Sabtu, 19 September 2020

Makalah Pertanyaan Dan Jawaban Dalam Al Quran

PENDAHULUAN

Dalam sebuah komunikasi atau dialog lazimnya akan terjadi tanya jawab. Sebuah jawaban akan hadir jikalau ada pertanyaan dan lazimnya setiap balasan harus sesuai dengan apa yang ditanyakan. Dari sini dapat diketahui bahwa balasan yang bagus ialah yang tepat dengan yang ditanyakan dan sesuai dengan konteks pembicaraan.

Sebagai ilustrasinya, kita sering dihadapkan pada suasana di mana kita harus berkomunikasi dengan orang lain, baik terhadap orang yang kita kenal maupun dengan orang yang belum kita kenal. Bila kita ditanya, siapakah namamu? maka balasan yang kita berikan ialah nama saya anu. Dari mana asalmu? Maka kita jawab, aku dari kota X, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis.

Dari ilustrasi di atas, maka mampu dimengerti bahwa setiap pertanyaan yang diajukan pasti akan dijawab sesuai dengan pertanyaan. Atau dengan kata lain, bahwa setiap pertanyaan, membutuhkan tanggapan yang cocok dengan pertanyaannya. Dengan adanya kesesuaian antara pertanyaan dan balasan, maka akan terpenuhilah apa yang menjadi harapan si penanya. Inilah kaidah yang biasanya berlaku dalam sebuah komunikasi.

Al-Qur’an selaku kitab suci yang menjadi isyarat umat insan, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang berbentukpertanyaan-pertanyaan dan tanggapan-balasan yang menawarkan kepada insan bahwa sudah ada suatu obrolan atau obrolan yang terjadi di kala kemudian dan pada kala al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Bentuk-bentuk pertanyaan atau balasan tersebut, baik yang diajukan oleh umat-umat terdahulu terhadap nabi-nabi Allah atau obrolan lainnya direkam dan diabadikan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an untuk dijadikan i’tibar (pelajaran) bagi umat insan dan sekaligus al-Qur’an menawarkan suatu gaya bahasa dialog yang bagus, dilihat dari banyak sekali bentuk pertanyaan dan jawaban yang ada.

Makalah ini akan memaparkan beberapa bentuk atau versi pertanyaan dan tanggapan yang ada dalam al-Qur’an. Bentuk-bentuk tersebut oleh para mufassir sudah diterangkan dalam kitab-kitabnya yang menjadi rujukan dalam makalah ini sehingga memudahkan kita untuk mengetahui konteks obrolan yang terdapat di dalam al-Qur’an. Semoga makalah ini dapat berguna. Amiin

BENTUK-BENTUK PERTANYAAN DAN JAWABAN
Secara defenitif, dinamakan suatu pertanyaan (al-su’al) sebagai sebuah perkataan yang menjadi awal (ibtida’). Sedangkan jawaban (al-jawab) ialah perkataan yang dikembalikan terhadap si penanya atau terhadap konteks pembicaraan. Syeikh Khalid Abd al-Rahman al-‘Akk dalam bukunya Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat bentuk-bentuk pertanyaan dan tanggapan yang dapat dibagi atas beberapa bentuk, adalah: Jawaban yang bersambung dengan pertanyaan; Jawaban yang terpisah dari pertanyaan; Jawaban yang tersembunyi; Jawaban yang hanya menyebutkan pertanyaan; Dua balasan untuk satu pertanyaan; Satu tanggapan untuk dua pertanyaan; Jawaban yang mahdzuf; Jawaban yang tidak bekerjasama dengan pertanyaan; Jawaban yang terdapat pada konteks obrolan; Jawaban yang terdapat pada final pembicaraan; Jawaban yang masuk kedalam pertanyaan; Jawaban yang tergantung pada sebuah abad atau waktu; dan Jawaban yang berupa larangan. (al-‘Ak, 1994: 318)

Jawaban yang bersambung dengan pertanyaan yakni pertanyaan dan tanggapan yang terdapat pada satu ayat dan tidak terpisah dengan ayat selanjutnya. Contoh dari jawab maushul ini banyak terdapat pada surat al-Baqarah adalah pada ayat 189, 215, 217, 219, 220, 222 dan pada surat-surat yang lain. Misalnya pertanyaan ihwal madza yunfiqun:

ﻴﺴﺌﻠﻮﻧﻚﻤﺎﺫﺍ ﻳﻧﻔﻗﻭﻦ ﻗﻞﺍﻠﻌﻔﻭ

“Dan mereka mengajukan pertanyaan kepadamu wacana apa yang mereka nafkahkan? Katakanlah: yang lebih dari kebutuhan….” (QS. al-Baqarah: 219).

Jawaban yang terpisah dengan pertanyaan. Jawaban ini dibagi menjadi dua jenis: pertama, pertanyaan dan balasan yang berada pada satu surat. Sebagaimana firman Allah: “ Dan mereka berkata: mengapa rasul ini memakan makanan” (QS. Al-Furqan:7) dan jawabannya: “Dan kami tidak mendelegasikan rasul-rasul sebelum kamu melainkan mereka sungguh menyantap masakan” (QS. Al-Furqan: 20). Kedua, pertanyaan dan tanggapan terpisah pada dua surat, sebagaimana firman Allah: “ Siapakah yang Maha pemurah” (QS. Furqan: 60), maka jawabannya terdapat dalam surat yang lain: “ Tuhan yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan al-Qur’an. Dia telah membuat insan.”(QS. Al-Rahman: 1-3).

Jawaban yang tersembunyi yakni adanya pertanyaan dalam suatu ayat, tetapi tidak didapatkan jawabannya atau tersembunyi. Misalnya firman Allah: “ Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu gunung-gunung dapat diguncangkan, atau bumi jadi terbelah atau oleh balasannya, orang yang telah mati dapat mengatakan..” (QS. Al-Ra’du: 31). Pada ayat tersebut tidak terlihat atau tersembunyi jawabannya, sedangkan jawaban dari pertanyaan tersebut tak lain ialah kitab suci al-Qur’an.

Jawaban yang cuma menyebutkan pertanyaan. Bentuk balasan seperti ini terdapat dalam firman Allah:

ﻮﻤﺎﻛﺎﻦﺍﷲ ﻟﻴﺿﻴﻊﺍﻴﻤﺎﻧﻛﻡ

“Dan tidaklah Allah akan menyia-nyiakan keyakinan kau” (QS. Al-Baqarah: 143)

Jawaban ini merupakan jawaban dari orang-orang yang menanyakan kepada Nabi Muhammad saw: bagaimana dengan mereka yang salat ke arah Baitul Maqdis sebelum pemindahan kiblat ke Baitullah?.

Dua balasan untuk satu pertanyaan. Seperti firman Allah: “Mengapa al-Qur’an tidak diturunkan terhadap seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif)” (QS. Zukhruf: 31). Terdapat dua tanggapan atas pertanyaan tersebut: pertama, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhan-mu” (QS. Zukhruf: 32) kedua, “Dan Tuhan-mu membuat apa yang Dia inginkan dan memilihnya” (QS. Qashash: 68)

Satu jawaban untuk dua pertanyaan. Seperti firman Allah: “Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah maha penyantun lagi maha penyayang (pasti kau menerima azab yang besar)” (QS. Nur: 20). Ayat tersebut merupakan jawaban dari dua pertanyaan yang terdapat pada hadis ifqi.

Jawaban yang mahdzuf. Contohnya seperti firman Allah: “Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan dari Tuhannya..” (QS. Muhammad:14). Jawabannya adalah mahdzuf, adalah kondisi seseorang tersebut sama mirip keadaan orang yang mengharapkan suplemen kehidupan dunia. (al-‘Ak, 1994: 319) Jika dilihat lanjutan ayat disebutkan bahwa: ..sama dengan orang yang (syaitan) menimbulkan beliau menatap baik perbuatannya yang jelek itu dan mengikuti hawa nafsunya?. Ayat di atas memperlihatkan bahwa Allah membandingkan antara orang yang berpegang dengan keterangan Allah dengan orang yang mengikuti syaithan dan hawa nafsunya. Mahdzuf dari pertanyaan ini bahwa pertanyaan pertama sudah cukup untuk menggugurkan pertanyaan yang kedua.

Jawaban yang tidak berhubungan dengan pertanyaan. Sebagaimana firman Allah: “Dan Ibrahim saat beliau berkata terhadap kaumnya: Sembahlah Allah dan bertaqwalah terhadap-Nya, yang demikian itu lebih baik bagimu” (QS. Al-Ankanbut: 16) jawabannya: “Maka tidak ada balasan dari kaum Ibrahim kecuali mengatakan, bunuhlah! Atau bakarlah beliau.” (QS. Al-Ankanbut: 24)

Jawaban yang terdapat pada konteks obrolan. Sebagaimana firman Allah: “Shad. Demi al-Qur’an sebagai pengingat” (QS. Shad: 1) balasan tersebut merupakan tanggapan atas praduga kaum kafir bahwa Nabi Muhammad saw., bukanlah rasul yang haq, maka turunlah ayat ini yang dikuatkan dengan sumpah sebagai penguat atas risalah Nabi saw.

Jawaban yang terdapat pada final pembicaraan. Sebagaimana firman Allah: “Sungguh ada yang mengatakan (jumlah mereka) yakni tiga.” Jawabannya terdapat pada simpulan ayat: “Katakanlah, Tuhan-ku yang lebih mengetahui jumlah mereka” (QS. Khafi: 22) Jawaban yang masuk kedalam pertanyaan. Sebagaimana firman Allah: “…barang apakah yang hilang dari kamu? Mereka berkata: kami kehilangan kawasan minum raja” (QS. Yusuf: 71-72)

Jawaban yang tergantung pada suatu waktu atau abad. Sebagaimana firman Allah: “Berdoalah, pasti akan Ku-kabulkan bagimu”(QS. Mukminun: 60). Kemudian para sobat bertanya: kapan waktu dikabulkannya doa? Maka turunlah firman Allah: “Dan bila hamba-Ku mengajukan pertanyaan kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa aku sungguh erat. Aku mengabulkan permintaan orang yang berdoa bila beliau memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka menyanggupi segala perintahku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku semoga mereka tetap dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186). Makara kalau jika seseorang ingin dikabulkan doanya terhadap Allah, maka waktu dikabulkannya doa tersebut adalah pada ketika seseorang benar-benar beriman dan mematuhi segala perintah dari Allah SWT.

Jawaban yang berbentuklarangan. Sebagaimana firman Allah: “Maka janganlah kau tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam dirinya.” (QS. Al-Ahzab: 32) ini ialah balasan sekaligus larangan kepada para istri nabi dan rasul untuk tidak menundukkan paras saat berbicara pada orang lain sebab akan menjadikan mudharat bagi istri-istri nabi dan rasul tersebut. (al-A’kk, 1994: 320)

KAIDAH PERTANYAAN DAN JAWABAN
Menurut kaidah biasa , setiap jawaban mesti sesuai dengan pertanyaan dan seringkali tanggapan tersebut harus diulang terhadap pertanyaan atau masalah yang ialah peringatan. Pertanyaan yang bagus adalah pertanyaan yang paling sesuai dan cocok untuk dipertanyakan. (al-Qathan, 1988: 205). Begitu juga sebaliknya, jawaban yang bagus adalah mesti sesuai dengan yang apa dipertanyakan oleh si penanya.

Kaidah yang berlaku biasa jika yang dipertanyakan perihal diri seseorang dengan menggunakan pertanyaan “siapa engkau” maka jawabannya ialah “saya anu”. Kaidah seperti ini yaitu mampu dilihat dalam cerita perjumpaan Nabi Yusuf dengan saudara-saudaranya. (al-Zarkasyi, 1988:54) sebagaimana terdapat dalam surat Yusuf ayat 90:

ﺃﺌﻧﻚﻷﻧﺖﻳﻮﺴﻒ ﻗﺎﻞﺃﻧﺎﻴﻮﺴﻒ
Sekalipun kaidah lazim menyampaikan bahwa pertanyaan (al-su’al) harus sesuai dengan balasan (al-jawab), tetapi dalam al-Qur’an ditemukan kaidah lain yang menyatakan bahwa bentuk balasan yang diberikan tersebut menyimpang dari apa yang dimaksudkan oleh pertanyaan. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan perayaan kepada si penanya bahwa jawaban itulah yang sebaiknya dipertanyakan. Jawaban yang demikian oleh al-Sakakiy disebut selaku uslub al-hakim. (al-Suyuthi, 1996: 199; al-Zarkasyi, 1988: 50). Dalam al-Qur’an, perkara seperti ini mirip ditunjukkan dalam QS. al-Baqarah: 189.

“Mereka bertanya kepadamu wacana bulan sabit (hilal). Katakanlah: bulan sabit itu yaitu tanda-tanda waktu bagi insan dan (bagi ibadat) haji.” (QS. 2: 189)

Pada ayat di atas, redaksi yang dipakai adalah redaksi tanya jawab, ialah dengan memakai bentuk lafazd sa’ala. Asbab al-Nuzul ayat ini yakni bahwa ada sekelompok orang menanyakan terhadap Rasulullah saw perihal bulan sabit. (al-ahillah), kenapa ia semula tanpak kecil mirip benang, lalu, usang-kelamaan berubah sedikit demi sedikit menjadi purnama, kemudian beliau berkurang kembali mirip keadaan semula?. (al-Naisabury, 1988: 32)

Secara akal, pertanyaan itu seharusnya dijawab dengan menerangkan proses pergantian yang terjadi pada bulan tersebut. Namun terhadap pertanyaan yang demikian itu, balasan yang diberikan al-Qur’an kepada mereka ialah berupa penjelasan tentang hikmahnya, dengan alasan untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting untuk dipertanyakan yakni hikmah dari bulan sabit, bukan mirip yang mereka pertanyakan.

Jawaban al-Qur’an yang demikian itu, mampu jadi alasannya adalah ada perkiraan lain bahwa yang dipertanyakan tidak terpaku pada bulan sabit semata, tetapi juga mengharapkan manfaat atau nasihat dibalik peristiwa yang demikian itu. Jika memang demikian halnya, maka tanggapan al-Qur’an itu tidak menyalahi kaidah biasa yang berlaku. Dengan demikian, ada kesesuaian antara pertanyaan dan tanggapan.

Selanjutnya, kadang-kadang sebuah tanggapan bersifat lebih lazim dari apa yang dipertanyakan, alasannya memang demikianlah yang diinginkan. Seperti dalam QS. al-An’am: 64.

“Katakanlah: Allah menyelamatkan kau ketimbang bencana itu dan dari segala jenis kesulitan, kemudian kau kembali menyekutukan-Nya” (QS. 5: 64)

Ayat di atas merupakan balasan dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yakni: “Katakanlah, Siapakah yang mampu menyelamatkan kau dari tragedi di darat dan di bahari..?” (QS. 5: 63)

Redaksi ayat ini secara eksplisit mempertanyakan ihwal siapakah orang yang mampu menyelamatkan dari bencana yang ada di darat dan di laut. Artinya, bahwa teks ayat ini cuma menyebutkan dua bencana, ialah di darat dan di laut. Namun jawaban yang diberikan al-Qur’an kepada pertanyaan itu, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat sesudahnya, bahwa Allah-lah yang akan menyelamatkan dari bencana tersebut, baik di darat maupun di bahari, bahkan Allah juga akan menyelamatkannya dari segala macam bentuk kesususahan. Dengan demikian, jawaban yang diberikan al-Qur’an tersebut bersifat lebih umum dan lebih konprehensif dari apa yang dipertanyakan.

Contoh jawaban yang lebih biasa dari pertanyaan, juga dapat dijumpai pada QS. Thaha: 18. (al-Zarkasyi, 1988: 53) “berkata Musa: Inilah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan lainnya padanya.” (QS. 20: 18)

Teks ayat di atas ialah bentuk balasan dari pertanyaan yang disebutkan pada ayat sebelumnya, yaitu: “apakah itu, yang di tangan kananmu, hai Musa?”. (QS. 20: 17)

Dalam teks ayat ini, bekerjsama Allah hanya mempertanyakan kepada Nabi Musa perihal apa yang ada di tangan kanannya. Kemudian, pertanyaan itu oleh Nabi Musa dijawab bahwa yang ada di tangan kanannya yaitu tongkat. Dengan tanggapan yang demikian, sebenarnya telah mencukupi bagi si penanya dan sudah dapat dimengerti. Namun, Nabi Musa menambahkan dalam jawabannya sesuatu yang terkait dengan fungsi tongkat tersebut, yaitu untuk bertelekan, menghantam daun, dan beberapa fungsi lainnya. Hal yang demikian, dikerjakan Nabi Musa karena ia merasa bahagia dengan pertanyaan Allah yang dilontarkan kepadanya. (Ichwan, 2002: 77)

Kadang-kadang bentuk balasan terhadap sebuah pertanyaan yang diajukan bersifat lebih sempit cakupannya dari apa yang dipertanyakan, karena memang demikianlah yang diharapkan. Bentuk tanggapan semacam ini terdapat dalam surat Yunus ayat 5:

“katakanlah: tidak patut bagiku mengubahnya dari pihak diriku sendiri.” (QS. 10:15)

Ayat ini sebagai balasan terhadap pertanyaan yang disebutkan sebelumnya yang masih dalam ayat yang serupa, yakni: “Datangkanlah al-Qur’an lainnya dari ini atau gantilah beliau.”

Dalam teks ayat di atas, setidaknya ada dua pertanyaan pokok, yakni perintah untuk mendatangkan al-Qur’an yang lain, selain al-Qur’an yang sudah ada, dan kalau tidak dapat, maka disuruh untuk mengubahnya. Terhadap pertanyaan ini, jawaban yang diberikan al-Qur’an tidak mencakup kedua hal dimaksud, tetapi cuma terpokus pada satu hal, yaitu yang terkait dengan perintah menggantinya. Jawaban yang diberikan al-Qur’an memang demikian. Hal ini mengenang bahwa mengubah itu lebih mudah daripada membuat kembali. Jika mengubah saja telah tidak mampu, terlebih untuk membuat, pasti akan lebih sukar.

Al-Qur’an juga menyebutkan beberapa pertanyaan yang tidak perlu untuk dijawab, karena sudah jelas bahwa yang mengenali jawabannya hanya Allah. Misalnya pertanyaan yang diajukan kaum musyrikin perihal hari kiamat dan kapan terjadinya (QS. al-A’raf: 187) dan ihwal hari berbangkit (QS. al-Ahzab: 63). Selain itu, ada beberapa bentuk pertanyaan yang diulang-ulang oleh mereka, padahal bekerjsama tidak ada keuntungannya, maka kita akan peroleh jawabannya: Sesungguhnya hanya Allah-lah yang tahu. Contoh lain dari pertanyaan yang kurang mempunyai arti, mirip perihal gunung atau jabal. (Qardhawi,1998: 245)

ﻭﻴﺴﺌﻠﻮﻧﻚﻋﻦﺍﻠﺟﺒﺎﻞ ﻓﻗﻞﻴﻧﺴﻓﻬﺎﺮﺒﻲﻧﺴﻓﺎ

“Dan mereka mengajukan pertanyaan kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah: Tuhan-ku akan menghancurkannya (di ahri kiamat) sehancur-hancurnya.” (QS. Thaha: 105)

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebagian datang kaum Yahudi, mirip pertanyaan ihwal roh, atau ihwal Dzulkarnain.

Akan tetapi, sebagian besar pertanyaan yang tiba dari orang-orang Islam atau para sobat Rasulullah saw., meski sungguh sedikit, tetapi semuanya mempunyai bobot ilmiah yang baik. Baik pertanyaan itu yang berhubungan dengan kehidupan manusia maupun tantang alam sekitar. Seperti pertanyaan wacana perhitungan bulan (hilal), pertanyaan yang apa yang harus diinfaqkan (madza yunfiqun). Pertanyaan ini terulang dua kali dalam surat al-Baqarah dan balasan dari dua pertanyaan ini berlawanan. Pertama, menunjukkan ukuran harta yang harus diinfaqkan. Kedua, apa yang mesti diinfaqkan.

Contoh lain pertanyaan-pertanyaan dalam al-Qur’an, ialah pertanyaan wacana arak (khamar) dan judi (QS. al-Baqarah: 219). Karena pada waktu itu sebagian umat muslim masih meminum khamar dan berjudi, sehingga turun ayat yang secara tegas mengharamankannya, ialah pada surat al-Maidah. (al-Shan’ani, 1989: 88). Selain pertanyaan tersebut, terutama dalam surat al-Baqarah mampu ditemui pertanyaan-pertanyaan lainnya, mirip pertanyaan wacana haid, anak yatim, apa yang dihalalkan dan sebagainya.

CIRI-CIRI AYAT-AYAT PERTANYAAN
Pertanyaan-pertanyaan dalam al-Qur’an banyak ditemui dengan menggunakan kata tanya (ism al-istifham). Ism istifham yang digunakan dalam konteks ayat pertanyaan tersebut memakai beberapa kalimat, seperti: hal ﻫﻝ , maa ﻤﺎ , madza ﻤﺎﺬﺍ , ‘amma ﻋﻢ, ayyu ﺍﻱ , man ﻤﻦ dan sebagainya. (Nadwi, 1996: 276). Adapun ayat-ayat pertanyaan yang memakai huruf istifham, atara lain:

ﻫﻝﺍﺘﺎﻚ ﺣﺪﻳﺚﺍﻠﻐﺎﺷﻴﻪ
ﺃﻔﺭﺃﻴﺘﻢ ﻣﺎﺗﺤﺭﺜﻮﻥ
ﻤﺎﺬﺍﺃﺮﺍﺪﺍﷲ ﺑﻬﺬﺍ ﻣﺜﻶ
ﻋﻢ ﻴﺗﺴﺎﺀﻟﻮﻦ
ﺍﻴﻜﻢ ﺰﺍﺪﺗﻪﻫﺬﻩ ﺇﻴﻣﺎﻧﺎ
ﻤﻦﺧﻟﻖﺍﻠﺳﻣﻮﺍﺕ ﻮﺍﻷﺮﺾ

Selain menggunakan ism al-istifham, al-Qur’an juga menggunakan kalimat sa’ala yang memberikan secara pribadi bahwa konteks ayat tersebut yaitu berupa pertanyaan. Ibnu Abbas menyebutkan bahwa pertanyaan kaum Muslimin kepada Nabi Muhammad saw, dengan menggunakan kalimat sa’ala atau yas’alunaka ada empat belas tempat, adalah: QS. al-Baqarah: 186, 189, 215, 217, 219, 220, 222; QS. al-Maidah: 4; QS. al-Anfal: 1; QS. al-Isra’ 85; QS. al-Kahfi: 83; QS. Thaha: 105; dan QS. al-Nazi’at: 42. (al-Zarkasyi, 1988: 62)

Sementara al-Qardhawi, menyebutkan terdapat sebelas pertanyaan sahabat di dalam al-Qur’an. Tujuh di antaranya terdapat dalam surat al-Baqarah, satu dalam surat al-Maidah, dan yang lain dipermulaan surat al-Anfal. Kesemuanya memakai kalimat yas’alunaka, dan dua pertanyaan wacana wanita dengan kalimat yastaftunaka, ditambah satu pertanyaan dalam surat al-Baqarah ayat 186 dengan kalimat sa’alaka.

ﻭﺍﺬﺍ ﺴﺄﻠﻚﻋﺑﺎﺪﻱﻋﻧﻲﻓﺈﻧﻲﻗﺮﻴﺐ

“Dan bila hamba-hamba-Ku mengajukan pertanyaan kepadamu perihal Aku, maka (jawablah) bahwasannya Aku ialah bersahabat…”(QS. al-Baqarah: 186)

Adapun lafadz pertanyaan, jikalau dipakai untuk meminta suatu pemahaman, maka kadang-kadang ia bermuta’addi kepada maf’ul kedua (maf’ul tsaniy) secara eksklusif dan acap kali memakai kata bantu ‘an ﻋﻦ mirip dalam surat al-Isra’ ayat 85, ialah pertanyaan wacana ruh. Dan kalau dipergunakan untuk meminta sesuatu benda atau yang sejenis, maka beliau bermuta’addi kepada maf’ul kedua secara eksklusif dengan memakai kata bantu min ﻤﻦ , namun cara yang disebutkan pertama lebih banyak dipakai. (al-Qathan, 1988: 206)

PENUTUP
Terdapat beberapa bentuk pertanyaan dan balasan dalam al-Qur’an. Bentuk dan contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an menawarkan gambaran terhadap umat insan wacana berbagai dinamika dalam suatu tanya jawab dan obrolan. Dari aneka macam dialog atau obrolan yang terjadi di kala lalu, tentunya umat insan mampu mengambil pesan yang tersirat dan pelajaran, baik dalam segi konteks atau maksud pembicaraannya maupun dalam segi gaya berkomunikasi dan respon yang diberikan kepada pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sangat pantas disebutkan bahwa salah satu segi kemukjizatan al-Qur’an yakni dari segi cara al-Qur’an menawarkan atau menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat sempurna sekaligus memiliki gaya bahasa yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
  • Abd al-Razaq bin Hammam al-Shan’ani, Tafsir al-Qur’an, jilid 1, Maktabah al-Rusyd, Riyadh, 1989
  • Abdullah Abbas Nadwi, Belajar Mudah Bahasa al-Qur’an, terjemahan: Tim Redaksi, Mizan, Bandung, 1996
  • Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, Dar al-Fikr, Beirut, 1988
  • Badr al-Din Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz 4, Dar al-Fikr, Beirut, 1988
  • Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid. 1, Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah, Beirut, 1996
  • Khalid Abdurrahman al-‘Akk, Ushul al-Tafsir wa Qawa‘iduhu, Dar al-Nafs, Beirut, 1994
  • Manna’ al-Qathan, Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid 2, Maktabah al-Ma’akil, Riyadh, 1988
  • Nor Ichwan, Memahami Bahasa al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
  • Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, terjemahan: Abdul Hayyie al-Kattani, Irfan Salim, dan Sochimien, Gema Insani, Jakarta, 1998

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon