Minggu, 02 Agustus 2020

Makalah Mahabbah Dalam Pengendalian Diri

I. Pendahuluan
Tasawuf atau sufisme ialah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan beliau ialah kebudayaan Islam yang lahir kemudian sehabis Rasulullah wafat.

Sufisme yakni bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka pemikiran Islam, yakni doktrin, Islam dan ihsan. Oleh sebab itu, sikap sufi tetap berada dalam kerangka syari’ah Islam. Al-Qusyairi menyatakan: “seandainya kamu menyaksikan seseorang yang diberi kesanggupan khusus (keramat), sehingga beliau bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya, sehingga kau menyaksikan bagaimana dia melaksanakan perintah, meninggalkan larangan menjaga hukum yang ada”.

II. Permasalahan
Sebagai akhir modernisasi dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi budpekerti yang mampu menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan terbaru mirip kini ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, khususnya dalam menghadapi bahan yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah al-hirsh, adalah cita-cita yang berlebih-lebihan kepada bahan. Dari sifat ini tumbuh sikap menyimpang, seperti korupsi dan manipulasi. Sifat kedua yaitu al-hasud, yaitu menginginkan biar lezat orang lain sirna dan beralih kepada dirinya. Sifat riya’, yakni sifat suka menunjukkan harta atau kebaikan diri, dan sebagainya dari berbagai sifat hati.

III. Pembahasan
Allah menerangkan diri-Nya selaku Yang Lahir dan Yang Batin (QS. Al-Hadid/57 : 3). Dunia dan isinya adalah pancaran dan alamat dari nama-nama dan sifat-sifat Nya, semua realitas dunia mempunyai aspek lahir dan faktor batin.

Demikian pula dengan kehidupan insan, kehidupan lahir memang tidak sia-sia, tetapi berpuas diri semata-mata dengan duduk perkara lahiriah, merupakan pengingkaran kepada kodrat insan yang bahwasanya, alasannya dasar-dasar terdalam keberadaannya untuk melaksanakan perjalanan diri yang lahir ke yang batin.

Bagi kaum sufi, pendalaman dan pengalaman batin yaitu sesuatu yang paling utama dengan tanpa mengabaikan faktor lahiriah yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa itu merupakan hasil usaha dan usaha (mujahadah) yang tidak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perseorangan yang terbaik dalam mengontrol dirinya, setia dan selalu merasa dihadapan Allah Swt. Pencapaian kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pendidikan dan latihan mental (riyadhah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dari pendisiplinan tingkah laris yang ketat.

Al-Ghazali mengumpamakan jiwa manusia bagaikan cermin, cermin yang mengkilap bisa saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda hitam maksiat (dosa) yang diperbuat manusia (QS. Al-Muthaffifin/83 : 14). Apabila seseorang selalu menjaga kebersihannya, maka titik noda itu akan hilang dan pasti cermin itu mudah mendapatkan apa-apa yang bersifat suci dari pancaran Nur Ilahi, dan bahkan lebih dari itu, jiwa tadi akan mempunyai kekuatan yang besar dan hebat.

Memang diakui oleh para tasawuf bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang senantiasa ingin menguasainya (QS. Yusuf : 53). Agar hawa nafsu seseorang dikuasai oleh akal yang telah menerima bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, mirip riyadhah (latihan) dan mujahadah (rajin) sebagai sarana untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap pencucian dan penggosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), tahap kedua yaitu penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).

Takhalli memiliki arti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. Langkah pertama yaitu mengetahui dan menyadari, betapa buruk sifat-sifat tercela dan kotoran hati itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini mampu dikerjakan dengan sukses, maka kebahagiaan akan diperoleh seseorang (QS. Asy-Syams/91 : 9-10).

Sifat-sifat tercela itu antara lain sifat hasud (dengki atau iri hati), hirsh (harapan yang berlebih-lebihan), takabur (sombong), ghadlab (marah), riya’ (sikap pamer), sum’ah (ingin di dengar kebaikannya), ‘ujub (bangga diri), dan syirik (menyekutukan Allah).

Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut adalah dengan menghayati kepercayaan (keimanan) dan ibadah kita, mengadakan latihan dan tekun untuk menghilangkannya dengan cara mencari waktu yang sempurna untuk itu, serta melakukan koreksi diri (munasabah) dan berdo’a kepada Allah Swt.

Jenjang kedua yaitu tahalli, ialah menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dan budbahasa karimah. Untuk membangun benteng dalam diri masing-masing individu, khususnya dalam menghadapi gemerlapnya bahan ini perlu dibangun dan diperkokoh sifat tauhid (mengesakan Allah secara mutlak), lapang dada (berinfak alasannya adalah Allah semata), taubat (kembali ke jalan yang bagus) , zuhud (perilaku mental lebih mementingkan Allah/akhirat), khub (cinta Allah semata), wara’ (mempertahankan diri dari hal-al yang tidak jelas kekhalalannya) sabar (tabah), faqr (merasa butuh kepada Allah SWT), syukur (berterima kasih dengan jalan mempergunakan nikmat dan rahmat Allah SWT, secara fungsional dan proporsional), ridha (rela terhadap karunia-Nya), tawakkal (pasrah diri setelah berupaya) dan sebagainya.

Setelah seorang bisa menguasai dirinya, mampu menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketenteraman menyembur dari hatinya. Inilah hasil yang diraih seseorang yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan demikian, seseorang mampu membedakan mana yang bagus dan yang tidak baik, mana yang batil dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli bermakna ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan matahati, dengan rasa. Ini adalah puncak kebahagiaan seseorang, sehingga sukses meraih thuma’ninatul qalb.

Sifat-sifat yang tidak terpuji yang ada pada diri insan juga dapat dihilangkan dengan memakai cara teori mahabbah. Mahabbah yakni cinta, dan yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan terhadap mahabbah antara lain selaku berikut:

1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya
2. Menyerahkan seluruh diri terhadap yang dikasihi
3. Menggosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yang dimaksud dengan yang dikasihi disini ialah Tuhan.

Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah (cinta) bab dari maqamat tertinggi yang ialah puncak pencapaian sufi, dimana keseluruhan jenjang yang dilakui bertemu dalam maqom mahabbah.

Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan senantiasa memuji Tuhan.

2. Cinta orang yang siddiq (الصديق), yakni orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta tingkat kedua ini menciptakan penduduknya sanggup menetralisir hasratdan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya sarat dengan perasaan cinta pada Tuhan dan senantiasa rindu pada-Nya.

3. Cinta orang yang ‘cerdik (العارف), adalah orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta mirip ini muncul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang tenang. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mengasihi.

Al-Junaidi ketika ditanya ihwal cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh kenangan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang tertinggal kecuali kenangan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan beliau melupakan sifatnya sendiri.

Paham mahabbah memiliki dasar al-Qur'an, misalnya:

...فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ...

“…maka kelak Allah akan mendatangkan sebuah kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya…”.

Juga ada hadits yang membawa paham demikian, contohnya:

وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا

“Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan tindakan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.

Adapun cara-cara kita menumbuhkan rasa cinta kita terhadap Allah ialah:

1. Dengan cara mengetahui semua nama-nama Allah dan semua sifat-sifat-Nya tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah

2. Berfikir ihwal ciptaan Allah, dengan cara menimbang-nimbang segala ciptaan-Nya maka niscaya kita akan menyadari betapa besarnya kekuasaan Allah. Dengan cara merenungi ciptaan Allah tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita terhadap Allah.

Sufi yang termasyhur dalam sejarah tasawuf dengan mahabbahnya yaitu seorang sufi perempuan yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta yang mendalam kepada Tuhan memalingkan ia dari segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam do’anya beliau tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam nirwana. Yang ia pinta yakni erat dengan Tuhan. Ia mengatakan “aku mengabdi kepada Tuhan bukan sebab takut kepada neraka, bukan pula alasannya ingin masuk nirwana, tetapi saya mengabdi alasannya adalah takut kepada-Nya”. Ia bermunajat “Tuhanku kalau aku puja Engkau karena takut terhadap neraka bakarlah alasannya adalah engkau”.

Cinta terhadap Tuhan begitu menyanggupi seluruh jiwanya sehingga beliau menolak semua proposal kawin, dengan argumentasi bahwa dirinya yakni milik Tuhan tang dicintainya, dan siapa yang ingin kawin dengan ia haruslah meminta izin dari Tuhan.

Penulis sufi menetapkan beberapa tahapan menumbuhkan cinta terhadap Allah yaitu keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap ajal meskipun tahap cinta dianggap selaku tahap tertinggi yang mampu diraih oleh seorang ahli yang menyelaminya. Termasuk di dalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns). Ridho mewakili pada satu sisi ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan dari seorang pecinta terhadap keinginanyang dicintainya. Al-hujwiri membagi empat kalangan insan yang ridho kepada Allah.

1. Mereka yang ridho dengan tunjangan-dukungan Allah, yaitu ma’rifat

2. Mereka yang ridho kebahagiaan, ialah dunia ini

3. Mereka yang ridho kepada penderitaan

4. Mereka yang ridho menjadi opsi Tuhan, adalah cinta.

Syauq ialah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih, dan uns ialah korelasi intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu.

Adapun cinta berdasarkan Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:

1. Cinta Ilahiyah: yang pada satu segi yakni cinta khaliq kepada makhluk dimana dia menciptakan dirinya, yaitu mempublikasikan bentuk daerah dia mengungkapkan dirinya dan pada sisi lain cinta makhluk terhadap khaliqnya yang tidak lain adalah keinginan Tuhan yang tersingkap dalam makhluk rindu untuk kembali pada Dia, sehabis beliau merindukan selaku makhluk yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah obrolan awet antara pasangan tuhan manusia.

2. Cinta spiritual: terletak pada makhluk yang selalu mencari wujud dimana bayangnya beliau cari dalam dirinya atau yang didapati olehnya bahwa bayangan itu yaitu beliau sendiri. Inilah dalam diri makhluk cinta yang tidak memperdulikan, mengarah atau menginginkan apapun selain cukup sang kekasih.

3. Cinta alami: yang berkeinginan untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.

Cinta dan pengampunan Allah kepada manusia yakni rahmat. Sedangkan cinta insan terhadap Allah adalah sebuah kualitas yang dimanifestasikan di dalam hati para mukmin. Sehingga dia akan selalu berupaya membuat puas kekasihnya, merasa serempak dan tanpa henti-hentinya untuk dapat memandang Allah serta tidak dapat dialihkan terhadap siapapun kecuali Allah. Akan senantiasa merasa erat dengan mengenang-ingatnya dan bersumpah tidak akan mengalihkan ingatannya kepada selainnya.

Para mukmin yang menyayangi Allah terdapat dua macam:

1) Mereka yang menganggap bahwa kebaikan dan kedermawanan Allah kepada mereka dan dibimbing oleh pikiran tersebut untuk menyayangi sang gemar memberi

2) Bagi mereka yang tertawan hatinya oleh cinta dimana mereka berpendapat bahwa semua kebaikan-kebaikan Allah bagaikan suatu hijab dan menilai Allah sebagai gemar memberi akan membimbing pada perenungan kebaikan-kebaikan Allah.


IV. Analisis
Uraian di atas menjelaskan bahwa untuk menghilangkan sifat-sifat tercela seperti hasud, hirsh, takabur, ghadhab, riya’, sum’ah, ujub, dan syirik dan sebaginya, adalah dengan cara pembinaan lewat tiga tahapan, ialah takhalli, tahalli, tajalli. Selain ketiga tahapan tersebut, dapat juga dengan cara menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah. Dengan adanya rasa cinta terhadap Allah, maka apapun tindakan yang kita kerjakan semata-mata sebab Allah. Jadi, untuk berbuat atau melaksanakan hal-hal yang tercela kita akan berfikir bahwa tindakan tercela itu dibenci oleh Allah, maka alasannya adalah rasa cinta kita kepada Allah kita akan menjauhi perbuatan tercela itu. Dan atas dasar rasa cinta kita kepada Allah, kita akan lebih merasa erat dengan Allah dan rasa syukur kita akan apa yang diberikan Allah makin bertambah. Kita akan merasa apa yang diberikan Allah terhadap kita yaitu karunia dan ujian yang diberikan kepada kita itu atas dasar Allah masih sayang terhadap kita dan masih mengamati kita.

DAFTAR PUSTAKA

  • Amin Syukur, Tasawuf Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
  • ___________, Menggugat Tasawuf, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
  • Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1999

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon