Kamis, 22 Oktober 2020

Makalah Muhammad Arkoun Dan Ismail Razi Faruqi Corak Filsafat Islam Modern

Pendahuluan
Dominasi Barat atas kultur-kultur negara-negara Muslim telah menyebabkan muncul berbagai reaksi. Dominasi tersebut terus berlangsung yang pada umumnya melalui penjajahan negara-negara Barat atas negara-negara Muslim. Dalam dunia aliran, imbas hal tersebut juga sangat terasa. Kajian para pemikir-pedoman Islam kebanyakan terfokus terhadap modernisasi, rasionalisasi, pertumbuhan ummat Islam dan yang semacamnya.

Begitulah corak lazim ajaran pada kala terbaru. Hal itu tentu saja terpengaruh oleh pedoman-fatwa dan budaya Barat yang menjadi sentra studi ilmu wawasan. Muhammad Arkoun dan Ismail Raji al-Faruqi (kadang ditulis dengan “Razi”) yaitu dua orang pemikir dari golongan ummat muslimin yang menghendaki kemajuan bagi ummat Islam dengan teori yang berlainan. Makalah ini akan menjajal mengkaji kedua pemikir tersebut selaku wakil dari pemikir-pemikir muslim pada kurun modern.

B. Muhammad Arkoun

1. Latar Belakang sosial dan Intelektual
Muhammad Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber yakni masyarakatyang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang digunakan adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah). Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada periode kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak orangnya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut dalam banyak sekali pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.

Gerakan islamisasi di tempat bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada kala 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang populer itu, sempat mencar ilmu kepada seorang sufi terkemuka di tempat ini, Abu Madyan. Di antara pemikiran tarekat yang meningkat yaitu Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.

Melalui banyak sekali kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai komponen dogma animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “insan-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) ialah serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[1]

Kehidupan Arkoun yang mengenal banyak sekali tradisi dan kebudayaan ialah faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens bersahabat dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa digunakan dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan persoalan administratif, sementara bahasa Arab dipakai dalam aktivitas-kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berlawanan. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan mengetahui. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, ialah wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah perihal kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai aliran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis ialah bahasa pemerintahan dan menjadi fasilitas jalan masuk kepada nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan kemudian jikalau problem bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan fatwa Arkoun.[2]

2. Pendidikan dan Pengalaman
Setelah final sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bab barat. Sejak 1950 hingga 1954 ia mencar ilmu bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 hingga 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian dia kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah anutan Islam.[3]

Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi selaku anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, dia menjabat sebagai administrator Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).[4]

Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, mirip Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Kristen Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.

Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme yang digunakan Arkoun yaitu formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.[5] Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog mirip Jack Goody dan Pierre Bourdieu.[6]

Arkoun banyak meminjam konsep-desain kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam daerah kajian Islam. Konsep-konsep mirip korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain, yakni bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun menunjukkan kepiawaiannya saat secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan jika perlu sekali-kali mampu mengenyahkan panggungnya. Ia, contohnya, bisa menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kesanggupan semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan alasannya adalah selama ini semiotika belum membuatkan peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya alasannya adalah berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier).

Arkoun juga mampu mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim dari implikasi aliran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa goresan pena lebih permulaan ketimbang ekspresi (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa mulut pastinya lebih awal daripada bahasa goresan pena (dalam bidang antropologi, kemajuan kebudayaan atau peradaban).

Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-anutan. Sejarawan fatwa bertugas cuma untuk menggali asal-permintaan dan pertumbuhan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan selaku sejarawan yang sehabis mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan menggunakan analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur ihwal sejarah pemikiran belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.

Sementara itu, karya-karya Arkoun mencakup banyak sekali bidang. Di sini hanya disebutkan karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam kebanyakan dan metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan ihwal budpekerti/terjemahan Perancis dari kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La pensee islamique (esei-esei tentang aliran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik akal islami), Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan pedoman ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis.

3. Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun
Muhammad Arkoun memiliki “proyek kritik atas nalar Islam” dimana sistem historis terbaru menempati tugas sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang paling fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”, lalu diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy” (Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut bisa mewakili pedoman Arkoun secara keseluruhan, meskipun dia masih memiliki banyak karya lain. [7]

Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini yakni tata cara historisisme. Historisisme berperan selaku sistem rekonstruksi makna melalui cara pembatalan relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik akal islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila sistem ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang dikejar Arkoun adalah makna-makna baru yang secara berpeluang bersemayam dalam teks-teks tersebut.]

Luthfi Asysaukanie menggolongkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi tentang fatwa ini masih percaya pada tradisi sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, misalnya, membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang memiliki arti tradisi transendental, infinit dan tak berganti; 2) tradisi dengan t kecil yang yakni produk sejarah dan budaya insan, baik yang merupakan warisan turun menurun maupun hasil penafsiran atas wahyu yang kuasa melalui teks-teks suci. Bagi Arkoun, cuma tradisi kedualah yang dapat diuji lewat kritisisme, dan alhasil beliau mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana akan dibahas, pembedaan Arkoun atas tradisi ini, juga terlihat dalam bangunan metodologi “cara membaca Qur’an”nya.

Arkoun menilai proyek kritik logika Islamnya selaku tak lain dari perluasan terhadap makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik akal Islam yaitu usaha mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri. Karena begitu sentralnya “proyek kritik nalar Islam” ini dalam bangunan pemikiran Arkoun, berikut ini disuguhkan penjelasan Arkoun tentang maksud dari kata “kritik” dan “akal”, dengan eksplorasi penerapannya.

Menurut pengakuannya, perumpamaan “kritik nalar” dalam bukunya itu tidaklah mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik akal, orang memang tidak gampang melupakan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya Sartre, Critique of Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet memakai istilah tersebut untuk tujuan observasi sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet ialah seorang sejarawan. Ia berusaha memikirkan (ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan literatur sejarah tentang revolusi perancis. Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah yang amat kompleks serta mempunyai dampak yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan berlawanan. Menurut Arkoun kondisi ini bisa dibandingkan dengan kejadian turunnya wayhu Al-Qur’an yang sudah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga kadang saling berlawanan satu sama lain. Ia menegaskan: Peristiwa itu (Revolusi Perancis) telah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang begitu luas semenjak dua ratus tahun lampau sampai sekarang (1789-1989). Keadaan ini dapat kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an.[8]

Adapun kata akal merujuk pada nalar sebagai fakultas dalam diri insan untuk berpikir. Manusia berpikir dengan menggunakan alat-alat, adalah berbentukkata-kata dari suatu bahasa, kategori-klasifikasi dari nalar, postulat atau hipotesa perihal realitas. Akal mampu berganti, seiring dengan perkembangan alat-alat berpikir yang ditemukan logika itu sendiri, seperti dari inovasi-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun menegaskan bahwa nalar bukanlah desain abstrak yang terbang-layang di udara, beliau yakni desain nyata yang bisa berganti-rubah. Ia memiliki sejarahnya dan memang terus meyejarah.

Arkoun membedakan bahan dan postulat antara nalar religius (religius reason) dan logika filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius contohnya, ada metafor-metafor, simbol dan kisah-kisah mitis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: yahudi, kristen dan islam, sementara logika filosofis digunakan oleh filosof Yunani. Menurutnya, inovasi revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada abad 16, revolusi Lutherian pada periode 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) logika--dan menempatkannya dalam posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di Inggris dan Perancis pada kala 18, telah mengganti nalar secara radikal dengan menciptakan logika “modern”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi dalam penduduk -penduduk Islam. Akibatnya, logika (atau alam anggapan) umat Islam belum mampu lepas dari mental era pertengahan yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme.

Untuk menelusuri sejarah fatwa Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun menggali seluruh lapisan geologis ajaran (nalar) Arab-Islam dengan menggunakan “pisau” epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam: klasik, skolastik dan terbaru. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah tata cara aliran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik ialah jenjang kedua yang merupakan medan taklid tata cara berpikir umat. Sedangkan tingkatan terbaru yaitu apa yang dikenal dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan membagi sejarah ke dalam tiga pecahan (ruputure) epistema ini, sepertinya Arkoun berniat untuk menjelaskan term “yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought), untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah tata cara fatwa Arab-Islam.

Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, karena terperinci dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan yaitu hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan.[9]

Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pedoman Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).[10] Baginya, karena Assyafi’i berhasil membuat sistematika rancangan sunnah dan pembakuan ushul kepada persyaratan tertentu serta pembakuan Qur’an terhadap sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman), banyak ranah aliran yang tadinya “yang terpikirkan”, berkembang menjadi hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai kini, di tengah tantangan barat terbaru, menurutnya, kawasan tak terpikirkan masih terus melebar.

Demikianlah, Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah) dan dogmatisme periode skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih tetap bercokol dalam logika Arab-Islam akil balig cukup akal ini.

Dengan kritik historisnya, Arkoun mendapatkan karakteristik lazim akal-logika islam. Pertama, ketundukan nalar-akal terhadap wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit). Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, karena dihadapan nalar-logika itu beliau memiliki akhlak transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang menangani manusia, sejarah dan masyarakat. Kedua, penghormatan dan ketaatan kepada otoritas agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab dilarang disangkal atau didebat, walaupun di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan pertengkaran. Para imam mujtahid ini sudah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran secara benar, termasuk istimbath hukum. Otoritas ini berkembang menjadi dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, logika beroperasi dengan cara pandang tertentu terhadap alam semesta, yang khas masa pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi terbaru.

Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk meraih keterbukaan (pencerahan) anutan Islam di tengah kancah dunia terbaru yaitu dekontruksi kepada epistema ortodoksi dan dogmatisme masa pertengahan.

Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini, secara radikal Arkoun menganggap sejarah tafsir selaku sajarah penggunaan Al-Qur’an selaku dalih: Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu bahwa bahu-membahu Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat menyanggupi kebutuhan dan selera suatu periode tertentu setelah era turunnya Al-Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia ialah karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi “payungnya” nya dibandingkan dengan dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.

Menurutnya, pola korelasi yang terus-menerus antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dijalankan oleh banyak sekali latar kultural dan sosial yang berlainan itu, menciptakan teks kedua mempunyai sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir yakni sejarah pernyataan yang diulang-ulang, secara lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan kesempurnaan dari risalah yang diterima dan disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” ketimbang penelusuran suatu cara mengerti. Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan sebuah apologi guna menawarkan kekayaan yang terkandung didalamnya.[11] Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu segi, memang menolong mengantarkan kita untuk mengetahui Al-Qur’an; namun, di sisi lain, kadang malahan merintangi panorama kita dari Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang “menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang Al-Qur’an kini lebih banyak menjadikan kemandegan dibandingkan dengan pencerahan dan kemajuan: Jadinya kini, Kalam Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek masyarakat kita di abad sekarang; dihormati, tetapi pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum orientalis menjadi peristiwa budaya semata.[12]

Dalam konteks di atas, perlu segera dicatat bahwa yang dianggap tidak berhubungan atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan ajaran yang digunakan oleh para teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an: Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak berhubungan . Saya tidak berkata demikian. Harap waspada. Yang aku katakan ialah bahwa pedoman yang digunakan oleh para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak berhubungan . Sebab, sekarang kita ilmu gres seperti antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, tata cara sejarah, biologi—seluruhnya tidak mereka kuasai.[13]

Demikian komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi (I’etika tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis yakni sungguh mendesak. Berangkat dari dilema ini, Arkoun merumuskan urusan: Bagaimanakah kita mampu melakukan klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah) mirip tampakdi atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah kita mampu menimbang-nimbang ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas periode?

4. Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran
Mohammed Arkoun Arkoun menyatakan, Islam akan menjangkau kejayaannya kalau umat Islam membuka diri kepada pluralisme anutan, seperti pada periode permulaan Islam sampai kurun pertengahan. Pluralisme bisa diraih jikalau pengertian agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam mampu bergaul dengan semua orang.

Menurut Arkoun dalam pembukaan pelatihan "Konsep Islam dan Modern ihwal Pemerintahan dan Demokrasi" di Jakarta, Senin (10/4), bahwa k olonialisme secara fisik memang telah berakhir. Namun, paling tidak, pedoman ummat muslim masih terjajah, tidak ikut modern yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan oleh umat Islam,"

Arkoun mengungkapkan, humanisme di Arab muncul pada periode ke-10 di Irak dan Iran, pada saat hadirnya gerakan yang besar lengan berkuasa untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap insan. Para andal teologi, hukum, ilmuwan, dan andal-ahli filsafat berkumpul dalam Majelis Malam. Ketika mengatakan dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan muka, yang dikenal dengan istilah munadharah.

Namun, memasuki periode ke-13, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun debat teologi. Selama ini, umat Islam diajar bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik, bahwa Islam adalah daulah (kerajaan). Dalam kapasitaasnya selaku seorang ahli sejarah peradaban Islam, beliau menyampaikan bahwa pemikiran tersebut yakni keliru.

Dalam Islam klasik, berdasarkan Arkoun, ketika debat didasarkan pada pendekatan keanekaragaman budaya, keanekaragaman ajaran, dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang seru bagaimana menginterpretasikan Quran dan mengelaborasi dengan hukum yang didasarkan pada teks suci.

Dengan tetap menjaga pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis, baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata Arkoun. Islam dalam teologi harus mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk ikut serta dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.

Menurut Arkoun, umat Islam bisa membandingkan dengan agama Kristen secara teologis dan agama Kristen secara politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi politik yang tidak dikontrol oleh Gereja Katolik. Teologi Protestan ialah teologi terbaru, alasannya adalah setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci.

Sebenarnya, umat Islam memperoleh masa yang bisa menunjukkan cita-cita besar akan munculnya kembali keragaman dalam berpikir pada dikala hadirnya negara-negara gres pascakolonial. Namun, sayang, kesempatan itu hilang. Islam lalu dipergunakan lebih sebagai alat politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam keanekaragaman.

Arkoun beropini, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan Islam membangun dan bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang serupa, di mana membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada insan. Menurut dia, munculnya Uni Eropa merupakan sebuah lompatan sejarah. Ada suatu ruang gres kewarganegaraan dengan membuka peluang manusia dari seluruh pecahan bumi untuk menerima kewarganegaraan. Ada suatu gaya gres pemerintahan yang bangkit di atas bangsa.

"Ini revolusi dalam level politik," kata Arkoun seraya menyertakan bahwa model ini bisa diadopsi oleh negara-negara muslim dan bertemu dengan pengalaman Eropa dalam perspektif humanisme. Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa asing, sejarah ,dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. Ia mengajak terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua ajaran.

Menjawab pertanyaan tentang harapan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan Ketetapan (Tap) No 25/MPRS/ 1966 ihwal pembubaran PKI dan larangan menyebarkan pemikiran marxisme/komunisme, Arkoun menyampaikan, komunis merupakan versi politik yang digunakan Uni Soviet untuk mengalahkan demokrasi terbaru yang berkembang di Eropa. "Jika Anda membaca filsafat Karl Marx dan Hegel, Anda akan berhenti mengutuk filsafat yang dijadikan dasar paham komunis. Ini yang mungkin diperkenalkan Presiden Indonesia selaku langkah pertama menuju demokrasi yang modern," ungkapnya.

Arkoun mencontohkan cita-cita pemerintah Maroko mengembangkan status perempuan. Partai Islam menolak rencana pemerintah, namun sebagian lainnya mendapatkannya. Hukum terbaru didasarkan pada kedaulatan individu. Apakah kita mau meninggalkan Sariat Islam dengan menghargai kedaulatan individu itu.

Dalam Islam, tegas Arkoun, ada yang disebut munadharah (tukar anggapan). Munadharah adalah jantung demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa munadharah, alasannya adalah dalam munadharah setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya.[14]

Ismail Razi al-Faruqi

1. Sejarah dan Latar Belakang ar-Razi
Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektualisme universal. Konsep dan teorinya tentang penggabungan ilmu pengetahuan sudah mengilhami berdirinya aneka macam megaproyek keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia.

Berkat ia pula acara besar 'Islamisasi ilmu wawasan' sampai kini berkembang dan meningkat di berbagai negara, meski untuk itu mesti menuai angin puting-beliung kritik dan kecaman. Proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al Afghani pun dilanjutkannya, walau risikonya tak optimal.

Itulah antara lain peran Ismail Raji Al Faruqi. Sosok pintar yang sangat dihormati dan disegani banyak sekali kalangan intelektual dan ilmuwan, Islam dan Barat, ini dilahirkan di tempat Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921. Saat itu, negerinya memang tak separah dan setragis sekarang, yang menjadi sasaran senjata canggih pemerintahan zionis, Israel. Palestina masih begitu serasi dalam pelukan kekuasaan Arab, ketika Faruqi dilahirkan.

Al Faruqi lewat pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon semenjak 1926 hingga 1936. Pendidikan tinggi beliau tempuh di The American University, di Beirut. Gelar sarjana muda pun beliau gapai pada 1941. Lulus sarjana, dia kembali ke tanah kelahirannya menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun, sebelum kesudahannya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun pada 1947 provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.

Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun menekuni dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat ia raih dari Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard, dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value (Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar doktornya dicapai dari Universitas Indiana. Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun.

Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada 1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan, karena terlibat kegiatan Central Institute for Islamic Research.

Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan menunjukkan kuliah di Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke acara pengkajian Islam di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi tersebut.

Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di banyak sekali negara, seperti di Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran. Ia pula perancang utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya di kampus hingga tamat hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.[15]

2. Pemikiran
Ilmuwan yang ikut membidani aneka macam kajian wacana Islam di aneka macam negara --Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi-- ini sungguh populer dengan rancangan integrasi antara ilmu pengetahuan (lazim) dan agama.[16] Dalam dogma agamanya, dia tidak menyaksikan bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yaitu Alquran dan Hadis.

"Bukan mirip sekarang, saat dunia Barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan, namun kemajuan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tak lain karena adanya pemisahan dan dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama," kilahnya.

Gagasan-ide cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang dia kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu wawasan',[17] itu dituangkan dalam banyak goresan pena, baik di majalah, media yang lain, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam banyak sekali bahasa, sudah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus postingan sudah dipublikasikan. Di antara karyanya yang terpenting yakni: A Historical Atlas of the Religion of The World (Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (Atlas Budaya Islam), Islam and Cultural (keduanya telah di Indonesiakan).

Gagasan 'Islamisasi ilmu pengetahuan' tak cuma beliau perjuangkan dalam bentuk buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di Amerika Serikat. Kini, lembaga bergengsi dan berkualitas itu memiliki banyak cabang di banyak sekali negara, tergolong di Indonesia dan Malaysia. Namun pemikirannya juga mengakibatkan pro-kontra di kalangan ilmuwan Muslim dan Barat.

Hal demikian tak membuatnya larut dalam kritikan. Suara-bunyi sumbang itu malah ia kelola sedemikian rupa sehingga berpotensi menjadi stimulasi pengembangan pemikirannya tersebut. Tak cukup dengan IIIT saja, dia dirikan pula The Association of Muslim Social Scientist pada 1972. Kedua lembaga internasional yang didirikannya itu mempublikasikan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu Sosial Islam.

Berbagai aktivitas ini beliau lakukan semata didorong oleh pandangannya bahwa ilmu wawasan akil balig cukup akal ini betul-betul telah sekuler dan jadinya jauh dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan 'resep' pengobatan agar pertumbuhan dan pengetahuan tidak berjalan kebablasan di luar jalur etik, lewat konsep Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengetahuan.

Pemikirannya ihwal Pan-Islamisme (Persatuan Negara-negara Islam) pun tak kalah penting. Seakan tak merasa risih dan pesimis, anutan Pan-Islamismenya terus didengungkannya di tengah berkembangnya negara-negara nasional di dunia Islam sampaumur ini. Al Faruqi tak sependapat dengan berkembangnya nasionalisme yang membuat umat Islam terpecah-pecah.

Baginya, tata cara khilafah (kekhalifahan Islam) adalah bentuk negara Islam yang paling tepat. "Khilafah adalah prasyarat mutlak bagi tegaknya paradigma Islam di paras bumi. Khilafah ialah induk dari forum-lembaga lain dalam penduduk . Tanpa itu, lembaga-forum lain akan kehilangan dasar pijaknya," tegasnya.

Dengan terbentuknya khilafah, jelasnya, keragaman tidak berarti akan lenyap. Dalam pandangannya, khilafah tetap bertanggung jawab melindungi keragaman. Bahkan, khilafah wajib melindungi pemeluk agama lain, mirip Kristen, Yahudi dan lain sebagainya. "Tak ada paksaan dalam Islam," katanya. Menurutnya, negara-negara Islam yang ada dikala ini akan menjadi provinsi-provinsi federal dari suatu khilafah yang bersifat universal yang harus selalu diperjuangkan.

Dalam bidang perbandingan agama, bantuan pedoman Al Faruqi tak kecil. Karyanya A Historical Atlas of Religion of the World, oleh banyak kelompok dipandang sebagai buku persyaratan dalam bidang tersebut. Dalam karya-karyanya itulah, ia senantiasa memaparkan fatwa ilmiahnya untuk mencapai saling pemahaman antarumat beragama, dan pemahaman intelektual terhadap agama-agama lain. Baginya, ilmu perbandingan agama berguna untuk membersihkan semua bentuk prasangka dan salah pemahaman untuk membangun persahabatan antara sesama manusia.

Karena itu pula, Al Faruqi beropini bahwa Islam tidak menentang Yahudi. Yang ditentang Islam adalah Zionisme. Antara keduanya (Yahudi dan Zionisme) terdapat perbedaan fundamental. Ketidakadilan dan kezaliman yang dikerjakan Zionisme, menurutnya, begitu rumit, beragam, dan amat krusial, sehingga simpel tidak terdapat cara untuk menghentikannya tanpa sebuah kekerasan perang. Dalam hal ini, negara zionis mesti dihancurkan. Sebagai jalan keluarnya, orang-orang Yahudi diberi hak bermukim di mana saja mereka harapkan, sebagai warga negara bebas. Mereka harus diterima dengan baik di negara Muslim.

Lantaran pemikirannya inilah, kalangan Yahudi tidak bahagia dengannya. Nasib tragis pun menimpa diri dan keluarganya, ketika meletus serangan teroris di Eropa Barat, yang kemudian merembet pada kerusuhan di AS pada 1986. Gerakan anti-Arab serta semua yang berbau Arab dan Islam begitu marak dipelopori beberapa kalangan tertentu yang lama memendam perasaan tak bahagia kepada Islam dan warga Arab. Dalam serangan oleh kelompok tak diketahui itulah, Al Faruqi dan istrinya, Dr Lois Lamya, serta keluarganya tewas. Untuk mengingat jasa-jasa, perjuangan, dan karyanya, organisasi penduduk Islam Amerika Utara (ISNA) mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al Faruqi Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan impian 'Islamisasi ilmu pengetahuan'

Penutup
Muhammad Arkoun dibesarkan dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual. Kehidupan Arkoun yang mengenal aneka macam tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi pertumbuhan pemikirannya

Arkoun banyak meminjam rancangan-konsep kaum (post) strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme dan sebagainya.

Arkoun mengaku dirinya selaku sejarawan-pemikir dan bukan selaku sejarawan-pedoman. Mohammed Arkoun mempunyai “proyek kritik atas logika Islam” dimana metode historis terbaru menempati tugas sentralnya

Metode yang ditempuh Arkoun yaitu sistem historisisme. Historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat cara abolisi relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik akal islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila tata cara ini dipraktekkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun ialah makna-makna gres yang secara memiliki potensi bersemayam dalam teks-teks tersebut. Muhamamd Arkoun yakni tipologi pemikir Arab kekinian yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi ihwal pedoman ini masih yakin pada tradisi sejauh disesuaikan dengan permintaan modernitas.

Mohammed Arkoun juga menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat Islam membuka diri kepada pluralisme pemikiran, mirip pada kurun permulaan Islam hingga kurun pertengahan. Pluralisme mampu diraih bila pemahaman agama dilandasi paham kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.

Ismail Raji al-Faruqi yaitu seorang pemikir yang sangat terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama. Dalam akidah agamanya, ia tidak menyaksikan bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yaitu Quran dan Hadis.

Gagasan-pemikiran cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang beliau kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu wawasan'. Ide tersebut muncul didorong oleh pandangannya bahwa ilmu pengetahuan akil balig cukup akal ini benar-benar sudah sekuler dan kesannya jauh dari tauhid.

Daftar Pustaka
  • Arkoun, Mohammed, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994.
  • __________________, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994.
  • _______________, Berbagai Pembacaan Qur’an. Jakarta: INIS, 1997.
  • ________________, Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an.
  • Esack, Farid, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997.
  • jurnal "Al-Muslim al-Mu'ashir" edisi no 43, tahun 1985.
  • Kompas, ed. Selasa, 11 April 2000.
  • Meuleman, Johan H., Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993.
  • _________________, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun. Yogyakarta: LkiS, 1996.
  • Penulis, Ismail Raji al-Faruqi, artikel dalam www.islamlib.com didownload pada 27 oktober 2007.
  • Putro, Suadi, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina, 1996.
  • Rasyid, Daud, Harun Nasution, postingan dalam www.alislami.com didownload pada 27 oktober 2007.
  • Syaukani, Luthfi, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998.
  • ______________, Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Moderne: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 1, vol. V 1994.
Footnote
------------------
[1] Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 11-13.
[2] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993, h.94.
[3] Ibid.
[4] Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun, h. 18
[5] Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998., h. 62-63.
[6] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami, h. 12-13
[7] Luthfi Assyaukany, ”Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Moderne: Pendekatan Menuju Kritik Akal Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 1, vol. V 1994, h. 25.
[8] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
[9] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V 1994, h. 157.
[10] Dikutip dari Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 69.
[11] St. Sunardi, Membaca Qur’an bareng …, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LkiS, 1996), h. 60.
[12] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, (Jakarta: INIS, 1997), h. 48.
[13] Muhammed Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, h.85.
[14] Kompas, ed. Selasa, 11 April 2000
[15] Penulis, Ismail Raji al-Faruqi, artikel dalam www.islamlib.com didownload pada 27 oktober 2007.
[16] DR. Daud Rasyid, M.A, Harun Nasution, artikel dalam www.alislami.com didownload pada 27 oktober 2007.
[17] Lihat jurnal "Al-Muslim al-Mu'ashir" edisi no 43, tahun 1985, hlm. 102).

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon