Makalah Pemahaman Kontekstual Hadis
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Hadis sebagai sumber aliran dan aturan Islam yakni merupakan realisasi dan keyakinan terhadap Rasul saw. dan dua kalimat syahadat yang diikrarkan oleh setiap muslim, selain alasannya fungsi dari Hadis itu sendiri, ialah sebgai klarifikasi dan penafsir kepada ayat-ayat Alquran yang bersifat umum.[1] Menurut petunjuk Alquran Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. untuk semua umat insan dan sabagai rahmat bagi semesta alam. Itu berarti kedatangan Muhammad saw. menenteng kebajikan dan rahmat bagi semua umat insan dalam segala waktu dan tempat. Kalau begitu, Hadis Nabi yang merupakan salah satu sumber pemikiran Islam disamping Alquran mengandung fatwa yang bersifat universal, temporal dan lokal.[2]
Pendapat diatas, bagi penganut paham kontekstual dijabarkan dan dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap Hadis dicari konteksnya, apakah ia diucapkan/diperankan oleh manusia agung itu dalam kedudukan beliau selaku : Rasul, dan alasannya itu pasti benar, alasannya adalah bersumber dari Allah swt. Hakim, yang menetapkan perkara.
Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal niscaya benar, namun secara material adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kesanggupan salah satu pihak yang bersengketa dalam menutupi kebenaran, sementara disisi lain keputusan ini cuma berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. Pemimpin sebuah masyarakat, yang menyesuaikan perilaku, bimbingan dan petunjuknya dengan keadaan dan budaya masyarakat yang dia jumpai. Dalam hal ini bimbingan dan perilaku beliau pasti benar dan sesuai dengan penduduk . Namun bagi penduduk lainnya, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang erkandung dalam petunjuk dan bimbingnitu sesuai dengan keadaan masing-masing masyarakat.
Pribadi, baik alasannya adalah beliau :
Memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dianugerahkan atau dibebankan Allah swt. dalam rangka menjalankan peran kenabiannya, seperti keharusan shalat malam atau kebolehan menghimpun lebih dari empat isteri. Kekhususan yang diakibatkan olehh sifat manusia mirip perasaan suka dan tidak senang terhadap seseorang.[3] Untuk itu Hadis Nabi saw. yang ialah bagian dari akal beliau dimungkinkan untuk menimbulkan pertentangan antara satu Hadis yang sanadnya shahih dengan Hadis lain yang sanadnya juga asli. Guna menanggulangi hal tersebut muncul satu kajian perihal Hadis yang mampu dimengerti secara tekstual dan kontekstual. Dan makalah ini hanya membahas kajian Hadis secara kontekstual.
Dalam hal ini putusan tersebut walaupun secara formal niscaya benar, namun secara material adakalanya keliru. Hal ini diakibatkan oleh kesanggupan salah satu pihak yang bersengketa dalam menutupi kebenaran, sementara disisi lain keputusan ini cuma berlaku bagi pihak-pihak yang bersengketa. Pemimpin sebuah masyarakat, yang menyesuaikan perilaku, bimbingan dan petunjuknya dengan keadaan dan budaya masyarakat yang dia jumpai. Dalam hal ini bimbingan dan perilaku beliau pasti benar dan sesuai dengan penduduk . Namun bagi penduduk lainnya, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang erkandung dalam petunjuk dan bimbingnitu sesuai dengan keadaan masing-masing masyarakat.
Pribadi, baik alasannya adalah beliau :
Memiliki kekhususan dan hak-hak tertentu yang dianugerahkan atau dibebankan Allah swt. dalam rangka menjalankan peran kenabiannya, seperti keharusan shalat malam atau kebolehan menghimpun lebih dari empat isteri. Kekhususan yang diakibatkan olehh sifat manusia mirip perasaan suka dan tidak senang terhadap seseorang.[3] Untuk itu Hadis Nabi saw. yang ialah bagian dari akal beliau dimungkinkan untuk menimbulkan pertentangan antara satu Hadis yang sanadnya shahih dengan Hadis lain yang sanadnya juga asli. Guna menanggulangi hal tersebut muncul satu kajian perihal Hadis yang mampu dimengerti secara tekstual dan kontekstual. Dan makalah ini hanya membahas kajian Hadis secara kontekstual.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Pemahaman Kontekstual Hadis
PEMBAHASAN
Makalah Pemahaman Kontekstual Hadis
A. Pengertian Kontekstual
Kontekstual berasal dari kata bahasa Inggris yaitu contextual dari kata context yang bermakna relasi kata-kata, konteks, yang berafiliasi dengan konteks, dilihat dalam relasi dengan kalimat.[4] Dalam bahasa Arab disebut dengan nai.[5] Dengan demikian kontekstual ialah upaya untuk melihat relasi dalam kalimat yang terdapat dalam suatu naskah/ matan, sebab kekerabatan kata-kata terkadang penting untuk mengerti apa yang sudah dikatakan. Jadi, pemahaman Hadis secara kontekstual yaitu mengerti Hadis dengan melihat segi-sisi konteks yang bekerjasama dengan Hadis.
B. Dasar -Dasar Pemahaman Kontekstual
Ulama Hadis berlainan pendapat mengenai pengertian berkaitan dengan sebuah teks Hadis. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang memahaminya secara kontekstual. Kedua ciri ini sesungguhnya sudah dikenal dan dipraktekkan pada abad Nabi Muhammad SAW masih hidup. Contoh dari pengertian Hadis secara kontekstual ialah berkenaan dengan perintah dari Rasul :
“لا يصلين أحد إلا فى بنى قريظة”
Artinya : “Janganlah ada salah seorang kau sholat Ashar kecuali di Perkampungan Bani Quraizah”.
Hadis ini berkaitan dengan perintah Rasulullah SAW terhadap beberapa teman untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizah. Perjalanan tersebut ternyata terlalu panjang, sehingga sebelum sampai ditujuan waktu ashar telah habis. Disini, mereka merenngkan kembali maksud ucapan Rasulullah SAW. Ternyata sebagian memahaminya untuk secepatnya bergegas dalam perjalanan supaya dapat datang di sana pada waktu masih ashar. Kaprikornus bukan mirip maksud teks Hadis yang melarang untuk melakukan sholat ashar kecuali disana. Dengan demikian mereka boleh melaksanakan shalat ashar meskipun belum mtiba di kawasan tujuan. Hal ini berlainan dengan orang yang memahaminya secara tekstual. Mereka baru melaksanakan shalat ashar sesudah datang di perkampungan Bani Qurai§ah sekalipun shalat ashar telah lama berlalu. Dan kedua pendapat ini diterima oleh Rasulullah Saw.[6]
Asbabul Wurd
Secara etimologi, asbab yaitu bentuk jamak dari sabab yang mempunyai arti tali. Sebab juga mempunyai arti penghubung yang lain. Secara terminologi sabab mempunyai arti sebuah sistem untuk sampai kepada hukum tanpa memberi efek terhadap aturan tersebut.[7] Al-Wurd secara etimologi mempunyai arti al-manthil (daerah-tempat minum) atau al-ma’u turadh alaihi (air yang menngalir ketempat semula).[8] Makara, asbabul wurd mampu diartikan dengan sebab-sebab atau latar belakang hadirnya suatu Hadis.
As-Suyuthi mengartikan asbabul wurd sebagai sesuatu yang menjadi cara atau sistem untuk menentukan maksud suatu Hadis yang bersifat lazim, atau khusus, mutlak atau muqayyad serta ada atau tidaknya naskh dalam sebuah Hadis.[9] Hasbi as-Shiddiqi menyebutkan bahwa asbabul wurd ialah :
As-Suyuthi mengartikan asbabul wurd sebagai sesuatu yang menjadi cara atau sistem untuk menentukan maksud suatu Hadis yang bersifat lazim, atau khusus, mutlak atau muqayyad serta ada atau tidaknya naskh dalam sebuah Hadis.[9] Hasbi as-Shiddiqi menyebutkan bahwa asbabul wurd ialah :
علم يعرف به اسباب الحديث و مناسبته[10]
Pemahaman wacana asbabul wurd membantu kita mengerti latar belakang historis sebuah Hadis sehingga diperoleh pengetahuan yang integral perihal Hadis tersebut. Imam Suyuti menandakan banyak yang dapat diambil faedah dengan mengetahui asbabul wurd diantaranya adalah dapat mengetahui adanya batas-batas arti suatu nash Hadis dalam beberapa segi, ialah mentakhsis arti yang biasa, menghalangi arti yang mutlak, merinci makna yang global, menentukan dan menjelaskan nasakh dan mansukh, menandakan illat sebuah hukum dan menerangkan hal yang merepotkan.[11]
‘A’Jaj al-Khatib menyampaikan, asbabul wurd sangat penting alasannya beliau menjadi alat pemecah dalam menganalisis, mengkhususkan kata-kata yang biasa, membatasi yang mutlak, merincikan yang global, menentukan ada tidaknya nasakh, menjelaskan alas an-argumentasi yang niscaya sebagaimana yang ditetapkan aturan serta membantu Hadis yang merepotkan dipahami.[12] Contoh dari hal ini ialah Hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa :
‘A’Jaj al-Khatib menyampaikan, asbabul wurd sangat penting alasannya beliau menjadi alat pemecah dalam menganalisis, mengkhususkan kata-kata yang biasa, membatasi yang mutlak, merincikan yang global, menentukan ada tidaknya nasakh, menjelaskan alas an-argumentasi yang niscaya sebagaimana yang ditetapkan aturan serta membantu Hadis yang merepotkan dipahami.[12] Contoh dari hal ini ialah Hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa :
البحر طهور ماءه و الحل ميتته
Artinya : “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”.
Hadis ini diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW alasannya adanya pertanyaan yang muncul dari seorang pria Bani Lathij, pria itu tiba kepada Rasulullah Saw. pertanda keadaannya yang sering melaut bersama mitra-kawannya sedangkan perbekalan air yang mereka bawa tidak banyak, jikalau mereka memakai air tersebut untuk berwudhu’, pasti mereka akan mencicipi kehausan, maka Rasul bersabda seperti Hadis diatas.[13]
Sebagian Hadis Nabi dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh alasannya tertentu dan sebagian lain didahului oleh alasannya tertentu. Bantuk alasannya adalah tertentu yng menjadi latar belakang terjadinya Hadis itu mampu berupa kejadian secara khusus dan dapat berupa situasi atau kondisi yang bersifat lazim.
Contoh Hadis
Untuk lebih mengerti tentang pengertian Hadis secara kontekstual ada contoh Hadis yang dipaparkan guna dianalisa sesuai dengan tata cara kontekstual. Rasulullah SAW brsabda :
Hadis ini diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW alasannya adanya pertanyaan yang muncul dari seorang pria Bani Lathij, pria itu tiba kepada Rasulullah Saw. pertanda keadaannya yang sering melaut bersama mitra-kawannya sedangkan perbekalan air yang mereka bawa tidak banyak, jikalau mereka memakai air tersebut untuk berwudhu’, pasti mereka akan mencicipi kehausan, maka Rasul bersabda seperti Hadis diatas.[13]
Sebagian Hadis Nabi dikemukakan oleh Nabi tanpa didahului oleh alasannya tertentu dan sebagian lain didahului oleh alasannya tertentu. Bantuk alasannya adalah tertentu yng menjadi latar belakang terjadinya Hadis itu mampu berupa kejadian secara khusus dan dapat berupa situasi atau kondisi yang bersifat lazim.
Contoh Hadis
Untuk lebih mengerti tentang pengertian Hadis secara kontekstual ada contoh Hadis yang dipaparkan guna dianalisa sesuai dengan tata cara kontekstual. Rasulullah SAW brsabda :
ان اشد عذابا عندالله يوم 575;لقيامة المصورون
( روه البخار و مسلم و غير هما عن عبد الله بن مسعود)
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang mendapatkan siksa paling dahsyat pada hari kiamat di hadirat Allah adalah para pelukis”.
Cukup banyak Hadis Nabi yang menerangkan larangan melukis makhluk yang bernyawa. Dekemukakan bahwa para pelukis pada hari akhir zaman kelak dituntut untuk menunjukkan nyawa kapada apa yang dilukiskannya. Dikatakan juga bahwa Malaikat tidak akan masuk kadalam rumah yang tidak ada lukisannya. Karena banyak Hadis nabi yang melarang pengerjaan dan pemajangan lukisan makhluk hidup (adalah manusia dan Hewan) maka tak aneh bila pengertian secara tekstual lumayan banyak pendukungnya, khususnya pada zaman klasik.
Berbagai Hadis yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan makhluk bernyawa tersebut dinyatakan oleh Nabi dalam kapasitas ia selaku Rasul. Dikatakan demikian antara lain karena dalam Hadis itu dikemukakan gosip ihwal nasib abad depan para pelukis di hari akhir zaman. Informasi yang demikian itu hanya dapat dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas dia selaku Rasul.
Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi itu bahu-membahu mempunyai latar belakang Hukum (illat al-¥ukm). Pada zaman nabi, masyarakat belum lama terlepas dari iman menyekutukan Allah, adalah penyembahan terhadap patung dan semacamnya. Dalam kapasitasnya selaku Rasulullah beliau berusaha keras untuk melepaskan umat Islam terbebas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuhnya ialah dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan, yang diancam siksa berat tidak hanya yang memproduksi saja, namun juga yang memajangnya. Kalau I’llat hukumnya memang demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan untuk terjerumus ke dalam kemusyrikan, utamanya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajang lukisan diperbolehkan. Kaidah ushul fiqh menyatakan :
Cukup banyak Hadis Nabi yang menerangkan larangan melukis makhluk yang bernyawa. Dekemukakan bahwa para pelukis pada hari akhir zaman kelak dituntut untuk menunjukkan nyawa kapada apa yang dilukiskannya. Dikatakan juga bahwa Malaikat tidak akan masuk kadalam rumah yang tidak ada lukisannya. Karena banyak Hadis nabi yang melarang pengerjaan dan pemajangan lukisan makhluk hidup (adalah manusia dan Hewan) maka tak aneh bila pengertian secara tekstual lumayan banyak pendukungnya, khususnya pada zaman klasik.
Berbagai Hadis yang berisi larangan melukis dan memajang lukisan makhluk bernyawa tersebut dinyatakan oleh Nabi dalam kapasitas ia selaku Rasul. Dikatakan demikian antara lain karena dalam Hadis itu dikemukakan gosip ihwal nasib abad depan para pelukis di hari akhir zaman. Informasi yang demikian itu hanya dapat dikemukakan oleh Nabi dalam kapasitas dia selaku Rasul.
Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan oleh Nabi itu bahu-membahu mempunyai latar belakang Hukum (illat al-¥ukm). Pada zaman nabi, masyarakat belum lama terlepas dari iman menyekutukan Allah, adalah penyembahan terhadap patung dan semacamnya. Dalam kapasitasnya selaku Rasulullah beliau berusaha keras untuk melepaskan umat Islam terbebas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuhnya ialah dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan, yang diancam siksa berat tidak hanya yang memproduksi saja, namun juga yang memajangnya. Kalau I’llat hukumnya memang demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan untuk terjerumus ke dalam kemusyrikan, utamanya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajang lukisan diperbolehkan. Kaidah ushul fiqh menyatakan :
الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما
“Hukum itu berkisar dengan ‘illat latar belakang keberadaannya, antara keberadaan dan ketiadaannya”.
Maksudnya aturan itu diputuskan dengan ‘illatnya, kalau ‘illatnya ada, maka hukumnya ada, dan jika ‘illatnya sudah tidak ada, maka hukumnya juga ikut tidak ada. “Ekses” dari pengertian secara kontekstual tersebut mampu saja timbul. Misalnya saja, lukisan dilukis pada ketika masyarakat berkeyakinan bahwa menyembah patung ialah musyrik. Ditempat lain atau tatkala sikap masyarakat sudah berganti, lukisan tersebut lalu disembah oleh orang. Kalau demikian yang terjadi, maka apakah pelukisnya terlepas dari tanggung jawab atas penyembahan tersebut ? yang salah memang tentu saja yang menyembah lukisan tersebut, tetapi juga pelukisnya tidak terlebas dari tanggung jawab.
C. Memahami Lapangan dan Ruang Lingkup Kontekstualisasi Hadis
Upaya kontekstualisasi kepada pemahaman Hadis merupakan suatu keharusan, tetapi bukan bermakna dapat dijalankan secara bebas. Ada rambu-rambu yang harus diketahui terlebih dulu sebelum melakukan proses ini. Rambu-rambu itu ialah; pertama, menyangkut lapangannya. Tidak semua lapangan menjadi objek kontekstualisasi. Melainkan ada beberapa lapangan yang serupa sekali tidak dapat dipahami secara kontekstual, seperti ibadah dan keyakinan.Sedangkan lapangan ijtihad, dapat dilakukan kontekstualisasi seperti muamalat.
Kedua, menyangkut pelakunya. Tidak semua orang boleh melaksanakan kontekstualisasi, dibutuhkan perangkat keilmuan yang cukup dan mapan dalam kontekstualilsasi. Dalam hal ini fazlur Rahman memastikan selaku berikut : “prayer, Zakat, Fasting, Pilgrimage, etc, with their detailed manner of application, are also prophetic that only yakni dishornet or an insane person would deny this.”[14]
C. Memahami Lapangan dan Ruang Lingkup Kontekstualisasi Hadis
Upaya kontekstualisasi kepada pemahaman Hadis merupakan suatu keharusan, tetapi bukan bermakna dapat dijalankan secara bebas. Ada rambu-rambu yang harus diketahui terlebih dulu sebelum melakukan proses ini. Rambu-rambu itu ialah; pertama, menyangkut lapangannya. Tidak semua lapangan menjadi objek kontekstualisasi. Melainkan ada beberapa lapangan yang serupa sekali tidak dapat dipahami secara kontekstual, seperti ibadah dan keyakinan.Sedangkan lapangan ijtihad, dapat dilakukan kontekstualisasi seperti muamalat.
Kedua, menyangkut pelakunya. Tidak semua orang boleh melaksanakan kontekstualisasi, dibutuhkan perangkat keilmuan yang cukup dan mapan dalam kontekstualilsasi. Dalam hal ini fazlur Rahman memastikan selaku berikut : “prayer, Zakat, Fasting, Pilgrimage, etc, with their detailed manner of application, are also prophetic that only yakni dishornet or an insane person would deny this.”[14]
BAB III
PENUTUP
Makalah Pemahaman Kontekstual Hadis
PENUTUP
Makalah Pemahaman Kontekstual Hadis
Berdasarkan uraian diatas mampu dipahami bahwa pemahaman kontekstual terhadap suatu Hadis sudah muncul sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat. Usaha ini dilakukkan dalam rangka memperoleh nilai-nilai yang termuat dalam suatu Hadis. Namun, bukan memiliki arti pekerjaan ini dapat dikerjakan oleh siapa saja alasannya ada beberapa ketentuan yang memang harus dicermati unuk menentukan langkah yang lebih jelas dan terarah. Langkah awal yang peerlu dicermati lebih permulaan yaitu mengenali dengan pasti dalam posisi dan kapasitas apa Nabi Muhammad SAW bersabda :
Keberadaan Hadis Nabi sebagai isyarat tidak terlepas dari kecerdikan Nabi di bidang dakwah dalam rangka penerapan tahapan aliran islam. Guna memaknai dengan benar maksud dari Hadis Nabi dan mengambil isyarat darinya maka kita tidak hanya berlandaskan tekstual Hadis, tapi menerapkan kontekstual Hadis juga meninjau dari segi asbabul wurdnya. Mengetahui asbabul wurd Hadis sangat penting dan menolong untuk mengetahui mana Hadis yang mujmal dan takhsis, serta antara nasakh dan mansukh sehingga sungguh menolong dalam pengistinbatan aturan.
Keberadaan Hadis Nabi sebagai isyarat tidak terlepas dari kecerdikan Nabi di bidang dakwah dalam rangka penerapan tahapan aliran islam. Guna memaknai dengan benar maksud dari Hadis Nabi dan mengambil isyarat darinya maka kita tidak hanya berlandaskan tekstual Hadis, tapi menerapkan kontekstual Hadis juga meninjau dari segi asbabul wurdnya. Mengetahui asbabul wurd Hadis sangat penting dan menolong untuk mengetahui mana Hadis yang mujmal dan takhsis, serta antara nasakh dan mansukh sehingga sungguh menolong dalam pengistinbatan aturan.
DAFTAR PUSTAKA
- Al-Khatib, M.Ajaj. Ulmul adl, Beirut, Dar al-Fikr.
- As-Shiddiqi, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta, Bulan Bintang, 1981.
- As-Suyuthi, Jalal ad-D³n. Asbab al-Wurd al-adl aw Luma’ fi asbab al-adl, di tahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad. Beirut : Dar al-Kutub al-I’lmiyyah, 1984.
- Echols, Jhon m. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : Gramedia, 1984.
- Salim, Peter, The Contemporary English-Indonesia Dictionary. Jakarta : Modern English Press, 1991.
- Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta : Bulan Bintang, 1994.
- Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History (Karachi : General Institute of Islamic Research, 1965.
- Shihab, M. Quraisy. Kata pengantar Pada Muhammad al-Ghazali, edisi Indonesia oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung : Mizan, 1991.
- Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis, Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.
Footnote
----------------------------
----------------------------
[1] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, ( Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), h. IV.
[2] Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 4.
[3] M. Quraisy Shihab, Pengantar dalam Studi Kritis Atas Hadis Nabi saw. oleh Muhammad al-Ghazali (Bandung : Mizan, 1998), h 9.
[4] Jhon m. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta : Gramedia, 1984) hal. 584. lihat juga Peter Salim, The Contemporary English-Indonesia Dictionary (Jakarta : Modern English Press, 1991), h. 2031.
[5] Louis Ma’lf, al-Munjid pi Lughah wa al-I’l±m (Beirut : D±r al-Masyriq, 1975), h. 805.
[6] M. Quraisy Shihab, Kata pengantar Pada Muhammad al-Ghazali, edisi Indonesia oleh Muhammad al-Baqir, Studi Kritis atas Hadis Nabi SAW, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung : Mizan, 1991), h. 9.
[7] Jalal ad-D³n as-Suy¯³, Asb±b al-Wurd al-¦ad³£ aw Luma’ fi asb±b al-¦ad³£, di tahqiq oleh Yahya Ismail Ahmad (Beirut : D±r al-Kuub al-I’lmiyyah, 1984), h. 10.
[8] Ibnu Man¡r, Lis±n al-‘Arab, jilid IV (Beirut : D±r al-I¥y± at-Tura£ al-‘Arab³, 1996), h. 139.
[9] Suy¯³, Asb±b al-Wurd, h 10.
[10] Hasbi As-Shiddiqi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta, Bulan Bintang, 1981), h. 296.
[11] Suy¯³, Asb±b al-Wurd, h. 44.
[12] M.’Aj±j al-Kh±¯ib, Ulmul ¦ad³£, (Beirut, D±r al-Fikr, ), h. 86.
[13] As-Shidiqi, Pokok-Pokok.., hal. 296.
[14] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi : General Institute of Islamic Research, 1965), hal 416.
EmoticonEmoticon