Selasa, 20 Oktober 2020

Makalah Tafsir Ra’Yi Hadis

A. Pendahuluan
Menurut Muhammad al-Husein al-Hanafi, pada periode tabi’in[1] diperkirakan muncul pada masa permulaan berdirinya Bani Umayyah dan berakhir pada abad ke II H.[2] Dengan demikian era inii merupakan abad transisi antara teman dengan periode timbulnya Imam-imam mazhab baik dari kelompok sunni dengan tokohnya atau dari kelompok Syi’ah. Pada priode ini diketahui dua kecenderungan dalam sistem pelegislasian hukum Islam, pertama ialah pedoman yang cenderung memberikan fleksibilitas saat menetapkan aturan sebuah duduk perkara dan metode ijtihadnya banyak berorientasi kepada penalaran (ra’yi), qiyas serta kajian terhadap maksud dan tujuan diturunkannya syari’at Islam. Kedua yaitu aliran yang cenderung bersifat ketat ketika menetapkan aturan sebuah masalah sebab lebih mengedepankan hadis daripada pikiran sehat. Kedua kalangan yang berbeda ini diketahui dengan ahlul ra’yi dan ahlul hadis. Makalah ini akan mencoba memaparkan lebih lanjut perihal faktor-aspek yang melatar belakangi hadirnya kedua ajaran tersebut, metode istinbat hukun serta tokoh-tokohnya dan sebagainya.

B. Ahl Ra’yi

1. Latar Belakang Kemunculan
Ahl Ra’yi ialah sebutan yang dipakai bagi kalangan yang dalam memutuskan fiqh lebih banyak memakai sumber ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan hadis. Kelompok ini timbul lebih banyak di daerah Iraq, utamanya di Bashrah dan Kufah. Menurut Muhammad Ali as-Sayis bahwa munculnya ajaran sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:[3]
  • Keterikatan yang sanga besar lengan berkuasa terhadap guru pertama mereka yaitu Abdullah bin Mas’ud yang dalam sistem ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh sistem Umar bin Khattab yang sering menggunakan ra’yu.
  • Minimnya mereka mendapatkan hadis nabi, hal ini dikarenakan mereka hanya memadakan hadis yang disampaikan oleh para sahabat yang datang ke Iraq mirip Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqqas, Ammar bin Yasar, Abu Musa al-Asy’ari dan sebagainya. Di samping itu, mereka juga meinim menggunakan hadis sehingga mendorong mereka untuk menggunakan ra’yu juga dipengaruhi oleh ketatnya proses seleksi mereka terhadap hadis dengan cara menunjukkan standar-standar yang sangat susah. Seleksi yang sangat ketat yang mereka terapkan berpengaruh terhadap minimnya hadis yang dapat diterima sebagai dasar hujjah. Pada dasarnya, seleksi ketat yang mereka kerjakan ini termotivasi oleh munculnya pemalsu-pemalsu hadis yang kurun itu jumlahnya yang tidak sedikit.
  • Munculnya aneka macam problem gres yang memerlukan legitimasi aturan. Masalah-problem ini timbul dikarenakan pesatnya pertumbuhan budaya yang terjadi di Iraq kurun itu, utamanya yang berasal dari Persia, Yunani, Babilonia dan Romawi dan dikala budaya-budaya yang meningkat ini bersentuhan dengan pedoman Islam maka mesti dicari penyelesaian hukumnya. Minimnya hadis yang mereka dapatkan menggiring mereka untuk memakai ra’yu.
2. Keitimewaan Ahl Ra’yu
Para ulama menyebutkan bahwa Ahl Ra’yu memiliki beberapa keutamaan tertentu, di antaranya:
  • Banyaknya aturan-hukum furu’iyah yang mereka tetapkan tergolong yang bercorak taqdiri adalah hukum-hukum yang bersifat kemungkinan karena masalahnya belum timbul saat itu. Hal ini sungguh dimungkinkan alasannya banyaknya peristiwa-kejadian baru yang mereka dapatkan terutama yang berasal dari budaya-budaya setempat yang lebih dahulum maju dibandingkan dengan Islam. Munculnya dilema-problem gres ini menunjukkan imbas terhadap produktifitas acara ilmiah mereka di bidang fiqh termasuk dalam melahirkan ketentuan-ketentuan aturan kepada duduk perkara yang belum terjadi.
  • dalam pelegeslasian huku, mereka tidak hanya memakai makna tekstual saja, akan namun mereka juga mengamati apa yang menjadi sebab (illat), pesan tersirat dan relevansi syari’at dengan kejadian konkrit. Hal ini dilakukan alasannya adalah syari’at dipandang sangat sesuai dengan logika (ma’qul ma’na) dan diturunkan untuk menunjukkan maslahat kepada manusia.
  • seefektifnya mereka dalam menerima sebuah hadis dengan menawarkan tolok ukur-persyaratan yang ketat dalam penukilan suatu hadis ehingga cuma sedikit yang mampu selamat dari standar yang ketat dalam penukilan sebuah hadis sehingga hanya sedikit yang bisa selamat dari persyaratan tersebut. Hal ini dilakukan agar sunnah nabi mampu terpelihara dengan baik, sebab pada dikala itu berbagai muncul-muncul hadis da’if dan maudhu’.
3. Tokoh-Tokohnya
Beberapa tokoh yang termasuk dalam golongan ahl ra’yu yaitu selaku berikut:[4]
  • Alqamah bin Qais an-Nakha’I (w. 62 H).
  • Masruq bin Hajda al-Hamadzani (w. 63).
  • al-Qadi Syuraih bin Haris bin Qais (w. 78).
  • Sa’id bin Jubair (w. 95 H).
  • al-Sya’bi Abu Amr bin Syarhil al-Hamadzani (w. 114).
4. Metode dalam Pelegeslasian Hukum Islam
Berdasarkan uraian terdahulu, jelaslah bahwa ahl ra’yu dalam pelegislasian aturan lebih banyak memakai ra’yu dibandingkan dengan hadis. Bila muncul sebuah problem yang membutuhkan jawaban hukum maka mereka terlebih dulu mencari dalilnya di dalam Quran. Bila ketentuan hukumnya tidak mereka temukan, mereka mencarinya di dalam hadis, yang dalam hal ini mereka menawarkan standar yang ketat sehingga sedikit hadis-hadis yang lolos seleksi, walaupun tentu saja tidak mempunyai arti bahwa mereka tidak menggunakan hadis sama sekali. Apabila tidak ada hadis yang mengambarkan persoalan tersebut maka mereka menggunakan akal sehat, dan penggunaan ra’yu inilah yang banyak mereka terapkan dalam penetapan hukum.

Termasuk dari sistem daypikir yang mereka gunakan yaitu istihsan[5] yaitu sebuah sistem penetapan aturan Islam yang lebih menonjolkan aspek qiyas dengan instruksi terutama ditujukan kepada makna yang terkandung pada qiyas khafi’. Akan tetapi teladan istihsan yang mereka gunakan belum seutuh yang dikembangkan oleh imam Hanafi berserta murid-muridnya.

Salah satu teladan yang dapat dikemukakan yaitu putusan hukum yang ditetapkan oleh Qadi Syuraih semoga orang yang diberi amanah untuk mempertahankan barang titipan memberi ganti rugi jikalau barang tersebut rusak di tangannya. Padahal berdasarkan hadis nabi bahwa orang yang mempertahankan amanah tidak dikenakan wajib ganti rugi bila barang titipan rusak di tangannya. Putusan hukum mirip itu yang ditetaokan oleh Syuraih bukan dikarenakan tidak meyakini keabsahan hadis tersebut, akan namun beliau memandang perlu memutuskan eksekusi biar tidak terjadi peyepelean kepada amanah yang diberikan kepadanya.[6] Dari kasusu ini terperinci bahwa putusan yang diambil Syuraih lebih mengedepamkan faktor ra’yu daripada hadis.

C. Ahl Hadis

1. Latar Belakang Kemunculan
Sesuai dengan namanya, maka ahl al-hadis merupakan golongan di kurun tabi’in yang dalam pelegeslasian hukum Islam lebih dominan menggunakan hadis daripada ra’yu. Kelompok ini ialah kebalikan dari ahl ra’yu. Kelompok ini berkembang di Hijaz (Mekkah, Madinah dan Thaif) dan memperoleh fiqh dari Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.[7] Menurut para ulama, munculnya golongan ini di daerah Hijaz sebab dipengaruhi oleh beberapa aspek, diantaranya:[8]
  • adanya ketertarikan kepada metode yang digunakan guru-guru mereka utamanya Abdullah bin Umar yang sungguh besar lengan berkuasa berpegang pada hadis.
  • banyaknya hadis yang mereka peroleh, sebab para sahabat yang hiudp pada zaman nabi banyak yang tinggal di Hijaz khususnya di Mekkah dan Madinah.
  • pola hidup orang Hijaz yang sungguh langsung dan tidak sedinamis dan seheterogen di daerah Iraq.
  • problem-duduk perkara baru yang membutuhkan fatwa sangat rendah sekali, hal ini di samping alasannya adalah penduduknya cukup homogen dan juga jarang terjadi pergolakan seperti di Iraq.
2. Keistimewaan
Di antara bentuk-bentuk keutamaan yang dimiliki golongan ahl hadis ialah:[9]
  • Sangat besar lengan berkuasa berpegang terhadap hadis dan tidak memperlihatkan persyaratan yang sangat ketat dalam penukilan hadis, alasannya mereka berpandangan bahwa riwayat yang berasal dari penduduk Hijaz ialah siqat.
  • Tidak suka mempersoalkan atau mendiskusikan dilema-dilema yang belum muncul sebab akan mendorong penggunaan ra’yu.
  • Dalam mengetahui sebuah nash, sangat berpatokan terhadap makna zahir nash dan tidak mendiskusikan lebih lanjut tentang alasan dan hikmah yang terkandung di dalam nash tersebut.
  • Tidak menggunakan ra’yu kecuali pada ketika terpaksa.
3. Tokoh-Tokohnya
Di antara tokoh-tokoh ternama dari kelompok ahl al-hadis ialah para fuqaha yang tujuh, adalah:[10]

1. Abu Bakar bin Abd al-Rahman bin Haris bin Hisyam (w. 94 H).
2. al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (w. 107 H.)
3. Urwah bin Zubeir bin Awwam (w. 94 H.)
4. Sa’id bin al-Musayyab (w. 94 H.).
5. Sulaiman bin Yasar (w. 107 H).
6. Kharij bin Zaid bin Tsabit (w. 100 H.).
7. Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud (w. 98 H.)

4. Metode Legislasi Hukum
Ahl al-Hadis, sesuai dengan namanya sungguh menguatamakan penggunaan hadis ketimbang ra’yu. Setiap urusan yang timbul, mereka mencari jawabannya di dalam Alquran, jikalau tidak diketemukan, kemudian mereka mencarinya di dalam hadis merskipun berupa hadis ahad, dan jika juga tidak diketemukan maka mereka tidak mengeluarkan pemikiran akan namun mereka tunda dan mencarinya dalam ucapan jama’ah teman dan tabi’in utamanya pendapat para khalifah rasyidun dan para fuqaha lainnya. Apabila terdapat perbedaan pendapat di kelompok fuqaha, maka dilihat siapa yang paling wara’ dan paling banyak ilmunya. Bila masih ada juga perbedaan pertimbangan , maka mereka memilih pendapat yang lebih mendekati pemahaman mereka. Dengan demikian terlihatlah bahwa ra’yu dipakai dalam keadaan terpaksa bila pada sumber-sumber hukum utama tidak diketemukan keterangannya.

D. Penutup
Ahl al-Hadis dan Ahl Ra’yi yaitu dua kecenderung dalam tata cara pelegislasian hukum Islam. Hal ini dikarenakan faktor sumber hadis, homoginitas dan heteroginitas masyarakatyang mendiami kawasan tersebut. Ahl Hadis yang berkembang di Hijaz memiliki banyak sumber hadis alasannya adalah teman yang mendengar nabi lebih banyak tinggal di wilayah ini, di samping itu, orangnya juga tergolong homogen yang pasti tidak akan melahirkan terlampau banyak duduk perkara. Sedangkan Ahl Ra’yi yang meningkat di Iraq lebih sedikit menerima hadis, baik karena sumbernya atau kehati-hatian mereka dalam menseleksi hadis alasannya banyaknya hadis maudhu’. Iraq juga dikenal dengan penduduk yang heterogen dan berlatar banyak sekali perdaban, percampuran perdaban inilah yang melahirkan banyak sekali masalah yang memerlukan pemecahan hukum.

Meski dikatakan sebagai Ahli Ra’yi, mereka masih memakai hadis, perbedaannya dengan Ahl Hadis yakni dalam mendahulukan ra’yu dibandingkan dengan hadis minggu yang oleh Ahl Hadis, hadis minggu didahulukan dibandingkan dengan ra’yu. Urutan sumber hukum yang dipakai oleh Ahl Hadis yaitu:

1. Alquran.
2. Hadis.
3. Ijma’ (konsep ijma’ pada kurun II).
4. Hadis Ahad

Sementara sumber aturan Ahl Ra’yi yakni:
  • Quran,
  • Hadis,
  • Ijma’
  • Ra’yu (Qiyas, Istihsan dan sebagainya).
Mau lihat footnote lihat dan klik disini

Daftar Pustaka
  • Ahmad, Abd al-Hay. Syazarat al-Zahab fi Akhbar Imam Mazhab, jil. I. Kairo: al-Maktabah al-Qudsy, 1350 H.
  • Fath, Ahmad Abu. Kitab al-Mukhtarat al-Fathiyat fi Tarikh al-Tasyri’ wa Ushul al-Fiqh. Mesir: Maktabah an-Nahdhah, 1924.
  • Hanafi, Muhammad al-Husein. al-Madhkal li Dirasah al-Fiqh al-Islami, jil. I. Kairo: an-Nahdhah al-Arabiyah, 1969.
  • Musa, Muhammad Yusuf. Tarikh Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Kitab, 1958.
  • Qayyim, Ibn. I’lam al-Muwaqqin, jil. I. Kairo: Munir ad-Dimasyqi, t.th.
  • Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Mesir: Matba’ah Ali Shabih wa Auladuh, t.th.
  • Syalbi, Yusuf as-Sayyid. Muhadarat fi Tarikh al-Fiqh al-Islami. Kairo: at-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1962.
  • Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, jil. I. Jakarta: Wacana Ilmu, 1997.
  • Tim Penulis. Ensiklopedi Islam, jil. V. Jakarta: Ichtiar Baru, 1999.
  • Yanggo, Huzaimah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
  • Zahrah, Abu. Muhadarat fi Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyat . t.p.: Ma’hal ad-Dirasah al-Islamiyah, 1996.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon