A. Pendahuluan
Ketika manusia lahir ke muka bumi, jeritan dibarengi tangisan menghiasi perjalanan hidup insan, hal ini mengambarkan bahwa setiap individu sudah mencicipi secara naluri bagaimana hak dan kewajibannya dikala lahir. Penyelewengan, penipuan, pembunuhan karakter dan sebagainya sudah mewarnai kehidupan yang dimiliki insan itu sendiri.
Hak manusia secara sederhana ialah sesuatu proses atau metode yang sudah terdapat dalam diri insan, dan untuk merealisasikannya diperlukan suatu acuan yang akurat dan jitu agar hak-hak tersebut dapat berlangsung sesuai dengan fitrah dan kodratnya masing-masing. Katagori hak manusia akil balig cukup akal ini senantiasa diartikan sempit, padahal banyak pakar yang berkomentar luwes wacana hal tersebut. Islam mendukung sepenuhnya keberadaan hak anak manusia mulai dari penciptaan hingga kematiannya. Pembodohan hak inilah akan menjadikan secercah fenomena sosial masyarakat kita, ketika diaplikasikan.
Dalam mendeskripsikan hak azasi manusia, penulis membuat sebuah stressing yang dianggap pantas untuk dibahas dalam paparan makalah ini, antara lain : Lahirnya Deklarasi universal Hak-hak asasi insan, Hak dalam persepsi Islam, Deskripsi Hak Manusia berdasarkan Deklarasi PBB, Fenomena sosial dalam tatanan Hak Manusia secara global, Persoalan rakyat menyangkut status dan hak-haknya.
B. Lahirnya Deklarasi Universal Hak-Hak Manusia
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah menegaskan akan perlunya memelihara perdamaian dan keamanan dunia, memastikan pula ihwal pentingnya bangsa-bangsa di dunia ini untuk mengamati wacana hak-hak insan, martabat dan kehormatan individu, kesamaan hak-hak manusia baik laki-laki maupun wanita, juga perlakuan negara-nagara besar kepada yang kecil secara wajar.
Tujuan utama dari Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut yaitu untuk merealisasikan kerjasama internasional dalam menanggulangi problem-duduk perkara dunia di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan dan kemanusiaan serta untuk menghormati hak-hak seluruh umat insan dan mendukung ke arah itu secara mutlak tanpa membeda-bedakan bangsa, bahasa, agama dan juga tanpa membeda-bedakan laki-laki ataupun wanita.
Meskipun Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui adanya lebih dulu fenomena yang dikenal sebagai hak-hak insan, namun piagam tersebut tidak merinci dan tidak memuat daftar hak-hak insan yang harus dihormati, dan juga tidak mengacu pada suatu sumber yang menyebutkan secara tepat hak-hak yang perlu dihormati itu. Pada waktu perumusan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dirancang, pernah ada beberapa undangan dari beberapa negara semoga dicantumkan daftar hak-hak beberapa negara. Namun demikian , Perserikatan Bangsa-Bangsa menatap, perlu untuk menyusun sebuah Bill of Rights International dalam waktu setahun setelah piagam itu diberlakukan.
Tugas menyusun Bill of Rights international sebagaimana tersebut di atas, diserahkan kepada Commision of Human Rights (Komisi Hak Asasi Manusia) yang merupakan aparat dari Economic and Sosial Council (ECOSOC). Komisi ini bertugas menciptakan rincian perihal hak-hak asasi yang harus dihormati oleh setiap manusia di wajah bumi ini, di samping itu komisi ini juga diberi wewenang untuk menyiapkan desain program internasional wacana hak-hak asasi manusia dalam piagam PBB, dan memberikan klarifikasi kesepakatan tentang hak-hak sipil, kedudukan wanita, larangan diskriminasi yang didasarkan terhadap ras, bangsa, bahasa dan agama.
Komisi Hak Asasi Manusia sudah bersidang dan membentuk beberapa komisi berdasarkan peran yang diberikan kepadanya. Setelah lewat perdebatan yang panjang maka lahirlah “Universal Declaratiaon of Human Rights” atau disebut Deklarasi Internasional wacana hak-hak asasi manusia, ditetapkan pada sidang dan menetapkannya pula atas dasar kesepakatan anggota-anggotanya, kecuali empat negara absen. Akhirnya pada tanggal 10 Desember 1948, Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan rancangan deklarasi universal wacana hak-hak asasi manusia dalam sidangnya di Paris. Kemudian pada hari berikutnya sidang UNESCO menyetujui pula seluruh isi deklarasi tersebut.
Deklarasi universal perihal hak-hak asasi insan di dalam bentuknya yang terakhir menampung daftar hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosioal dan budaya yang menjadi hak siapa saja tanpa terkecuali. Deklarasi ini sama sekali tidak memuat forum atau mekanisme yang mau menjamin diindahkannya hak-hak itu. Pada mula disahkan deklarasi tersebut, semua meteri yang ada dalam bentuk mengikat secara non aturan, tetapi dalam prakteknya di kemuduan hari sudah menggantinya menjadi suatu alat yang mempunyai kekuatan yuridis, meskipun status hukumnya masih terjadi pro dan kontra.
Meskipun banyak kesulitan yang dijumpai PBB dalam upaya memantapkan tata cara universal untuk melindungi hak asasi insan, namun PBB sudah berbuat banyak guna menangani duduk perkara ini secara khusus. Lebih dari 50 perangkat hak-hak asasi insan yang telah dirundingkan di bawah pengawasan PBB. Sebagian besar dirancang oleh kelompok kerja dari komisi PBB perihal hak-hak asasi insan (badan yang berada di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial). Adapun yang paling baru yaitu Konvensi perihal hak-hak anak yang dicetuskan oleh komisi permulaan 1989.
Teori sosial sering meningkat lebih pesat dari prakteknya. Akan namun sering pula teori itu tertinggal jauh ke belakang. Keadaan yang mendesak dan potensi pengalaman menimbulkan balasan-jawaban yang tampaknya dapat dan dibutuhkan jauh sebelum kita mampu membenarkan mereka. Ini terutama terlihat pada gerakan-gerakan untuk hak-hak insan. Meskipun kesadaran tentang pentingnya HAM semakin berkembang dan meningkat luas, dan gerakan-gerakan serta alasannya adalah-alasannya yang menyuarakan HAM ataupun hak-hak yang lain menjadi bermacam-macam-ragam, kurang literatur teoritis di bidang ini masih dirasakan, bila daripada literarur lain yang bertemakan filsafat. Literarur yang sekarang ada, masih sungguh sementara sifatnya dan membingungkan, dan adakala ialah kesangsian dalam menatap hakikat, realitas, serta apa yang disebut dasar-dasar hak-hak manusia.
Namun demikian, permintaan atas hak-hak manusia itu terus berlangsung. Sebagaimana jerit tangis untuk mencari keadilan dalam makna apapun, Tuntutan-permintaan itu bermuara dari adanya rasa stress dan kekecewaan yang turut mendorong keputusan bahwa segala sesuatu, dan memang semestinya menjadi lebih baik dari kondisi sekarang. Semakin luasnya permintaan tersebut nampaknya bukan dipengaruhi oleh kesusahan dalam analisis matematika. Atau realisasinya tidak bergantung pada hal-hal semacam itu melainkan kuat pada kekuasaan yang relatif dari orang-orang yang mendukung atau yang menentang tuntutan-permintaan ini.
Konsekuensi yang terpenting dari kesangsian perihal kesahihan dari teori manapun perihal HAM ialah kecenderungan yang mendorong kita untuk melihat teori itu sekadar sebagai topeng ideologi dari korelasi-kekerabatan kekuasaan belaka. Sejumlah alasan telah diberikan untuk membenarkan penolakan bahwa hak-hak manusia itu ada atau mampu kita ketahui keberadaannya. Alasan-argumentasi tersebut antara lain :
Kadang era orang memiliki persepsi bahwa HAM tidak pernah ada karena tidak ada hal-hal mirip itu selaku hak-hak watak secara keseluruhan. Dan ini artinya bahwa kita tidak akan pernah bisa memperlihatkan landasan-landasan yang otentik dan obyektif untuk keputusan sopan santun apapun.
Kadang-kadang orang berpendapat bahwa tidak ada HAM di dalam tata cara sopan santun manapun, kecuali jikalau hak tersebut ditafsirkan secara muthlak, tak bersyarat, atau tidak dapat dipisahkan. Pandangan ini tersirat dalam beberapa pakar hukum yang berpikiran liberal. Asumsi ini tidak mengandung pemahaman apa-apa dalam ungkapan yang digunakan, kecuali atas dasar fikiran bahwa hanya ada satu hak yang muthlak atau jikalau adapun lebih dari satu, bahwa kita mampu menawarkan alasan yang berpengaruh untuk mempercayai bahwa semua HAM dapat selaras satu sama lain dan dalam kondisi yang tak mampu diperkirakan atau dipercaya hak-hak tersebut akan saling bertentangan.
Perbedaan yang terang antara kewajiban dan hak prima facie,1 kemudian keharusan dan hak muthlak sepertinya ialah sebuah analisis yang sudah memadai kepada dilema yang kita hadapi. Semua hak manusia mempunyai validitas prima facie di dalam suasana di mana hak tersebut berkaitan, namun hak-hak itu tidak secara muthlak dan niscaya mengikat tingkah laku dalam setiap kasus khusus apapun, walaupun hak-hak itu mesti dipertimbangan. Kita tidak mampu menyampaikan hak yang mana secara niscaya mengikat, alasannya adalah kita tidak dapat mengenali mana yang lebih dahulu sebuah hak berlawanan dengan hak lain. Di sisi lain konsekuensi-konsekuensi ketaatan dan pelanggaran terhadap hak dan keharusan demikian kompleks dalam tatanan bobot yang tidak stabil dan tidak konstan, sehingga tidak ada hirarki yang dapat ditegakkan sebelumnya untuk membimbing kita untuk masuk ke semua lini suasana yang konstruktif.
3. Sumber kesangsian lainnya ihwal HAM timbul oleh alasannya adanya perbedaan-perbedaan dalam daftar hak insan, sebagaimana hal itu terlihat dalam banyak sekali deklarasi hak-hak manusia. Keberatan ini menawarkan kesalahan desain yang amat besar perihal tujuan atau kegunaan penempatan hak-hak semacam itu. Daftar tersebut tidak terlepas dari efek historis-fungsional. Upaya apapun untuk menyebutkan hak-hak manusia satu persatu memberikan referensi sejarah.2
C. Hak-Hak Asasi Dalam Pandangan Islam
Berbicara perihal hak-hak manusia dalam Islam secara pribadi, kita lantas berpikir mengenai metodologi yang dipakai dalam menyingkapi persolaan yang terjadi. Masalah utama yang yang dihadapi berasal dari pendekatan orientalis, oleh para analis beropini bahwa jika Barat dan Islam dihadapkan dalam polemik hak insan, maka mereka mengambil budaya dan norma-norma mereka sebagai tumpuan dan membuatnya selaku modal dalam memperbandingkan peradaban dan tatanan lain. Parameter tabiat, aturan, politik yang dibuat selaku tujuan santunan penghargaan kepada Islam disusun dengan bentuk-bentuk istemewa yang mencurigai.
Sarjana Barat jarang mengunakan agama Kristen sebagai titik tolak untuk menjelaskan pertumbuhan-perkebangan yang berlaku di Eropa beberapa dekade yang lalu. Namun dalam menerangkan peristiwa-kejadian di negara-negara Muslim, mereka condong dan nyaris selalu memakai istilah-istilah keagamaan. Menjadikan Islam selaku dalih atau penyebab tradisionalisme di satu sisi, atau revolusi di segi lain, merupakan kecenderungan yang telah berlangsung dan sudah mencapai puncaknya sejak jatuhnya rezim Syah di Iran. Kita cenderung beropini bahwa doktrin dan praktek-praktek keagamaan, tradisi dan hal-hal lain dinilai tabu tidak dapatdianggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia Islam kini. Sebenarnya ketimbang menyaksikan Islam sebagai kesatuan yang independen dari satu hakikat gaib, lebih baik menatap kita menatap negara, pemerintahan atau masyarakat Islam selaku satu unsur kekuasan yang solid tentang soasial-politik dengan pergantian dengan aneka macam rezim politik, gaya kognitif dan tata cara ekonomi yang berlawanan.
Masalah kedua berasal dari interpretasi yang berlawanan sebagaimana disediakan oleh para sarjana Islam sendiri. Bagi sementara sarjana Islam, yang keinginannya membantah persepsi orientalis sudah bergeser menjadi penolakan, perilaku mengagungkan Islam sudah menjadi semacam apologi sampai meraih titik di mana mereka menginginkan bahwa apapun yang didapatkan diluat batasan orang-orang Islam niscaya memiliki batas-batas dalam diri mereka, seperti : gagasan intelektual, pengalaman-pengalaman politik, konsep-konsep dan penemuan ilmiah. Baik hak-hak insan maupun kodifikasi kemanusian bukanlah ialah pengecualian bagi para pemikir Muslim, yang dengan segara mampu memberikan bahwa, walaupun gres saja dilembagakan hak-hak insan dan kodifikasi kemanusian tersebut, hal-hal seperti ini bahkan sudah dilakukan pada zaman permulaan Muhammad Saw.3
Menurut pandang sarjana Muslim ainnya, sejarah Islam bukan saja rangkaian kejadian yang tak mampu dipisahkan (ialah terdapat sebuah kemajuan historis tunggal yang memiliki kaitan dengan semua masyarakat yang memiliki agama sama).
Namun demikian negara-negara terbaru sampaumur ini tidak memiliki kesamaan dengan penduduk kecil dalam menyaksikan faktor yang diharapkan penduduk dalam tatanan kebutuhan yang primer. Malah mereka memakai penduduk kecil selaku kerikil loncatan semoga populer dan berkuasa. Islam semenjak dini telah menyaksikan aspek yang fundamental tersebut dalam kaitan hak-hak insan.
Dari beberapa literatur, dapatlah disimpulkan bahwa hak-hak asasi manusia yaitu sebuah tanggung jawab yang telah ada sejak insan lahir atau dengan kata lain hak dasar yang dimiliki insan. Hak tersebut tergolong dalam katagori kebebasan dan kemerdekaan. Yang mencakup hak hidup, hak mendapatkan sesuatu, kebebasan bersikap tanpa ada yang menghalangi. Dalam Islam hak asasi ini mesti sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian yang selaran dan seimbang, tanpa menyaksikan perbedaan di kalangan penduduk sosial meskipun di sana-sini masih ada. Al-qur’an dan sunnah merupan cerminan hak asasi insan yang up to date
D. Deskripsi Hak Asasi Manusia Menurut Deklarasi Hak Universal PBB
Pollis dan Schwab menyimpulkan dalam esai mereka, “Hak Azasi Manusia : Suatu konstruksi Barat dengan keberlakuan yang terbatas dengan penonjolan keberatan yang biasa terhadap etnosentrisme.4 Sayangnya tidak cuma hak-hak azasi manusia yang diajukan dalam Deklarasi Universal yang diprakarsai sebagai bias barat yang kaut, melainan ada kecenderungan untuk menatap hak tersebut secara ahistoris dan dipisahkan begitu saja dari konteks lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.5
Kritik seperti itu sering ditujukan pada pernyataan-pernyataan perihal hak-hak pribadi, hiburan, status, persetujuanperkawinan, bentuk-bentuk hukuman, dan beberapa jaminan politik dan perdata, seperti mekanisme-prosedur pemilihan yang dimuat dalam beberapa dokumen hak-hak azasi manusia yang diakui secara internasional. Kecaman tersebut merupakan manifestasi dari budaya yang terlalu sempit dan pengalaman sejarah dalam hal-hal tertentu saja. Tudingan lain muncul sebab adanya tuduhan serius dan menantang. Para pembela hak-hak asasi manusia perlu menghadapi secara jujur dan menanggapinya secara teliti dan seksama. Apakah semua hak yang diangkut dalam dokumen-dokumen itu sama-sama mengikat siapa saja dimanapun, atau berapakah hak yang tunduk pada kebijaksaan kultural dan nasional, dan sejauhmana kebijaksaan tersebut diaplikasikan, mungkinkah masing-masing pemerintah dan budaya menentukan dengan sederhana di antara daftar-daftar hak dalam hak-hak manusia, dan memilih hak-hak mana yang mengikat dan tidak, singkatnya dari sejumlah kendala itu, apakah ukuran tolok ukur dari pemerintah dan budaya, atau pemerintahan dan budaya yang ialah barometer hak azasi insan?.
Fenomena demikian merupakan duduk perkara-masalah besar yang mengagetkan. Persoalan itu juga mewarnai teori budbahasa, aturan, politik dan ekonomi, tergolong studi etika perbandingan. Penulis tidak mengawali dan memperlihatkan jawaban yang komprehensif, dan bahkan tidak ragu kepada argumentasi tanggapan dari pakar-pakar hak azasi manusia selama rasional dengan tidak mengeyampingkan sikap hormat terhadap refleksi dilema hak azasi manusia.
Sejumlah keberatan umat Islam untuk pertama kalinya tercatat pada tahun 1948, selama pembahasan sekitar Pasal 18 Deklarasi Universal yang dinyatakan: “Setiap orang mempunyai hak keleluasaan berpikir, nurani, dan agama; hak ini termasuk keleluasaan untuk merubah agama dan kenyakinan, dan keleluasaan, baik sendiri atau dalam penduduk lainnya, baik dalam persoalan publik atau privaat dalam mengungkapkan anutan, praktek, ibadah dan ketaatan agama atau keyakinannya dalam pengajaran”6 Dalam tanggapannya, sejumlah negara Islam (khususnya Arab Saudi) berupaya untuk meniadakan pasal tersebut. Dan dari dalih pasal itu, mereka memberikan kambing hitam yang lain– Libanon, misalnya-untuk mendukung pernyataan Saudi tersebut, mereka berpendapat bahwa hak-hak kaum Muslim Libanon akan rusak oleh kata-kata dalam pasal itu.
Keberatan-keberatan yang serupa diajukan oleh beberapa negara kepada pasal itu yang lebih rinci dari model kebebasan agama yang diangkut dalam naskah Konsep Kovenan Internasional perihal Hak-hak Sipil dan Politik, yang belakangan disetujui dan dinyatakan bahwa: “Tak seorangpun boleh tunduk pada paksaan yang akan menghancurkan keleluasaan untuk menganut agama atau kenyakinan yang menjadi pilihannya” (Pasal 18 ayat 2). Dan pasal 26 Kovenan itu menambahkan ketentuan baru lain yang menjamin dukungan hukum yang sama kepada bentuk deskriminasi atas dasar apapun seperti ras, jenis kelamin, agama dan sebagainya.
Pembahasan sekitar Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan titik pangkal yang unik terhadap penelitian mengenai Islam dan kebebasan agama. Hal ini bersifat diskusi Internasional, dan sebab pasal-pasal tertentu dari Deklarasi itu mengarah pada problem-masalah yang berkaitan dengan keleluasaan agama secara langsung-khususnya pasal 18, yang memperlihatkan hak tehadap kebebasan nurani dalan menentukan dan mempraktekkan dogma agama, termasuk hak untuk pindah agama. Persoalan ini merupakan ketetapan yang paling mengakibatkan pertikaian antara negara-negara Islam Saudi Arabia dan Pakistan.7
E. Fenomena Sosial Dalam Tatanan Hak Asasi Manusia Secara Global
Melindungi Hak Asasi Manusia secara umum dikuasai dan minoritas di atas permukaan bumi harus dipertahankan. Alasannya yang cukup berpengaruh, struktur kekuasaan tata dunia gres sangat tidak sebanding. Kekuasaan politik, militer, ekonomi, teknologi dan budaya berada di tangan elite. Tata dunia baru bantu-membantu hanyalah slogan, kata-kata jebakan yang diciptakan untuk melanggengkan contoh dominasi dan kontrol Barat yang satu atau lain bentuk, dimana sudah bercokol selama hampir sepanjang dua ratus tahun terakhir. Karena tujuan utamanya ialah untuk melayani kepentingan yang berkuasa, dunia akan terus menyangkal dan mencabut kemanusiaan dari hak-haknya. Ketika sebuah metode diorientasikan kepada yang berpengaruh atau yang memiliki hak istemewa, maka hak orang akan lazimberada dalam bahaya. Ini adalah fakta yang terjadi beberapa kali pada tingkat negara-kebangsaan. Betapapun komprehensipnya hak yang dijanjikan terhadap rakyat dalam konstitusi sebuah negara, realisasi aktualnya tergantung pada sejauhmana struktur kekuasaan yang terdapat dalam penduduk tersebut melaksanakannya. Apabila kekuasaan terdistribusi secara merata, amat boleh jadi warga negara akan menikmati hak-hak yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, bila kekuasaan terpusat pada level elite masyarakat, maka hak azasi insan lebih memungkinkan untuk dilanggar dibandingkan dengan ditaati. Disamping itu, tidak seperti banyak negara sekarang ini yang mematuhi sejumlah kecil amanat akibat dari politik perwakilan, tata cara global tidak memiliki tanggung jawab kepada ras manusia. Lembaga-forum kekuasaan yang mendominasi tata cara global tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Apartheid global bukan cuma menganugerahkan kekuasaan dan kekayaan terhadap minoritas istemewa melainkan juga menjamin bahwa mereka yang memegang kontrol (control) akan mampu menjaga dan melanggengkan posisi mereka lewat hukum, institusi, dan nilai yang cocok dengan kepentingannya. Sebagian bahkan berpendapat bahwa seperti apartheid konvensional, terdapat pula unsur rasis yang lembut tetapi kuat dalam apartheid global.
Ketika kita menyaksikan hak asasi manusia dipermainkan dengan hal-hal yang dianggap legal, kita tidak menyadari bahwa sehabis kebijakan yang dipraktekkan berlawanan dengan apa yang sudah diformulasikan, kepentingan demi kepentingan merupan aspek yang sangan mayoritas terjadi dalam kasus-perkara pelanggaran hak asasi manusia akil balig cukup akal ini. Era modern sebagai wadah yang cukup signifikan terjadi tanda-tanda sosial penduduk baik itu dari individu hingga forum yang kompeten sekalipun. Indonesia sendiri yang 60 tahun merdeka, sudah banyak meyepelekan hak yang ada pada manusia, baik secara halus maupun jelas-terangan. Banyaknya korban HAM yang rela mengorbankan sesuatu untuk ibu pertiwi ini, tetapi apa yang mereka peroleh sesudah darah, jiwa, air mata serta kepedihan dipertaruhkan. Kesengsaraan dan kegetiran hidup selalu menjadi fenomena sosial yang kerap kita lihat dimana-mana lewat media-media atau di lapangan. Masyarakat kita kurang tersentuh hatinya saat melihat masalah orang lain, akan namun kalau persoalan tersebut ada sangkut pautnya dengan keluarganya baik secara hubungan, maka ia akan berontak dan langsung sadar apa yang mesti dijalankan, tanpa memekirkan akabat yang akan terjadi belakangan. Pelanggaran HAM di dunia Barat siapa yang mampu menghentikannya, pembantaian massal kaum Muslim Bosnia-Herzigovina siapa yang bertanggung jawab, pelanggaran HAM di Indonesia siapa yang mesti dikambing hitamkan. Lembaga peradilan yang kompeten sekalipun tidak akan mampu secara jujur mengungkapkan kejahatan-kejahatan tersebut. Dugaan tak bersalah merupakan senjata ampuh untuk memperdaya masyakat yang awam akan hakekat dimensi aturan dan keadilan yang terselubung itu. Menanti terus menanti merupakan sebuah kemunafikan yang serupa membuat persepsi kita berpaling untuk memdapatkan kebenaran dan keadilan. Stratifikasi sosial salah satu andil masyarakat kita melihat sesuatu dilema, disinilah letak kebobrokan hukum negara kita.
Konflik yang terjadi dilingkungan kita disebabkan oleh banyak sekali ketidak puasaan yang dikerjakan sekelompok orang yang iri kepada kesenangan orang lain, pembunuhan, perkosaan, pencurian dan beberbagai penyelewengan bagaian kecil dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Dengan demikian pertentangan itu sungguh terperinci. Pasal-pasal wacana kebebasan agama dan nurani dalam berbagai dokumen hak asasi manusia nampak berbenturan, hal-hal yang penting dari banyak masalah yang telah ditetapkan dan fatwa Islam yang resmi wacana pemberlakuan terhadap orang-orang murtad dan orang-orang non Islam yang dilindungi. Ada sedikitnya empat strategi yang mungkin bisa kita gunakan dalam menghadapi konflik tersebut :
Kita dapat saja mendukung ditariknya kembali semua pernyataan yang mendukung kebebasan beragama dan nurani (atau barangkali kita mampu menyempurnakannya dengan tujuan yang serupa, dengan cara menulis kembali pernyataan-pernyataan itu dengan maksud supaya tidak berbahaya). Banyak masalah dengan jawaban mirip ini. Apakah semua pernyataan hak azasi insan harus ditarik kembali atau dikebiri kapan saja dikala berhadapan dengan oposisi. Akan tetapi lebih tepat lagi, bantu-membantu ada sedikit dalam masyarakat internasional, bahkan di kalangan orang-orang Islam, dalam mengambilangkah-langkah radikalsemacam itu. Orang-orang Islam, seperti halnya lainnya, tampaknya bisa saja mendapatkan status hak azasi insan tentang keleluasaan dan nurani, sepanjang hak-hak itu dibatasi sebagaimana mestinya sesuai dengan pedoman tradisional.
Kita dapat mencoba untuk membantah bahwa ketaatan kepada pernyataan-pernyataan keleluasaan agama yang ada memerlukan perizinan negara-negara Muslim, gotong royong dengan setiap orang yang selain Muslim, kebijaksanaa untuk menghalangi toleransi agama dan batas-batasnya dengan cara apa saja yang mereka tentukan. Maka kita akan mengizinkan hak-hak orang Islam mengikutu hati nurani mereka sendiri, dan oleh alasannya adalah itu, langkah-langkah terhadap hak kebebasan agama mereka dijamin secara internasional. Ada dua duduk perkara di sini. Pertama ialah dengan membiarkan semua pandangan yang sangat tidak toleran, akan menghasilkan kecerdikan yang sebaliknya, utamanya saat perilaku tidak toleran mengarah pada akidah doktrin tertentu yang dapat dilakukan. Kedua yakni adanya fakta bahwa pernyataan-pernyataan tentang hak keleluasaan agama yang ada secara eksplisit meliputi larangan-larangan yang bertentangan dengan kebijakan-kebijakan Islam tertentu.
Kita mampu berpegang teguh pada pernyataan ihwal hak kebebasan agama yang ada dan mencoba untuk menetapkannya secara internasional dengan menggunakan perangkat-perangkat yang sama seperti dilaksanakan PBB umpamanya, dari waktu ke waktu telah melakukan upaya memperkuat hak-hak politik, ekonomi, sosial dan hak-hak penduduk lainnya. Di samping itu, tanpa ada kesepakatan bahwa sebuah doktrin dengan kebebasan agama memerlukan toleransi kepercayaan apapun, bahkan iktikad-iman yang memaksa sikap intoleran, betul-betul memberikan bahwa perbedaan-perbedaan kultural tentang problem ini menciptakan kerumitan-kerepotan dan kebingungan bagi para penunjang HAM yang tidak tercantum berkenaan dengan pelangaran-pelangaran yang lebih populer, mirip penganiyaan yang bergairah terhadap para tahanan, lawan politik dan lain sebagainya.
Kita dapat mengatakan perdebatan kontemporer antara orang-orang Barat dan orang-orang Islam ihwal keleluasaan agama dan nurani sebagai potensi untuk menimbang-nimbang dasar-dasar dan sifat dari sebuah dogma tentang keleluasaan tersebut baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Jika dengan cermat, dievalusi secara kritis, pertentangan antara pandangan Barat dan Islam mengenai sesuatu yang sedemikian penting dan fundamental, seperti hak kebebasab dalam beragama dan nurani menjadi lebih konsisten dari yang diduga, memiliki banyak argumentasi untuk mulai menyerukan “ penerapan yang tanpa batas”8 dari Deklarasi Hak Munusia, sebagaimana disangka banyak orang.
F. Persoalan Rakyat : Status dan Hak-Haknya
Menurut al- Maududi,9 fatwa Islam meliputi metode anutan dan fatwa tingkah laris insan dan bermaksud untuk mendirikan negara berlandaskan Ideologi Islam sendiri. Untuk itu Islam membagi dua tipe kewarganegaraan : Muslim dan Dzimmi.
Dalam hal ini, kata al- Maududi, secara terus terperinci dan jujur membedakan warganya secara jelas dalam struktur politiknya, tanpa bersembunyi dibalik hiasan kata-kata belaka. Misalnya sebagaimana yang banyak dilaksanakan oleh negara-negara yang di atas kertas menjamin persamaan hak antara warga negaranya, tetapi dalam kenyataannya, sepanjang masa mempraktekkan diskriminasi kepada sejumlah penting warga negaranya. Ini dapat disaksikan contohnya dalam perlakuan tehadap kaum Negro (penduduk kulit hitam) di Amerika Serikat atau perlakuan terhadap orang-orang non komunis di Rusia.
Dalam kenyataannya, kata al- Maududi10, semua negara terbaru kini terdapat perlakuan yang semacam itu dalam berbagai tingkatannya. Dalam hal ini aliran Islam menempuh jalan paling rasional, adil dan terhormat. Jalan tersebut bagi al- Maududi bahwa sejak permulaan dan terperinci-terangan anutan Islam mengklasifikasikan dua lapisan warga negara menurut ukuran agama : Islam dan non-Islam.
Di atas setiap pundak warga negara Muslim terletak kewajiban untuk menyelenggarakan seluruh aliran Islam. Merekalah yang memikul keharusan untuk melaksanakan aturan-hukumnya dan secara bersama-sama untuk mewujudkan fatwa Islam dalam bidang keagamaan, susila, kebudayaan dan politik. Islam meletakkan itu semua pada mereka dan meminta pengorbanan mereka dalam segala bentuknya supaya mampu mempertahankan pemikiran tersebut.
Di sisi lain, praktek perkawinan kepada sesama TKI di luar negari menjadi sebuah kajian aturan mengenai status anak yang dlahirkan tersebut baik itu ihwal status kewarganegaraan maupun aspek-faktor yang timbul di lalu hari.11 Status buruh yang melakukan pekerjaan diluar negeripun kian gencar-gencarnya diperjuangkan biar kepastian hukum kita seimbang dengan aturan negara lain.
G. Penutup
Akhir tamat ini problem Hak Manusia kembali mencuat ke permukaan dan banyak dibicarakan di mana-mana. Ini menunjukan bahwa manusia sedang menuju kepada pemahaman jati dirinya sendiri, Hak-hak asasi insan menginginkan adanya keleluasaan atau kemerdekan. Di dikala masyarakat dunia sedang bingung menghadapi terpaan arus globalisasi dan modernisasi, penegakan HAM itu sendiri ditenggarai selaku bab dari proses demokratisasi, khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Islam jauh hari sudah menciptakan sebuah legitimasi aturan yang kuat ihwal hak-hak individu insan, sejak dari alam rahim sampai mampu berinteraksi sesamanya. Hak untuk beragama dan berkeyakinan merupakan hak mutlak setiap insan dalam mengerti dan melakukan ajarannya.
Pelanggaran HAM akil balig cukup akal ini kerena ada aneka macam kepentingan dari kebijakan penguasa yang kurang meperhatikan aspek-faktor nilai yang berkembang dalam masyarakat, banyak perkara-kasus pencemaran nama baik, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan kreativitas dalam berkreasi menjadi problem HAM semakin kompleks. Ajaran Islam dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi penyelesaian alternatif. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comKetika manusia lahir ke muka bumi, jeritan dibarengi tangisan menghiasi perjalanan hidup insan, hal ini mengambarkan bahwa setiap individu sudah mencicipi secara naluri bagaimana hak dan kewajibannya dikala lahir. Penyelewengan, penipuan, pembunuhan karakter dan sebagainya sudah mewarnai kehidupan yang dimiliki insan itu sendiri.
Hak manusia secara sederhana ialah sesuatu proses atau metode yang sudah terdapat dalam diri insan, dan untuk merealisasikannya diperlukan suatu acuan yang akurat dan jitu agar hak-hak tersebut dapat berlangsung sesuai dengan fitrah dan kodratnya masing-masing. Katagori hak manusia akil balig cukup akal ini senantiasa diartikan sempit, padahal banyak pakar yang berkomentar luwes wacana hal tersebut. Islam mendukung sepenuhnya keberadaan hak anak manusia mulai dari penciptaan hingga kematiannya. Pembodohan hak inilah akan menjadikan secercah fenomena sosial masyarakat kita, ketika diaplikasikan.
Dalam mendeskripsikan hak azasi manusia, penulis membuat sebuah stressing yang dianggap pantas untuk dibahas dalam paparan makalah ini, antara lain : Lahirnya Deklarasi universal Hak-hak asasi insan, Hak dalam persepsi Islam, Deskripsi Hak Manusia berdasarkan Deklarasi PBB, Fenomena sosial dalam tatanan Hak Manusia secara global, Persoalan rakyat menyangkut status dan hak-haknya.
B. Lahirnya Deklarasi Universal Hak-Hak Manusia
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah menegaskan akan perlunya memelihara perdamaian dan keamanan dunia, memastikan pula ihwal pentingnya bangsa-bangsa di dunia ini untuk mengamati wacana hak-hak insan, martabat dan kehormatan individu, kesamaan hak-hak manusia baik laki-laki maupun wanita, juga perlakuan negara-nagara besar kepada yang kecil secara wajar.
Tujuan utama dari Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut yaitu untuk merealisasikan kerjasama internasional dalam menanggulangi problem-duduk perkara dunia di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan dan kemanusiaan serta untuk menghormati hak-hak seluruh umat insan dan mendukung ke arah itu secara mutlak tanpa membeda-bedakan bangsa, bahasa, agama dan juga tanpa membeda-bedakan laki-laki ataupun wanita.
Meskipun Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui adanya lebih dulu fenomena yang dikenal sebagai hak-hak insan, namun piagam tersebut tidak merinci dan tidak memuat daftar hak-hak insan yang harus dihormati, dan juga tidak mengacu pada suatu sumber yang menyebutkan secara tepat hak-hak yang perlu dihormati itu. Pada waktu perumusan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dirancang, pernah ada beberapa undangan dari beberapa negara semoga dicantumkan daftar hak-hak beberapa negara. Namun demikian , Perserikatan Bangsa-Bangsa menatap, perlu untuk menyusun sebuah Bill of Rights International dalam waktu setahun setelah piagam itu diberlakukan.
Tugas menyusun Bill of Rights international sebagaimana tersebut di atas, diserahkan kepada Commision of Human Rights (Komisi Hak Asasi Manusia) yang merupakan aparat dari Economic and Sosial Council (ECOSOC). Komisi ini bertugas menciptakan rincian perihal hak-hak asasi yang harus dihormati oleh setiap manusia di wajah bumi ini, di samping itu komisi ini juga diberi wewenang untuk menyiapkan desain program internasional wacana hak-hak asasi manusia dalam piagam PBB, dan memberikan klarifikasi kesepakatan tentang hak-hak sipil, kedudukan wanita, larangan diskriminasi yang didasarkan terhadap ras, bangsa, bahasa dan agama.
Komisi Hak Asasi Manusia sudah bersidang dan membentuk beberapa komisi berdasarkan peran yang diberikan kepadanya. Setelah lewat perdebatan yang panjang maka lahirlah “Universal Declaratiaon of Human Rights” atau disebut Deklarasi Internasional wacana hak-hak asasi manusia, ditetapkan pada sidang dan menetapkannya pula atas dasar kesepakatan anggota-anggotanya, kecuali empat negara absen. Akhirnya pada tanggal 10 Desember 1948, Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan rancangan deklarasi universal wacana hak-hak asasi manusia dalam sidangnya di Paris. Kemudian pada hari berikutnya sidang UNESCO menyetujui pula seluruh isi deklarasi tersebut.
Deklarasi universal perihal hak-hak asasi insan di dalam bentuknya yang terakhir menampung daftar hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosioal dan budaya yang menjadi hak siapa saja tanpa terkecuali. Deklarasi ini sama sekali tidak memuat forum atau mekanisme yang mau menjamin diindahkannya hak-hak itu. Pada mula disahkan deklarasi tersebut, semua meteri yang ada dalam bentuk mengikat secara non aturan, tetapi dalam prakteknya di kemuduan hari sudah menggantinya menjadi suatu alat yang mempunyai kekuatan yuridis, meskipun status hukumnya masih terjadi pro dan kontra.
Meskipun banyak kesulitan yang dijumpai PBB dalam upaya memantapkan tata cara universal untuk melindungi hak asasi insan, namun PBB sudah berbuat banyak guna menangani duduk perkara ini secara khusus. Lebih dari 50 perangkat hak-hak asasi insan yang telah dirundingkan di bawah pengawasan PBB. Sebagian besar dirancang oleh kelompok kerja dari komisi PBB perihal hak-hak asasi insan (badan yang berada di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial). Adapun yang paling baru yaitu Konvensi perihal hak-hak anak yang dicetuskan oleh komisi permulaan 1989.
Teori sosial sering meningkat lebih pesat dari prakteknya. Akan namun sering pula teori itu tertinggal jauh ke belakang. Keadaan yang mendesak dan potensi pengalaman menimbulkan balasan-jawaban yang tampaknya dapat dan dibutuhkan jauh sebelum kita mampu membenarkan mereka. Ini terutama terlihat pada gerakan-gerakan untuk hak-hak insan. Meskipun kesadaran tentang pentingnya HAM semakin berkembang dan meningkat luas, dan gerakan-gerakan serta alasannya adalah-alasannya yang menyuarakan HAM ataupun hak-hak yang lain menjadi bermacam-macam-ragam, kurang literatur teoritis di bidang ini masih dirasakan, bila daripada literarur lain yang bertemakan filsafat. Literarur yang sekarang ada, masih sungguh sementara sifatnya dan membingungkan, dan adakala ialah kesangsian dalam menatap hakikat, realitas, serta apa yang disebut dasar-dasar hak-hak manusia.
Namun demikian, permintaan atas hak-hak manusia itu terus berlangsung. Sebagaimana jerit tangis untuk mencari keadilan dalam makna apapun, Tuntutan-permintaan itu bermuara dari adanya rasa stress dan kekecewaan yang turut mendorong keputusan bahwa segala sesuatu, dan memang semestinya menjadi lebih baik dari kondisi sekarang. Semakin luasnya permintaan tersebut nampaknya bukan dipengaruhi oleh kesusahan dalam analisis matematika. Atau realisasinya tidak bergantung pada hal-hal semacam itu melainkan kuat pada kekuasaan yang relatif dari orang-orang yang mendukung atau yang menentang tuntutan-permintaan ini.
Konsekuensi yang terpenting dari kesangsian perihal kesahihan dari teori manapun perihal HAM ialah kecenderungan yang mendorong kita untuk melihat teori itu sekadar sebagai topeng ideologi dari korelasi-kekerabatan kekuasaan belaka. Sejumlah alasan telah diberikan untuk membenarkan penolakan bahwa hak-hak manusia itu ada atau mampu kita ketahui keberadaannya. Alasan-argumentasi tersebut antara lain :
Kadang era orang memiliki persepsi bahwa HAM tidak pernah ada karena tidak ada hal-hal mirip itu selaku hak-hak watak secara keseluruhan. Dan ini artinya bahwa kita tidak akan pernah bisa memperlihatkan landasan-landasan yang otentik dan obyektif untuk keputusan sopan santun apapun.
Kadang-kadang orang berpendapat bahwa tidak ada HAM di dalam tata cara sopan santun manapun, kecuali jikalau hak tersebut ditafsirkan secara muthlak, tak bersyarat, atau tidak dapat dipisahkan. Pandangan ini tersirat dalam beberapa pakar hukum yang berpikiran liberal. Asumsi ini tidak mengandung pemahaman apa-apa dalam ungkapan yang digunakan, kecuali atas dasar fikiran bahwa hanya ada satu hak yang muthlak atau jikalau adapun lebih dari satu, bahwa kita mampu menawarkan alasan yang berpengaruh untuk mempercayai bahwa semua HAM dapat selaras satu sama lain dan dalam kondisi yang tak mampu diperkirakan atau dipercaya hak-hak tersebut akan saling bertentangan.
Perbedaan yang terang antara kewajiban dan hak prima facie,1 kemudian keharusan dan hak muthlak sepertinya ialah sebuah analisis yang sudah memadai kepada dilema yang kita hadapi. Semua hak manusia mempunyai validitas prima facie di dalam suasana di mana hak tersebut berkaitan, namun hak-hak itu tidak secara muthlak dan niscaya mengikat tingkah laku dalam setiap kasus khusus apapun, walaupun hak-hak itu mesti dipertimbangan. Kita tidak mampu menyampaikan hak yang mana secara niscaya mengikat, alasannya adalah kita tidak dapat mengenali mana yang lebih dahulu sebuah hak berlawanan dengan hak lain. Di sisi lain konsekuensi-konsekuensi ketaatan dan pelanggaran terhadap hak dan keharusan demikian kompleks dalam tatanan bobot yang tidak stabil dan tidak konstan, sehingga tidak ada hirarki yang dapat ditegakkan sebelumnya untuk membimbing kita untuk masuk ke semua lini suasana yang konstruktif.
3. Sumber kesangsian lainnya ihwal HAM timbul oleh alasannya adanya perbedaan-perbedaan dalam daftar hak insan, sebagaimana hal itu terlihat dalam banyak sekali deklarasi hak-hak manusia. Keberatan ini menawarkan kesalahan desain yang amat besar perihal tujuan atau kegunaan penempatan hak-hak semacam itu. Daftar tersebut tidak terlepas dari efek historis-fungsional. Upaya apapun untuk menyebutkan hak-hak manusia satu persatu memberikan referensi sejarah.2
C. Hak-Hak Asasi Dalam Pandangan Islam
Berbicara perihal hak-hak manusia dalam Islam secara pribadi, kita lantas berpikir mengenai metodologi yang dipakai dalam menyingkapi persolaan yang terjadi. Masalah utama yang yang dihadapi berasal dari pendekatan orientalis, oleh para analis beropini bahwa jika Barat dan Islam dihadapkan dalam polemik hak insan, maka mereka mengambil budaya dan norma-norma mereka sebagai tumpuan dan membuatnya selaku modal dalam memperbandingkan peradaban dan tatanan lain. Parameter tabiat, aturan, politik yang dibuat selaku tujuan santunan penghargaan kepada Islam disusun dengan bentuk-bentuk istemewa yang mencurigai.
Sarjana Barat jarang mengunakan agama Kristen sebagai titik tolak untuk menjelaskan pertumbuhan-perkebangan yang berlaku di Eropa beberapa dekade yang lalu. Namun dalam menerangkan peristiwa-kejadian di negara-negara Muslim, mereka condong dan nyaris selalu memakai istilah-istilah keagamaan. Menjadikan Islam selaku dalih atau penyebab tradisionalisme di satu sisi, atau revolusi di segi lain, merupakan kecenderungan yang telah berlangsung dan sudah mencapai puncaknya sejak jatuhnya rezim Syah di Iran. Kita cenderung beropini bahwa doktrin dan praktek-praktek keagamaan, tradisi dan hal-hal lain dinilai tabu tidak dapatdianggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi di dunia Islam kini. Sebenarnya ketimbang menyaksikan Islam sebagai kesatuan yang independen dari satu hakikat gaib, lebih baik menatap kita menatap negara, pemerintahan atau masyarakat Islam selaku satu unsur kekuasan yang solid tentang soasial-politik dengan pergantian dengan aneka macam rezim politik, gaya kognitif dan tata cara ekonomi yang berlawanan.
Masalah kedua berasal dari interpretasi yang berlawanan sebagaimana disediakan oleh para sarjana Islam sendiri. Bagi sementara sarjana Islam, yang keinginannya membantah persepsi orientalis sudah bergeser menjadi penolakan, perilaku mengagungkan Islam sudah menjadi semacam apologi sampai meraih titik di mana mereka menginginkan bahwa apapun yang didapatkan diluat batasan orang-orang Islam niscaya memiliki batas-batas dalam diri mereka, seperti : gagasan intelektual, pengalaman-pengalaman politik, konsep-konsep dan penemuan ilmiah. Baik hak-hak insan maupun kodifikasi kemanusian bukanlah ialah pengecualian bagi para pemikir Muslim, yang dengan segara mampu memberikan bahwa, walaupun gres saja dilembagakan hak-hak insan dan kodifikasi kemanusian tersebut, hal-hal seperti ini bahkan sudah dilakukan pada zaman permulaan Muhammad Saw.3
Menurut pandang sarjana Muslim ainnya, sejarah Islam bukan saja rangkaian kejadian yang tak mampu dipisahkan (ialah terdapat sebuah kemajuan historis tunggal yang memiliki kaitan dengan semua masyarakat yang memiliki agama sama).
Namun demikian negara-negara terbaru sampaumur ini tidak memiliki kesamaan dengan penduduk kecil dalam menyaksikan faktor yang diharapkan penduduk dalam tatanan kebutuhan yang primer. Malah mereka memakai penduduk kecil selaku kerikil loncatan semoga populer dan berkuasa. Islam semenjak dini telah menyaksikan aspek yang fundamental tersebut dalam kaitan hak-hak insan.
Dari beberapa literatur, dapatlah disimpulkan bahwa hak-hak asasi manusia yaitu sebuah tanggung jawab yang telah ada sejak insan lahir atau dengan kata lain hak dasar yang dimiliki insan. Hak tersebut tergolong dalam katagori kebebasan dan kemerdekaan. Yang mencakup hak hidup, hak mendapatkan sesuatu, kebebasan bersikap tanpa ada yang menghalangi. Dalam Islam hak asasi ini mesti sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian yang selaran dan seimbang, tanpa menyaksikan perbedaan di kalangan penduduk sosial meskipun di sana-sini masih ada. Al-qur’an dan sunnah merupan cerminan hak asasi insan yang up to date
D. Deskripsi Hak Asasi Manusia Menurut Deklarasi Hak Universal PBB
Pollis dan Schwab menyimpulkan dalam esai mereka, “Hak Azasi Manusia : Suatu konstruksi Barat dengan keberlakuan yang terbatas dengan penonjolan keberatan yang biasa terhadap etnosentrisme.4 Sayangnya tidak cuma hak-hak azasi manusia yang diajukan dalam Deklarasi Universal yang diprakarsai sebagai bias barat yang kaut, melainan ada kecenderungan untuk menatap hak tersebut secara ahistoris dan dipisahkan begitu saja dari konteks lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.5
Kritik seperti itu sering ditujukan pada pernyataan-pernyataan perihal hak-hak pribadi, hiburan, status, persetujuanperkawinan, bentuk-bentuk hukuman, dan beberapa jaminan politik dan perdata, seperti mekanisme-prosedur pemilihan yang dimuat dalam beberapa dokumen hak-hak azasi manusia yang diakui secara internasional. Kecaman tersebut merupakan manifestasi dari budaya yang terlalu sempit dan pengalaman sejarah dalam hal-hal tertentu saja. Tudingan lain muncul sebab adanya tuduhan serius dan menantang. Para pembela hak-hak asasi manusia perlu menghadapi secara jujur dan menanggapinya secara teliti dan seksama. Apakah semua hak yang diangkut dalam dokumen-dokumen itu sama-sama mengikat siapa saja dimanapun, atau berapakah hak yang tunduk pada kebijaksaan kultural dan nasional, dan sejauhmana kebijaksaan tersebut diaplikasikan, mungkinkah masing-masing pemerintah dan budaya menentukan dengan sederhana di antara daftar-daftar hak dalam hak-hak manusia, dan memilih hak-hak mana yang mengikat dan tidak, singkatnya dari sejumlah kendala itu, apakah ukuran tolok ukur dari pemerintah dan budaya, atau pemerintahan dan budaya yang ialah barometer hak azasi insan?.
Fenomena demikian merupakan duduk perkara-masalah besar yang mengagetkan. Persoalan itu juga mewarnai teori budbahasa, aturan, politik dan ekonomi, tergolong studi etika perbandingan. Penulis tidak mengawali dan memperlihatkan jawaban yang komprehensif, dan bahkan tidak ragu kepada argumentasi tanggapan dari pakar-pakar hak azasi manusia selama rasional dengan tidak mengeyampingkan sikap hormat terhadap refleksi dilema hak azasi manusia.
Sejumlah keberatan umat Islam untuk pertama kalinya tercatat pada tahun 1948, selama pembahasan sekitar Pasal 18 Deklarasi Universal yang dinyatakan: “Setiap orang mempunyai hak keleluasaan berpikir, nurani, dan agama; hak ini termasuk keleluasaan untuk merubah agama dan kenyakinan, dan keleluasaan, baik sendiri atau dalam penduduk lainnya, baik dalam persoalan publik atau privaat dalam mengungkapkan anutan, praktek, ibadah dan ketaatan agama atau keyakinannya dalam pengajaran”6 Dalam tanggapannya, sejumlah negara Islam (khususnya Arab Saudi) berupaya untuk meniadakan pasal tersebut. Dan dari dalih pasal itu, mereka memberikan kambing hitam yang lain– Libanon, misalnya-untuk mendukung pernyataan Saudi tersebut, mereka berpendapat bahwa hak-hak kaum Muslim Libanon akan rusak oleh kata-kata dalam pasal itu.
Keberatan-keberatan yang serupa diajukan oleh beberapa negara kepada pasal itu yang lebih rinci dari model kebebasan agama yang diangkut dalam naskah Konsep Kovenan Internasional perihal Hak-hak Sipil dan Politik, yang belakangan disetujui dan dinyatakan bahwa: “Tak seorangpun boleh tunduk pada paksaan yang akan menghancurkan keleluasaan untuk menganut agama atau kenyakinan yang menjadi pilihannya” (Pasal 18 ayat 2). Dan pasal 26 Kovenan itu menambahkan ketentuan baru lain yang menjamin dukungan hukum yang sama kepada bentuk deskriminasi atas dasar apapun seperti ras, jenis kelamin, agama dan sebagainya.
Pembahasan sekitar Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia di Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan titik pangkal yang unik terhadap penelitian mengenai Islam dan kebebasan agama. Hal ini bersifat diskusi Internasional, dan sebab pasal-pasal tertentu dari Deklarasi itu mengarah pada problem-masalah yang berkaitan dengan keleluasaan agama secara langsung-khususnya pasal 18, yang memperlihatkan hak tehadap kebebasan nurani dalan menentukan dan mempraktekkan dogma agama, termasuk hak untuk pindah agama. Persoalan ini merupakan ketetapan yang paling mengakibatkan pertikaian antara negara-negara Islam Saudi Arabia dan Pakistan.7
E. Fenomena Sosial Dalam Tatanan Hak Asasi Manusia Secara Global
Melindungi Hak Asasi Manusia secara umum dikuasai dan minoritas di atas permukaan bumi harus dipertahankan. Alasannya yang cukup berpengaruh, struktur kekuasaan tata dunia gres sangat tidak sebanding. Kekuasaan politik, militer, ekonomi, teknologi dan budaya berada di tangan elite. Tata dunia baru bantu-membantu hanyalah slogan, kata-kata jebakan yang diciptakan untuk melanggengkan contoh dominasi dan kontrol Barat yang satu atau lain bentuk, dimana sudah bercokol selama hampir sepanjang dua ratus tahun terakhir. Karena tujuan utamanya ialah untuk melayani kepentingan yang berkuasa, dunia akan terus menyangkal dan mencabut kemanusiaan dari hak-haknya. Ketika sebuah metode diorientasikan kepada yang berpengaruh atau yang memiliki hak istemewa, maka hak orang akan lazimberada dalam bahaya. Ini adalah fakta yang terjadi beberapa kali pada tingkat negara-kebangsaan. Betapapun komprehensipnya hak yang dijanjikan terhadap rakyat dalam konstitusi sebuah negara, realisasi aktualnya tergantung pada sejauhmana struktur kekuasaan yang terdapat dalam penduduk tersebut melaksanakannya. Apabila kekuasaan terdistribusi secara merata, amat boleh jadi warga negara akan menikmati hak-hak yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, bila kekuasaan terpusat pada level elite masyarakat, maka hak azasi insan lebih memungkinkan untuk dilanggar dibandingkan dengan ditaati. Disamping itu, tidak seperti banyak negara sekarang ini yang mematuhi sejumlah kecil amanat akibat dari politik perwakilan, tata cara global tidak memiliki tanggung jawab kepada ras manusia. Lembaga-forum kekuasaan yang mendominasi tata cara global tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Apartheid global bukan cuma menganugerahkan kekuasaan dan kekayaan terhadap minoritas istemewa melainkan juga menjamin bahwa mereka yang memegang kontrol (control) akan mampu menjaga dan melanggengkan posisi mereka lewat hukum, institusi, dan nilai yang cocok dengan kepentingannya. Sebagian bahkan berpendapat bahwa seperti apartheid konvensional, terdapat pula unsur rasis yang lembut tetapi kuat dalam apartheid global.
Ketika kita menyaksikan hak asasi manusia dipermainkan dengan hal-hal yang dianggap legal, kita tidak menyadari bahwa sehabis kebijakan yang dipraktekkan berlawanan dengan apa yang sudah diformulasikan, kepentingan demi kepentingan merupan aspek yang sangan mayoritas terjadi dalam kasus-perkara pelanggaran hak asasi manusia akil balig cukup akal ini. Era modern sebagai wadah yang cukup signifikan terjadi tanda-tanda sosial penduduk baik itu dari individu hingga forum yang kompeten sekalipun. Indonesia sendiri yang 60 tahun merdeka, sudah banyak meyepelekan hak yang ada pada manusia, baik secara halus maupun jelas-terangan. Banyaknya korban HAM yang rela mengorbankan sesuatu untuk ibu pertiwi ini, tetapi apa yang mereka peroleh sesudah darah, jiwa, air mata serta kepedihan dipertaruhkan. Kesengsaraan dan kegetiran hidup selalu menjadi fenomena sosial yang kerap kita lihat dimana-mana lewat media-media atau di lapangan. Masyarakat kita kurang tersentuh hatinya saat melihat masalah orang lain, akan namun kalau persoalan tersebut ada sangkut pautnya dengan keluarganya baik secara hubungan, maka ia akan berontak dan langsung sadar apa yang mesti dijalankan, tanpa memekirkan akabat yang akan terjadi belakangan. Pelanggaran HAM di dunia Barat siapa yang mampu menghentikannya, pembantaian massal kaum Muslim Bosnia-Herzigovina siapa yang bertanggung jawab, pelanggaran HAM di Indonesia siapa yang mesti dikambing hitamkan. Lembaga peradilan yang kompeten sekalipun tidak akan mampu secara jujur mengungkapkan kejahatan-kejahatan tersebut. Dugaan tak bersalah merupakan senjata ampuh untuk memperdaya masyakat yang awam akan hakekat dimensi aturan dan keadilan yang terselubung itu. Menanti terus menanti merupakan sebuah kemunafikan yang serupa membuat persepsi kita berpaling untuk memdapatkan kebenaran dan keadilan. Stratifikasi sosial salah satu andil masyarakat kita melihat sesuatu dilema, disinilah letak kebobrokan hukum negara kita.
Konflik yang terjadi dilingkungan kita disebabkan oleh banyak sekali ketidak puasaan yang dikerjakan sekelompok orang yang iri kepada kesenangan orang lain, pembunuhan, perkosaan, pencurian dan beberbagai penyelewengan bagaian kecil dari bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Dengan demikian pertentangan itu sungguh terperinci. Pasal-pasal wacana kebebasan agama dan nurani dalam berbagai dokumen hak asasi manusia nampak berbenturan, hal-hal yang penting dari banyak masalah yang telah ditetapkan dan fatwa Islam yang resmi wacana pemberlakuan terhadap orang-orang murtad dan orang-orang non Islam yang dilindungi. Ada sedikitnya empat strategi yang mungkin bisa kita gunakan dalam menghadapi konflik tersebut :
Kita dapat saja mendukung ditariknya kembali semua pernyataan yang mendukung kebebasan beragama dan nurani (atau barangkali kita mampu menyempurnakannya dengan tujuan yang serupa, dengan cara menulis kembali pernyataan-pernyataan itu dengan maksud supaya tidak berbahaya). Banyak masalah dengan jawaban mirip ini. Apakah semua pernyataan hak azasi insan harus ditarik kembali atau dikebiri kapan saja dikala berhadapan dengan oposisi. Akan tetapi lebih tepat lagi, bantu-membantu ada sedikit dalam masyarakat internasional, bahkan di kalangan orang-orang Islam, dalam mengambilangkah-langkah radikalsemacam itu. Orang-orang Islam, seperti halnya lainnya, tampaknya bisa saja mendapatkan status hak azasi insan tentang keleluasaan dan nurani, sepanjang hak-hak itu dibatasi sebagaimana mestinya sesuai dengan pedoman tradisional.
Kita dapat mencoba untuk membantah bahwa ketaatan kepada pernyataan-pernyataan keleluasaan agama yang ada memerlukan perizinan negara-negara Muslim, gotong royong dengan setiap orang yang selain Muslim, kebijaksanaa untuk menghalangi toleransi agama dan batas-batasnya dengan cara apa saja yang mereka tentukan. Maka kita akan mengizinkan hak-hak orang Islam mengikutu hati nurani mereka sendiri, dan oleh alasannya adalah itu, langkah-langkah terhadap hak kebebasan agama mereka dijamin secara internasional. Ada dua duduk perkara di sini. Pertama ialah dengan membiarkan semua pandangan yang sangat tidak toleran, akan menghasilkan kecerdikan yang sebaliknya, utamanya saat perilaku tidak toleran mengarah pada akidah doktrin tertentu yang dapat dilakukan. Kedua yakni adanya fakta bahwa pernyataan-pernyataan tentang hak keleluasaan agama yang ada secara eksplisit meliputi larangan-larangan yang bertentangan dengan kebijakan-kebijakan Islam tertentu.
Kita mampu berpegang teguh pada pernyataan ihwal hak kebebasan agama yang ada dan mencoba untuk menetapkannya secara internasional dengan menggunakan perangkat-perangkat yang sama seperti dilaksanakan PBB umpamanya, dari waktu ke waktu telah melakukan upaya memperkuat hak-hak politik, ekonomi, sosial dan hak-hak penduduk lainnya. Di samping itu, tanpa ada kesepakatan bahwa sebuah doktrin dengan kebebasan agama memerlukan toleransi kepercayaan apapun, bahkan iktikad-iman yang memaksa sikap intoleran, betul-betul memberikan bahwa perbedaan-perbedaan kultural tentang problem ini menciptakan kerumitan-kerepotan dan kebingungan bagi para penunjang HAM yang tidak tercantum berkenaan dengan pelangaran-pelangaran yang lebih populer, mirip penganiyaan yang bergairah terhadap para tahanan, lawan politik dan lain sebagainya.
Kita dapat mengatakan perdebatan kontemporer antara orang-orang Barat dan orang-orang Islam ihwal keleluasaan agama dan nurani sebagai potensi untuk menimbang-nimbang dasar-dasar dan sifat dari sebuah dogma tentang keleluasaan tersebut baik dalam tradisi Barat maupun Islam. Jika dengan cermat, dievalusi secara kritis, pertentangan antara pandangan Barat dan Islam mengenai sesuatu yang sedemikian penting dan fundamental, seperti hak kebebasab dalam beragama dan nurani menjadi lebih konsisten dari yang diduga, memiliki banyak argumentasi untuk mulai menyerukan “ penerapan yang tanpa batas”8 dari Deklarasi Hak Munusia, sebagaimana disangka banyak orang.
F. Persoalan Rakyat : Status dan Hak-Haknya
Menurut al- Maududi,9 fatwa Islam meliputi metode anutan dan fatwa tingkah laris insan dan bermaksud untuk mendirikan negara berlandaskan Ideologi Islam sendiri. Untuk itu Islam membagi dua tipe kewarganegaraan : Muslim dan Dzimmi.
Dalam hal ini, kata al- Maududi, secara terus terperinci dan jujur membedakan warganya secara jelas dalam struktur politiknya, tanpa bersembunyi dibalik hiasan kata-kata belaka. Misalnya sebagaimana yang banyak dilaksanakan oleh negara-negara yang di atas kertas menjamin persamaan hak antara warga negaranya, tetapi dalam kenyataannya, sepanjang masa mempraktekkan diskriminasi kepada sejumlah penting warga negaranya. Ini dapat disaksikan contohnya dalam perlakuan tehadap kaum Negro (penduduk kulit hitam) di Amerika Serikat atau perlakuan terhadap orang-orang non komunis di Rusia.
Dalam kenyataannya, kata al- Maududi10, semua negara terbaru kini terdapat perlakuan yang semacam itu dalam berbagai tingkatannya. Dalam hal ini aliran Islam menempuh jalan paling rasional, adil dan terhormat. Jalan tersebut bagi al- Maududi bahwa sejak permulaan dan terperinci-terangan anutan Islam mengklasifikasikan dua lapisan warga negara menurut ukuran agama : Islam dan non-Islam.
Di atas setiap pundak warga negara Muslim terletak kewajiban untuk menyelenggarakan seluruh aliran Islam. Merekalah yang memikul keharusan untuk melaksanakan aturan-hukumnya dan secara bersama-sama untuk mewujudkan fatwa Islam dalam bidang keagamaan, susila, kebudayaan dan politik. Islam meletakkan itu semua pada mereka dan meminta pengorbanan mereka dalam segala bentuknya supaya mampu mempertahankan pemikiran tersebut.
Di sisi lain, praktek perkawinan kepada sesama TKI di luar negari menjadi sebuah kajian aturan mengenai status anak yang dlahirkan tersebut baik itu ihwal status kewarganegaraan maupun aspek-faktor yang timbul di lalu hari.11 Status buruh yang melakukan pekerjaan diluar negeripun kian gencar-gencarnya diperjuangkan biar kepastian hukum kita seimbang dengan aturan negara lain.
G. Penutup
Akhir tamat ini problem Hak Manusia kembali mencuat ke permukaan dan banyak dibicarakan di mana-mana. Ini menunjukan bahwa manusia sedang menuju kepada pemahaman jati dirinya sendiri, Hak-hak asasi insan menginginkan adanya keleluasaan atau kemerdekan. Di dikala masyarakat dunia sedang bingung menghadapi terpaan arus globalisasi dan modernisasi, penegakan HAM itu sendiri ditenggarai selaku bab dari proses demokratisasi, khususnya di negara-negara sedang berkembang.
Islam jauh hari sudah menciptakan sebuah legitimasi aturan yang kuat ihwal hak-hak individu insan, sejak dari alam rahim sampai mampu berinteraksi sesamanya. Hak untuk beragama dan berkeyakinan merupakan hak mutlak setiap insan dalam mengerti dan melakukan ajarannya.
Pelanggaran HAM akil balig cukup akal ini kerena ada aneka macam kepentingan dari kebijakan penguasa yang kurang meperhatikan aspek-faktor nilai yang berkembang dalam masyarakat, banyak perkara-kasus pencemaran nama baik, pembunuhan, perkosaan, penganiayaan dan kreativitas dalam berkreasi menjadi problem HAM semakin kompleks. Ajaran Islam dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi penyelesaian alternatif. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
- Little, David, John Kelsey dan Abdul al-Azis A. Sachedina. Human Rights and the Complict of Cultures: Western and Islamic Perspectives on Religious Liberty, Terj. Riyanto, Cet. I. yogyakarta: Academia dan Pustaka Pelajar, 1997.
- al- Maududi, Abu al-A’la. Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Publication LTD, 1967.
- Muhammad, Rusjdi Ali. Hak Manusia, Dalam Perspektif Syari’at Islam. Cet. I. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.
- Nasution, Harun dan Bahtiar Effendy. Hak Azasi Manusia Dalam Islam, Cet. I Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Pustaka Firdaus, 1987.
- Piscatory, James P. Human Rights and Islamic Political Culture, Moral Imperative of Human Rights, (ed) Kenneth W. Thompson. Washington: University Press of America, 1980.
- Pollis, Adamantia dan Peter Schwab. Human Rights: Cultural and Ideological Perspectives. New York: Praeger, 1979.
- Prinst, Darwan. Hukum Anak Indonesia, Cet. II. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
- Vatin, Jean Claude. Human Rights in Islam, dalam Philosophy and Public Policy. Southen Illinois: University Press, 1980.
EmoticonEmoticon