan. Rahman memilih menetap untuk beberapa waktu di Barat. Ia mengajar selama bertahun-tahun di Durham University, Inggris kemudian di Instutute of Islamic Studies, McGill University, Kanada dimana beliau menjabat selaku Associate Professor of Philosopy.
Ketika mengajar di Durham University, Rahman sukses menyelesaikan karya orisinalnya yakni : Propechy in Islam ; Philosophy and ortodokxy, yang lalu diterbitkan pada tahun 1958 sewaktu ia telah mengajar di McGill University. Ketika mengajar McGill dan sesudah kembali ke Pakistan, beliau turut menyumbangkan sejumlah artikel yang bertalian dengan sejarah dan konsep-rancangan filsafat Islam dalam edisi kedua Ensiklopaedia of Islam.
Di samping kajian-kajian yang bertalian dengan sejarah ajaran religio-filosofis Islam, Rahman juga memberi perhatian kepada modernisme Islam.
Setelah berkelana agak usang di Barat, Rahman kesudahannya kembali ke Pakistan di awal tahun 60-an. Pada tahun 1962, Rahman ditunjuk selaku Direktur Lembaga Riset Islam. Di forum riset yang dikelola Rahman berhasil mempublikasikan dua jurnal ilmiah, masing-masing Islamic Studies yang berbahasa Inggris serta Fikr-u-Nazhr yang berbahasa urdu.
Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, Rahman pada 1964, juga ditunjuk selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah pakistan.[3]
Dikenalkan juga karya Fazlur Rahman ialah : Islam, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islamic Methodology in History, The Philosopy of Mulla Sadra, Prophechy in Islam, Major of the Qur’an, dan Islam in Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition.[4]
Gagasan-ide Rahman sudah menjadikan kontroversi berkepanjangan. Reaksi yang tiba dimotori oleh ulama tradisional konservatif, dipublikasikan pada jurnal Al-Bayyinat. Mereka memfatwakan bahwa Rahman munkir-l-Qur’an. Reaksi ini menjinjing Pakistan ke arah yang kondusif. Hampir setahun demonstrasi massa dari golongan mahasiswa juga penegmudi bus turun ke kantor-kantor pemerintah. Oleh karena itu, Rahman khirnya secara bijak mengundurkan diri dari jabatan-jabatan tersebut pada 5 September 1968. Rahman pun memilih untuk kembali ke Barat.
Sesampainya di Barat, Rahman mengajar di California University. Namun setahun kemudian sejak tahun 1969, dia diangkat sebagai Professor dalam bidang pemikiran Islam di Chicago University. Di Chicago University inilah Rahman menghabiskan hari-hari tuanya hingga dia kembali ke hadirat Ilahi Rabbi pada tahun 26 Juli 1988.
C. Rahman dan Gagasan Neomodernisme
Rahman dinilai sebagian golongan, memang memiliki ajaran orisinil perihal Islam. Terutama wangsit-ilham Neomodernismenya ialah pemikiran brilian yang hadir dalam perihal baru cara menggali sumber nilai Islam pribadi pada pokoknya adalah Al-Qur’an. Dengan pedoman itu, ia mengasah pendekatan metodologis ihwal Al-Qur’an cuma dikaji dalam belahan-penggalan tidak secara utuh. Sedangkan metodologi yang ditawarkannya mau memberi cara holistik dan menyeluruh perihal Al-Qur’an itu sendiri, sehingga ruh tersirat tersuratnya mampu ditangkap sepanjang zaman.
Neomodernismenya memang selain menyarakan kemodrenan pengertian Islam juga ditambah dengan kemampuan menggunakan metodologi sistematik wacana Al-Qur’an.
Sebelum modernismenya Fazlur Rahman, memang telah ada fatwa modernisme.Tetapi berlawanan dengan Fazlur Rahman. Rahman sendiri menilai anutan modernisme memiliki kelemahan, alasannya tidak memberikan rumusan alternatif pemahaman menyeluruh ihwal al-Qur’an. Begitu juga dalam ajaran modernisme lebih banyak mengadopsi gagasan Barat dalam perspektif ajaran Islam, sehingga ada kesan orisinilitas fatwa Islam telah terbaratkan dalam wacana modernisme. Kaprikornus pemikiran neomodernisme Rahman mengambil bentuk paling mutakhir.
Sebagai pencetus dan juru bicara neomodernisme, Rahman berupaya menyandarkan pemikirannya terhadap Al-Qur’an. Ini dilakukannya dengan perjuangan untuk melacak sedalam-dalamnya perihal metodologi sistematis penafsiran Al-Qur’an kontekstual sudah menempatkan ia selaku orang yang paling bertanggung jawab kepada ide neomodernisme.[5]
Pemikiran Kesejarahan Fazlur Rahman
Menurut Fazlur Rahman, sejarah insan pada dasarnya terdiri atas satu proses pembentukan dan pelurusan penduduk dan peradaban-peradaban berdasarkan norma-norma tertentu, yang pada intinya bersifat moralistik.
Fazlur Rahman beropini bahwa pengetahuan perihal sejarah itu penting. Islam historislah yang memberikan kontinuitas wujud intelektual dan spritual masyarakat. Tak satupun masyarakat yang mampu meniadakan kurun lalunya dan berharap untuk menciptakan wujud periode depan bagi dirinya.
Perumusan-perumusan historis Islam yang bersifat hukum, theologis, spritual, tidaklah mampu diabaikan atau dibuang. Apabila kita menatap al-Qur’an dalam keadaannya seperti ini, seperti dia gres saja diturunkan, sebab itulah arti membuang Islam historis (dari perspektif ini, sunnah atau peri hidup Rasul sendiri berfungsi sebagiannya sebagai Islam historis bagi pengertian Al-Qur’an), maka kita bahkan tidak akan mampu untuk memahaminya.
Orang mungkin mengajukan pertanyaan apa justifikasi atau relevansi suatu kajian historis wacana filsafat dan sains bagi kajian-kajian Islam, karena tampaknya kedua kajian tersebut tergolong dalam disiplin “sekular”. Jawabannya yaitu bahwa kebanyakan para filosof dan saintis Muslim dulu betul-betul menganggap penyelidikan-pengusutan mereka sebagai upaya-upaya islami dalam artian yang bekerjsama. Tidak salah lagi bahwa para saintis Muslim dahulu merasa terdorong semangatnya oleh penilaian faktual yang secara eksplisit dan berulang-ulang diberikan oleh al-Qur’an kepada semua ilmu wawasan terutama kepada kajian alam semesta. Dengan demikian kajian-kajian tersebut haruslah dipandang selaku bab integraldari intelektualisme Islam.[6]
Metodologi Sejarah Dalam Islam yang Dikemukakan Oleh Fazlur Rahman
Dalam kajian ini, yang menjadi fokus bahasan yaitu Pendekatan historis untuk memperoleh makna atau menafsirkan teks Al-Qur’an dalam bentangan karir dan usaha Nabi.
Metode tafsir yang dimaksud dalam aplikasi populer dengan dua gerakan ganda, adalah :
1. Dari suasana sekarang menuju ke abad al-Qur’an
Gerakan pertama ini terdiri atas dua langkah. Langkah pertama, seorang mesti memahami arti atau makna dari sebuah pernyataan tertentu dengan mempelajari suasana dan duduk perkara historis, dimana pernyataan tersebut merupakan jawabannya. Langkah pertama dari gerakan ini dapat dipertegas selaku upaya untuk memahami al-Qur’an secara utuh, maupun dalam batasan-batas-batas ajaran-fatwa spesifik. Kaprikornus, langkah ini memahami makna teks-teks spesifik.
Langkah kedua, dari gerakan pertama yang ditawarkan yakni menggeneralisasikan jawaban-tanggapan spesifik tersebut dan menyatakannya selaku pernyataan yang memiliki tujuan etika sosial umum, yang dapat disaring dari teks-teks Al-Qur’an dalam sinaran latar belakang sosio historis.[7]
2. Dari era Nabi ke periode kini
Gerakan kedua ini membutuhkan kajian yang cermat kepada suasana sampaumur ini. Juga membutuhkan analisis yang tajam kepada banyak sekali bagian komponennya, sehingga dengan demikian, situasi kini mampu dinilai dan diubah sejauh itu diharapkan serta dapat ditetapkan prioritas-prioritas baru untuk mengiplementasikan nilai-nilai Qur’ani secara segar.
Gerakan kedua ini sekaligus berperan sebgai pebgoreksi hasil-hasil kerja pada gerakan pertama adalah hasil-hasil pemahaman dan penafsiran. Menurut Rahman, dengan gerakan kedua ini, jika hasil-hasil pengertian gagal mengaplikasikannya di era sekarang, maka hal itu mengambarkan kegagalan dalam menilai situasi saat ini secara tepat dan sekaligus kegagalan dalam memahami Al-Qur’an.
Metode yang ditawarkan Rahman di ats, kelihatan terperinci mengandalkan bahan kesejarahan seperti latar belakang sosio historis Al-Qur’an, perilaku Nabi, dan lebih khusus berkenaan dengan Asbab al- Nuzul ayat-ayat Al-Qur’an.
Dari metode yang disebut dengan metode tafsir ini, kelihatan tidak hanya terbatas dalam memahami Al-Qur’an. Akan tetapi lebih amat memungkinkan kalau untuk dipraktekkan dalam memahami teks-teks historis terutama dan insiden historis pada umumnya. Oleh risikonya, di sinilah letak metode ini dapat dimaknakan sebagai satu kajian filsafat sejarah kritis yang bermasalah dan berhubungan dengan metodologi.[8]
Dua Gerakan Ganda Sebagai Filsafat Kritis
Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas perihal metodologi sejarah. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan metodologi sejarah ialah bagaimana seorang peneliti sejarah semestinya melakukan pekerjaan dan memposisikan dirinya dalam menghadapi satu objek yang dikajinya.
Untuk menfungsikan metodologi Rahman selaku filsafat sejarah kritis, tidak lepas dari kemungkinan metodologi ini untuk dipraktekkan dalam pengkajian sejarah akan melahirkan dan mengirimkan pada satu temuan yang lebih terpercaya dan akan mampu mendapatkan dan mengungkapkan “ruh satu peristiwa” yang dikaji.
Bagaimana idealisasi fungsi Dua Gerakan Ganda dapat diraih. Hal ini dapat dianalogikan, contohnya dengan dilihat dari satu “berita historis”terkini. Isu historis atau problematika kesejarahan selaku gerakan ganda pertama, akan ditelususri pada latar belakang terjadinya sebuah kejadian, apa yang meyebabkan terjadinya sebuah insiden, bagaimana dan apa faktor utama serta pendukung yang memobilisasi atau menggerakkan suatu kejadian itu terjadi. Tidak hanya itu,kondisi sosial, polotik, ekonomi dan yang lain juga mesti dilihat dikala insiden itu terjadi. Semua ini ialah gerakan ganda pertama yang dimaksudkan Rahman.
Setelah memperoleh faktor utama dan faktor-aspek pendukung yang melatarbelakangi kejadian sejarah, selaku langkah gerakan ganda kedua yakni menjinjing dan menghubungkan faktor-faktor itu dengan problematika historis terkini, untuk dipecahkan dan dicari balasan pemecahannya.[9]
G. Pendidikan Islam Menurut Fazlur Rahman
Fazlur Rahman tergolong tokoh yang bergelut dibidang pendidikan di sentra-sentra Studi wacana Islam di negara Barat.
Menurut Fazlur Rahman, pendidikan mesti mengacu terhadap nilai-nilai modernisasi ilmu-ilmu keislaman juga diharapkan suatu terobosan membuat dinamika Islamisasi ilmu-ilmu terhadap suatu yang gres mau diciptakan.
Di sini, seluruh hasil-hasil tradisi dalam pendidikan berarti akan kembali kepada nilai-nilai Islam khususnya al-Qur’an. Konteks yang mendasar, akar-akar akhlak al-Qur’an masih dianggap satu penyelesaian efektif dalam memberi warna rekayasa pendidikan. Bobot pendidikan yang selama ini di semua negara Islam telah tererosi pendidikan Barat. Kita mustahil lagi menolaknya.
Jalan yang mampu menyelamatkan itu “mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tingi dengan nilai-nilai Islam”. Muatan adab al-Qur’an mampu menunjukkan orientasi atau arah gres terhadap hasil kajian keilmuan (sains).
Memodernisasi pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman, adalah menciptakan pendidikan bisa untuk produktivitas intelektual yang inovatif dalam semua bidang perjuangan intelektual gotong royong dengan keterikatan yang serius terhadap Islam, yang kebanyakan sudah berhasil ditanamkan oleh sistem pendidikan madrasah,yaitu dilema ekspansi wawasan intelektual Muslim dengan cara-cara mengoptimalkan kriteria-standar intelektulanya.
Menurut Fazlur Rahman, selama ini perilaku kaum muslimin terhadap ilmu wawasan pada periode-abad pertengahan yang selesai adalah demikian negatif sampai jikalau orang mempersandingkannya dengan al-Qur’an, ia pasti akan betu-betul terkejut . Menurut sikap ini, ilmu yang tinggi dan akidah bersifat disfungsional satu kepada yang lain dan kenaikan yang satu berarti kemunduran bagi yang lain. Denagan demikian, ilmu wawasan nampak sebagai betul-betul sekuar, mirip intinya semua wawasan positif “terbaru” sangat, bahkan ilmu-ilmu “agama” yang terbaru yakni sekular, ataupun kalu tidak diapandang demikian, beliau mampu dipandang sebagai secara kasatmata merugikan doktrin. Kadang-kadang sebuah pembedaan yang sesuka sendiri dibuat antara ilmu-ilmu “agama” dan ilmu-ilmu “umum”.
Adanya modernisasi pendidikan Islam, disebabkan oleh beberapa akal sehat : 1). Bahwa suburnya kemajuan sains dan semangat ilmiah dari masa kesembilan hingga kesepuluh di kalangan kaum muslimin yakni buah dari usaha memenuhi permintaan al-Qur’an agar manusia mengkaji alam semesta , yang telah diciptakan baginya. 2). Bahwa pada masa pertengahan yang selesai semangat pengusutan ilmiah telah merosot dan kesudahannya masyarakat Muslim kemudian mengalami kemacetan dan kemerosotan, 3). Bahwa Barat telah menggalakkan kajian ilmiah yang sebagian besarnya sudah dipinjamnya dari kaum Muslimin dan karena itu mereka memperoleh kemakmuran, 4). Bahwa kesannya kaum Muslimin dalam mempelajari kembali sains dari Barat yang sudah meningkat , akan mempunyai arti menemukan kembali era kemudian mereka dan menyanggupi kembali perintah al-Qur’an yang terabaikan.[10]
Jika di atas pembahasan wacana desain pendidikan Fazlur Rahman secara kesekuruhan, maka berikutnya akan lebih rinci dari yang teeah diuraikan.
Konsep pendidikan Fazlur Rahman, membicarakan perihal sekolah-sekolah, Ciri-Ciri Pengajaran Islam pada kurun pertengahan, juga Kurikulum dan Pengajaran.
a. Sekolah-sekolah
Sejak masa permulaan merupakan suatu unit yang cukup untuk diri sendiri dan tidak ada korelasi organisasi antara pendidikan permulaan tersebut dengan pendidikan yang lebih tinggi. Sejak kurun-era awal Islam, terdapat dua tipe pendidikan lainnya, yang berdampingan dengan pendidikan awal dan yang lebih tinggi. Yang pertama, ialah pendidikan sekolah istana yang diresmikan untuk para putera mahkota dengan maksud untuk membentuk mereka menjadi penguasa-penguasa pada periode depan. Hal itu meliputi pendidikan keagamaan, tetapi menitik beratkannya pada pidato, kepustakaan, dan lain-laindan di atas seluruhnya itu pada “sifat-sifat kekuasaan”. Tipe pendidikan kedua dapat disebut sebagai pendidikan orang remaja yang diberikan kepada orang banyak, tidak terlalu banyak untuk tujuan mengajar mereka. Kepandaian mereka membaca dan menulis seperti mengajarkan al-Qur’an dan Keimanan. Dari sinilah lalu sekolah-sekolah menunjukkan pelajaran yang lebih tinggi berkembang melalui halaqah-halaqah atau “bulat-bulat” para murid yang mengerumuni seorang guru tertentu.
Perangkat peradaban keagamaan untuk bulat-bulat pendidikan yang lebih tinggi itu merupakan pokok pedoman hukum dan sopan santun agama gres yang dihasilkan Islam permulaan selama beberapa periode. Di tengah sekolah-sekolah itulah ilmu hukum pertama kali disempurnakan dan para pengikut Abu Hanifah di Irak, Malik di Madinah dan Ahmad bin Hanbal mengembangkan sebuah pokok anutan aturan.[11]
Pada era Abbasiyah, sekolah-sekolah langsung dan umum juga diresmikan oleh kegiatan perorangan dan dengan tunjangan-bantuan untuk subyek-subyek-subyek khusus keislaman. Lembaga-forum biasa diresmikan untuk pengajaran hadits, aturan, dan lain-lain.
Dari sudut pandang keorganisasian, metode madrasah meraih puncaknya yang paling tinggi pada kekaisaran Usmaniyah, sehingga madrasah-madrasah dilembagakan secara sistematik, yang eksklusif diatur di bawah Syikhul Islam dengan keterampilan dan efisiensi administratif yang sempurna.[12]
b. Ciri Pengajaran Islam pada periode pertengahan
Permulaan pertumbuhan pengajaran Islam pada kala permulaan Islam, lebih banyak dipusatkan pada pribadi-langsung ketimbang sekolah-sekolah. Kandungan aliran Islam juga dicirikan dengan tindakan perorangan.eksklusif-langsung tertentu dan ternama,yang telah berguru secara tradisi dan yang membangun sendiri sistem-tata cara aturan keagamaan, mempesona pelajar-pelajar yang berasal dari kawasan-daerah yang jauh dan bersahabat untuk menuntut pengetahuan dari mereka. Karenanya, karakteristik utama pengajaran yang pertama dan yang telah kukuh berlangsung selama masa-abad pertengahan Islam, yakni pentingnya guru secara perorangan. Guru, sesudah memberikan seluruh pengajarannya, secara pribadi memberikan ijazah kepada muridnya, lalu muridnya diizinkan untuk mencar ilmu. Terkadang dia berkaitan dalam suatu bidang tertentu, seperti fiqh atau hadits.[13]
Sejak kala ke-6 / 10, lewat kejeniusan Fakhruddin ar-Razi, ilmu agama membuatkan bidangnya dengan mengambil dari tata cara-tata cara logika filsafat, juga menambahkan teori-teori fisika dan kodrat filsafat itu sendiri, dan mengubah filsafat metafisika dengan tesis-tesis ilmu agama dogmatis.[14]
c. Kurikulum Dan Pengajaran
Dengan pedangkalan-pedangkalan lapangan-lapangan biasa pengajaran melalui penghapusan anutan lazim dan ilmu-ilmu kodrat, maka kurikulum intinya dibatasi pada ilmu-ilmu keagamaan murni dengan tata bahasa dan kepustakaan selaku perangkat-perangkat yang dibutuhkan. Terdapat bidang-bidang keagamaan murni, adalah : Hadis atau tradisi, fiqh atau aturan, kalam atau ilmu ke-Tuhanan dan Tafsir atau penjelasan al-Qur’an.
Sebab-sebab kemunduran secara berangsur-angsur persyaratan-persyaratan akademi selama berabad-kala, pastilah terletak pada realita bahwa jumlah buku dalam kurikulum itu kecil, kurun –era yang dipakai untuk mencar ilmu itu juga terlalu pendek bagi murid untuk mampu meraih materi faktor-aspek yang lebih tinggi wacana ilmu-ilmu keagamaan, belum masak. Dalam hal ini, pengertiannya tidak untuk penguasaan bidang yang sedemikian rupa melainkan lebih kurang lebih kurang mempelajri buku-buku. Hal itu lebih banyak mendorong untuk menghafal daripada pengertian.
Pada masa ke-12 / 18, suatu kurikulum wacana pelajaran-pelajaran, digarap di India oleh Mullah Nidhamuddin. Pelajaran itu sesudah meninggalnya diketahui selaku pelajaran Nidhami (Darsi Nidhami) yang mendapat sambutan luas dan dengan perubahan-perubahan diterima hampir di seluruh dunia.[15]
Biasanya kurikulum itu dilangsungkan di atas sistem berdasarkan bidang-bidang. Untuk itu, selaku suatu contoh serangkaian penyelenggaraan., yakni : Tata bahasa dan bahasa Arab sastra ; ilmu hitung ; filsafat ; aturan ; peradilan ; ilmu ke-Tuhanan tafsir al-Qur’an ; dan Hadits. Murid melalui satu tingkat ke tingkat yang lain dengan menuntaskan satu bidang dan mengawali bidang yang lebih tinggi. Sistem ini pada dasarnya tidak memberikan cukup waktu untuk mempelajari setiap bidang. Tetapi itu ialah metode yang mencukupi. Banyak yang menganggap hadislah selaku bidang yang peling tinggi daripada yang lainnya. Bahkan ada beberapa sekolah yang hanya mengajarkan hadits. Seorang pemikir terkemuka pada masa ke-18, Shah Wali Allah meninggalkan pada kita kurikulumnya sendiri dalam bagan otobiografinya. Hal itu mencakup matematika, astronomi, dan kedokteran. Karenanya metode madrasah tidak mewakili keseluruhan pndiidikan muslim.[16]
d. Pendidikan Tinggi
Dalam menjelaskan pendidikan tinggi ini, Fazlur Rahman menyebabkan al-Azhar selaku teladan pengamatannya wacana pendidikan.
Sudah semenjak usang pertengahan kala kesembilan belasan, seorang Syaikh al-Azhar Rifa’ah al-Thahthawi yang pernah tinggal selama bertahun-tahun di Paris, membuka sebuah akademi bahasa-bahasa dan menerjemahkan konstitusi dan hukum perdata Prancis ke dalam bahasa Arab. Ia mengatakan kaum muslimin mesti mempelajari semua sains-sains modern, karena orang Eropa sudah mengembangkannya sehabis meminjam dari kaum muslimin sendiri. Ia sangat mengkritik Muhammad Ali yang tidak memasukkan sains-sains tersebut dalam kurikulum al-Azhar dikala itu. Selain Rifa’ah at-Thahthawi, Muhammad Abduh juga berpartisipasi sebagai pembaharu Mesir. Muhammad Abduh kecewa dengan kekakuan kurikulum al-Azhar yang menilai jika mata pelajaran lazim dimasukkan dalam kurikulmu al-Azhar, maka itu sama saja dengan menjauhkan mahasiswi al-Azhar dari Agama.[17]
Dengan mengamati kondisi al-Azhar dan kegigihan Muhammad Abduh dalam mengadakan pembaharuan terhadap al-Azhar, Fazlur Rahman juga menginginkan hal yang serupa. Menurut Fazlur Rahmn, dalam perguruan tinggi tinggi, hendaknya memasukkan mata pelajaran-mata pelajaran lazim kedalam kurikulumnya.
Bagaimana seseorang akan menjadi seorang yang arif, bisa berkompetisi di tingkat internasioanal, sedangkan ia mempunyai kekurangan ilmu. Hanya ilmu-ilmu agama saja yang dia pelajari, dan kepintarannya juga seputar bidang agama saja. Jangankan untuk berkompetisi, bicara dengan orang lain saja mengalami kesusahan. Seperti yang pernah terjadi waktu dulu sekitar tahun-tahun 1990-an.
Ketika itu seorang muslim Libanon, sehabis mendengar kealiman al-Anbabi yang menjabat Rektor al-Azhar, dia lalu pergi ke Mesir dan penerima tamu memperkenalkan tamu tersebut kepada Syaikh dan mengatakannya sebagai tiba dari Libanon. Maka Syaikh mengajukan pertanyaan : “Dimana libanon itu?” seorang tamu itu eksklusif berucap, Demi Allah, saya telah menghambur-hamburkan setiap langkah aku untuk mendatangi Syaikh ini.
Dari teladan yang dituliskan Fazlur Rahman di atas, mampu dikenali bahwa teladan di atas adalah konkrit betapa pentingnya pendidikan lazim dipelajari. Contoh di atas juga sama saja mempermalukan kaum muslimin di hadapan orang Barat. Menurut Fazlur Rahman, pihak-pihak al-Azhar mesti menghapuskan pemikirannya wacana berguru ilmu-ilmu lazim itu cuma merusak aqidah. Fazlur Rahman mengusulkan memasukkan mata pelajaran lazim kedalam kurikulum, bukan berarti Fazlur Rahman menghapuskan mata pelajaran agama. Hal ini memperlihatkan bahwa Fazlur Rahaman tetap mementingkan mata pelajaran agama.
Menurutnya keduanya (mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama), mesti dipelajari. Bahkan Fazlur Rahman menekankan, sebelum seseorang itu mempelajari mata pelajaran biasa , apalagi dulu haruslah mempelajari mata pelajaran agama. Seseorang harus dibekali pendidikan agama sebelum dia belajar lazim atau pun sebelum berguru ke Barat. Ini diusulkan oleh Fazlur Rahman supaya pelajar muslim yang belajar ke Barat, dikala kembali ke tanah airnya, beliau tidak menjadi sekuler.
Penulis sangat baiklah dengan pendapat Fazlur Rahman ihwal pentingnya kita mempelajari pelajaran umum, bahkan jikalau bisa, menuntut ilmu itu ke Barat karena orang Barat juga dulu berguru dan berguru dengan kaum muslimin. Hal ini mampu dibuktikan dengan mengulang sejarah dahulu saat pemerintahan Umayyah di Spanyol berjaya. Orang-orang Eropa dalam keterpurukan dan lalu mereka berguru kepada ilmuan muslim di Spanyol sehingga mereka bisa membuat penemuan-inovasi,bahkan setelah mere maju, mereka berbalik menyerang Islam. Dengan mengulang sejarah seperti itu, sebaiknya kaum muslim menyadari bahwa kepandaian dan kepintara orang Barat itu berasal dari ilmuan muslim dulu. Bagaimana mampu kaum muslimin menyaingi tau bahkan sekedar mengimbangi orang-orang Barat,kalau dalam berguru masih terdapat kekakuan pada kurikulum yang hanya mendalami ilmu agama saja.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, mampu disimpulkan : Fazlur Rahman tergolong seorang ilmuan dan pemikir Islam kenamaan, yang jasanya-jasanya sangat besar bagi dunia Islam kekinian. Fazlur Rahman juga seorang tokoh modernisasi.
Karya-karya Fazlur Rahman adalah : Avicenna’s Psychology diterjemahkan oleh Fazlur Rahman ke dalam Bahasa Inggris karangan Ibn Sina, kitab an-Najat dan juga karangan Ibn Sina, kitab Al-Syifa, Propechy in Islam, Philosophy and ortodokxy, Islam, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islamic Methodology in History, The Philosopy of Mulla Sadra, Prophechy in Islam, Major of the Qur’an, dan Islam in Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition.
Menurut Fazlur Rahman, dalam bidang pendidikan dihentikan terbatas cuma pada ilmu-ilmu agama saja, namun ilmu-ilmu wawasan (sains) juga sungguh penting, alasannya adalah dengan adanya wawasan wacana sains, mampu membuat insan lebih akrab dengan penciptanya. Sebagai contoh, pengetahuan perihal sains mengajarkan insan ihwal alam semesta,dengan mengenali alam semesta maka insan akan lebih mengetahui kekuasaan Tuhan begitu besarnya. Hal ini mampu mendorong insan untuk lebih mengenal pencipta alam semesta.
Menurut Rahman juga, bagaimana bisa suatu negara akan maju, kalau negara itu menentang perubahan. Negara Barat telah menggalakkan kajian ilmiah yang sebagian besarnya telah dipinjam dari kaum muslimin dan sebab itu mereka mendapatkan kemakmuran, bahkan menjajah negeri muslim sendiri. Oleh sebab itu kaum muslimin harus mempelajari sains agar mampu memperoleh kembali era kemudian mereka dan memenuhi perintah al-Qur’an yang terabaikan.
Bagi pelajar yang menimba ilmu ke negara yang bukan negara Islam, seperti ke Barat, hendaknya tidak berpikiran sekular,tetapi ilmu-ilmu yang didapatnya haruslah ditujukan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah..Dan sebelum seseorang pergi ke Barat untuk berguru, hendaklah membekali diri dengan ilmu agama apalagi dulu, agar tidak terpengaruh dengan pedoman Barat.
DAFTAR PUSTAKA
-------------------
[1]Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 2
[2] Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Press, 2002), h. 91-92
[3]Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung : Mizan, 1989), h. 80-83
[4]Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998), h.257
[5]Ibid, h. 258-260
[6] Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, trj : Fazlur Rahman, Islam & Modernity, Transformation of an intelectual Tradition, (Bandung : Pustaka,1985), h. 178
[7] Ibid, h.7
[8] Misri A.Muchsin, Op. Cit, h.97-98
[9] Ibid, h. 91-93
[10] Ahsin Mohammad, Op.Cit,h.168
[11] Fazlur Rahman, Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1987), h. 287
[12] Ibid, 292
[13] Ibid
[14] Ibid, h.295
[15] Ibid, h.300
[16] Ibid, 303
[17] Ahsin Mohammad, Op.Cit, h. 74
Fazlur Rahman bin Maulana Shahab Al-Din, lahir pada 21 September 1919, di Hazara seblah Barat bahari pakistan. Suatu negara yang sebelumnya merupakan kawasan territorial india. Ia dilahirkan dan berkembang berkembang dari dan dalam keluarga yang “cinta ilmu” dan taat bergama. Oleh sebab itu, tidaklah mengehrankan kalau Rahman dalam usia 10 tahun telah telah hafal Al-Qur’an.
Rahman dinilai sebagian kelompok, memang memiliki aliran orisinil perihal Islam. Terutama pandangan baru-ilham Neomodernismenya ialah gagasan brilian yang datang dalam wacana baru cara menggali sumber nilai Islam pribadi pada pokoknya adalah Al-Qur’an. Dengan ajaran itu, ia mengasah pendekatan metodologis ihwal Al-Qur’an cuma dikaji dalam potongan-pecahan tidak secara utuh. Sedangkan metodologi yang ditawarkannya mau memberi cara holistik dan menyeluruh perihal Al-Qur’an itu sendiri, sehingga ruh tersirat tersuratnya mampu ditangkap sepanjang zaman.
Neomodernismenya memang selain menyarakan kemodrenan pengertian Islam juga ditambah dengan kesanggupan menggunakan metodologi sistematik ihwal Al-Qur’an.
Pendahuluan
Fazlur Rahman lahir pada tahun 1919 M (1318) H saat belum dewasa benua Indo Pakistan masih terpecah ke dalam dua negara merdeka, di sebuah daerah yang kini terletak di Barat Laut pakistan. Anak benua ini memang populer dengan sederetan pemikir liberalnya mirip Syah Wali Allah, Sir Sayyid, Amir Ali dan Iqbal. Dengan latar belakang semacam ini, tidaklah mengherankan kalau Fazlur Rahman lalu berkembang menjadi seorang pemikir liberal dan radikal dalam peta pembaruan Islam.
Fazlur Rahman tergolong seorang ilmuan dan pemikir Islam kenamaan, yang jasanya-jasanya sungguh besar bagi dunia Islam kekinian.
Di waktu masyarakat umum berpendapat bahwa sebuah hal yang asing kalau seorang yang ingin mendalami ilmu tentang Islam, namun dia pergi ke Barat untuk mencar ilmu, disaat inilah Fazlur Rahman pergi ke Barat yaitu Universitas Oxford untuk memperdalam ilmu tentang Islam. Di universitas ini, selain mengambil dan mengikuti kuliah-kuliah formal, ia juga ulet mempelajari bahasa-bahasa Barat. Penguasaannya kepada bahasa-bahasa tersebut pada gilirannya sangat menolong upayanya dalam memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya. Khususnya dalam studi-studi Islam lewat penelusuran literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka. Fazlur Rahman merasa tidak puas mencar ilmu perihal Islam di negeri-negeri muslim, sebab menurutnya studi Islam di negeri muslim tidak kritis. Oleh Karena itu Ia pergi ke Barat untuk berguru dan pernah juga sebaagi tenaga pengajar.
PEMBAHASAN
Riwayat Hidup Fazlur Rahman
Fazlur Rahman bin Maulana Shahab Al-Din, lahir pada tanggal 21 September 1919, di Hazara sebelah Barat bahari pakistan. Suatu negara yang sebelumnya ialah kawasan territorial India. Ia dilahirkan dan tumbuh meningkat dari dan dalam keluarga yang “cinta ilmu” dan taat bergama. Oleh alasannya itu, tidaklah mengehrankan bila Rahman dalam usia 10 tahun telah telah hafal Al-Qur’an.
Ayahnya Maulana Shahab al-Din adalah seorang ulama modernis alumnus Deoban, sebuah madrasah tradisional yang paling penting di anak benua Indo-pakistan saat itu yang diresmikan oleh Muhammad Qasim Nanotawi pada tahun 1867. Meskipun ayah Rahman alumnus forum pendidikan yang sistem pendidikannya tradisional, tetapi ia mempunyai contoh pikir modernis. Dialah yang mengajari Rahman pelajaran agama sejak usia dini tergolong mengajari Rahman untuk menghafal Al-Qur’an. Oleh alasannya adalah itu orangtua sendirilah yang menjadi guru Rahman paling utama yang telah mengantarkannya ke hadapan “pintu gerbang” ilmu yang tidak bertepi. Ayah ibu Rahman tercatat selaku penerus tradisi mazhab Hanafi yang terkenal sunni-rasionalis. Keduanya ikut membentuk perilaku Rahman yang jujur, disiplin, dan bersemanngat tinggi, utamanya dalam berguru. Di Deoband, Shahab al-Din berguru dengan beberapa tokoh ternama. Di antaranya Maulana Mahmud Hasan yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Hind, dan seorang Fakih terkemuka Maulana Rasyid Ahmad Gangohi. Meskipun Fazlur Rahman tidak berguru di Darul Ulum, ia menguasai kurikulum Darse-Nizami yang ditawarkan di forum tersebut dalam kajian privat dengan ayahnya. Ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami Islam Tradisional dengan perhatian khusus pada fiqih, Ilmu Kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat.[1]
Begitu semangatnya Maulana Shahab al-Din untuk menyekolahkan Rahman. Pada tahun 1933 dia “dihijrahkan” dari desa kelahirannya ke Lahore. Di Lahore, Rahman dimasukkan ke sebuah madrasah terbaru. Di samping malamnya, dia menerima pelajaran agama dari orang tuanya sendiri.[2]
Kemudian tahun 1940, Rahman sudah menyelesaikan studinya di madrasah itu. Pada tahun itu pula Rahman melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran Universitas Punjab. Pada tahun 1942, Rahman berhasil menyandang gelar BA, dan dua tahun sesudah itu, Rahman memperoleh MA di Universitas Punjab dalam sastra Arab.
Setelah menemukan gelar MA, Rahman ingin melanjutkan studinya. Karena mutu pendidikan di India ketika itu amat rendah, Rahman risikonya memutuskan melanjutkan studinya ke Inggris. Keputusan ini merupakan langkah yang sangat berani alasannya pada waktu itu bahkan sampaumur ini terdapat fikiran umum bahwa merupakan suatu hal yang sangat aneh kalau seorang muslim pergi ke Barat untuk belajar Islam di sana, dan kalaupun ada yang berani mengambil langkah semacam ini, maka ia tidak akan diterima kembali di negeri asalnya. Inilah sebabnya pada umumnya pelajar muslim merasa khawatir bahwa apabila mereka belajar Islam di Barat, dan secara otomatis mempelajari serta menerapkan metode kritis dan analisis modern kepada materi-materi keislaman, mereka akan dikucilkan dalam masyarakatnya sendiri bahkan akan mengalami penindasan.
Namun keputusan telah diambil, dan Rahman tampaknya telah siap menghadapi segala konsekuensinya. Keputusan untuk melanjutkan studi ke Barat yakni ke oxford University memang dilatar belakangi oleh ketidak puasan Rahman terhadap pendidikan tinggi Islam di negeri-negeri Muslim.
Pada tahun 1946, Rahman berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Di universitas ini, selain mengikuti kuliah formal, dia giat mempelajari bahasa-bahasa tersebut, pada gilirannya sungguh menolong upayanyan dalam memperdalam dan memperluas wawasan keilmuannya, utamanya dalam studi-studi Islam, lewat pencarian terhadap literatur-literatur keislaman yang ditulis oleh para orientalis dalam bahasa-bahasa mereka.
Karya –Karya Fazlur Rahman
Pada tahun 1950, Rahman sukses merampungkan studi doktoralnya di oxford dengan mengajukan suatu disertasi wacana ibn sina. Dua tahun kemudian, Oxford University Press mempublikasikan terjemahan Inggris nya dari karya Ibn Sina, Kitab An-Najat dengan judul Avicenna’s Psychology. Ia juga menyunting karya Ibn Sina yang lain, kitab An-Nafs yang merupakan bab dari kitab Al-syifa’ dengan judul Avicenna’s De Anima. Setelah meraih doctor of philosopy (D.Phil) dari Oxford University, Rahman tidak eksklusif kembali ke Pakistan. Rahman memilih menetap untuk beberapa waktu di Barat. Ia mengajar selama bertahun-tahun di Durham University, Inggris kemudian di Instutute of Islamic Studies, McGill University, Kanada dimana beliau menjabat selaku Associate Professor of Philosopy.
Ketika mengajar di Durham University, Rahman sukses menyelesaikan karya orisinalnya yakni : Propechy in Islam ; Philosophy and ortodokxy, yang lalu diterbitkan pada tahun 1958 sewaktu ia telah mengajar di McGill University. Ketika mengajar McGill dan sesudah kembali ke Pakistan, beliau turut menyumbangkan sejumlah artikel yang bertalian dengan sejarah dan konsep-rancangan filsafat Islam dalam edisi kedua Ensiklopaedia of Islam.
Di samping kajian-kajian yang bertalian dengan sejarah ajaran religio-filosofis Islam, Rahman juga memberi perhatian kepada modernisme Islam.
Setelah berkelana agak usang di Barat, Rahman kesudahannya kembali ke Pakistan di awal tahun 60-an. Pada tahun 1962, Rahman ditunjuk selaku Direktur Lembaga Riset Islam. Di forum riset yang dikelola Rahman berhasil mempublikasikan dua jurnal ilmiah, masing-masing Islamic Studies yang berbahasa Inggris serta Fikr-u-Nazhr yang berbahasa urdu.
Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, Rahman pada 1964, juga ditunjuk selaku anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah pakistan.[3]
Dikenalkan juga karya Fazlur Rahman ialah : Islam, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islamic Methodology in History, The Philosopy of Mulla Sadra, Prophechy in Islam, Major of the Qur’an, dan Islam in Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition.[4]
Gagasan-ide Rahman sudah menjadikan kontroversi berkepanjangan. Reaksi yang tiba dimotori oleh ulama tradisional konservatif, dipublikasikan pada jurnal Al-Bayyinat. Mereka memfatwakan bahwa Rahman munkir-l-Qur’an. Reaksi ini menjinjing Pakistan ke arah yang kondusif. Hampir setahun demonstrasi massa dari golongan mahasiswa juga penegmudi bus turun ke kantor-kantor pemerintah. Oleh karena itu, Rahman khirnya secara bijak mengundurkan diri dari jabatan-jabatan tersebut pada 5 September 1968. Rahman pun memilih untuk kembali ke Barat.
Sesampainya di Barat, Rahman mengajar di California University. Namun setahun kemudian sejak tahun 1969, dia diangkat sebagai Professor dalam bidang pemikiran Islam di Chicago University. Di Chicago University inilah Rahman menghabiskan hari-hari tuanya hingga dia kembali ke hadirat Ilahi Rabbi pada tahun 26 Juli 1988.
C. Rahman dan Gagasan Neomodernisme
Rahman dinilai sebagian golongan, memang memiliki ajaran orisinil perihal Islam. Terutama wangsit-ilham Neomodernismenya ialah pemikiran brilian yang hadir dalam perihal baru cara menggali sumber nilai Islam pribadi pada pokoknya adalah Al-Qur’an. Dengan pedoman itu, ia mengasah pendekatan metodologis ihwal Al-Qur’an cuma dikaji dalam belahan-penggalan tidak secara utuh. Sedangkan metodologi yang ditawarkannya mau memberi cara holistik dan menyeluruh perihal Al-Qur’an itu sendiri, sehingga ruh tersirat tersuratnya mampu ditangkap sepanjang zaman.
Neomodernismenya memang selain menyarakan kemodrenan pengertian Islam juga ditambah dengan kemampuan menggunakan metodologi sistematik wacana Al-Qur’an.
Sebelum modernismenya Fazlur Rahman, memang telah ada fatwa modernisme.Tetapi berlawanan dengan Fazlur Rahman. Rahman sendiri menilai anutan modernisme memiliki kelemahan, alasannya tidak memberikan rumusan alternatif pemahaman menyeluruh ihwal al-Qur’an. Begitu juga dalam ajaran modernisme lebih banyak mengadopsi gagasan Barat dalam perspektif ajaran Islam, sehingga ada kesan orisinilitas fatwa Islam telah terbaratkan dalam wacana modernisme. Kaprikornus pemikiran neomodernisme Rahman mengambil bentuk paling mutakhir.
Sebagai pencetus dan juru bicara neomodernisme, Rahman berupaya menyandarkan pemikirannya terhadap Al-Qur’an. Ini dilakukannya dengan perjuangan untuk melacak sedalam-dalamnya perihal metodologi sistematis penafsiran Al-Qur’an kontekstual sudah menempatkan ia selaku orang yang paling bertanggung jawab kepada ide neomodernisme.[5]
Pemikiran Kesejarahan Fazlur Rahman
Menurut Fazlur Rahman, sejarah insan pada dasarnya terdiri atas satu proses pembentukan dan pelurusan penduduk dan peradaban-peradaban berdasarkan norma-norma tertentu, yang pada intinya bersifat moralistik.
Fazlur Rahman beropini bahwa pengetahuan perihal sejarah itu penting. Islam historislah yang memberikan kontinuitas wujud intelektual dan spritual masyarakat. Tak satupun masyarakat yang mampu meniadakan kurun lalunya dan berharap untuk menciptakan wujud periode depan bagi dirinya.
Perumusan-perumusan historis Islam yang bersifat hukum, theologis, spritual, tidaklah mampu diabaikan atau dibuang. Apabila kita menatap al-Qur’an dalam keadaannya seperti ini, seperti dia gres saja diturunkan, sebab itulah arti membuang Islam historis (dari perspektif ini, sunnah atau peri hidup Rasul sendiri berfungsi sebagiannya sebagai Islam historis bagi pengertian Al-Qur’an), maka kita bahkan tidak akan mampu untuk memahaminya.
Orang mungkin mengajukan pertanyaan apa justifikasi atau relevansi suatu kajian historis wacana filsafat dan sains bagi kajian-kajian Islam, karena tampaknya kedua kajian tersebut tergolong dalam disiplin “sekular”. Jawabannya yaitu bahwa kebanyakan para filosof dan saintis Muslim dulu betul-betul menganggap penyelidikan-pengusutan mereka sebagai upaya-upaya islami dalam artian yang bekerjsama. Tidak salah lagi bahwa para saintis Muslim dahulu merasa terdorong semangatnya oleh penilaian faktual yang secara eksplisit dan berulang-ulang diberikan oleh al-Qur’an kepada semua ilmu wawasan terutama kepada kajian alam semesta. Dengan demikian kajian-kajian tersebut haruslah dipandang selaku bab integraldari intelektualisme Islam.[6]
Metodologi Sejarah Dalam Islam yang Dikemukakan Oleh Fazlur Rahman
Dalam kajian ini, yang menjadi fokus bahasan yaitu Pendekatan historis untuk memperoleh makna atau menafsirkan teks Al-Qur’an dalam bentangan karir dan usaha Nabi.
Metode tafsir yang dimaksud dalam aplikasi populer dengan dua gerakan ganda, adalah :
1. Dari suasana sekarang menuju ke abad al-Qur’an
Gerakan pertama ini terdiri atas dua langkah. Langkah pertama, seorang mesti memahami arti atau makna dari sebuah pernyataan tertentu dengan mempelajari suasana dan duduk perkara historis, dimana pernyataan tersebut merupakan jawabannya. Langkah pertama dari gerakan ini dapat dipertegas selaku upaya untuk memahami al-Qur’an secara utuh, maupun dalam batasan-batas-batas ajaran-fatwa spesifik. Kaprikornus, langkah ini memahami makna teks-teks spesifik.
Langkah kedua, dari gerakan pertama yang ditawarkan yakni menggeneralisasikan jawaban-tanggapan spesifik tersebut dan menyatakannya selaku pernyataan yang memiliki tujuan etika sosial umum, yang dapat disaring dari teks-teks Al-Qur’an dalam sinaran latar belakang sosio historis.[7]
2. Dari era Nabi ke periode kini
Gerakan kedua ini membutuhkan kajian yang cermat kepada suasana sampaumur ini. Juga membutuhkan analisis yang tajam kepada banyak sekali bagian komponennya, sehingga dengan demikian, situasi kini mampu dinilai dan diubah sejauh itu diharapkan serta dapat ditetapkan prioritas-prioritas baru untuk mengiplementasikan nilai-nilai Qur’ani secara segar.
Gerakan kedua ini sekaligus berperan sebgai pebgoreksi hasil-hasil kerja pada gerakan pertama adalah hasil-hasil pemahaman dan penafsiran. Menurut Rahman, dengan gerakan kedua ini, jika hasil-hasil pengertian gagal mengaplikasikannya di era sekarang, maka hal itu mengambarkan kegagalan dalam menilai situasi saat ini secara tepat dan sekaligus kegagalan dalam memahami Al-Qur’an.
Metode yang ditawarkan Rahman di ats, kelihatan terperinci mengandalkan bahan kesejarahan seperti latar belakang sosio historis Al-Qur’an, perilaku Nabi, dan lebih khusus berkenaan dengan Asbab al- Nuzul ayat-ayat Al-Qur’an.
Dari metode yang disebut dengan metode tafsir ini, kelihatan tidak hanya terbatas dalam memahami Al-Qur’an. Akan tetapi lebih amat memungkinkan kalau untuk dipraktekkan dalam memahami teks-teks historis terutama dan insiden historis pada umumnya. Oleh risikonya, di sinilah letak metode ini dapat dimaknakan sebagai satu kajian filsafat sejarah kritis yang bermasalah dan berhubungan dengan metodologi.[8]
Dua Gerakan Ganda Sebagai Filsafat Kritis
Pada pembahasan sebelumnya telah dibahas perihal metodologi sejarah. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan metodologi sejarah ialah bagaimana seorang peneliti sejarah semestinya melakukan pekerjaan dan memposisikan dirinya dalam menghadapi satu objek yang dikajinya.
Untuk menfungsikan metodologi Rahman selaku filsafat sejarah kritis, tidak lepas dari kemungkinan metodologi ini untuk dipraktekkan dalam pengkajian sejarah akan melahirkan dan mengirimkan pada satu temuan yang lebih terpercaya dan akan mampu mendapatkan dan mengungkapkan “ruh satu peristiwa” yang dikaji.
Bagaimana idealisasi fungsi Dua Gerakan Ganda dapat diraih. Hal ini dapat dianalogikan, contohnya dengan dilihat dari satu “berita historis”terkini. Isu historis atau problematika kesejarahan selaku gerakan ganda pertama, akan ditelususri pada latar belakang terjadinya sebuah kejadian, apa yang meyebabkan terjadinya sebuah insiden, bagaimana dan apa faktor utama serta pendukung yang memobilisasi atau menggerakkan suatu kejadian itu terjadi. Tidak hanya itu,kondisi sosial, polotik, ekonomi dan yang lain juga mesti dilihat dikala insiden itu terjadi. Semua ini ialah gerakan ganda pertama yang dimaksudkan Rahman.
Setelah memperoleh faktor utama dan faktor-aspek pendukung yang melatarbelakangi kejadian sejarah, selaku langkah gerakan ganda kedua yakni menjinjing dan menghubungkan faktor-faktor itu dengan problematika historis terkini, untuk dipecahkan dan dicari balasan pemecahannya.[9]
G. Pendidikan Islam Menurut Fazlur Rahman
Fazlur Rahman tergolong tokoh yang bergelut dibidang pendidikan di sentra-sentra Studi wacana Islam di negara Barat.
Menurut Fazlur Rahman, pendidikan mesti mengacu terhadap nilai-nilai modernisasi ilmu-ilmu keislaman juga diharapkan suatu terobosan membuat dinamika Islamisasi ilmu-ilmu terhadap suatu yang gres mau diciptakan.
Di sini, seluruh hasil-hasil tradisi dalam pendidikan berarti akan kembali kepada nilai-nilai Islam khususnya al-Qur’an. Konteks yang mendasar, akar-akar akhlak al-Qur’an masih dianggap satu penyelesaian efektif dalam memberi warna rekayasa pendidikan. Bobot pendidikan yang selama ini di semua negara Islam telah tererosi pendidikan Barat. Kita mustahil lagi menolaknya.
Jalan yang mampu menyelamatkan itu “mewarnai bidang-bidang kajian tingkat tingi dengan nilai-nilai Islam”. Muatan adab al-Qur’an mampu menunjukkan orientasi atau arah gres terhadap hasil kajian keilmuan (sains).
Memodernisasi pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman, adalah menciptakan pendidikan bisa untuk produktivitas intelektual yang inovatif dalam semua bidang perjuangan intelektual gotong royong dengan keterikatan yang serius terhadap Islam, yang kebanyakan sudah berhasil ditanamkan oleh sistem pendidikan madrasah,yaitu dilema ekspansi wawasan intelektual Muslim dengan cara-cara mengoptimalkan kriteria-standar intelektulanya.
Menurut Fazlur Rahman, selama ini perilaku kaum muslimin terhadap ilmu wawasan pada periode-abad pertengahan yang selesai adalah demikian negatif sampai jikalau orang mempersandingkannya dengan al-Qur’an, ia pasti akan betu-betul terkejut . Menurut sikap ini, ilmu yang tinggi dan akidah bersifat disfungsional satu kepada yang lain dan kenaikan yang satu berarti kemunduran bagi yang lain. Denagan demikian, ilmu wawasan nampak sebagai betul-betul sekuar, mirip intinya semua wawasan positif “terbaru” sangat, bahkan ilmu-ilmu “agama” yang terbaru yakni sekular, ataupun kalu tidak diapandang demikian, beliau mampu dipandang sebagai secara kasatmata merugikan doktrin. Kadang-kadang sebuah pembedaan yang sesuka sendiri dibuat antara ilmu-ilmu “agama” dan ilmu-ilmu “umum”.
Adanya modernisasi pendidikan Islam, disebabkan oleh beberapa akal sehat : 1). Bahwa suburnya kemajuan sains dan semangat ilmiah dari masa kesembilan hingga kesepuluh di kalangan kaum muslimin yakni buah dari usaha memenuhi permintaan al-Qur’an agar manusia mengkaji alam semesta , yang telah diciptakan baginya. 2). Bahwa pada masa pertengahan yang selesai semangat pengusutan ilmiah telah merosot dan kesudahannya masyarakat Muslim kemudian mengalami kemacetan dan kemerosotan, 3). Bahwa Barat telah menggalakkan kajian ilmiah yang sebagian besarnya sudah dipinjamnya dari kaum Muslimin dan karena itu mereka memperoleh kemakmuran, 4). Bahwa kesannya kaum Muslimin dalam mempelajari kembali sains dari Barat yang sudah meningkat , akan mempunyai arti menemukan kembali era kemudian mereka dan menyanggupi kembali perintah al-Qur’an yang terabaikan.[10]
Jika di atas pembahasan wacana desain pendidikan Fazlur Rahman secara kesekuruhan, maka berikutnya akan lebih rinci dari yang teeah diuraikan.
Konsep pendidikan Fazlur Rahman, membicarakan perihal sekolah-sekolah, Ciri-Ciri Pengajaran Islam pada kurun pertengahan, juga Kurikulum dan Pengajaran.
a. Sekolah-sekolah
Sejak masa permulaan merupakan suatu unit yang cukup untuk diri sendiri dan tidak ada korelasi organisasi antara pendidikan permulaan tersebut dengan pendidikan yang lebih tinggi. Sejak kurun-era awal Islam, terdapat dua tipe pendidikan lainnya, yang berdampingan dengan pendidikan awal dan yang lebih tinggi. Yang pertama, ialah pendidikan sekolah istana yang diresmikan untuk para putera mahkota dengan maksud untuk membentuk mereka menjadi penguasa-penguasa pada periode depan. Hal itu meliputi pendidikan keagamaan, tetapi menitik beratkannya pada pidato, kepustakaan, dan lain-laindan di atas seluruhnya itu pada “sifat-sifat kekuasaan”. Tipe pendidikan kedua dapat disebut sebagai pendidikan orang remaja yang diberikan kepada orang banyak, tidak terlalu banyak untuk tujuan mengajar mereka. Kepandaian mereka membaca dan menulis seperti mengajarkan al-Qur’an dan Keimanan. Dari sinilah lalu sekolah-sekolah menunjukkan pelajaran yang lebih tinggi berkembang melalui halaqah-halaqah atau “bulat-bulat” para murid yang mengerumuni seorang guru tertentu.
Perangkat peradaban keagamaan untuk bulat-bulat pendidikan yang lebih tinggi itu merupakan pokok pedoman hukum dan sopan santun agama gres yang dihasilkan Islam permulaan selama beberapa periode. Di tengah sekolah-sekolah itulah ilmu hukum pertama kali disempurnakan dan para pengikut Abu Hanifah di Irak, Malik di Madinah dan Ahmad bin Hanbal mengembangkan sebuah pokok anutan aturan.[11]
Pada era Abbasiyah, sekolah-sekolah langsung dan umum juga diresmikan oleh kegiatan perorangan dan dengan tunjangan-bantuan untuk subyek-subyek-subyek khusus keislaman. Lembaga-forum biasa diresmikan untuk pengajaran hadits, aturan, dan lain-lain.
Dari sudut pandang keorganisasian, metode madrasah meraih puncaknya yang paling tinggi pada kekaisaran Usmaniyah, sehingga madrasah-madrasah dilembagakan secara sistematik, yang eksklusif diatur di bawah Syikhul Islam dengan keterampilan dan efisiensi administratif yang sempurna.[12]
b. Ciri Pengajaran Islam pada periode pertengahan
Permulaan pertumbuhan pengajaran Islam pada kala permulaan Islam, lebih banyak dipusatkan pada pribadi-langsung ketimbang sekolah-sekolah. Kandungan aliran Islam juga dicirikan dengan tindakan perorangan.eksklusif-langsung tertentu dan ternama,yang telah berguru secara tradisi dan yang membangun sendiri sistem-tata cara aturan keagamaan, mempesona pelajar-pelajar yang berasal dari kawasan-daerah yang jauh dan bersahabat untuk menuntut pengetahuan dari mereka. Karenanya, karakteristik utama pengajaran yang pertama dan yang telah kukuh berlangsung selama masa-abad pertengahan Islam, yakni pentingnya guru secara perorangan. Guru, sesudah memberikan seluruh pengajarannya, secara pribadi memberikan ijazah kepada muridnya, lalu muridnya diizinkan untuk mencar ilmu. Terkadang dia berkaitan dalam suatu bidang tertentu, seperti fiqh atau hadits.[13]
Sejak kala ke-6 / 10, lewat kejeniusan Fakhruddin ar-Razi, ilmu agama membuatkan bidangnya dengan mengambil dari tata cara-tata cara logika filsafat, juga menambahkan teori-teori fisika dan kodrat filsafat itu sendiri, dan mengubah filsafat metafisika dengan tesis-tesis ilmu agama dogmatis.[14]
c. Kurikulum Dan Pengajaran
Dengan pedangkalan-pedangkalan lapangan-lapangan biasa pengajaran melalui penghapusan anutan lazim dan ilmu-ilmu kodrat, maka kurikulum intinya dibatasi pada ilmu-ilmu keagamaan murni dengan tata bahasa dan kepustakaan selaku perangkat-perangkat yang dibutuhkan. Terdapat bidang-bidang keagamaan murni, adalah : Hadis atau tradisi, fiqh atau aturan, kalam atau ilmu ke-Tuhanan dan Tafsir atau penjelasan al-Qur’an.
Sebab-sebab kemunduran secara berangsur-angsur persyaratan-persyaratan akademi selama berabad-kala, pastilah terletak pada realita bahwa jumlah buku dalam kurikulum itu kecil, kurun –era yang dipakai untuk mencar ilmu itu juga terlalu pendek bagi murid untuk mampu meraih materi faktor-aspek yang lebih tinggi wacana ilmu-ilmu keagamaan, belum masak. Dalam hal ini, pengertiannya tidak untuk penguasaan bidang yang sedemikian rupa melainkan lebih kurang lebih kurang mempelajri buku-buku. Hal itu lebih banyak mendorong untuk menghafal daripada pengertian.
Pada masa ke-12 / 18, suatu kurikulum wacana pelajaran-pelajaran, digarap di India oleh Mullah Nidhamuddin. Pelajaran itu sesudah meninggalnya diketahui selaku pelajaran Nidhami (Darsi Nidhami) yang mendapat sambutan luas dan dengan perubahan-perubahan diterima hampir di seluruh dunia.[15]
Biasanya kurikulum itu dilangsungkan di atas sistem berdasarkan bidang-bidang. Untuk itu, selaku suatu contoh serangkaian penyelenggaraan., yakni : Tata bahasa dan bahasa Arab sastra ; ilmu hitung ; filsafat ; aturan ; peradilan ; ilmu ke-Tuhanan tafsir al-Qur’an ; dan Hadits. Murid melalui satu tingkat ke tingkat yang lain dengan menuntaskan satu bidang dan mengawali bidang yang lebih tinggi. Sistem ini pada dasarnya tidak memberikan cukup waktu untuk mempelajari setiap bidang. Tetapi itu ialah metode yang mencukupi. Banyak yang menganggap hadislah selaku bidang yang peling tinggi daripada yang lainnya. Bahkan ada beberapa sekolah yang hanya mengajarkan hadits. Seorang pemikir terkemuka pada masa ke-18, Shah Wali Allah meninggalkan pada kita kurikulumnya sendiri dalam bagan otobiografinya. Hal itu mencakup matematika, astronomi, dan kedokteran. Karenanya metode madrasah tidak mewakili keseluruhan pndiidikan muslim.[16]
d. Pendidikan Tinggi
Dalam menjelaskan pendidikan tinggi ini, Fazlur Rahman menyebabkan al-Azhar selaku teladan pengamatannya wacana pendidikan.
Sudah semenjak usang pertengahan kala kesembilan belasan, seorang Syaikh al-Azhar Rifa’ah al-Thahthawi yang pernah tinggal selama bertahun-tahun di Paris, membuka sebuah akademi bahasa-bahasa dan menerjemahkan konstitusi dan hukum perdata Prancis ke dalam bahasa Arab. Ia mengatakan kaum muslimin mesti mempelajari semua sains-sains modern, karena orang Eropa sudah mengembangkannya sehabis meminjam dari kaum muslimin sendiri. Ia sangat mengkritik Muhammad Ali yang tidak memasukkan sains-sains tersebut dalam kurikulum al-Azhar dikala itu. Selain Rifa’ah at-Thahthawi, Muhammad Abduh juga berpartisipasi sebagai pembaharu Mesir. Muhammad Abduh kecewa dengan kekakuan kurikulum al-Azhar yang menilai jika mata pelajaran lazim dimasukkan dalam kurikulmu al-Azhar, maka itu sama saja dengan menjauhkan mahasiswi al-Azhar dari Agama.[17]
Dengan mengamati kondisi al-Azhar dan kegigihan Muhammad Abduh dalam mengadakan pembaharuan terhadap al-Azhar, Fazlur Rahman juga menginginkan hal yang serupa. Menurut Fazlur Rahmn, dalam perguruan tinggi tinggi, hendaknya memasukkan mata pelajaran-mata pelajaran lazim kedalam kurikulumnya.
Bagaimana seseorang akan menjadi seorang yang arif, bisa berkompetisi di tingkat internasioanal, sedangkan ia mempunyai kekurangan ilmu. Hanya ilmu-ilmu agama saja yang dia pelajari, dan kepintarannya juga seputar bidang agama saja. Jangankan untuk berkompetisi, bicara dengan orang lain saja mengalami kesusahan. Seperti yang pernah terjadi waktu dulu sekitar tahun-tahun 1990-an.
Ketika itu seorang muslim Libanon, sehabis mendengar kealiman al-Anbabi yang menjabat Rektor al-Azhar, dia lalu pergi ke Mesir dan penerima tamu memperkenalkan tamu tersebut kepada Syaikh dan mengatakannya sebagai tiba dari Libanon. Maka Syaikh mengajukan pertanyaan : “Dimana libanon itu?” seorang tamu itu eksklusif berucap, Demi Allah, saya telah menghambur-hamburkan setiap langkah aku untuk mendatangi Syaikh ini.
Dari teladan yang dituliskan Fazlur Rahman di atas, mampu dikenali bahwa teladan di atas adalah konkrit betapa pentingnya pendidikan lazim dipelajari. Contoh di atas juga sama saja mempermalukan kaum muslimin di hadapan orang Barat. Menurut Fazlur Rahman, pihak-pihak al-Azhar mesti menghapuskan pemikirannya wacana berguru ilmu-ilmu lazim itu cuma merusak aqidah. Fazlur Rahman mengusulkan memasukkan mata pelajaran lazim kedalam kurikulum, bukan berarti Fazlur Rahman menghapuskan mata pelajaran agama. Hal ini memperlihatkan bahwa Fazlur Rahaman tetap mementingkan mata pelajaran agama.
Menurutnya keduanya (mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama), mesti dipelajari. Bahkan Fazlur Rahman menekankan, sebelum seseorang itu mempelajari mata pelajaran biasa , apalagi dulu haruslah mempelajari mata pelajaran agama. Seseorang harus dibekali pendidikan agama sebelum dia belajar lazim atau pun sebelum berguru ke Barat. Ini diusulkan oleh Fazlur Rahman supaya pelajar muslim yang belajar ke Barat, dikala kembali ke tanah airnya, beliau tidak menjadi sekuler.
Penulis sangat baiklah dengan pendapat Fazlur Rahman ihwal pentingnya kita mempelajari pelajaran umum, bahkan jikalau bisa, menuntut ilmu itu ke Barat karena orang Barat juga dulu berguru dan berguru dengan kaum muslimin. Hal ini mampu dibuktikan dengan mengulang sejarah dahulu saat pemerintahan Umayyah di Spanyol berjaya. Orang-orang Eropa dalam keterpurukan dan lalu mereka berguru kepada ilmuan muslim di Spanyol sehingga mereka bisa membuat penemuan-inovasi,bahkan setelah mere maju, mereka berbalik menyerang Islam. Dengan mengulang sejarah seperti itu, sebaiknya kaum muslim menyadari bahwa kepandaian dan kepintara orang Barat itu berasal dari ilmuan muslim dulu. Bagaimana mampu kaum muslimin menyaingi tau bahkan sekedar mengimbangi orang-orang Barat,kalau dalam berguru masih terdapat kekakuan pada kurikulum yang hanya mendalami ilmu agama saja.
Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, mampu disimpulkan : Fazlur Rahman tergolong seorang ilmuan dan pemikir Islam kenamaan, yang jasanya-jasanya sangat besar bagi dunia Islam kekinian. Fazlur Rahman juga seorang tokoh modernisasi.
Karya-karya Fazlur Rahman adalah : Avicenna’s Psychology diterjemahkan oleh Fazlur Rahman ke dalam Bahasa Inggris karangan Ibn Sina, kitab an-Najat dan juga karangan Ibn Sina, kitab Al-Syifa, Propechy in Islam, Philosophy and ortodokxy, Islam, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Islamic Methodology in History, The Philosopy of Mulla Sadra, Prophechy in Islam, Major of the Qur’an, dan Islam in Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition.
Menurut Fazlur Rahman, dalam bidang pendidikan dihentikan terbatas cuma pada ilmu-ilmu agama saja, namun ilmu-ilmu wawasan (sains) juga sungguh penting, alasannya adalah dengan adanya wawasan wacana sains, mampu membuat insan lebih akrab dengan penciptanya. Sebagai contoh, pengetahuan perihal sains mengajarkan insan ihwal alam semesta,dengan mengenali alam semesta maka insan akan lebih mengetahui kekuasaan Tuhan begitu besarnya. Hal ini mampu mendorong insan untuk lebih mengenal pencipta alam semesta.
Menurut Rahman juga, bagaimana bisa suatu negara akan maju, kalau negara itu menentang perubahan. Negara Barat telah menggalakkan kajian ilmiah yang sebagian besarnya telah dipinjam dari kaum muslimin dan sebab itu mereka mendapatkan kemakmuran, bahkan menjajah negeri muslim sendiri. Oleh sebab itu kaum muslimin harus mempelajari sains agar mampu memperoleh kembali era kemudian mereka dan memenuhi perintah al-Qur’an yang terabaikan.
Bagi pelajar yang menimba ilmu ke negara yang bukan negara Islam, seperti ke Barat, hendaknya tidak berpikiran sekular,tetapi ilmu-ilmu yang didapatnya haruslah ditujukan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah..Dan sebelum seseorang pergi ke Barat untuk berguru, hendaklah membekali diri dengan ilmu agama apalagi dulu, agar tidak terpengaruh dengan pedoman Barat.
DAFTAR PUSTAKA
- Adnan Amal, Taufik, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung : Mizan, 1989
- A. Muchsin, Misri, Filsafat Sejarah Dalam Islam, Jogjakarta : Ar-Ruzz Press, 2002
- Ma’berakal, Syafi’i, Islam Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, Yogyakarta: pustaka Pelajar,1997
- Mohammad, Ahsin, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, trj : Fazlur Rahman, Islam & Modernity, Transformation of an intelectual Tradition, Bandung Pustaka : 1985
- Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000
- Rahman, Fazlur, Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1987
- Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998
- Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000
-------------------
[1]Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 2
[2] Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah Dalam Islam, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Press, 2002), h. 91-92
[3]Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung : Mizan, 1989), h. 80-83
[4]Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998), h.257
[5]Ibid, h. 258-260
[6] Ahsin Mohammad, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, trj : Fazlur Rahman, Islam & Modernity, Transformation of an intelectual Tradition, (Bandung : Pustaka,1985), h. 178
[7] Ibid, h.7
[8] Misri A.Muchsin, Op. Cit, h.97-98
[9] Ibid, h. 91-93
[10] Ahsin Mohammad, Op.Cit,h.168
[11] Fazlur Rahman, Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1987), h. 287
[12] Ibid, 292
[13] Ibid
[14] Ibid, h.295
[15] Ibid, h.300
[16] Ibid, 303
[17] Ahsin Mohammad, Op.Cit, h. 74
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon