Senin, 21 September 2020

Makalah Perihal Ayat-Ayat Perilaku Terpuji Dan Tercela

BAB I
PENDAHULUAN

Al-Alquran ialah kitab suci yang diwahyukan oleh Allah SWT terhadap Nabi Muhammad SAW. Al-Alquran ialah pegangan hidup umat insan, karena Al-Alquran mengandung segala sumber aturan, ilmu penetahuan, serta berisi tentan sistem kehidupan kita dalam keseharian. Dalam peluang ini penulis akan menjajal untuk menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan tentang masalah dua hal yang bertentangan tetapi satu sama lain diantara keduanya tidak mampu dipisahkan adalah sikap terpuji dan tercela. Perilaku atau budpekerti setiap manusia sangatlah beragam, mulai dari yang bagus maupun perilaku yang buruk dan lazimnya menjadi sorotan penduduk dimana ia tinggal. Ditengah kehidupan moderen ini sungguh susah dalam memperoleh orang-orang yang memiliki sikap yang bagus. Kami disini akan membicarakan sebagian sikap-perilaku yang ada dalam kehidupan bermasyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Akhlak
Pengertian Akhlak Secara Etimologi, perkataan "budpekerti" berasal dari bahasa Arab jama' dari bentuk mufradnya "Khuluqun" yang berdasarkan logat diartikan: akal pekerti, perangai, tingkah laku atau adab.[1] Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dapat dijumpai di dalam al Qur'an, sebagai berikut:

و إنّك لعلى خلق عظيم
Yang Artinya :
“Dan bahu-membahu engkau (Muhammad) sungguh-sungguh berbudi pekerti yang Agung.” (Q.S. Al-Qalam, 68:4).

Sedangkan berdasarkan pendekatan secara terminologi, berikut ini beberapa pakar mengemukakan pengertian adab selaku berikut:

a) Ibn Miskawaih
Akhlak ialah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan tindakan-tindakan tanpa melalui pertimbangan fikiran lebih dulu.[2]

b) Imam Al-Ghazali
Akhlak adalah sebuah perilaku yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu terhadap fikiran dan pertimbanagan. Jika perilaku itu yang darinya lahir tindakan yang baik dan terpuji, baik dari segi logika dan syara', maka beliau disebut adat yang baik. Dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut budbahasa yang jelek.[3]

c) Prof. Dr. Ahmad Amin
Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut adab ialah keinginanyang dibiasakan. Artinya, hasratitu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan budpekerti. Menurutnya kehendak ialah ketentuan dari beberapa cita-cita insan sehabis imbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga gampang melakukannya, Masing-masing dari hasratdan kebiasaan ini memiliki kekuatan, dan adonan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan besar inilah yang bernama akhlak.[4]

Jika diperhatikan dengan seksama, terlihat bahwa seluruh definisi budpekerti sebagaimana tersebut diatas tidak ada yang saling berlawanan, melainkan saling melengkapi, ialah sifat yang tertanam besar lengan berkuasa dalam jiwa yang nampak dalam tindakan lahiriah yang dilaksanakan dengan gampang, tanpa memerlukan aliran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.

Jika dikaitkan dengan kata Islami, maka akan berupa budpekerti Islami, secara sederhana adab Islami diartikan sebagai budbahasa yang menurut anutan Islam atau budbahasa yang bersifat Islami. Akhlak Islami yakni perbuatan yang dikerjakan dengan gampang, disengaja, mendarah daging dan sumbernya menurut pada pedoman Islam. Dilihat dari sisi sifatnya yang universal, maka adab Islami juga bersifat universal.[5]

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam menjabarkan budbahasa universal diharapkan santunan aliran nalar manusia dan peluang social yang terkandung dalam fatwa adab dan akhlak. Menghormati kedua orang renta misalnya ialah adab yang bersifat mutlak dan universal. Sedangkan bagaimana bentuk dan cara menghormati oarng tua itu dapat dimanifestasikan oleh hasil pemikiran insan.

Kaprikornus, budpekerti islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban insan dan mengobati bagi penyakit social dari jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak yang baik untuk menerima kebahagiaan di dunia dan alam baka.

Dengan demikian akhlak Islami itu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan adat lainnya. Jika budbahasa lainnya cuma mengatakan ihwal hubungan dengan insan, maka etika Islami berbicara pula perihal cara bekerjasama dengan hewan, tumbuh-flora, air, udara dan lain sebagainya. Dengan cara demikian, masing masing makhluk mencicipi fungsi dan eksistensinya di dunia ini.

2. Perilaku Terpuji
Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal sikap atau etika salah satunya budbahasa terpuji. Adapun ayat-ayat yang mejelaskan perilaku terpuji, diantaranya:

QS. Al baqoroh 153
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ (153)
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu sebetulnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Al Baqoroh: 153)

Melalui ayat ini Allah menerangkan perihal sabar dan pesan tersirat yang terkandung di dalam masalah mengakibatkan sabar dan salat sebagai penolong serta pembimbing. Kata (الصبر) ash-shabr/tabah yang dimaksud mencakup banyak hal: tabah menghadapi olok-olokan dan rayuan, sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, tabah dalam musibah dan kesusahan, serta sabar dalam berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.[6] Karena bekerjsama seorang hamba itu adakalanya berada dalam kenikmatan, kemudian dia mensyukurinya; atau berada dalam cobaan, kemudian dia bersabar menanggungnya. Allah SWT menjelaskan bahwa fasilitas yang paling baik untuk menanggung segala jenis cobaan yaitu dengan sikap tabah dan banyak salat, seperti yang diterangkan di dalam firman-Nya:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاَّ عَلَى الْخَاشِعِينَ (45)
Jadikanlah tabah dan shalat sebagai penolongmu. Dan bantu-membantu yang demikian itu sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu. (Al Baqoroh: 45)

Sabar itu ada dua macam, adalah sabar dalam meninggalkan hal-hal yang di haramkan dan dosa-dosa, serta sabar dalam melakukan ketaatan dan amal-amal shaleh. Adapun jenis tabah yang lain, yakni sabar dalam menanggung segala jenis musibah dan ujian, jenis inipun hukumnya wajib; perihalnya sama dengan istigfar (memohon ampun) dari segala jenis cela.[7]

Karena kesabaran membawa kepada kebaikan dan kebahagiaan, maka insan dilarang berpangku tangan, atau terbawa kesedihan oleh petaka yang dialaminya, ia harus berjuang dan berjuang. Memperjuangkan kebenaran, dan menegakkan keadilan. Dengan perilaku seperti itu diharapkan Ummat islam memiliki mental yang berpengaruh dan tidak cengeng dalam menghadapi lika-liku dan kerasnya kehidupan di dunia, sehingga insan itu akan bertambah lebih maju.

QS. Al imran 133-134
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ (133) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنْ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (134)

Dan bersegeralah kau kepada ampunan dari Tuhanmu dan terhadap nirwana yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (adalah) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Al Imran: 133-134)

Ayat ini, menganjurkan kenaikan upaya, melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan, dan kompetisi yang memang ialah salah satu cara kenaikan mutu. Karena itu bersegeralah kau bagaikan ketergesaan seorang yang ingin mendahului yang lain menuju ampunan dari Tuhanmu dengan menyadari kesalahan dan berlombalah meraih, adalah surga yang sungguh agung yang lebarnya, yaitu luasnya selebar seluas langit dan bumi yang ditawarkan untuk al-muttaqin, yakni orang-orang yang telah mantap ketakwaannya, yang taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Ayat ini juga menawarkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang mampu menahan amarah. Kata (الكاظمين) mengandung makna penuh dan menutupnya dengan rapat. Diatas tingkat ini, yakni yang memaafkan. Kata (العافين) terambil dari kata (العفن) al-‘afn yang bararti maaf atau juga mampu diartikan menghapus. Seseorang yang memafkan orang lain, adalah meniadakan bekas luka hatinya balasan kesalahan yang dikerjakan orang lain terhadapnya. Selanjutnya, untuk meraih tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukainya yaitu orang-orang yang berbuat kebajikan, ialah bukan orang yang sekedar menahan amarah, atau memaafkan namun justru yang berbuat baik kepada yang pernah melaksanakan kesalahan.[8]

Untuk itu, disini kita bisa melihat tingkat-tingkat kenaikan takwa seorang mu’min. Pertama, mereka pemurah, baik dalam waktu bahagia atau dalam waktu susah. Artinya kaya atau miskin berjiwa dermawan. Naik setingkat lagi, yakni berilmu menahan amarah. Tetapi bukan tidak ada marah, karena orang yang tidak ada rasa marahnya sama sekali ketika melihat yang salah yakni orang yang tidak berperasaan. Yang dikehendaki disini, yakni kesanggupan mengendalikan diri saat murka. Ini yakni tingkat dasar. Kemudian naik setingkat lagi, yakni memberi maaf. Kemudian naik ketingkat yang diatas sekali, menahan amarah, member maaf, diiringi dengan berbuat baik, khususnya kepada orang yang hampir dimarahi dan dimaafkan itu.
Demikianlah takwa melakukan pekerjaan dibidang ini, dengan dorongan-dorongan dan motivasi-motivasinya. Marah ialah perasaan manusiawi yang diiringa dengan naiknya tekanan darah. Marah yakni salah satu dorongan yang menjadi kelengkapan penciptaan insan dan salah satu kebutuhannya. Manusia tidak dapat menundukkan kemarahan ini kecuali dengan perasaan yang halus dan lembut yang bersumber dari pancaran takwa, dan dengan kekuatan ruhiah yang bersumber dari pandangannya kepada ufuk yang lebih luas dari pada ufuk dirinya dan cakrawala kebutuhannya.

QS. An nisa’ 114
لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً (114)

Tidak ada kebaikan pada pada umumnya bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (insan) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau menyelenggarakan perdamaian di antara insan. Dan barangsiapa yang berbuat demikian alasannya mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (an nisa’: 114)

Ayat ini ialah pendidikan yang sangat berguna bagi masyarakat, yaitu untuk saling terbuka, sedapat mungkin untuk tidak saling merahasiakan sesuatu. Kerahasiaan mengandung makna ketidakpercayaan sedangkan keterbukaan dan terus terperinci menunjukkan keberanian pembicara.

“tidak ada kebaikan pada pada umumnya bisikan-bisikan mereka insan”dari sini mampu dimengerti larangan Nabi saw melakukan pembicaraan diam-diam dihadapan orang lain, yang nantinya dapat menimbulkan fitnah, sehingga memunculkan rasa dengki hati dan suudzan yang mampu memecah belah umat. Maka dari itu jelahslah bahwa bisik-bisik tidak ada kebaikan atau manfaat yang bisa diambil. Mana yang tidak baiklah hendaknya dukatakan terus terperinci.

“kecuali bisikan-bisikan dari orang yang memerintahkan (insan) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia” dari tiga hal diatas tidak mengandung madzarat kalo diperbisikkam. , bahkan memang pantas ghal-hal tersebut diperbisikkan apalagi dahulu.

Menyuruh atau menganjurkan orang mengeluarkan sedekah memang kadang-kadang perlu dirahasiakan apalagi dahulu, supaya mampu diteliti siapa yang patut menerimanya. Sebab ada orang yang berhak mendapatkan sedekah atau zakat namun beliau aib memintanya atau aib tertangkap basah. Banyak orang yang memiliki budi yang dinamai iffah, yaitu cendekia menahan diri, sehingga banyak orang yang menyangka dia kaya, padahal dia berhak menerima sedekah ataupun zakat. Dan lebih baik lagi kalo diberikan secara belakang layar, sehingga yang diberi tidak merasa malu. Demikian pula, ada orang yang bisa mengeluarkan zakat, tetapi beliau enggan memperlihatkannya sebab takut riya’, maka ia menunjukkan zakat tersebut secara diam-diam.

Menyuruh perbuatan yang ma’ruf kadang kala lebih baik disampaikan secara belakang layar. Seperti orang yang melakukan perbuatan buruk ditegur dihadapan banyak orang akan menjadikan masalah lain, maka sebaiknya dijalankan teguran tersebut secara rahasia. Mendamaikan orang yang sedang bertikai sepantasnya dilaksanakan secar rahasia. Hal ini untuk menjaga nama baik kedua belah pihak

Menurut ar-razi bergotong-royong amal pada garis besarnya tidak keluar dari memberi faedah atau menafikkan madzarat,pertolongan faedah mampu bersifat material dan inilah yang diwakili oleh sedekah, sedangkan yang bersifat immateraial ditunjukkan dengan amar ma’ruf. Ma’ruf dapat mencangkup pengembangan peluangkemampuan teoritis lewat sumbangan pengetahuan, atau pengembangan potensi melalui keteladanan.[9]

Semua bisik-bisik ditempat sunyi tidak menjadikan ancaman. Asal ada niat baik rerkandung didalamnya , alasannya adalah lanjutan ayat berbunyi dengan tegas” dan barangsiapa yang berbuat demikian”yakni segala jenis bisik yang mengandung maksud baik, yang bukan hendak merugikan orang lain, alasannya adalah mengharapkan keridhaan Allah. Sebab muncul efek iktikad terhadap Tuhan dan kasih sayang sesama insan. Lantaran beramal, menyuruh berbuat baik dan mendamaikan orang yang bertengkar atau sabung. Yang nantinya Allah akan memberi pahala yang sangat besar.

Oleh karenaitu, kita selaku insan harus mempertahankan komunikasi antar insan agar tidak mengakibatkan perpecahan diantara sesama insan, alasannya komunikasi itu penting dalam sebuah kehidupan dimanapun kita berada.

3. Perilaku Tercela
Perilaku tercela yakni perilaku yang yang dipandang tidak baik dan tidak cocok dengan syara’(tidak cocok dengan pedoman islam), ayat-ayat al qur’an yang menerangkan perilaku tercela diantaranya:

QS. Al Anfal 27
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (27)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kau mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengenali. (Al Anfal: 27)

Ayat ini mengaitkan orang-orang beriman dengan amanah atau larangan berkhianat. Bahwa diantara indikator keimanan seseorang ialah sejauh mana beliau mampu melakukan amanah. Demikian pula sebaliknya bahwa ciri khas orang munafik adalah khianat dan melalaikankan amanah-amanahnya.

Kata ( تخونوا ) takhunu terambil dari kata ( الخون ) al- khaun ialah “kekurangan”, antonimnya yakni ( الوفاء ) al-wafa’ yang memiliki arti “kesempurnaan”. Selanjutnya kata “khianat” di gunakan selaku antonim dari “amanat” alasannya adalah kalau seseorang mengkhianati pihak lain maka dia telah meminimalkan kewajiban yang beliau mesti tunaikan. Kata ( أمنات ) amanat yaitu bentuk jamak dari kata ( امنة ) amanah yang terambil dari kata ( أمن ) amina yang memiliki arti “merasa kondusif”, dan “yakin”. Siapa yang dititipi amanat, maka itu berarti yang menitipkannya percaya kepadanya dan merasa kondusif bahwa sesuatu yang dititipkan itu akan diperlihara olehnya.[10]

Tetapi perlukita tahu bahwa sikap munafik ini perlu kita hindari jauh-jauh demi keberlangsungan hidup yang harmonis.

QS. Al isra’ 26-27
وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيراً (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً (27)
Dan berikanlah terhadap keluarga-keluarga yang akrab akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kau menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu ialah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu ialah sungguh ingkar terhadap Tuhannya. ( Al Isra’: 26-27 )

Allah SWT menyuruh terhadap kaum Muslimin semoga menunaikan hak kepada keluarga-keluarga yang erat, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Hak yang harus ditunaikan itu yaitu: Mempererat tali persaudaraan dan hubungan kasih sayang, mendatangi rumahnya dan bersikap watak, serta menolong meringankan penderitaan-penderitaan yang mereka alami.

Kata ( اتوا ) atu mempunyai arti tunjangan sempurna. Pemberian yang dimaksud bukan cuma terbatas pada hal-hal materi tetapi juga inmateri. Kata ( تبدير ) tabdzir/pemborosan dipahami oleh ulama dalam arti pengeluaran yang bukan haq, alasannya adalah itu bila seseorang menafakahkan/membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, maka beliau bukan seorang pemboros. Seperti Sayyidina Abu Bakar ra menyerahkan semua hartanya kepada Nabi saw dalam rangka berjihat dijalan Allah.

Kata ( إخوان ) ikhwan yakni bentuk jamak dari kata ( أخ ) akh yang bisa diterjemahkan kerabat. Kata ini pada awalnya berarti persamaan dan keharmonisan. Dari sini persamaan dalam asal usul keturunan menimbulkan persaudaraan, baik asal undangan jauh, lebih-lebih yang bersahabat. Persaudaraan setan dengan pemboros yakni persamaan sifat-sifatnya. Mereka berdua sama melakukan hal-hal yang batil, tidak pada tempatnya.Penambahan kata ( كانوا ) kanu pada bagian ayat di atas, untuk mengisyaratkan kemantapan persamaan dan persaudaraan itu.[11]

Penyifatan dengan kufur/sangat ingkar ialah peringatan keras terhadap para pemboros yang menjadi teman setan itu, bahwa persaudaraan dan kebersamaan mereka dengan setan dapat mengantar mereka pada kekufuran. Dan sikap boros itu sungguh berbahaya bagi orang yang tidak mampu mengontrol nafsunya, karena nafsu itu berkorelasi dengan sifat boros yang terang-terang merugikan insan dari segi jasmani maupun rohani.

QS. An nisa’ 148
لا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنْ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعاً عَلِيماً (148)
Allah tidak menggemari ucapan jelek, (yang diucapkan) dengan terus terperinci kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah ialah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ( An Nisa’: 148 )

“Allah tidaklah suka penyebaran perkataan-perkataan yang buruk.” (pangkalayat148). Kalau dikatakan Allah tidak senang, pasti Allah membencinya. Maka amatlah benci menyiar-nyiarkan atau menjelas-jelaskan perkataan yang jelek, yang kotor, yang cabul dan yang carut-marut. Yang diminati oleh Allah hanyalah kata-kata yang sopan yang tidak menyinggung perasaan, yang tidak merusak etika.

Untuk menuntun batin dan kesopanan kita, pada epilog, Tuhan menyatakan bahwa Dia selalu mendengar apa yang kita ucapkan, sopankah atau kotor, dan mengetahui perangai-perangai dan kelakuan kita yang akan bisa menjatuhkan Muru’ah (harga diri). Karena banyaknya kata kotor, ialah alamat dari kecerdikan dan batin yang memulai kotor. Padahal ummat yang beragama, sudah sebaiknya memiliki kesopanan yang tinggi.

4. Balasan Terhadap Perilaku Terpuji dan Tercela
Orang melakukan pekerjaan mesti ada ganjarannya begitupun dengan perilaku terpuji dan tercela. Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan tindakan insan, oleh sebab itu Allah membalas sikap-perilaku yang dijalankan manusia sebagaimana yang di sebutkan dalam ayat-ayat berikut:

QS. Al an’am 160
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلا يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ (160)
Barangsiapa menenteng amal yang bagus, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka ia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Al An’am: 160)

Ayat ini menjelaskan bahwa pembalasan Allah SWT. sungguh adil, ialah barang siapa diantara manusia yang datang membawa amal yang baik, ialah berdasar doktrin yang benar dan ketulusan hati, maka baginya pahala sepuluh kali lipatnya yaitu sepuluh kali lipat amalnya sebagai karunia dari Allah SWT; dan barang siapa yang menjinjing tindakan yang buruk maka beliau tidak diberi pembalasan melainkan sebanding dengan kejahatannya, itu pun bila allah menjatuhkan hukuman atasnya, namun tak sedikit keburukan hamba yang dimaafkannya. Kalau allah menjatuhkan sanksi, maka itu sungguh adil, dan dengan demikian mereka yakni yang melaksanakan kejahatan itu sedikitpun tidak dianiaya tetapi masing-masing akan mendapatkan hukuman setimpal dengan dosanya. Adapun yang berbuat kebajikan, maka bukan saja mereka tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi ganjaran yang adil, namun mereka menerima anugerah dari Allah SWT.[12]

Ayat ini menyuruh kita biar memperbanyak berbuat baik. Artinya yaitu barang siapa yang dating terhadap Allah di hari akhir zaman dengan sifat-sifat yang bagus, maka dia akan mendapat ganjaran atau pahala dari Allah SWT.

Dan barang siapa yang nantinya menghadap Allah dengan sifat-sifat jahat yang telah tertanam dalam dirinya, maka ganjaran siksaan yang akan diterimnya yaitu setimpal dengan kejahatannya. Artinya suatu kejahatan tidaklah akan dibalas dengan sepuluh kali ganda siksaan. Maka ayat ini menawarkan kejelasan benar bagi kita bantu-membantu sifat Rohman dan Rohim Allah lebih berpokok dari sifat murkanya Allah SWT.

QS. An-Nisa : 79
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنْ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيداً (79)
Apa saja lezat yang kau dapatkan adalah dari Allah, dan apa saja peristiwa yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap insan. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (An-Nisa’: 79)

Ayat ini memastikan sisi upaya manusia yang berkaitan dengan sebab dan balasan. Hukum-hukum alam dan kemasyrakatan cukup banyak dan bermacam-macam. Dampak baik dan imbas jelek untuk setiap gerak dan langkah-langkah telah ditetapkan Allah melalaui aturan-hukum tersebut, manusia diberi kemampuan memilah dan memilih, dan masing-masing akan mendapatkan hasil pilihannya. Allah sendiri melalui perintah dan larangan-Nya mengharapkan, bahkan menganjurkan terhadap insan agar meraih kebaikan dan nikmat-Nya, alasannya adalah itu ditegaskan-Nya bahwa, apa saja nikmat yang engkau dapatkan, wahai Muhammad dan semua manusia, yakni dari Allah, ialah Dia yang mewujudkan anugerah-Nya, dan apa saja peristiwa yang menimpamu, engkau wahai Muhammad dan siapa saja selain kau, maka tragedi itu dari kesalahan dirimu sendiri, sebab Kami mengutusmu tidak lain hanya menjadi Rasul untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan Allah kepada segenap manusia, kapan dan di mana pun mereka berada. Kami mengutusmu hanya menjadi Rasul, bukan seorang yang dapat menentukan baik dan buruk sesuatu sehingga bukan alasannya terjadinya peristiwa atau kejelekan pada masamu lalu dijadikan bukti bahwa engkau bukan Rasul. Kalaulah mereka mengira demikian, biarkan saja. Dan cukuplah Allah menjadi saksi atas kebenaranmu.

Ayat diatas secara redaksional ditujukan terhadap Rasulullah saw., tetapi kandungannya utamanya ditujukan kepada mereka yang menyatakan bahwa keburukan bersumber dari Nabi atau karenakesialan yang menyertai beliau. Pengarahan redaksi ayat ini kepada Nabi menerangkan bahwa jika beliau yang sedemikian bersahabat dengan kedudukannya di sisi Allah serta sedemikian berpengaruh ketakwaannya terhadap Allah tetap tidak dapat luput dari sunnatullah dan takdir-Nya, maka tentu lebih-lebih lainnya. Allah tidak membedakan seseorang dari lainnya dalaqm hal sunnatullah ini.[13]

Setiap kebaikan yang diperoleh oleh orang mukmin, bahu-membahu berasal dari karunia dan kemurahan Allah, di ayat ini ada dua hal yang perlu dimengerti :

Ø Bahwa segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah, dalam arti bahwa Dialah yang membuat segala sesuatu dan menggariskan aturan-aturan.
Ø Manusia terjerumus kedalam keburukan tidak lain disebabkan ia gegabah untuk mengetahui sunnah-sunnah. Sesuatu dikatakan jelek, sebenarnya disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri.

Berdasarkan persepsi ini, maka kebaikan berasal dari karunia Allah secara mutlak, dan keburukan berasal dari diri manusia sendiri secara mutlak. Masing-masing dari dua kemutlakan ini mempunyai posisi pembicaraan tersendiri. Telah banyak dasar yang menyatakan bahwa ketaatan terhadap Allah merupakan salah satu alasannya menerima nikmat, dan bahwa kedurhakaaan kepadanya merupakan salah satu jalan yang mendatangkan kesengsaraan. Ketaatan kepadanya yakni mengikuti sunnah-sunnah-Nya dan memakai jalan-jalan yang telah diberi-Nya pada daerah mestinya.

“Kami mengutusmu menjadi Rasul terhadap segenap insan”. Kewajiban Rasul hanyalah memberikan anutan Allah. Dia tidak mempunyai problem dan campur dalam perkara kebaikan dan kejelekan yang menimpa insan, sebab beliau diutus memberikan anutan menyampaikan hidayah.
“Dan cukuplah Allah menjadi saksi”. Sesungguhya rasul diutus terhadap seluruh umat manusia cuma sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, bukan sebagai orang yang berkuasa atau untuk mengubah dan mengganti hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT

QS. Hud : 114
وَأَقِمْ الصَّلاةَ طَرَفِي النَّهَارِ وَزُلَفاً مِنْ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ (114)
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan ketimbang malam. Sesungguhnya perbuatan-tindakan yang bagus itu menghapuskan (dosa) tindakan-perbuatan yang jelek. Itulah perayaan bagi orang-orang yang ingat. (Hud: 114)

Ayat ini mengajarkan: “ dan dirikanlah shalat dengan teratur dan benar sesuai dengan ketentuan, rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya pada kedua tepi siang adalah pagi dan petang, atau Subuh, Dzuhur dan Ashar dan pada bab permulaan dibandingkan dengan malam ialah Maghrib dan Isya, dan juga mampu tergolong Witir dan Tahajud. Yang demikian itu dapat menyucikan jiwa dan mengalahkan kecenderungan nafsu untuk berbuat kejahatan. Sesungguhnya kebajikan-kebajikan itu yaitu tindakan-tindakan baik seperti shalat, zakat, shadakah, istighfar, dan aneka ketaatan lain mampu menghapuskan dosa kecil yang ialah kejelekan-kejelekan yaitu perbuatan-tindakan buruk yang tidak mudah dihindari manusia. Adapun dosa besar, maka itu memerlukan ketulusan hati untuk bertaubat, permintaan ampun secara khusus dan tekad untuk tidak mengulanginya. Iitu ialah isyarat -isyarat yang disampaikan sebelum ini yang sungguh tinggi nilainya dan jauh kedudukannya itulah perayaan yang sungguh bermanfaat bagi orang-orang yang siap menerimanya dan yang ingat tidak melupakan Allah.

Disamping mengandung makna bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kecil jika seseorang sudah melakukan amal-amal saleh, juga mengandung makna bahwa amal-amal saleh yang dikerjakan seseorang secara ikhlas dan konsisten akan mampu membentengi dirinya sehingga dengan mudah dia mampu terhindar dari kejelekan-keburukan. Makna seperti ini sejalan juga dengan firman Allah dalam surah al-Ankabut ayat 45, yang artinya “ sesungguhnya shalat menangkal tindakan keji dan munkar "[14]

Dalam tafsir at-Tabari diterangkan bahwa ada beberapa faedah yang dikandung ayat ini yakni penjelasan untuk mendirikan salat wajib. Ayat ini menjelaskan secara ringkas semua waktu shalat yang wajib. Karena kedua tepi siang mencakup shalat subuh, shalat dzuhur dan shalat ashar. Adapun bagian permulaan malam meliputi shalat maghrib dan isya. Namun Imam Ath-Thabari lebih menentukan pendapat bahwa bahwa shalat pada kedua tepi siang itu tujuannya adalah shalat subuh dan maghrib.

Ayat ini menerangkan bahwa shalat tergolong diantara al-hasanat (amal saleh). Ayat ini juga menjelaskan bahwa al-Quran sebagai mau’izhan (nasihat) bagi mereka yang mengingat-ingat. Orang-orang yang ingat disebut secara khusus disini sebab mereka yang menerima manfaat dari nasihat itu.

QS. Al-Hijr : 39-40
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمْ الْمُخْلَصِينَ (40)

Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh alasannya adalah Engkau Telah menetapkan bahwa Aku sesat, niscaya Aku akan menjadikan mereka menatap baik (perbuatan ma'siat) di paras bumi, dan niscaya Aku akan menyesatkan mereka seluruhnya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka".(Al-Hijr: 39-40)

setelah Allah memberikan bahwa Iblis akan termasuk mereka yang ditangguhkan hidupnya sampai waktu tertentu, Iblis berkata, “Tuhanku, disebabkan oleh penyesatan-Mu terhadap diriku yakni kutukan-Mu terhadapku sampai hari lalu, maka niscaya aku akan memperindah bagi mereka yakni menimbulkan mereka menatap baik tindakan maksiat serta segala jenis kegiatan di muka bumi yang mengalihkan mereka dari dedikasi kepada-Mu, dan niscaya pula dengan demikian aku akan mampu menyesatkan mereka seluruhnya dari jalan lurus menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Upaya tersebut akan menjamah semua manusia, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas diantara mereka, ialah yang engkau pilih alasannya mereka telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Mu.[15]

Allah berfirman menginformasikan bahwa iblis berkata kepadanya, “Ya Tuhanku, dikarenakan engkau sudah menakdirkan saya kehilangan arah, maka pasti saya akan menyesatkan anak cucu adam dengan membujuk mereka memandang baik segala tindakan maksiat dan mendorong mereka dengan segala tipu daya biar mereka menjauhi segala perintahmu dan niscaya saya akan berhasil dalam usaha penyesatanku ini kecuali kepada beberapa hamba-hamba-Mu yang memperoleh taufik dan hidayah untuk menaati segala petunjuk dan perintahmu.

QS. Muhammad : 15
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيماً فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ (15)
Perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan terhadap orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak beubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang yummy rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang infinit dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya. (Muhammad: 15)

Ayat di atas menguraikan sekelumit dari ganjaran yang di janjikan kepada orang-orang bertakwa.Kata ( مثل ) matsal dipakai dalam arti istilah yang aneh atau menakjubkan. Perlu diingat bahwa matsal bukan memiliki arti persamaan antara dua hal, ia hanya istilah. Memang ada perbedaan antara ( مثل ) matsal dan ( مثل ) mitsil. Yang kedua ( mitsil ) mengandung makna persamaan bahkan keserupaan atau kemiripan, sedangkan matsal tekanannya lebih banyak pada kondisi atau sifat yang mengagumkan yang dilukiskan oleh kalimat matsal itu. Keadaan surge tidak dapat dipersamakan dengan sesuatu, alasannya adalah mirip sabda Nabi saw : “Di sana terdapat apa yang belum pernah dilihat mata, atau didengar oleh telinga dan terlintas dalam benak insan.”

Kata ( أنهار ) anhar ialah bentuk jamak dari kata ( نهر ) nahar yaitu pemikiran air yang sangat besar yang umumnya bukan buatan manusia namun alami. Dalam kehidupan dunia, kita tidak memperoleh sungai yang mengalir darinya susu, madu atau khamr. Anda mampu mengetahui kata anhar di sini dalam pemahaman metafora ialah di sama akan ditemukan dengan gampang dan banyak minuman-minuman itu seperti halnya mendapatkan dalam kehidupan dunia ini ajaran air. Seperti yang di kemukakan di atas bahwa ini ialah matsal yang bukan mempunyai arti sama.[16]

5. Hikmah hikmah melakukan perilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela
a. Menumbuhkan rasa solidaritas sesama muslim atau ukhuah islamiyah, sehingga persaudaraan senantiasa terpupuk dengan kuat
b. Menumbuhkan perilaku disiplin dan sikap mental yang berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat
c. Mendidik jiwa semoga biasa dan mampu menguasai diri, sehingga gampang mengerjakan segala kebaikan dan meninggalkan segala larangan
d. Disenangi sobat dan disegani lawan,
e. Sebuah pembuktian ketaatan dan ketakwaan seorang manusia terhadap Allah, sehingga beliau makin akrab dengan sang pencipta
f. Terhindar dari penyakit-penyakit lahir dan batin yang berlebihan, alasannya penyakit ini sungguh berbahaya bagi diri insan itu sendiri dan orang lain, sehingga mampu menghancurkan antara habluminallah, habluminannas, dan habluminalalam

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari beberapa ayat Al-Qur’an yang menerangkan ihwal perilaku manusia, kita bisa mengetahui sebernarnya insan adalah makhluk yang lemah namun memiliki impian kuat untuk menguasai dunia. Keinginan tersebut tidak seimbang dengan ketahanan batin manusia yang banyak mengeluh ketika menerima cobaan. Yang perlu di ingat, bantu-membantu syetan akan terus menarik kita ke lembah kehancuran. Dia merasa dirinya terusir dan terlaknat balasan ulah manusia. Untuk itu, kita haruslah mempertahankan diri kita dengan melakukan apa yang Allah perintahkan kepada kita dengan sabar dan nrimo alasannya semua dari Allah dan akan kembali terhadap-Nya. Mudah-mudahan kita menjadi kalangan yang mujur di hari simpulan seperti yang dicontohkan didalam Al-Qur’an supaya diri kita tidak merugi pada hari pembalasan kelak.

DAFTAR PUSTAKA
  • Ad-Dimasyqi, Ibnu Kasir. 2000. Terjemah Tafsir Ibnu Kasir Juz 2. Bandung:
  • Sinar Baru Algensindo
  • Zahruddin. 2004. Pengantar Ilmu Akhlak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
  • Ardani, Moh. 2005. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Mitra Cahaya Utama
  • Nata, Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
  • Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah Volume 2. Jakarta: Lentera Hati
  • _____________. 2000. Tafsir Al-Misbah volume 4. Jakarta. Lentera Hati
  • _____________. 2002. Tafsir Al-Misbah volume 3. Jakarta: Lentera Hati
  • _____________. 2002. Tafsir Al-Misbah Volume 6. Jakarta: Lentera Hati
  • _____________. 2002. Tafsir Al-Misbah Volume 7. Jakarta: Lentera Hati
  • _____________. 2004. Tafsir Al-Misbah Volume 13. Jakarta: Lentera Hati
  • _____________. 2005. Tafsir Al-Misbah volume 1. Jakarta: Lentera Hati
---------------------
[1] Zahruddin AR, Pengantar Ilmu Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 1
[2] Zahruddin AR, Pengantar Ilmu Akhlak, 4
[3] Prof. Dr. H. Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf, ( PT. Mitra Cahaya Utama, 2005), 29
[4] Zahruddin AR, Pengantar Ilmu Akhlak, 4-5.
[5] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 147
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 335
[7] Imam Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi,, Terjemah Tafsir Ibnu Kasir Juz 2 (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2000), 49
[8] M. Quraisy Shihab. Tafsir Al-Misbah volume 3 (Jakarta:Lentera Hati. 2002),220
[9] M. Quraisy Shihab. Tafsir Al-Misbah volume 4 (Jakarta. Lentera Hati. 2000), 587
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Leentera hati, 2005), 432
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 452
[12] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2000),352
[13] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000),497
[14] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),355-357
[15] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2002),128-129
[16] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 13 (Jakarta: Lentera hati, 2004),132-133

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon