Kamis, 05 November 2020

Makalah Keleluasaan Akademis Dalam Tradisi Intelektual Muslim



Makalah oleh: Al Husaini M.Daud
Pendahuluan
Kehadiran agama Islam di muka bumi ini memuat tendensi agung, ialah rahmatan lil’alamin. Perannya secara global dicatat dengan apik lewat tinta emas dalam banyak lembaran sejarah. Di bawah kendali Islam, pandangan kepada kemerdekaan berideologi dan sikapnya terhadap hukum hidup sangat jelas, yang ditandai dengan syumuliah (keuniversalan) sebab ia memang diturunkan selaku tata cara hidup. Dalam safari sejarah dunia intelektual muslim, kebebasan berekspresi ialah hak asasi bagi setiap individu untuk merilis pendapat sekaligus meretas jalan menuju kemakmuran ilmu pengetahuan. Islam sudah menunjukkan ruang kepada pencari kebenaran untuk bebas dari panik, jauh sebelum Peter Druker berstatement bahwa penduduk terbaru mendatang adalah penduduk knowledge society, dan siapa yang menduduki posisi penting adalah educated person. Artinya sebuah penduduk yang setiap anggotanya merupakan manusia yang bebas dari cemas, bebas berekspresi, dan bebas untuk menentukan arah kehidupannya di dalam wadah sebuah negara. Islam telah mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi tersebut serta telah pula tertanam besar lengan berkuasa dalam tradisi penduduk luas. Kebebasan ini, bagi ilmuan sangat kuat dalam mengembangkan karya akademiknya tanpa intervensi keinginandari siapapun.

Catatan sejarah insan mengungkapkan bahwa kebangkitan peradaban suatu bangsa ternyata tidak terlepas dari kemajuan dan pertumbuhan ilmu pengetahuan yang ada di tempat tersebut. Adalah anugerah terbesar bagi sebuah kaum/bangsa yang memberikan apresiasi positif kepada upaya kebebasan dalam melaksanakan observasi dan pengembangan ilmu wawasan. Islam, sesungguhnya telah menunjukkan dorongan dan motivasi itu dengan menyediakan modal permulaan berupa doktrin dasar untuk memasuki daerah tersebut. Syahdan. Dalam tradisi intelektual muslim dari abad ke abad, kebebasan tersebut sudah mereka retas jauh sebelum dunia barat menggembar gemborkan kemerdekaan dalam berekspresi dan kebebasan dalam dunia akademis. Akademisi muslim menghidangkan kebebasan dalam melakukan proses pembelajaran, observasi dan mendiskusikan hasil observasi serta kemerdekaan dalam melaksanakan pengabdian terhadap penduduk . Hal ini sesuai dengan tugas pokok seorang ilmuan yang berkutat dengan ilmu wawasan di forum pendidikan, ialah berbagi, membuatkan, melestarikan dan mempraktekkan ilmu wawasan. Artinya ilmu wawasan disebarkan lewat aktifitas belajar mengajar, dikembangkan lewat kajian dan penelitian, dilestarikan via tulisan dan dipraktekkan melalui pengabdian. Ini semua telah dikerjakan oleh kaum intelek muslim sejak berabad era yang lampau.

Makalah mini ini akan mengetengahkan secuil diskursus keleluasaan akademis dalam tradisi intelektual muslim, baik ditilik dari sudut perspektif normatifitas Islam, manifestasi ajarannya dalam sejarah intelektualisme Islam maupun peranannya dalam kemajuan ilmu pengetahuan.



Definisi Kebebasan Akademis

Definisi universal dari kebebasan akademis bahwasanya sulit untuk diungkapkan alasannya literatur perihal hal itu hampir mampu dibilang tidak ada. Definisi kebebasan akademis sering dipengaruhi oleh ideologi dimana definisi itu digagas. Dalam lintasan sejarah sosial pendidikan, beragam definisi tentang kebebasan akademis timbul sesuai dengan kepakaran dan tinjauan yang diberikan oleh para pakar tersebut. Di antaranya secara perorangan didefinisikan sebagai tiadanya pengekangan, hukuman dan intimidasi berkenaan dengan usaha tradisional manusia secara khusus, berhubungan dengan pengkajian, penelitian, penghidangan ekspresi persepsi-persepsi mereka, penerbitan penemuan-inovasi dan pertimbangan -pertimbangan mereka, betapapun kuno dan subversifnya baik bijaksana maupun dungu.[1] Lebih lanjut, Parsudi Suparlan sebagaimana dikutip oleh Hasan Asari mengemukakan sebagai berikut:

Kebebasan akademis ialah kebebasan selaku sarjana untuk menggali kebenaran dan menerbitkannya dan menciptakan hasil-hasil temuan atau persepsi-pandangannya tersebut untuk dibahas secara kritis dalam komuniti ilmiah yang berhubungan untuk ditolak, diperbaiki atau diakui dan dimantapkan. Kebebasan yakni juga kebebasan dari seorang sarjana dalam bidang keahliannya di dalam memberi pelajaran dan mendidik mahasiswa-mahasiswanya mengenai bagaimana kebenaran dalam ilmu wawasan itu mampu diperoleh atau diketahui melalui proses-proses yang berlaku berdasarkan tata cara ilmiah atau logika yang masuk nalar.[2]

Kedua definisi di atas bersumber dari dunia barat, yang secara tersirat merefleksikan kerangka ideologi mereka. Definisi pertama lebih menekankan pada faktor keleluasaan bagi tugas fungsional guru, sementara yang kedua condong merefleksikan makna kebebasan yang tak terbatas dalam mengerjakan aktifitas akademis. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Jujun S. Suriasumantri menerangkan:
Dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat menghancurkan, para ilmuan terbagi ke dalam dua kelompok pertimbangan . Pertama, ilmu mesti netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini peran ilmuan yakni memperoleh wawasan dan terserah pada orang lain untuk mempergunakannya. Golongan kedua, sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu kepada nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan penggunaannya, bahkan pemilihan obyek observasi, kegiatan keilmuan mesti berlandaskan asas-asas akhlak.[3]

George Makdisi mengemukakan bahwa kebebasan akademis itu berhubungan dekat dengan universitas di mana para guru besar dan mahasiswa bergelut dengan hal-hal yang bekerjasama dengan percobaan-percobaan, observasi dan lalu mempublikasikannya.[4].Kebebasan akademis pada paruh kala pertengahan bukanlah kebebasan dalam konteks pedoman filosofis. Kebebasan akademis, baik dalam Islam maupun dalam Katolik di barat, berhubungan dengan lisensi untuk mengajar dan sistem pengajaran yang mengarah terhadap kelangsungan proses belajar mengajar.[5] Dalam literatur Islam, definisi keleluasaan akademis tidak ditemukan, akan tetapi dasar keleluasaan akademis itu sendiri tampak pada kerangka berfikir para ilmuan muslim, dimana mereka tidak mengekang daya fikir seseorang, bahkan sejarah pun mencatat istilah-ungkapan kebebasan beropini, kebebasan berekspresi, keleluasaan berfikir, keleluasaan bergerak, keleluasaan berideologi dan keleluasaan yang lain sering juga ditemukan dalam tradisi intelektual muslim klasik.

Normatifitas Islam Tentang Kebebasan Akademis.
Sebenarnya, misi ajaran yang diusung oleh agama Islam ialah keleluasaan dan kemerdekaan. Prinsip ini tampakdari uraian nash (al Alquran dan Hadist) selaku sumber pokok pemikiran Islam.
Islam tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk agamanya kecuali dengan kesadaran dan kerelaan yang bersangkutan. Sebab ajaran Islam mengajarkan terhadap umatnya perilaku kemerdekaan dan sikap menghargai keleluasaan, baik keleluasaan personal maupun komunal. Bahkan aliran Islam sungguh menentang praktek penjajahan dan pengekangan kepada diri seseorang. Hal ini tergambar terang dalam firman-Nya, adalah;
لا اكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك
 بالعروة الوثقى لا انفصام لها والله سميع عليم[6]
Artinya: Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, bahwasanya sudah terperinci jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar terhadap thaghut dan beriman terhadap Allah, maka sebetulnya dia sudah berpegang teguh pada buhul yang amat kuat dan tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.

Dalam ayat yang lain Allah memastikan;
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفرز...[7]
Artinya: Dan katakanlah:’ Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman, hendaklah dia beriman dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir…

Sikap tidak memaksakan kehendak Islam terhadap orang lain, menggambarkan bahwa bahwasanya kebebasan berideologi sangat ditolerir oleh Islam. Mengapa Islam tidak pernah memaksa seorangpun dengan kekuatan pedang atau senjata biar menerimanya (Islam)?.Karena memaksa itu menjajah jiwa manusia dan menghinakannya, alasannya adalah Allah tidak menerima amal-amal kecuali amal itu dikerjakan dengan nrimo alasannya adalah Allah.[8] Dakwah yang diusulkan dalam dunia Islam ialah melalui pendekatan persuasif, lemah lembut, bijaksana dan memperlihatkan hujjah yang terbaik, bukan dengan jalan perang dan kekerasan. Wejangan tersebut terlihat sungguh jelas dalam firman Allah swt, yakni:
ادع الي سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة و جادلهم بالتي هى احسن...[9]
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara nasihat dan berilah pelajaran yang bagus serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik…                                  

Islam sadar bahwa kebenaran yang mutlak hanyalah milik Tuhan, sementara insan melakukan upaya untuk mendapatkan kebenaran tersebut. Kaprikornus kebenaran pada seseorang tidak mampu dipaksakan pada orang lain. Kebenaran yang dipaksakan, seperti seseorang dipaksa beriman dengan keagungan Islam, padahal ia tidak setuju dengan keimanan tersebut, maka selama itu pula keimanannya tidak diterima[10]. Islam mengajak manusia masuk ke dalamnya dengan cara membenarkan dan mendapatkan dari pilihan sendiri. Maka Islam dengan segala kelapangannya menawarkan keleluasaan bagi siapa pun yang ingin meraih kebenaran, termasuk di dalamnya keleluasaan akademis.

Cakupan pendidikan Islam dalam perkembangannya adalah keutuhan konsep manusia, di mana masyarakat di permulaan kehadiran Islam pada bad VII M, masih merupakan kumpulan religius dan acara intelektual belum menjadi aktifitas sendiri. Kesederhanaan secara alami menjamin integritas fungsi kemanusiaannya dan dalam penyikapan insan terhadap Tuhan. Sejarah intelektual muslim klasik selanjutnya memberikan semangat tinggi. Hal ini ditandai dengan perjuangan mengembangkan wawasan dari aneka macam macam sumber yang ada. Ini menggambarkan acara pendidikan dan intelektualisme dengan cakupan yang sangat luas. Tidak saja itu, perilaku toleransi terhadap andal kitab dari Yahudi dan Kristen sedikit banyak menunjukkan perilaku lentur Islam dalam proses pembentukan peradaban gres Islam[11] yang makin meluas dikala itu.

2. Kebebasan akademis bahu-membahu bersumber pada kebebasan berfikir dan berpendapat. Artinya keleluasaan tersebut sesungguhnya berpangkal pada penggunaan nalar. Islam pada prinsipnya sangat menghargai logika bahkan merekomendasikan untuk memaksimalkan penggunaannya secara optimal terutama dalam melakukan ijtihad terhadap sebuah produk aturan demi kemaslahatan. Karena dengan nalar jugalah manusia berlawanan dengan binatang, tumbuh-tumbuhan dan bahkan dengan malaikat sekalipun.  Malah dalam perspektif fiqh, syarat seseorang disebut mukallaf adalah arif. Makara fungsi logika sangat menentukan dalam perjalanan kehidupan manusia. Banyak ayat yang mengajak manusia untuk berfikir, mengerti, memperhatikan, mengingat, merenungkan, mengambil mau’idhah pada setiap kejadian dan sebagainya[12]. Ayat-ayat yang merekomendasikan insan untuk memakai akalnya antara lain:

ان فى خلق السماوات والارض واختلاف الليل و النهار والفلق التى تجرى فى البحر بما
ينفع الناس وما انزل الله من السماء من ماء فاحيا به الارض بعد موتها و بث فيها من كل
دابة وتصريف الرياح والسحاب المسخر بين السماء و الارض لآيات لقوم يعقلون[13]

Kemudian pada ayat yang lain Allah berfirman;
كتاب انزلناه اليك مبارك ليدبروا آياته و ليتذكر اولوا الالباب[14]       
Begitu juga dengan ayat;

وما كان المؤمنون لينفروا كآفة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين...[15]

Selanjutnya, Allah berfirman dalam ayat lain;
و فى الارض آيات للموقني . و فى أنفسكم افلا تبصرون .[16]
Sementara itu pertolongan hadist Nabi terhadap penggunaan akal selaku manifestasi kreatifitas manusia, tampakpada kasus Mu’az bin Jabal dikala diutus menjadi qadhi di negeri Yaman. Dialog Nabi – Mu’az tersebut kerap dikutip selaku dasar pembenaran atau perlunya melaksanakan ijtihad.[17] Islam sangat menghargai orang-orang yang pandai, alasannya itu posisi mereka diposisikan dalam kehidupan sehari-hari selaku orang yang dianggap cakap dalam menuntaskan selaksa problematika hidup. Jadi, perbedaan ilmuan dengan yang bukan ilmuan ditegaskan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:

                                     قل هل يستوى الذين يعلمون والذين لا يعلمون انما يتذكر اول الالباب[18]
Artinya: …Katakanlah; adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengenali?. Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat mendapatkan pelajaran.
Di sisi lain, ilmuan ialah representatif Rasulullah dalam pelaksanaan proses pewarisan ilmu pengetahuan kepada umat insan dan juga dalam menemani umat. Oleh kesudahannya beliau harus dihormati sehormat-hormatnya. Sabdanya:

اكرموا العلماء فانهم ورثة الانبياء

Artinya: Hormatilah orang-orang yang cendekia (ulama), sebetulnya mereka yaitu pewaris para Nabi (HR. al Khatib dari Jabir).
Berkey bahkan menempatkan ilmuan/ulama selaku pemimpin penguasa, mirip ungkapannya “nothing is more powerful than knowledge. Kings are the rules of the people, but scholars (al Ulama) are the rulers of kings” (Tidak ada yang lebih berkuasa dari pada ilmu wawasan. Para raja yakni orang yang memimpin rakyat, namun ulama/ilmuan yakni yang memimpin para raja itu).[19]


Manifestasi Ajarannya Dalam Sejarah Intelektualisme Islam
Catatan sejarah mengungkapkan bahwa keleluasaan yang diinfakkan Islam kepada dunia akademik tak terbantahkan. Terbukti banyak ilmuan tangguh dalam aneka macam bidang keilmuan telah pernah dilahirkan oleh induk sejarah dunia Islam dari era ke era. Muslim kala klasik dalam mencari titik terang kebenaran tidak pernah segan terlebih malu mempelajari ilmu-ilmu dari bangsa asing, kalaulah itu menjadi wasilah bagi pencapaian kebenaran.

Legitimasi al Qur’an dan Sunnah terhadap keleluasaan akademis di dunia muslim sudah menghantarkan umat ini ke puncak peradaban yang tak tertandingi di masanya. Ini dapat dibuktikan bahwa pada zaman klasik, berbagai cabang ilmu wawasan berkembang di dunia Islam, baik dalam bidang tafsir, hadist, hukum, filsafat, fisika, sejarah dan lan-lain.[20]Islam ialah agama yang komprehensif dan lentur dalam mengontrol setiap aspek kehidupan manusia. Ibadah dalam Islam tidak cuma terbatas pada ritual formal saja, tetapi juga melibatkan seluruh dimensi kehidupan manusia.

Tak ketinggalan perilaku Islam terhadap ilmu pengetahuan begitu besar, sehingga landasan iktikad seseorang sering diukur dengan barometer pengetahuan tentang doktrin yang dimiliki seseorang. Komprehensifitas ajaran Islam secara filosofis menjadi dasar atau landasan pijak bagi keleluasaan akademis. Aktifitas intelektual dan tugas akademis dalam dunia Islam mesti mengacu pada identitas aliran Islam itu sendiri. 

Dinamika keleluasaan akademis era klasik tampakpada kearifan para ilmuan dalam menanggapi perbedaan di antara mereka. Setiap orang yang mempunyai kemampuan dengan bebas boleh mengemukakan dan menerbitkan pandangan-pandangannya, betapapun berlawanan dari persepsi mahir lain.[21]Dari kelapangan hati mendapatkan setiap perbedaan dalam dunia intlektual muslim, maka zaman tersebut melahirkan tokoh-tokoh ilmuan yang sungguh terkenal di bidang ilmunya masing-masing, bahkan karya monumentalnya masih menjadi referensi ilmiah di zaman sekarang.

Abu Hamid al Ghazali (450 – 505 H), ialah tokoh ulama serba bisa yang bergelar Hujjatu al Islam masa XII, dimana maha karyanya mirip Ihya Ulumuddin, Maqasidu al Falasifah, Tahafut al Falasifah dan lain-lain menjadi inspirasi bagi ilmuan masa taknologi untuk mengkaji, meneliti dan mempublikasikan ilmu-ilmu gres yang muncul saat ini. Begitu juga dengan Ibnu Sina, yang tak saja dinilai sebagai pakar kedokteran, tetapi juga bapak di bidang ilmu kedokteran. Karyanya berjudul Al Qanun fi attib (The Canon), disebut sebut sebagai inspirator dan sumber utama kebangkitan barat di bidang kedokteran. Ada pula Ibnu Khaldun, bapak sosiologi politik, juga Al Biruni, penemu gaya gravitasi, Jabir Ibn Hayyan sang penemu ilmu kimia, Abu Marwan Abdul al Malik Ibn Zuhr, bapak parasitologi dan pencetus tracheotomy, Ibn Majid, sipenemu kompas dan navigator, serta masih banyak yang lainnya.[22] Mereka rata-rata hidup di abad pertengahan (sekitar tahun 750– 450 M).

Kemerdekaan dalam menginterpretasi teks-teks suci sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing lepas dari otoritas yang mampu memaksanya  merupakan bab dari mulut kebebasan akademis di golongan ilmuan muslim kurun lampau. Makdisi mirip dikutip oleh Hasan Asari menulis:
…seorang faqih bebas merumuskan pandangannya, lepas dari semua kekuatan luar. Tidak ada kekuasaan atau otoritas yang mampu memaksanya secara sah untuk menganut pertimbangan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Seorang faqih tidak saja bebas dan independen untuk melaksanakan penelitiannya dan memberitahukan kesannya, namun juga didorong untuk melakukannya dengan sebuah akad ganjaran pahala akhirat.[23]

Nukilan di atas menawarkan, betapa secara tegas seorang ilmuan tidak bergantung dan terikat dengan seseorang atau sesuatu dalam mendatangkan sebuah karya. Ijtihad yang mereka lakukan ialah kejernihan dari buah pikiran yang bebas dari intervensi. Di balik itu, ada asa transenden yang tersirat selaku motivasi final dari sebuah perjalanan suci dalam pengabdian ilmu wawasan.

Di samping itu, perjalanan ilmiah (rihlah ‘ilmiyyah) yang diterapkan oleh sejumlah ilmuan kurun klasik untuk mengejawantahkan sabda Nabi  dalam menuntut ilmu pengetahuan dan sekaligus mengembangkannya, keleluasaan yang tergambar bahwa para hamba ilmu sangat menikmati suatu dunia intelektual yang sangat luas dan terhampar secara bebas. Tak heran seorang al Ghazali yang lahir di desa Thus, negeri Khurasan, mengabdikan ilmunya di negeri Baghdad di akademi al Nizamiyah. Begitu juga dengan seorang imam syafi’i yang merantau hingga ke negeri Mesir dan masih banyak tokoh-tokoh ilmuan yang menyebarkan ilmunya ke seantero jagat ini.

Kemerdekaan untuk tidak harus membebek kepada pedoman guru juga diperlihatkan dalam dunia intelektual muslim ketika itu. Seorang murid memang harus menghormati gurunya, tetapi guru tersebut tidak berhak mengekang terlebih memaksa muridnya untuk mengikuti alur pikirannya. Contoh yang dipaparkan sejarah adalah Imam Syafi’i, dia ialah murid paling brillian imam Malik. Dia bahkan menghafal secara tepat karya gurunya ialah al Muwatta’. Namun syafi’i ternyata tidak serta merta mesti mengakibatkan ajaran gurunya sebagai pilihan hidupnya. Dia malah menghadirkan sebuah mazhab yang berlawanan dengan gurunya, dan imam Malik pun tidak pernah memaksanya untuk mengekor dengan mazhabnya. Ini adalah sebuah realitas yang tak terbantahkan bahwa dunia akademis muslim kurun lalu sungguh-sungguh merdeka dan bebas.

Kebebasan berekspresi dalam lintasan sejarah akademis berikutnya tak semulus realitas yang ada, sebab pada ketika tertentu kebebasan tersebut juga mengalami periode-era susah. Pembunuhan dan pemberangusan kebebasan dalam geliat intelektual sering dipertontonkan oleh pernyataan dan prilaku “atas nama”. Sebagaimana terjadi di Aceh, pelarangan faham wujudiah yang diprakasai Hamzah al Fansuri dan Syamsuddin al Sumatrani oleh pemerintah Iskandar Tsani atas proposal ilmuan Nuruddin al Raniry[24] merupakan refleksi dari operasi “pembebasan” yang secara tragis mesti dibayar mahal dengan penghancuran nilai-nilai keleluasaan. Atas nama pelurusan fatwa yang menyeleweng dan kestabilan situasi politik negara, maka keagungan nilai-nilai keleluasaan akademis di negeri itu dikucilkan.

Usaha keras dalam mempertahankan keteguhan kebebasan akademis dari cengkraman otoritas kekuasaan pemerintah akhir ideologi yang tak sefaham, tak jarang dipertontonkan dengan gamblang dalam lembaran kelam sejarah peradaban Islam. Kasus imam Hambali merupakan representasi dari kekejaman penguasa yang sengaja membungkam keleluasaan akademisnya gara-gara tidak menyepakati pandangan ideologi khalifah.

Dalam beberapa catatan sejarah yang lain, sering ditemukan sejumlah sufi agung dieksekusi algojo penguasa --khalifah-- yang berkhidmat pada ajaran fuqaha (mahir hukum Islam) kalangan eksoteris. Gugatan yang diarahkan kepada kaum sufi karena mereka dipandang telah melakukan interpretasi yang terlalu jauh dan bebas kepada aspek-faktor fatwa Islam. Nama nama mirip Al Husein Ibn Mansur al Hallaj, Suhrawardy al Maqtul, syekh Siti Jenar dan masih banyak lagi yang lain, mereka dengan hati tulus dan kepala tegak menghadap Al Haqq. Ada lagi masalah intimidasi kaum syi’ah kepada kaum sunni begitupun sebaliknya. Ini ialah kepingan dari kepingan ceceran sejarah untuk dipungut dan dijadikan i’tibar bagi anak zaman supaya lebih bersikap berakal dalam merespon problematika akademis serta menjaga dan memelihara kebebasannya sebagai warisan khazanah intelektual.

Peranan Kebebasan Akademis Dalam Kemajuan Ilmu Pengetahuan.
Legalisme moralitas kebebasan akademis ialah pengertian kepada etos budaya dan nilai-nilai yang lebih mendalam yang mengacu terhadap perjuangan keleluasaan individu dan ide inti kebesaran peradaban sebuah bangsa. Pencapaian kemajuan ilmu wawasan sangat diputuskan pada kebebasan seseorang dalam berekspresi, kebebaasan dalam berpendapat, kebebasan dalam berkarya dan kebebasan dalam berideologi.

Manusia dalam pandangan Islam yaitu khalifah Allah di tampang bumi. Sebagai duta Tuhan, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, adalah pertama, diberi hak untuk menertibkan alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban peran ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi, kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, mutu dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, beliau mempunyai tugas khusus yang harus dimainkan di planet ini, adalah membuatkan dunia sesuai dasar dan aturan-aturan  yang ditetapkan oleh Tuhan.[25]

Namun mutu dan kekuatan yang dimiliki manusia tetap dalam batas-batas kemanusiaan, tidak diktatorial mirip Tuhan. Bahkan, upaya melampaui keterbatasan itu justeru dianggap selaku pemberontakan terhadap perintah Tuhan.[26] Kualitas dan kekuatan yang dimiliki manusia ini menjadi potensi dasar sekaligus fasilitas bagi keleluasaan akademis dalam dunia Islam.

Keluasan daerah akademis yang pernah diterapkan dalam tradisi intelektual muslim kurun lampau yaitu sejauh kreatifitas berfikir para ilmuan serta selama tidak melanggar batasan keilmiahan, yakni akal ilmiah dan etis-praktis. Statement Ibn Jama’ah, seperti dikutib Hasan Asari dalam kitabnya Tazkirah al Sami’ wa al Mutakallim fi Adab al Alim wa al Muta’allim tentang budpekerti akademis mengilustrasikan secara spesifik pentingnya akhlak bagi para ilmuan, karena status mereka sebagai pewaris Nabi. Makara menurut Ibn Jama’ah, para ilmuanlah, berkat ilmu dan statusnya, yang paling berhak sekaligus paling dituntut untuk memelihara adab yang mulia.[27] Hal ini menawarkan bahwa keterkaitan antara ilmu dan etika sangat bersahabat. Bahkan menjadi suatu syarat mutlak bagi kesuksesan suatu aktifitas keilmiahan. Biografi para ilmuan Islam merupakan saksi tidak saja terhadap bagaimana mereka menekankan pentingnya budbahasa, namun juga bagaimana budpekerti tersebut termanifestasi dalam segenap tingkah laris ilmiah mereka. Dan bagi para ilmuan klasik Islam, aktivitas ilmiah cuma akan mempunyai arti bilamana dilaksanakan dengan mengamati dasar-dasar budpekerti yang solid.[28]

Peranan konkrit keleluasaan akademis bagi pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana diungkapkan dalam catatan sejarah Islam bahwa perjalanan pertumbuhan intelektual Islam senantiasa diawali dengan tingginya apresiasi yang diberikan kepada kepercayaan Islam perihal kebebasan akademis yang ujungnya melahirkan keberanian intelektual untuk menghasilkan produk ilmiah ulama Islam klasik. Sejarah menawarkan kepada generasi selanjutnya, betapa kayanya peradaban Islam dengan banyak sekali cabang ilmu wawasan, mulai dari yang secara sempit mampu digolongkan kepada disiplin-disiplin keagamaan, maupun yang berada di luarnya. Kita misalnya bisa mengambil pola kemajuan ilmu kalam, fiqh, tasawuf, kedokteran, seni, astronomi, filsafat, dan lain-lain dalam Islam. Kesemuanya ini terang merupakan bagian dari keleluasaan akademis yang pernah dipraktekkan dalam dunia Islam.


Secara longgar mampu dibilang bahwa keseluruhan ajaran yang meningkat dan produktifitas ilmiah periode klasik ialah hasil olah fikir dan kebijaksanaan daya umat Islam yang dikerjakan dalam kerangka pengamalan pemikiran-pedoman kedua sumber utama ialah al Qur’an dan hadist. Hal ini tak mampu disangkal, bahwa semangat intelektualisme yang dinamis dan inovatif dalam menciptakan kualitas keilmuan ialah partisipasi aktif dari kebebasan berfikir dan keleluasaan berkarya yang ada pada saat itu.

Peran keleluasaan akademis juga dapat ditelisik dari faktor kehendak politik penguasa, seperti diterapkan pada kala pemerintahan al Ma’mun, dimana beliau memberi ruang gerak yang seluas-luasnya terhadap masuknya banyak sekali macam ilmu pengetahuan dengan menembus batas agama dan negara, bahkan khalifah tersebut mengakibatkan kota Baghdad selaku kota pemerintahan sekaligus sentra ilmu pengetahuan, sehingga orang-orang yang hebat dalam ilmu masing-masing diundang ke Baghdad, bahkan ke istana untuk berdiskusi,[29]dalam istilah pendidikan Islam klasik sering disebut dengan munazarah (debat ilmiah).

Di samping itu, khalifah ini juga membangun sebuah lembaga kajian yang sering disebut “Akademi Al Ma’mun.” Di mana para ilmuan bergabung di dalamnya, di antaranya yaitu Abu’l Abbas Ahmad Ibn Muhammad Kathir al Farghani, seorang astronom muslim yang menulis  Kitab fi al Harakat al Samawiya Wa Jawami Ilm al Nujum yang kemudian dialih bahasakan menjadi The Elements of Astronomy.[30] Karya ini telah mampu melintasi batas daerah, artinya keberadaan kitab ini tidak cuma dirujuk di negeri asalnya tetapi juga menjadi acuan para astronom barat

Kecintaan Al Ma’mun terhadap ilmu pengetahuan tercermin pada kemegahan dan kecemerlangan kota Baghdad selaku pusat kebudayaan, seni dan sastra, bukan sebagai ibu kota kekhalifahan. Kota Baghdad menenteng suluh ilmu dan wawasan ke seluruh pelosok Asia: di Hindustan di bawah pengawasan Ghazwani pada permulaan abad XI M, di Mongol sekitar pertengahan periode XIII M di bawah tangan Nasairuddin al Tusi, dan di negeri Cina kira-kira akhir periode XIII M di tangan Kuchu King.[31]

Mau lihat footnote makalah ini klik disini

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)