Jumat, 06 November 2020

Makalah Pesantren, Dinamika Dan Perkembangannya

Makalah Pesantren, Dinamika dan Perkembangannya
Oleh: Daulat P. Sibarani

Sejarah Berdirinya Pesantren
Minimnya data tentang pesantren, baik berupa manuskrip atau peninggalan sejarah lain yang menjelaskan tentang awal sejarah kebangunan pesantren, menyebabkan keeterangan-keterannga pesan yang berkenaan dengannya bersifat sungguh bermacam-macam. Namun demikian, kelemahan ini justru menjadi factor determinan bagi terus dijadikannya sejarah pesantren sebagai materi kajian yang tidak pernah kering. Disamping itu minimnya catatatan sejarah pesantren ini pula lalu menyebabkan argumentasi tersendiri bagi dilanjutkannya penelusuraan lintasan sejarah kepesantrenan di Indonesia secara berkelanjutan.

Tidak mampu dibantah bahwa forum pondok pesantren memainkan peranan penting dalam perjuangan menawarkan pendidikan bagi bangsa Indonesia khususnya pendidikan agama. Pesantren, dari permulaan mula bangkit sampai dikala ini masih terus mampu eksis dan berperan dalam upaya memperlihatkan pendidikan yang bermutu. Makalah ini diarahkan untuk melihat dengan terang perkembangan yang terjadi pada dunia pesantren dari permulaan mula kemunculannya sampai saat ini, juga aneka macam macam dinamika yang terjadi mengiringi keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pengayom penduduk .

Permulaan Berdiri
Pesantren adalah sebuah forum pendidikan Islam yang telah tua sekali usianya, sudah tumbuh semenjak ratusan tahun yang kemudian, yang setidaknya memilikii lima unsur pokok, yaitu kiyai, santri, pondok, mesjid dan pengajaran ilmu-ilmu agama. [1]

Dalam memilih kapan pertama kalinya pesantren bangkit di Indonesia, apalagi dulu perlu melacak kapan pertama kalinya Islam masuk ke semenanjung nusantara. Terdapat aneka macam usulan mengenai kapan masuknya Islam di Indonesia, ada yang berpendapat sejak periode ketujuh, tetapi ada juga yang beropini sejak abad kesebelas. Terlepas dari perdebatan seputar kapan masuknya Islam di Indonesia, tetapi terjadinya kontak yang lebih intens antara budaya Hindu-Budha dan Islam dimulai sekitar periode ketiga belas dikala terjadi kontak jual beli antara kerajaan Hindu jawa dengan Kerajaan Islam di Timur Tengah dan India.[2] Dan penyebaran Islam di Indonesia terutama di Jawa tidak terlepas dari peran wali songo yang dengan gigih memperjuangkan dan berbagi nilai-nilai Islam.

Berdirinya Pesantren pada awalnya juga diprakarsai oleh Wali Songo yang diprakarsai oleh Sheikh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat India. Para Wali Songo tidak begitu kesusahan untuk mendirikan Pesantren sebab sudah ada sebelumnya Instiusi Pendidikan Hindu-Budha dengan metode biara dan Asrama sebagai daerah berguru mengajar bagi para bikshu dan pendeta di Indonesia[3]. Pada periode Islam kemajuan Islam, biara dan asrama tersebut tidak berubah bentuk akan namun isinya berubah dari aliran Hindu dan Budha diganti dengan anutan Islam, yang lalu dijadikan dasar peletak berdirinya pesantren.

Selanjutnya pesantren oleh beberapa anggota dari Wali Songo yang menggunakan pesantren sebagai kawasan mengajarkan fatwa-aliran Islam kepada penduduk Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Surabaya dan Sunan Giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang lalu tempat ini lebih diketahui dengan istilah Giri Kedaton.[4]

Keberadaan Wali Songo yang juga penggagas berdirinya pesantren dalam pertumbuhan Islam di Jawa sangatlah penting sehubungan dengan perannya yang sungguh secara umum dikuasai. Wali Songo melakukan satu proses yang tak berujung, gradual dan berhasil membuat satu tatanan masyarakat santri yang saling damai dan berdampingan. Satu pendekatan yang sungguh berkesesuaian dengan filsafat hidup masyarakat Jawa yang menekankan stabilitas, keamanan dan harmoni.

Pendekaan Wali Songo, yang lalu melahirkan pesantren dengan segala tradisinya, sikap dan contoh hidup saleh dengan menyontek dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya dan tradisi setempat merupakan ciri utama penduduk pesantren. Watak inilah yang dinyatakan selaku factor mayoritas bagi penyebaran Islam di Indonesia.[5] Selain itu ciri yang paling mencolokpada pesantren tahap permulaan ialah pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama terhadap para santri melalui-melalui kitab-kitab klasik.[6] Persoalan asal undangan pesantren secara historis lebih sempurna jikalau dipandang selaku balasan akulturasi dua tradisi besar Islam dan Hindu-Budha yang saling berinteraksi dan saling memperngaruhi satu sama lain dari pada mendapatkan warisan tradisi yang memposisikan tradisi Islam selaku tradisi yang pasif. Artinya, persepsi hidup dan fatwa keagamaan kalangan pesantren tidak begitu saja mewarisi taken for granted kebudayaan Hindu-Budha.

Pesantren Pada Masa Penjajahan
Pada zaman penjajahan Belanda, dengan berbagai cara Penjajah berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah colonial mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada waktu itu, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi kelompok elit dari penduduk Indonesia. Kaprikornus dikala itu ada dua alternatif pendidikan bagi bangsa Indonesia.

Sebagian besar sekolah colonial diarahkan pada pembentukan penduduk elit yang hendak digunakan untuk mempertahankan supremasii politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Dengan didirikannya forum pendidikan atau sekolah yang didedikasikan bagi sebagian Banga Indonesia tersebut utamanya bagi kelompok priyayi dan pejabat oleh pemerintah kolonial, maka semenjak itulah terjadi kompetisi antara forum pendidikan pesantren dengan forum pendidikan pemerintah.[7]

Meskipun harus berkompetisi dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang jumlahnya. Persaingan yang terjadi bukan cuma dari segi ideologis dan harapan pendidikan saja, melainkan juga timbul dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (pertempuran) melawan pemerintah colonial pada masa ke-19 bersumber atau paling tidak menerima tunjangan sepenuhnya dari pesantren, mirip perang paderi, Diponegoro dan Perang Banjar.

Menghadapi kenyataan demikian mengakibatkan pemerintah Belanda diakhir kurun ke-19 mewaspadai eksistensi pesantren, yang mereka anggap selaku sumber perlawanan kepada pemerintah Belanda. Pada tahun 1882 Belanda mendirikan Priesterreden (pengadilan agama) yang salah satu tugasnya memantau pendidikan di pesantren. Kemudian dikeluarkan Ordonansi (undang-undang) tahun 1905 perihal pengawasan kepada peguruan yang cuma mengajarkan agama (pesantren), dan guru-guu yang mengajar mesti menerima izin pemerintah lokal.[8]

Seiring dengan perkembangan sekolah-sekolah Barat modern yang mulai menyentuh sebagian masyarakat Indonesia, pesantren pun sepertinya mengalami perkembangan yang bersifat kualitatif, meskipun ruangeraknya senantiasa diawasi dan dibatasi. Ide-pandangan baru pembaharuan dalam Islam, termasuk pembaharuan dalam pendidikan mulai masuk ke Indonesia, dan mulai merasuk ke dunia pesantren serta dunia pendidikan Islam yang lain.

Pembaharuan ini menyebabkan tata cara terbaru klasikal mulai masuk ke pesantren, yang sebelumnya masih belum dikenal. Metode halaqah bermetamorfosis tata cara klasikal, dengan mulai menggunakan kursi, meja dan mengajarkan pelajaran biasa . Sementara itu beberapa pesantren mulai memperkenalkan tata cara madrasah sebagaimana yang dipraktekkan pada sekolah biasa .

Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Kemerdekaan
Dalam sejarahnya perihal tugas pesantren, dimana semenjak abad kebangkitan Nasional hingga dengan usaha mempertahankan kemerdekaan RI, pe selalu tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh sebab itulah sehabis kemerdekaan pesantren masih mendapatkan daerah dihati masyarakat. Ki Hajar Dewantara saja selaku tokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan Pengajaran Indonesia yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren ialah dasar pendidikan nasional, alasannya adalah sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.[9]

Begitupula halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa pesantren dan madrasah ialah dasaar pendidikan dan sumber pendidikan nasional, dan oleh karena ituharus dikembangkan, diberi panduan dan bantuan. Sejak permulaan kedatangan pesantren dengan sifatnya yang elastis (flexible) ternyata mampu beradaptasi dengan masyarakat sera memenuhi permintaan masyarakat. Begitu juga pada kala kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah bisa menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya insan yang bermutu.

Berbagai penemuan telah dijalankan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan biasa dan kemampuan ke dalam dunia pesantren dalah selaku upaya mmberikan bekal tambhan agar para santri kalau telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup pantas dalam penduduk .

Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi kepada metode yang selama ini dipergunakan, diantaranya adalah mulai erat dengan metodologi ilmiah terbaru, den makin berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas kemajuan di luar dirinya. Juga diversifikasi program dan acara kian terbuka dan ketergantungannya pun absolute dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan banyak sekali pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keahlian yang diperlukan di lapangan kerja dan juga mampu berfungsi selaku sentra pengembangan penduduk .[10]

Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah berusaha untuk menolong mengembangkan pesantren dengan peluangyang dimilinya. Arah kemajuan itu dititik beratkan pada, pertama, peningkatan tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan potensinya selaku lembaga social pedesaan. Kedua, kenaikan kurikulum dengan metode pendidikan semoga efisiensi dan efektifitas pesantren terarah.

Ketiga, menggalakkan pendidikan keahlian di lingkungan pesantren untuk mengembangkan kesempatanpesantren dalam bidang prasarana social dan taraf hidup penduduk , dan yang terakhir, menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah berdasarkan keputusan tiga menteri tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.

Akhir-akhir ini pesantren memiliki kecenderungan-kecenderungan yang sepertinya ditujukan untuk memajukan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah dikemukaakan terdahulu. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia tampaknya cukup mewarnai perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan berbagai kelebihannya, juga pastinya tidak akan mampu mengelak dari segala kritik dan kekurangannya.

Landasan Yuridis Formal Pesantren
Landasan Yuridis formal berdirinya pesantren di Indonesia yaitu selaku berikut :
  • Pancasila, sebagai dasar negara dan filsafah hidup bangsa Indonesia khususnya pada Sila I yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha esa”. Ini bermakna agama dan institusi-insitusi agama dapat hidup dan diakhui di Indonesia.
  • UUD 1945, selaku landasan hukum negara Republik Indonesia pada Pasal 33 wacana hak setiap warga negara untuk menerima pendidikan yang layak.
  • UUD 1954, ayat 1-2 (BPKNIP) yang menyatakan bahwa pendidikan agama merupakan bagian dari tata cara pendidikan nasional.
  • UU No. 22 Tahun 1989 yang disempurnakan dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional memuat pada pasal 30 ayat 1 sampai 4 memuat bahwa pondok pesantren termasuk pendidikan keagamaan dan ialah bab dari sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini amat signifikan dalam menentukan arah dan kebijakan dalam penanganan pendidikan pondok pesantren dimasa yang akan tiba.
  • Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1979. Keputusan Menteri Agama No. 18 tahun 1975 di Ubah dengan Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 2001, tentang penambahan direktorat pendidikan keagamaan dan pondok pesantren departemen agama sehingga pondok pesantren menerima perhatian khusus dari Kementerian Departemen Agama.

DINAMIKA PESANTREN

Dinamika Keilmuan dan pendidikan
Pada awalnya berdirinya, pesantren merupakan media pembelajaran yang sangat simple. Tidak ada penjabaran kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di dalamnya. Sebagai media pembelajaran keagamaan, tidak pernah ada kesepakatan atau usul santri terhadap kiai untuk mengkajikan sebuah kitab, terlebih mengendalikan secara terang bahan-bahan yang akan diajarkan. Semuanya bergantung pada kiai sebagai poros tata cara pembelajaran pesantren. Mulai dari acara, sistem, bahkan kitabyang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kiai secara sarat .[11]

Tidak seperti lembaga pendidikan lain yang melakukanperekrutan siswa pada waktu-waktu tertentu, pesantren selalu membuka pintu lebar-lebar untuk paa kandidat santri kapan pun juga. Tak hanya itu, pondok pesantren juga tidak pernah memilih batas usia untuk siswanya. Siapapun dan dalam waktu kapanpun yang berhasrat unuk memasuki pesantren, maka kiai akan selalu welcome saja.

Dua versi pembelajaran yang terkenal pada awal mula berdirinya pesantren ialah versi tata cara pembelajaran wetonan non klasikal dan tata cara sorogan. Sistem wetonan/bandongan adalah pengajian yang dijalankan oleh seorang kiai yang dibarengi oleh santrinya dengan tidak ada batas umur atau ukuran tingkat kecerdasan. Sistem pembelajaran model ini, kabarnya merupakan sistem yang diambil dari acuan pembelajaran ulama Arab. Sebuah kebiasaan pengajian yang dilaksanakan di lingkungan Masjid al-Haram. Dalam tata cara ini, seorang kiai membacakan kitab, sementara para santri masing-masing memegang kitab sendiri dengan mendengarkan informasi guru untuk mengesahi atau memaknai Kitab Kuning.

Lain dengan pengajian wetonan, pengajian sorogan dilaksanakan satu persatu, dimana seorang santri maju satu persatu membaca kitab dihadapan kiai untuk dikoreksi kebenaannya. Pada pembelajaran sorogan ini, seorang santri memungkinkan untuk berdialo dengan kiai perihal persoalan-problem yang diajarkan. Sayangnya banyak menyedot waktu dan tidak efesien sehingga diajarkan pada santri-santri senior saja.

Pada dasarnya , dalam pesantren tradisional, tinggi rendahnya ilmu yang diajarkan lbih banyak tergantung pada keilmuan kiai, daya terima santri dan jenis kitab yang digunakan. Kelemahan dari metode ini yaitu tidak adanya perjenjangan yang jelas dan tahapan yang harus diikui oleh santri. Juga tidak ada pemisahan antara santri pemula dan santri lama. Bahkan seorang kiai cuma mengulang satu kitab saja untuk diajarkan pada santrinya.[12]

Pada era ke tujuh belasan, materi pembelajaran pesantren didominasi olehmateri-bahan ketahuidan. Memang pada waktu itu anutan ketauhidan dan ketasaufan menduduki urutan yang paling dominant. Belakangan, sejalan dengan banyaknya para ulama yang belajar ketanah suci, bahan yang diajarkannya pun bervariasi.

Baru pada awal periode kedua puluhan ini, komponen gres berupa sistem pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Sejalan dengan perkembangan dan pergantian bentuk pesantren, Menteri Agama RI. Mengeluarkan peraturan nomor 3 tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok pesantren selaku berikut:
  • Pondok Pesantren tipe A, yakni dimana para santri mencar ilmu dan bertempat tinggal di Asrama lingkungan pondok pesantren dengan pengajaran yang berjalan secara tradisional (metode wetonan atau sorogan). Pondok Pesantren tipe B, yaitu yang mengadakan pengajaran secara klasikal dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu. Santri tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren.
  • Pondok Pesantren tipe C, adalah pondok pesantren hanya merupakan asrama sedangkan para santrinya berguru di luar (di madrasah atau sekolah lazim yang lain), kyai hanya mengawas dan selaku pembina para santri tersebut.
  • Pondok Pesantren tipe D, yakni yang menyelenggarakan metode pondok pesantren dan sekaligus tata cara sekolah atau madrasah.[13]
Peraturan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama yang mengelompokkan pesantren menjadi empat tipe tersebut, bukan suatu kewajiban bagi pondok pesantren tersebut. Namun, pemerintah merespon dan menghargai pertumbuhan serta perubahan yang terjadi pada pondok pesantren itu sendiri, walaupun pergeseran dan kemajuan pondok pesantren tidak hanya terbatas pada empat tipe saja, namu akan lebih bermacam-macam lagi. Dari tipe yang sama akan terdapat perbedaan-perbedaan tertentu yang menimbulkan satu sama lain akan berlawanan. Dari sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok pesantren:

Pondok Pesantren Salafiyah, yakni yang mengadakan pengajaran Quran dan ilmu-ilmu agama Islam, serta aktivitas pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak permulaan pertumbuhannya.
Pondok Pesantren Khalafiyah, adalah pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan pendidikan kepesantrenan, juga menyelenggarakan aktivitas pendidikan formal (sekolah atau madrasah).

Populasi pondok pesantren ini semakin bertambah dari tahun ke tahun, baik pondok pesantren tipe salafiyah maupun khalafiyah yang sekarang tersebar di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini akan sekan mendorong pemerintah untuk melembagakannya secara khusus. Sehingga keluarlah surat keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan organisasi dan tata kerja Departemen agama yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 1 tahun 2001.

Dengan keluarnya surat keputusan tersebut, maka pendidikan pesantren remaja ini telah menerima perhatian yang sama dari pemerintah khususnya Departemen Agama. Saat ini telah menjadi direktorat tersendiri adalah direktorat pendidikan keagamaan dan pondok pesantren yang bermaksud untuk mengembangkan pelayanan pondok pesantren secara optimal terhadap masyarakat.

Data yang diperoleh dari kantor Dinas Pendidikan, Departemen Agama serta Pemerintahan Daerah, sebagaian besar anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi mereka tersebar di pondok pesantren dalam jumlah yang relatif banyak. Kondisi pondok pesantren yang demikian akibatnya direspon oleh pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan bareng antara departemen Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor 1/U/KB/2000 dan MA/86/2000 wacana pedoman pelaksanaan pondok pesantren salafiyah selaku acuan pendidikan dasar.

Secara eskplisit, untuk operasionalnya, setahun lalu keluar surat keputusan Direktur Jendral Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 perihal panduan teknis penyelenggaraan acara wajib berguru pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah. Lahirnya UU nomor 02 tahun 1989, yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 30 ayat 1 hingga ayat 4 disebutkan pendidikan keagamaan, pondok pesantren tergolong bagian dari sistem pendidikan nasional. Merupakan dokumen yang amat penting untuk menetukan arah dan kebijakan dalam penanganan pendidikan pada pondok pesantren di kurun yang akan tiba.[14]

Pada mulanya kiai merupakan fungsionaris tunggal dalam pesantren. Semenjak berdirinya madrasah dalam lungkkungan pesantren inilah, dibutuhkan sejumlah guru-guru untuk mengajarkan aneka macam macam jenis pelajaran gres yang tidak seluruhnya dikuasai oleh kiai. Sehingga tugas guru menjadi penting karena kesanggupan yang dimilikinya dari pendidikan diluar pesantren. Dan sejak saat itu kiai tidak menjadi fungsionaris tunggal dalam pesantren. Mengikuti pertumbuhan zaman, beberapa pesantren mulai memasukkan pelajaran keahlian sbagai salah satu materi yang diajarkan. Ada keterampilan berternak, bercocok tanam, menjahit berjualan dan lain sebagainya. Disisi lain ada juga pesantren yang cenderung mengimbangi dengan pengetahuan umum. Seperti tercermin dalam madrasah yang disebut dengan “modern” dengan menghapuskan acuan pembelajaran wtonan, sorogan dan pembacaan kitab-kitab tradisional. Dengan mengadopsi kurikulum modern, pesantren yang terakhir ini lebih mengutamakan penguasaan aspek bahasa.

Pada permulaan berdirinya pondok pesantren, pendidikan yang berada didalamnya lazimnya berakhir sampai ke jenjang setingkat sekolah menengah Umum / Aliyah. Namun alasannya mengikuti perkembangan zaman dan arus pesatnya informasi, pondok Pesantren mulai menawarkan pendidikan setingkat perguruan tinggi tinggi, terutama yang berbasis agama seperti fakultas Dakwah, Tarbiyah dan Syari’ah. Ini mirip yang terdapat pada pondok pesantren Modern Gontor yang telah mempunyai perguruan tinggi tinggi selaku wadah bagi santrinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang setingkat sekolah tinggi tinggi.

Pengaruh dan Eksistensi Pesantren
Pada abad ke-18, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat menjadi begitu berbobot, khususnya berkenaan dengan kiprahnya dalam menyebarkan anutan Islam. Pada masa itu berdirinya pesantren senantiasa ditandai dengan “perang nilai” antara pesantren yang akan bangun dengan penduduk sekitar, yang senantiasa dimenangkan oleh pihak pesantren, sehingga pesantren diterima untuk hidup dimasyarakat dan lalu menjadi panutan.[15] Bahkan kehadiran pesantren dengan santri yang banyak mampu membangkitkan ekonomi masyarakat sehingga dapat memakmurkan masyarakat sekitar.

Selain itu pesantren juga memiliki hubungan akrab dengan pejabat sekitar. Kiprah kiai dalam menumpas para perusuh mendapat perhatian besar dari pejabat setempat sampai raja. Tak jarang para Raja mengirim putra-putrinya untuk berguru pada kiai tertentu, dan sebagai bentuk penghormatan, pesantren dibebaskan dari pajak tanah. Pada waktu itu kiai populer dengan kesaktiannya, makanya seringkali para Raja mohon santunan manakala kerajaan menghadapi kesemrawutan. Hal ini seperti yang dikerjakan Pakubuwono yang meminta kiai Agung Muhammad Besari untuk membantunya dalam usaha menghalau lawan.

Terpengaruh dengan akhlak hindu dimana posisi biksu menerima kasta yang pertama, maka begitu pula dalam kacamata masyarakat Jawa. Orang-orang ynag berada di pesantren –baik kiai maupun santri- menerima kawasan yang tinggi dalam stratifikasi masyarakat. Bahkan tak jarang para Raja menikahkan anak-anak mereka dengan para kiai tersohor, sehingga memadukan dua strata tertinggi dimasyarakat sekaligus. Hal ini mirip Kiai Kasan Besari yang menjadi menantu Pakubuwono II.

Walaupun kehidupan asketis yang hebat terjadi dalam dunia pesantren waktu itu, namun demikian tidak dapat disangkal peran yang luar biasa pada kurun penjajahan. Dimana jarang sekali suatu pesantren yang berkompromi dengan penjajahan. Pesantren selalu menjadi basis pejuangan menghalau penjajahan, dimana para perjaka yang ingin maju kemedan peperangan slalu berkumpul didalamnya untuk melaksanakan “isian dan gemblengan”. Dalam hal ini kita tidak akan lupa dengan perkara Pangeran Diponegoro. Begitu mengakarnya tugas ulama/kiai dalam penduduk –khususnya Jawa, sehingga tak jarang yang menyebabkan mitos-mitos dibalik usaha pahlawan kemerdekaan. Seperti adanya sosok Kiai Seibi Angin dibalik perjuangan heroic Jaka Sembung.[16]

Akhir kurun ke-19, lembaga pesantren semakin meningkat secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial Belanda. Sikap non-kooperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di kawasan-kawasan yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi yang dilakukan pemerintah colonial serta memberi peluang terhadap rakyat yang belum memperoleh pendidikan.

Sebagai forum pendidikan yang berumur sungguh bau tanah ini, pesantren dikenal sebagai media pendidikan yang memuat seluruh jenis strata penduduk . Lebih jauh pesantren pada waktu itu sedah membuat lembaga pendidikan lazim yang didalamnya tidak hanya mengajarkan agama saja. Bisa dikatakan bahwa pesantren pada waktu itu merupakan forum alternative kontra dari pendidikan colonial yang cuma didedikasikan bagi kelompok darah biru saja.

Fakta sejarah menunjukan, betapa kelompok pesantren sangat intensif melakukan perlawanan kepada segala sikap budaya dan ideologi maupun politik yang dikhawatirkan akan merongrong ideology yang mereka yakini. Sebut saja mirip pendirian Nahdatul Ulama yang dimotori oleh orang-orang pesantren. Sikap ini juga ditunjukkan dengan pertentangan antara orang-orang pesantren vis a vis gerakan komunis. Alasan yang dikumandangkan orang-orang pesantren bahwa gerakan tersebut membahayakan keberagamaan penduduk di Indonesia. Pada fase menjelang kemerdekaan juga bisa dilihat bagaimana para kiai dan santri untuk menolak habis-habisan budaya ‘saikere” adalah membungkuk sembilan puluh derajat untuk menghormati matahari selaku tuhan bangsa Jepang. Akibatnya kiai ternama seperti Kh. Hasyim Asy’ari mendekam di penjara.[17]

Pesantren-ulama/kiai-santri umumnya mempunyai relasi yang cukup dekat dengan penduduk sekelilingnya. Bahkan tradisi yang berlaku didunia pesantren ini pun berlaku dalam dunia luar pesantren. Hal ini mampu terjadi denngan undangan dari penduduk kepada kiai untuk menghadiri acara tertentu atau dari para alumni pesantren yang menyebar kedaerah-daerah untuk menyebarkan ilmu yang telah didapatkannya dipesantren. Seperti pada perayaan maulid Nabi, Nuzul al-Qur’an, walimah al-ursy, pengajian dan lain sebagainya. Dari saling berkelindannya kiai-pesantren-santri ini pastinya memiliki imbas besar dalam masyarakat. Seorang santri yang gres ke pesantren satu tahun saja, dikala pulang, dikampungnya akan diperlakkukan layaknya seorang kiai oleh masyarakat dii daerah ia tinggal. Maka tak jarang masyarakat sebab kecintaan mereka kepada pesantren banyak memberikan shadaqah, infaq, waqaf dan amal jariyah yang lain dengan ikhlas untuk perkembangan pesantren.

Pesantren di Tengah Arus Globalisasi
Seiring dengan bergulirnya alur modernisasi, politik global mengalami rekonfigurasi disepanjang lintas-batas kultural. aneka macam masyarakat dan Negara yang mempunyai kemiripan kebudayaan akan saling bergandengan. Sementara mereka yang berada di kawasan kebudayaan yang berlainan akan memisah dengan sendirinya. Berhadapan dengan globalisasi dan bahaya kuatnya benturan peradaban, maka tak mungkin pesantren masih bertahan dengan teladan pembelajaran lama. Tuntutan penduduk global yaitu profesionalisme, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi serta etos kerja yang tinggi. Maka alasannya itulah budbahasa profesionalitas dan penguasaan teknologi dan wawasan yang tolok ukur, diharapkan di pondok pesantren. Jika tidak pastinya pesantren mesti siap-siap digilas oleh laju zaman, ditinggalkan orang sebab sudah usang dan tak layak pakai.

Karena itu dibutuhkan pesantren harus makin adaptif terhadap perkembangan kamajuan zaman. Atas dasar itu kesempatan pesantrean selaku forum Pendidikan Islam yang hendak menciptakan insan seutuhnya akan kian terbuka.[18] Jika kita mengorelasikan benturan peradaban sebagaimana yang diramalkan Huntington, maka sebenarnya konflik yang paling gampang menyebar dan sungguh penting sekaligus berbahaya bukanlah pertentangan antar kelas sosial, antar kalangan kiai dengan kelompok miskin atau antara kelompok kekuatan ekonomi yang lain, akan namun konflik antara orang-orang yang memiliki etnis budaya yang berbeda. Pertikaian antar suku dan konflik-pertentangan antar etnis –dalam peradaban- akan senantiasa terjadi.

Dalam hal semacam ini ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan dunia pesantren, yaitu: pertama, konflik yang beresiko terjadi pada dunia pesantren sendiri yakni dilema persoalan pedoman dan keagamaan. Maka, selaku persiapan terhadap terjadinya konflik tersebut, pesantren hendaknya menyosialisasikan semangat inklusifitas. Kedua, berhadapan dengan derasnya arus berita yang terus mengalir dengan banyak sekali ragam, contoh hidup dan budaya yang ditawarkan. Maka, mau tidak mau, pihak pesantren mesti merencanakan mental, hingga tidak gampang larut dengan budaya besar. Sekalligus tidak serta merta menutup dengan budaya yang terus menerus hadir. Bersikap kritis dan kreatif merupakan sesuatu yang tidak mampu dinafikan. Ketiga, boleh jadi ramalan Huntington ihwal adanya konflik antar peradaban tersebut benar, tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa kemungkinan pertentangan tersebut mampu disingkirkan. Salah satu caranya yakni dengan mengerahkan kreativitas penduduk dalam menjembatani dan memfasilitasi hubungan antara banyak sekali macam masyarakat yang berlawanan-beda. Dengan demikian akan bisa mengikat perasaan emosional antarmereka dan akhirnya bisa meminimalisir pertentangan tersebut dan peran ini mesti mampu dikerjakan oleh pesantren.

4. Pendidikan Tinggi di Pesantren
Adalah ialah sebuah fikiran umum bahwa pesantren merupakan hal yang bertolak belakang dengan pendidikan tinggi dengan segala bentuknya, dikatakan demikian sebab pesantren dianggap selaku ciri dari pedesaan sementara pendidikan tinggi merupakan ciri dari perkotaan.[19] Dalam hal mengatasi masalah ini, beberapa pesantren telah memasukkan komponen pendidikan tinggi ke dalam komponen ke pesantrenan. Pada kurun sekarang ini, ada banyak pondok pesantren yang telah mempunyai perguruan tinggi di dalamnya.

Nuansa di dalam perguran tinggi di pesantren ternyata tidak sama dengan nuansa yang dikembangkan di dalam unsur kepesantrenan lainnya, mirip tradisi cium tangan, mengikuti usulan guru dan sebagainya. Di pendidikan tinggi di pesantren, tradisi mirip ini tidak diteruskan, mahasiswa menjaga pendapatnya sendiri dan memperdebatkannya dengan dosen. Tradisi gres inilah lalu yang membuat shock mahasiswa lulusan pesantren salafiyah, alasannya adalah hal demikian sungguh bertentangan berdasarkan aliran watak yang dia terima. Masuknya unsur pendidikan tinggi dan segala tradisinya ke dalam pesantren ialah imbas dari globalisasi dan modernisasi.

PENUTUP
Pesantren dipadang selaku forum pendidikan Islam tertua di Indonesia yang diresmikan oleh para ulama (Kiai : Jawa). Pesantren diresmikan dalam rangka mendidik penduduk untuk memahami dan melaksanakan fatwa Islam, dengnan menekankan pentignya budbahasa keagamaan selaku anutan hidup. Pengertian tertua, alasannya adalah pesantren yakni forum yang telah lama hidup dan masih tetap eksis hingga dikala ini walaupun telah banyak berubah dari bentuk awal mula berdirinya dari aneka macam bidangnya. Bahkan pesantren telah menjadi bab yang mendalam dari tata cara kehidupan sebagian besar umat islam di Indonesia dan turut mewarnai dinamika bangsa Indonesia.

Demikianlah makalah ini kami tulis, supaya mampu berfaedah dan menjadi masukan berarti bagi dunia pendidikan khususnya pesantren, utamanya selaku bahan diskusi pada mata kuliah Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Kepada Allah aku berserah diri sambil berharap senantiasa menerima taufik dan hidayah darinya.

Lihat Footnote di sini pada Makalah Pesantren


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)