Sabtu, 19 September 2020

Makalah Peranan Tuntutan Situasi Dalam Mengetahui Hukum Islam

Dalam Memahami Hukum Islam haruslah Cermat. Hal ini mengharuskan kita untuk dapat mengetahui Peranan Tuntutan situasi dalam mengetahui aturan islam. Jika saya mendepositokan duit saya di bank, bolehkah saya mendapatkan bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama. dengan riba? Tanyalah ulama yang Anda kenal, dari golongan apa saja. Ada tiga kemungkinan balasan: boleh, dilarang, tidak tahu. Anehnya kalau kalangan yang ditanya --Muhammadiyah, Persis, NU jawabannya satu. Semua kalangan itu sepakat (ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan mempergunakan bunganya, pasti saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta pedoman lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya akan bermacam-macam. Kebanyakan di antara umat Islam masih belum mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan.

Ulama yang ditanya itu memang mengalami kemusykilan. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah saw. Mereka tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang mengambarkan ketentuan aturan untuk deposito. Ada memang ketentuan tentang riba, tetapi apakah riba sama dengan bunga deposito?

Kemusykilan mirip itu sudah dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya cuma menyangkut dilema keluarga, perdagangan yang sederhana dan aturan pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas. Para ulama merumuskan syari'at dalam bentuk fiqh yang mengontrol bidang-bidang kehidupan yang lebih kompleks. Menurut al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, ketika dinasti Umayyah bertemu dengan kebudayaan Persia, mereka mendapatkan forum yang menyelesaikan problem orang-orang yang dizalimi. Lembaga ini tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah, namun mereka menilai forum ini sungguh cantik. Kemudian penguasa Umayyah mengukuhkan lembaga itu dan menamainya Dewan Mazhalim. Mereka bukan saja menilai dewan ini tidak berlawanan dengan syar'i, namun bahkan memelihara tujuan syar'i.

Secara berangsur-angsur, para ulama membuatkan metode istinbath (menarik kesimpulan hukum) baik menurut kaidah-kaidah atau isyarat umum dalam nash maupun dari penggunaan logika. Di antara tata cara-sistem itu yaitu qiyas, istihsan dan istishlah. Semua metode ini hanyalah upaya memecahkan masalah. Studi kritis terhadapnya akan segera menandakan bahwa penggunaan sistem-sistem tersebut juga mengakibatkan problem. Tidak ada komitmen ulama tentang kebolehan menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu. Sebagian mendapatkannya, sebagian menolakaya. Tidak jarang perbedaan itu timbul alasannya adalah perbedaan pemaknaan perumpamaan-istilah itu. Syafi'i, misalnya, menyerang istihsan dan menganggapnya selaku usaha untuk menciptakan syari'at (man istahsana fa qad syara'a). Maliki dan Hanafi memandang istihsan bahkan harus didahulukan dari qiyas. Malik menyebut istihsan sebagai sembilan persepuluh ilmu (Al-istihsan tis'at a'syar al-'ilm). Tapi saat Syafi'i menyerang istihsan seperti yang dimaknakan olehnya, beliau memakai tata cara qiyas khafi, yang tidak lain ketimbang istihsan menurut mazhab Hanafi.

Tulisan ini akan dimulai dengan menjajal menyelesaikan kemelut makna istihsan dan istishlah dan diakhiri dengan isyarat praktis penggunaannya dalam menjawab permintaan situasi sekarang ini. Namun sebelum itu, selaku pengirim , aku kutipkan klarifikasi Sayyid Musa Tuwanat: [1]

Bila mujtahid tidak menemukan aturan dalam al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan usulan para teman, atau tidak ada yang mampu dijadikan hujjah dari pendapat-usulan mereka, dia bersandar kepada qiyas.

Inilah yang ditetapkan oleh Imam Syafi'i dan ditegaskan al-Syirazi dan al-Maqdisi. Begitu pula para pengikut Hanafi yang membahas qiyas sehabis al-Kitab, Sunnah dan ijma. Imam Malik juga mengambil qiyas, tetapi sehabis mengambil mashalih mursalah dan istihsan. Imam Ahmad pun bersandar terhadap qiyas dengan syarat setelah meninjau hukum itu dalam al-Qur'an dan Hadits dalam maknanya yang lebih luas, meskipun ia berbeda dari mujtahidin yang lain dalam cara dan cakupan penggunaan qiyas.

Tidak ada madzhab yang menolak penggunaan istihsan kecuali madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah. Adapun cara memakai qiyas sebagai berikut:

1. Seorang mujtahidin melakukan penelitian apakah ada dalil yang memperlihatkan dalil ihwal illat untuk menentukan aturan far'.[2] Bila illat itu dimengerti dengan menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul dan ada hubungan antara illat ini dengan perkara yang mau ditetapkan hukumnya, dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah aturan yang asal dengan far' berdasarkan kesamaan illat mirip yang dipahaminya.

Kadang-kadang mujtahid meninggalkan satu dalil terhadap dalil yang lebih kuat, atau kepada maslahat, atau meninggalkan qiyas kepada atsar, atau kepada ijma' atau terhadap dharurat. Kadang-kadang qiyas ditinggalkan alasannya ada dalil yang kuat atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar dari upaya mengerjakan nash, atau qiyas, atau mashlahat. Yang demikian itu disebut istihsan.

PENGERTIAN ISTIHSAN
Secara denotatif, istihsan artinya menatap baik kepada sesuatu. Pendirian Dewan Madzalim dipandang baik; artinya, harus dijalankan menurut istihsan. Menarik sekali, para ulama yang menjaga istihsan mengambil dalil dari al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pemahaman denotatif ini (adalah, orang-orang yang mendengarkan

kata dan diturutinya yang paling baik, Q.s al-Zumar: 18; "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55; "Apa yang dianggap kaum Muslim baik, menurut Allah baik juga," --Hadits berdasarkan riwayat Abdullah bin Mas'ud.

Bila kita mengacu pada literatur, kita akan mendapatkan aneka macam definisi istihsan --yang tidak selalu memperlihatkan acuan yang sama. Ada definisi yang dibuat dengan mengamati segi-segi politis dan bukan sisi-segi ilmiahnya.

Untuk menunjukkan bagaimana definisi-definisi itu lebih banyak

menyulitkan ketimbang membantu, kita lihat pola di bawah ini:
  • Istihsan yakni meninggalkan qiyas untuk mengambil yang lebih sesuai dengan orang banyak.
  • Istihsan yakni mencari fasilitas dari aturan-aturan yang dihadapi orang banyak atau orang tertentu.
  • Istihsan yakni mengambil keluasan dan mencari kelegaan.
  • Istihsan adalah mengambil yang permisif dan menentukan yang di dalamnya ada ketenangan (seluruhnya dari al-Sarkhashi).
  • Istihsan artinya meninggalkan kepastian qiyas terhadap qiyas yang lebih besar lengan berkuasa atau mentakhshiskan qiyas dengan dalil yang lebih besar lengan berkuasa (al-Bazdawi dari madzhab Hanafi).
  • Istihsan artinya mengamalkan yang lebih kuat di antara dua dalil (al-Syathibi dari madzhab Maliki).
  • Istihsan artinya meninggalkan aturan dilema dari yang semacamnya karena dalil syara' yang tertentu (al-Thufi dari madzhab Hambali).
  • Istihsan yakni apa yang dipandang baik oleh mujtahid dengan akalnya.[3]
Karena kita mengalami kesusahan mengerti istihsan dari aneka macam definisi itu, marilah kita ambil pola kasus yang oleh para mujtahid disebut selaku istihsan. Melihat aurat perempuan yang bukan muhrim haram, alasannya mampu menjadikan "fitnah" (membawa orang kepada kemaksiatan). Yang dalam kurung itu disebut 'illat yang sangat jelas (kita sekarang sedang melakukan qiyas jaliy). Bagaimana hukumnya seorang dokter yang harus mengusut pasien wanitanya? Bila ia tidak menyaksikan auratnya, dia tak bisa menolong pasien itu dengan baik. Ia mesti membantu pasien itu untuk mengembalikan kesehatannya, untuk kemaslahatan pasiennya. Tapi alasan ('illat) ini hanya dalam masalah pasien saja dan dianggap tegas (kita sedang melaksanakan qiyas khafiy). Bila kita meninggalkan qiyas jaliy dan mengambil qiyas khafiy, kita melakukan istihsan.

Kadang-kadang seorang mujtahid meninggalkan qiyas alasannya memperoleh hadits yang lebih kuat, atau alasannya adalah memperhatikan kemaslahatan, atau alasannya 'urf (akhlak kebiasaan yang sudah biasa ). Bila kita memperhatikan praktek-praktek yang disebut istihsan, kita memperoleh istihsan dalam tiga pengertian:

Pertama, istihsan bermakna memilih yang lebih kuat di antara dua dalil yang berlawanan atau berbeda (berikhtilaf). Boleh jadi ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi --yaitu dalil yang diambil dari al-Qur'an dan Sunnah. Atau ikhtilaf di antara dua dalil ghair lafzhi; contohnya, antara qiyas jaliy dengan qiyas khafiy. Atau ikhtilaf di antara dalil lafzhi dan ghair lafzhi.

Marilah kita mulai dengan ikhtilaf di antara dua dalil lafzhi. Dalam hal ini, ikhtilaf mampu berbentuktazakam dan ta'arudh. Yang dimaksud dengan Tazabum ialah pembenaran dua aturan yang berasal dari syara', yang tidak mungkin digabungkan. Ta'arudh artinya perbedaan aturan alasannya perbedaan perkara (ikhtilaf shawar al-persoalan).

Kita melakukan istihsan jika kita mentarjih (menganggap lebih baik) salah satu di antaranya. Sambil menawarkan teladan-misalnya, saya akan memberikan petunjuk-petunjuk simpel penggunaan istihsan pada tazahum dan ta'arudh.
Dulukan hukum yang mendesak (mudhiq) di atas aturan yang menunjukkan fleksibilitas (musi'). Misalnya, antara menetralisir najis di masjid dengan melakukan shalat pada permulaan waktunya, atau antara menolong orang yang celaka dengan melaksanakan shalat Jum'at. Pilihlah menetralisir najis dan menolong orang yang celaka.

Dulukan yang tidak ada penggantinya dengan yang ada penggantinya. Misalnya, menggunakan air untuk membuat puas rasa haus atau untuk berwudhu'. Wudhu' itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak mampu diganti dengan kerikil.
Dulukan yang telah tertentu (mu'ayyan) di atas permasalahan yang menawarkan alternatif (mukhayyar). Misalnya memenuhi nadzar atau membayar kifarat. Anda bernadzar untuk memberikan masakan bagi orang miskin, tetapi juga Anda mesti membayar kifarat puasa. Dulukan yang lebih penting dari pada yang penting. Anda wajib melaksanakan haji dan pada ketika yang sama Anda mesti membayar hutang. Bayarlah hutang Anda lebih dahulu. 

Ta'arudh terjadi jika ada dua dalil syara' yang berlawanan. Para ulama ushul menganjurkan beberapa cara, yang tidak mampu kita perinci satu per satu: mendulukan yang mutlak di atas yang muqayyad, takhshish di atas 'am, nasikh di atas mansukh, hakim di atas mahkum, al-Qur'an di atas Sunnah, yang disepakati di atas yang diikhtilafi.

Kedua, istihsan mempunyai arti mengambil sesuatu yang telah dipandang baik oleh 'urf atau nalar. Misalnya, mencatat pernikahan di kantor departemen Agama. Istihsan dalam arti ini harus dikerjakan dengan sangat hati-hati. Karena apa yang dipandang baik 'urf atau logika itu boleh jadi sangat subyektif, sehingga besar kemungkinan mengikuti bias-bias sosio-psikologis. Kita juga tidak cukup waktu membahas hal ini.

Ketiga, istihsan berarti meninggalkan dalil-dalil tertentu untuk mendatangkan maslahat atau menegakkan hukum di atas usulanmaslahat yang lima: memelihara agama, jiwa, nalar, keturunan dan harta. Istihsan jenis terakhir ini disebut juga istishan atau al-mashalih al-mursalah.[4]

Footnote
----------------
[1] Penulis, Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, t.t.), hal. 324 - 325.
[2] Ada empat rukun qiyas: (1) asalnya, adalah masalah yang ada dalam nas, misalnya minum khamar; (2) hukumnya, ialah haram; (3) far', masalah gres yang akan ditetapkan hukumnya, misalnya bir; (4) illat atau washf jami', yakni alasannya adalah yang menyamakan kedua masalah itu, misalnya memabukkan atau minuman keras.
[3] Lihat, Muhammad Taqiy, Al-Ushul al-Ammah fi al-Ammah fi al-fiqh al-Muqaran (Beirut: Dar al-Andalus, 1979), hal. 361-362.
[4] Jalaluddin Rakhmat, Peranan Tuntutan Situasi Dalam Memahami Hukum Islam dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2001), hal. 73.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon