Rabu, 26 Agustus 2020

Makalah Sumber Pedoman Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menentukan atau memutuskan aturan-hukum anutan Islam para mujtahid sudah berpegang teguh kepada sumber-sumber aliran Islam. Sumber pokok pemikiran Islam yaitu Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam hingga akhir zaman. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an kepada hal-hal yang masih bersifat biasa . Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam memilih atau menetapkan sebuah aturan.

Untuk itu, perlu adanya pembagian terstruktur mengenai wacana sumber-sumber fatwa Islam tersebut seperti Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar memahami serta mengetahui pemahaman serta kedudukannya dalam menentukan sebuah hukum anutan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN RUANG LINGKUPNYA

Pengertian Al-Qur’an

Al-Qur’an yaitu wahyu Allah SWT yang ialah mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW selaku sumber aturan dan fatwa hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.
Ruang Lingkupnya Al-Qur’an

Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada 5:

1. Tauhid, iman terhadap Allah, malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari Akhir dan Qodho, Qadar yang baik dan buruk.
2. Tuntutan ibadat selaku tindakan yang jiwa tauhid.
3. Janji dan Ancaman
4. Hidup yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan darul baka.

5. Inti sejarah orang-orang yang taat dan orang-orang yang dholim pada Allah SWT.
Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum

1. Tidak memberatkan

“Allah tidak membenari seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Misalnya:

a) Boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
b) Boleh makan-makanan yang diharamkan bila dalam kondisi terpaksa/memaksa.
c) Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu’

2. Menyedikitkan beban

Dari prinsip tidak memberatkan itu, maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban supaya menjadi tidak berat. Karena itulah lahir aturan-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti: mengqashar sholat.

3. Berangsur-angsur dalam memutuskan hukum

Hal ini mampu dikenali, contohnya; ketika mengharamkan khomr.

1) Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
2) Mengharamkan pada waktu terbatas, ialah; sebelum sholat.
3) Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.


B. KEDUDUKAN HADIST, IJMA’ DAN QIYAS

1. Kedudukan Al-Hadist/Al-Sunnah

Nabi Muhammad selaku seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping selaku ajaran hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang ditetapkan sendiri yang berbentukal-Sunnah. Banyak sekali duduk perkara yang merepotkan ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.

Selain diindikasikan dalam Al-Qur’an, para ulama pun sudah bersepakat untuk memutuskan al-Sunnah selaku sumber fatwa Islam.

Sunnah yang dikerjakan Nabi pada dasarnya yaitu keinginanAllah juga. Dalam arti bahwa Sunnah itu sebetulnya yaitu risalah dari Allah yang manifestasikan dalam ucapan, tindakan dan penetapan Nabi. Maka telah selayaknya, bahkan sebaiknya bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan anutan Islam.

2. Kedudukan Ijma’

Kebanyakan ulama menetapkan, bahwa ijma’ mampu dijadikan hujjah dan sumber anutan Islam dalam menetapkan suatu aturan. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri diantara kau.”

Maka dapat disimpulkan bahwa, jika mujtahid telah sepakat kepada ketetapan hukum suatu persoalan/kejadian, maka mereka wajib ditaati oleh umat.

Ijma’ mampu dijadikan alternatif dalam memutuskan hokum suatu insiden yang didalam Al-Qur’an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang terang hukumnya.

3. Kedudukan Qiyas

Qiyas menduduki tingkat keempat, sebab dalam sebuah kejadian jikalau tidak terdapat hukumnya yang menurut nash, maka kejadian itu disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan sudah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an. Mereka mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang artinya; “Maka ambillah (peristiwa itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang memiliki persepsi.”


C. PENGERTIAN TENTANG NASH DAN SYARI’AH

1. Pengertian Nash

Menurut bahasa, Nash yaitu raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh karena itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan berdasarkan ungkapan antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:

a. Ad-Dabusi:

Artinya:

“Suatu lafazh yang maknanya lebih terang ketimbang zhahar jika beliau ketimbang lafzh shahir.”

b. Al-Bazdawi

“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”

Dari definisi-definisi tersebut mampu disimpulkan bahwa nash memiliki pemanis kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang mampu dimengerti dengan qarinah.

Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu yakni:

“Nash ialah sebuah lafazh yang menawarkan hukum dengan jelas, yang diambil berdasarkan alur obrolan, tetapi dia memiliki kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya lebih lemah ketimbang kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, dia dapat dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”

Sebagai teladan ialah ayat Al-Qur’an, mirip yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.

وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَى.

Dilalah nash dari ayat tersebut yakni tidak adanya persamaan hukum antara perdagangan dan riba.

Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menerangkan hukum. Di sini nash lebih memberi kejelasan dibandingkan dengan zhahir (halalnya perdagangan dan haramnya riba) sebab maknanya diambil dari obrolan bukan dari rumusan bahasa.

2. Pengertian Syari’ah

Dilihat dari sudut kebahasaan kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui penderasan.”

Syari’ah adalah semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik lewat Al-Qur’an ataupun melalui Sunnah Rasul.

Syari’ah itu yaitu aturan-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (insan) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibentuk, atau yang menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok dogma), dan untuk itu para ulama membuat ilmu kalam (ilmu tauhid).

Pengertian syari’ah menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at berdasarkan bahasa ialah tempat yang dihadiri atau dituju insan dan binatang untuk minum air. Menurut perumpamaan yakni hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan bekerjasama antar sesamanya.

Perkataan syari’ah tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kemudian dimasukkan kedalamnya aturan-hukum yang telah disepakati (di ijma’) oleh para sahabat Nabi, tentang persoalan-duduk perkara yang belum ada nashnya dan yang belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (problem yang di ijtihad), juga dimasukkan kedalamnya hokum-aturan yang ditetapkan lewat qiyas. Dengan perkataan lain syari’at itu yaitu aturan-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Allah selaku peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti dan dijalankan oleh manusia didalam kehidupannya.

Pengertian syari’ah berdasarkan Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah satu makna syari’ah yaitu jalan yang lurus.

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18

ثُمَّ جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَاوَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)

“Kemudian Kami jadikan kau berada di atas sebuah syariat (peraturan) dari permasalahan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengenali.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)

para fuqaha menggunakan kata syari’ah selaku nama bagi aturan yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan mediator Rasul-Nya, biar para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan dasar dogma, baik hukum itu perihal lahiriah maupun yang tentang adat dan aqaid, dogma dan bersifat batiniah.

Menurut asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu ialah ketentuan hukum yang membatasi tindakan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang mukallaf.”

Demikianlah makna syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin sudah memakai kata syari’ah untuk nama hukum fiqh atau aturan Islam, yang berhubungan dengan tindakan mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu yakni aqidah dan syari’ah sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam yakni syari’ah epilog, syari’ah yang paling lazim, paling lengkap, dan meliputi segala aturan, baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan.[1]


D. TEORI DAN KONSEP ISTIMBATH HUKUM DALAM ISLAM

Bila para ulama hadist dihadapkan kepada suatu persoalan, pertama kali para ulama ahlul haidst mencari penyelesaian duduk perkara itu terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Nabi/Rasul. Apabila para ulama hadist mendapat hadist yang berlainan-beda, maka mereka mengambil hadist sebagai sumber hukum, dari hadist yang diriwayatkan oleh para perawi hadist yang lebih utama dan menyanggupi persyaratan. Kalau para ulama tersebut tidak menemukan hadistnya, berikutnya mereka meninjau dan mempedomani pendapat para sahabat Nabi. Andaikata tidak juga diperoleh usulan para sahabat perihal dilema yang sedang dihadapi para ulama hadist tersebut, maka selanjutnya barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menuntaskan suatu duduk perkara hukum Islam, atau mereka belum/tidak memberikan pemikiran terhadap penduduk . Masa mereka enggan berfatwa ini tidak lama, cuma sampai kepada abad wafatnya Imam Daud ibnu Ali. Para ulama Fuqaha setelah itu selalu memperhatikan/melakukan anutan, baik yang telah terjadi, walaupun yang belum atau mungkin terjadi, bermakna mereka senantiasa melaksanakan ijtihad kepada sesuatu persoalan yang baru, dan belum teratur dasar hukumnya, sehingga segala masalah mampu mereka pastikan hukumnya berdasarkan hasil ijtihad para ulama hadist (fatwa Madrasah Hadist).


E. IJTIHAD DAN PERBEDAAN MAZDHAB

Ijtihad

Pengertian Ijtihad

Dari segi bahasa, ijtihad memiliki arti; melakukan sesuatu dengan segala keseriusan. Sedang berdasarkan pemahaman syara’ ijtihad adalah:

اَ ْلإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

Menggunakan seluruh kesanggupan untuk memutuskan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.[2]

Adapun pengertia ijtihad yakni: Mencurahkan segala tenaga (asumsi) untuk mendapatkan aturan agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan aliran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.[3]

Ijtihad memiliki peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum jelas). Dari sinilah, sehingga pemikiran Islam senantiasa menganjurkan biar manusia memakai akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) menciptakan kesediaannya dalam mendapatkan perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara niscaya cocok dan sempurna untuk diterapkan dalam setiap waktu dan kawasan. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Perbedaan Mazdhab

Menurut bahasa mazdhab memiliki arti “Jalan atau kawasan yang dilalui.” Menurut perumpamaan para Faqih Mazdhab memiliki dua pengertian adalah:

1. Pendapat salah seorang Imam Mujtahid wacana hukum sebuah masalah.
2. Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.

Dari kedua pemahaman diatas mampu disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab yakni: “Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) wacana aturan sebuah dilema atau perihal kaidah-kaidah istinbath.”

Dengan demikian,bahwa pemahaman bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang imam wacana ukum suatu duduk perkara atau perihal kaidah-kaidah istinbath.”[4]

Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid mirip Imam Hanafi, Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, telah cukup diketahui di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola ajaran masing-masing Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang condong cuma ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, alasannya adalah imbas lingkungan atau alasannya adalah ilmu yang diterima cuma dari ulama/guru yang menganut suatu mazdhab saja.

Menganut suatu pedoman mazdhab saja, bekerjsama tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat anutan-ajaran yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, semoga seseorang tidak fanatik kepada sebuah mazdhab.

Andaikata sukar menyingkir dari kefanatikan terhadap suatu mazdhab, sedikitnya mampu menghargai pertimbangan orang lain yang berlainan dengan pendapatnya.

Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.

A. IMAM HANAFI

Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan sebuah aturan.

1. Al Kitab

Al Kitab ialah sumber pokok pedoman Islam. Segala masalah hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.

2. As-Sunnah

As-Sunnah yakni berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).

3. Aqwalush Shahabah (perkataan sobat)

Perkataan teman mendapatkan posisi yang berpengaruh dalam pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa pedoman Rasul setelah generasinya.

4. Al-Qiyas

Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sobat tidak beliau peroleh.

5. Al-Istihsan

6. Urf

Pendirian dia yakni mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala permasalahan (kalau tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilaksanakan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama mampu dilakukannya. Apabila tidak dapat dilaksanakan istihsan, ia kembali kepada Urf insan.


B. IMAM MALIKI BIN ANAS

Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.

1. Al-Qur’an

2. Sunnah Rasul yang ia pandang sah.

3. Ijmak para ulama Madinah, namun kadang kala dia menolak hadist jika ternyata bertentangan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.

4. Qiyas

5. Istishlah (Mashalihul Mursalah)


C. IMAM SYAFI’I

Dasar-dasar hukum yang digunakan Imam Syafi’i.

Mengenai dasar-dasar aturan yang digunakan oleh Imam Syafi’i sebagai teladan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:

2. Al-Qur’an

3. As-Sunnah

Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang minggu pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah memadai syarat-syaratnya, yaitu selama perawi hadist itu orang kepercayaan, besar lengan berkuasa kenangan dan bersambung eksklusif hingga kepada Nabi SAW.

4. Ijmak

Dalam arti bahwa para sahabat seluruhnya sudah menyepakatinya

5. Qiyas

Imam Syafi’i memakai Qiyas bila dalam ketiga dasar aturan diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.

6. Istidlal (Istishhab)


D. IMAM AHMAD BIN HAMBALI

Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum ialah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:

1. Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni kalau beliau mendapatkan nash, maka dia tidak lagi mengamati dalil-dalil lainnya dan tidak memperhatikan usulan-usulan sahabat yang menyalahinya.

2. Fatwa Sahaby, ialah saat ia tidak menemukan nash dan ia mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka ia berpegang terhadap pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa usulan itu ialah Ijmak.

3. Pendapat sebagian sahabat adalah jika terdapat beberapa usulan dalam sebuah problem, maka ia mengambil mana yang lebih bersahabat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

4. Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap digunakan, jika tidak bertentangan dengan sesuatu atsar atau dengan usulan seorang teman.

5. Qiyas, baru ia pakai bila beliau memang tidak menemukan ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.


BAB III
KESIMPULAN


Al-Qur’an ialah sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam memilih hukum aliran Islam. Karena, segala problem hukum agama merujuk terhadap Al-Qur’an tersebut atau terhadap jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber aturan kedua, yang mana berfungsi menerangkan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum lainnya adalah Ijmak dan Qiyas. Ijmak dan Qiyas merupakan sumber komplemen, yang mana wajib dibarengi selama tidak berlawanan dengan nash syari’at yang terperinci.



DAFTAR PUSTAKA
  • Rifai, Moh. Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 2003
  • Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazdhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003

  • Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
  • Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.

_______________
[1] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), hal. 5-7
[2] Dr. H. Moh. Rifai, Fiqh, (Semarang: CV. Wicaksana, 2003), hal. 124
[3] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 33
[4] Ibid, 86

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon