Selasa, 15 September 2020

Makalah Dinamika Dan Kemajuan Pesantren

A. Pendahuluan
Minimnya data ihwal pesantren, baik berbentukmanuskrip atau peninggalan sejarah lain yang menjelaskan perihal awal sejarah kebangunan pesantren, menyebabkan keeterangan-keterannga pesan yang berkenaan dengannya bersifat sungguh bermacam-macam. Namun demikian, kekurangan ini justru menjadi factor determinan bagi terus dijadikannya sejarah pesantren sebagai materi kajian yang tidak pernah kering. Disamping itu minimnya catatatan sejarah pesantren ini pula lalu mengakibatkan argumentasi tersendiri bagi dilanjutkannya penelusuraan lintasan sejarah kepesantrenan di Indonesia secara berkelanjutan.

Tidak mampu disangkal bahwa lembaga pondok pesantren memainkan peranan penting dalam perjuangan memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia terutama pendidikan agama. Pesantren, dari awal mula berdiri sampai dikala ini masih terus dapat eksis dan berperan dalam upaya memberikan pendidikan yang bermutu. Makalah ini diarahkan untuk menyaksikan dengan terperinci pertumbuhan yang terjadi pada dunia pesantren dari awal mula kemunculannya sampai dikala ini, juga berbagai macam dinamika yang terjadi mengiringi keberadaan pesantren sebagai forum pendidikan dan pengayom penduduk .

B. Sejarah Berdirinya Pesantren

1. Permulaan Berdiri
Pesantren yakni sebuah lembaga pendidikan Islam yang sudah tua sekali usianya, sudah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu, yang setidaknya memilikii lima unsur pokok, yaitu kiyai, santri, pondok, mesjid dan pengajaran ilmu-ilmu agama. [1]

Dalam memilih kapan pertama kalinya pesantren berdiri di Indonesia, apalagi dahulu perlu melacak kapan pertama kalinya Islam masuk ke semenanjung nusantara. Terdapat berbagai usulan perihal kapan masuknya Islam di Indonesia, ada yang berpendapat semenjak era ketujuh, namun ada juga yang beropini semenjak periode kesebelas. Terlepas dari perdebatan seputar kapan masuknya Islam di Indonesia, namun terjadinya kontak yang lebih intens antara budaya Hindu-Budha dan Islam dimulai sekitar kala ketiga belas dikala terjadi kontak perdagangan antara kerajaan Hindu jawa dengan Kerajaan Islam di Timur Tengah dan India.[2] Dan penyebaran Islam di Indonesia terutama di Jawa tidak terlepas dari tugas wali songo yang dengan gigih memperjuangkan dan membuatkan nilai-nilai Islam.

Berdirinya Pesantren pada awalnya juga diprakarsai oleh Wali Songo yang diprakarsai oleh Sheikh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat India. Para Wali Songo tidak begitu kesusahan untuk mendirikan Pesantren karena sudah ada sebelumnya Instiusi Pendidikan Hindu-Budha dengan metode biara dan Asrama selaku kawasan berguru mengajar bagi para bikshu dan pendeta di Indonesia[3]. Pada masa Islam pertumbuhan Islam, biara dan asrama tersebut tidak berubah bentuk akan tetapi isinya berubah dari pedoman Hindu dan Budha diganti dengan pedoman Islam, yang lalu dijadikan dasar peletak berdirinya pesantren.

Selanjutnya pesantren oleh beberapa anggota dari Wali Songo yang menggunakan pesantren selaku daerah mengajarkan anutan-pemikiran Islam terhadap masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Surabaya dan Sunan Giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang lalu tempat ini lebih diketahui dengan sebutan Giri Kedaton.[4]

Keberadaan Wali Songo yang juga pelopor berdirinya pesantren dalam kemajuan Islam di Jawa sangatlah penting sehubungan dengan perannya yang sangat secara umum dikuasai. Wali Songo melaksanakan satu proses yang tak berujung, gradual dan berhasil membuat satu tatanan masyarakat santri yang saling hening dan berdampingan. Satu pendekatan yang sungguh berkesesuaian dengan filsafat hidup penduduk Jawa yang menekankan stabilitas, keselamatan dan harmoni.

Pendekaan Wali Songo, yang lalu melahirkan pesantren dengan segala tradisinya, sikap dan teladan hidup saleh dengan mencontek dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya dan tradisi lokal merupakan ciri utama penduduk pesantren. Watak inilah yang dinyatakan sebagai factor lebih banyak didominasi bagi penyebaran Islam di Indonesia.[5] Selain itu ciri yang paling mencolokpada pesantren tahap permulaan ialah pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama terhadap para santri lewat-lewat kitab-kitab klasik.[6]

Persoalan asal permintaan pesantren secara historis lebih tepat bila dipandang sebagai balasan akulturasi dua tradisi besar Islam dan Hindu-Budha yang saling berinteraksi dan saling memperngaruhi satu sama lain dari pada mendapatkan warisan tradisi yang memposisikan tradisi Islam selaku tradisi yang pasif. Artinya, pandangan hidup dan fatwa keagamaan kelompok pesantren tidak begitu saja mewarisi taken for granted kebudayaan Hindu-Budha.

2. Pesantren Pada Masa Penjajahan
Pada zaman penjajahan Belanda, dengan banyak sekali cara Penjajah berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikontrol oleh pribumi tergolong didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah colonial mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada waktu itu, namun hal ini hanya didedikasikan bagi kalangan elit dari masyarakat Indonesia. Kaprikornus dikala itu ada dua alternatif pendidikan bagi bangsa Indonesia.

Sebagian besar sekolah colonial diarahkan pada pembentukan masyarakat elit yang mau dipakai untuk menjaga supremasii politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Dengan didirikannya lembaga pendidikan atau sekolah yang diperuntukkan bagi sebagian Banga Indonesia tersebut terutama bagi kalangan priyayi dan pejabat oleh pemerintah kolonial, maka semenjak itulah terjadi persaingan antara lembaga pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan pemerintah.[7]

Meskipun mesti bersaing dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang jumlahnya. Persaingan yang terjadi bukan hanya dari segi ideologis dan harapan pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah colonial pada kurun ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan Perang Banjar.

Menghadapi realita demikian mengakibatkan pemerintah Belanda diakhir kurun ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka anggap selaku sumber perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1882 Belanda mendirikan Priesterreden (pengadilan agama) yang salah satu tugasnya mengawasi pendidikan di pesantren. Kemudian dikeluarkan Ordonansi (undang-undang) tahun 1905 perihal pengawasan kepada peguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren), dan guru-guu yang mengajar mesti mendapatkan izin pemerintah lokal.[8]

Seiring dengan kemajuan sekolah-sekolah Barat modern yang mulai menjamah sebagian masyarakat Indonesia, pesantren pun sepertinya mengalami kemajuan yang bersifat kualitatif, meskipun ruangeraknya selalu diawasi dan dibatasi. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, tergolong pembaharuan dalam pendidikan mulai masuk ke Indonesia, dan mulai merasuk ke dunia pesantren serta dunia pendidikan Islam yang lain.

Pembaharuan ini menyebabkan tata cara modern klasikal mulai masuk ke pesantren, yang sebelumnya masih belum diketahui . Metode halaqah berkembang menjadi tata cara klasikal, dengan mulai memakai kursi, meja dan mengajarkan pelajaran lazim. Sementara itu beberapa pesantren mulai memperkenalkan tata cara madrasah sebagaimana yang diterapkan pada sekolah lazim.

3. Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Kemerdekaan
Dalam sejarahnya mengenai tugas pesantren, dimana semenjak kurun kebangkitan Nasional hingga dengan usaha mempertahankan kemerdekaan RI, pe selalu tampil dan telah bisa berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah sehabis kemerdekaan pesantren masih mendapatkan daerah dihati masyarakat. Ki Hajar Dewantara saja sebagaitokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan Pengajaran Indonesia yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren ialah dasar pendidikan nasional, alasannya adalah sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia.[9]

Begitupula halnya dengan Pemerintah RI, mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasaar pendidikan dan sumber pendidikan nasional, dan oleh alasannya adalah ituharus dikembangkan, diberi panduan dan derma. Sejak awal kehadiran pesantren dengan sifatnya yang elastis (flexible) ternyata bisa mengikuti keadaan dengan penduduk sera menyanggupi permintaan penduduk . Begitu juga pada kala kemerdekaan dan pembangunan kini, pesantren sudah bisa memperlihatkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, utamanya dalam rangka pengembangan sumber daya insan yang berkualitas.

Berbagai inovasi sudah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia pesantren dalah sebagai upaya mmberikan bekal tambhan agar para santri kalau sudah menuntaskan pendidikannya dapat hidup pantas dalam penduduk .

Dewasa ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap metode yang selama ini dipergunakan, diantaranya ialah mulai akrab dengan metodologi ilmiah terbaru, den kian berorientasi pada pendidikan dan fungsional, artinya terbuka atas pertumbuhan di luar dirinya. Juga diversifikasi program dan acara makin terbuka dan ketergantungannya pun absolute dengan kiai, dan sekaligus mampu membekali para santri dengan berbagai pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun kemampuan yang dibutuhkan di lapangan kerja dan juga mampu berfungsi sebagai sentra pengembangan masyarakat.[10]

Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup pesantren, pemerintah berusaha untuk membantu berbagi pesantren dengan potensi yang dimilinya. Arah perkembangan itu dititik beratkan pada, pertama, kenaikan tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional dan pengembangan potensinya sebagai lembaga social pedesaan. Kedua, kenaikan kurikulum dengan sistem pendidikan supaya efisiensi dan efektifitas pesantren terarah. Ketiga, menggalakkan pendidikan keahlian di lingkungan pesantren untuk membuatkan potensi pesantren dalam bidang prasarana social dan taraf hidup masyarakat, dan yang terakhir, menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut keputusan tiga menteri tahun 1975 tentang kenaikan kualitas pendidikan pada madrasah.

Akhir-tamat ini pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan yang sepertinya ditujukan untuk memajukan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana sudah dikemukaakan terdahulu. Pertumbuhan dan kemajuan pesantren di Indonesia tampaknya cukup mewarnai perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren dengan aneka macam kelebihannya, juga pastinya tidak akan mampu mengelak dari segala kritik dan kekurangannya.

C. Dinamika Pesantren

1. Dinamika Keilmuan dan pendidikan
Pada mulanya berdirinya, pesantren merupakan media pembelajaran yang sangat simple. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada hukum yang baku di dalamnya. Sebagai media pembelajaran keagamaan, tidak pernah ada kesepakatan atau permintaan santri kepada kiai untuk mengkajikan sebuah kitab, terlebih menertibkan secara jelas materi-bahan yang hendak diajarkan. Semuanya bergantung pada kiai sebagai poros metode pembelajaran pesantren. Mulai dari agenda, metode, bahkan kitabyang hendak diajarkan, semua ialah wewenang seorang kiai secara penuh.[11]

Tidak mirip lembaga pendidikan lain yang melakukanperekrutan siswa pada waktu-waktu tertentu, pesantren senantiasa membuka pintu lebar-lebar untuk paa calon santri kapan pun juga. Tak hanya itu, pondok pesantren juga tidak pernah menentukan batas usia untuk siswanya. Siapapun dan dalam waktu kapanpun yang berkeinginan unuk memasuki pesantren, maka kiai akan selalu welcome saja.

Dua versi pembelajaran yang populer pada awal mula berdirinya pesantren ialah versi sistem pembelajaran wetonan non klasikal dan sistem sorogan. Sistem wetonan/bandongan ialah pengajian yang dijalankan oleh seorang kiai yang disertai oleh santrinya dengan tidak ada batas umur atau ukuran tingkat kecerdasan. Sistem pembelajaran model ini, kabarnya merupakan sistem yang diambil dari acuan pembelajaran ulama Arab. Sebuah kebiasaan pengajian yang dilakukan di lingkungan Masjid al-Haram. Dalam sistem ini, seorang kiai membacakan kitab, sementara para santri masing-masing memegang kitab sendiri dengan menyimak keterangan guru untuk mengesahi atau memaknai Kitab Kuning.

Lain dengan pengajian wetonan, pengajian sorogan dikerjakan satu persatu, dimana seorang santri maju satu persatu membaca kitab dihadapan kiai untuk dikoreksi kebenarannya. Pada pembelajaran sorogan ini, seorang santri memungkinkan untuk berdialo dengan kiai perihal persoalan-duduk perkara yang diajarkan. Sayangnya banyak menyedot waktu dan tidak efesien sehingga diajarkan pada santri-santri senior saja.

Pada dasarnya , dalam pesantren tradisional, tinggi rendahnya ilmu yang diajarkan lbih banyak tergantung pada keilmuan kiai, daya terima santri dan jenis kitab yang dipakai. Kelemahan dari tata cara ini yakni tidak adanya perjenjangan yang terperinci dan tahapan yang mesti diikui oleh santri. Juga tidak ada pemisahan antara santri pemula dan santri usang. Bahkan seorang kiai cuma mengulang satu kitab saja untuk diajarkan pada santrinya.[12]

Pada abad ke tujuh belasan, bahan pembelajaran pesantren didominasi olehmateri-bahan ketahuidan. Memang pada waktu itu pemikiran ketauhidan dan ketasaufan menduduki urutan yang paling dominant. Belakangan, sejalan dengan banyaknya para ulama yang mencar ilmu ketanah suci, bahan yang diajarkannya pun bermacam-macam.

Baru pada permulaan abad kedua puluhan ini, unsur baru berupa metode pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Walaupun beberapa pesantren sudah menggunakan kurikulum Barat, tetapi banyak juga pesantren-pesantren yang menolak memakai tata cara ini. Bagi mereka, tata cara klasikal yaitu imbas yang diambil dari sekolah-sekolah yang dibentuk oleh Pemerintah kolonial Belanda. Kelas dalam metode pendidikan ini yakni sejumlah pelajaran yang diberikan pada ruang dan waktu yang serupa, dengan mata pelajaran yang sama pula. Lembaga pendidikan ini mengenal adanya kelas yang berjenjang. Dan dipesantren diketahui dengan tata cara madrasah.

Pada mulanya kiai merupakan fungsionaris tunggal dalam pesantren. Semenjak berdirinya madrasah dalam lungkkungan pesantren inilah, dibutuhkan sejumlah guru-guru untuk mengajarkan berbagai macam jenis pelajaran baru yang tidak seluruhnya dikuasai oleh kiai. Sehingga peran guru menjadi penting alasannya kesanggupan yang dimilikinya dari pendidikan diluar pesantren. Dan semenjak ketika itu kiai tidak menjadi fungsionaris tunggal dalam pesantren.

Mengikuti kemajuan zaman, beberapa pesantren mulai memasukkan pelajaran keahlian sbagai salah satu materi yang diajarkan. Ada keterampilan berternak, bercocok tanam, menjahit berjualan dan lain sebagainya. Disisi lain ada juga pesantren yang cenderung mengimbangi dengan wawasan lazim. Seperti tercermin dalam madrasah yang disebut dengan “terbaru” dengan menghapuskan pola pembelajaran wtonan, sorogan dan pembacaan kitab-kitab tradisional. Dnngan mengadopsi kurikulum terbaru, pesantren yang terakhir ini lebih memprioritaskan penguasaan aspek bahasa.

2. Pengaruh dan Eksistensi Pesantren
Pada periode ke-18, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan rakyat menjadi begitu berbobot, utamanya berkenaan dengan kiprahnya dalam membuatkan fatwa Islam. Pada periode itu berdirinya pesantren senantiasa ditandai dengan “perang nilai” antara pesantren yang akan berdiri dengan penduduk sekitar, yang selalu dimenangkan oleh pihak pesantren, sehingga pesantren diterima untuk hidup dimasyarakat dan kemudian menjadi panutan.[13] Bahkan kedatangan pesantren dengan santri yang banyak dapat menghidupkan ekonomi penduduk sehingga mampu memakmurkan penduduk sekitar.

Selain itu pesantren juga memiliki kekerabatan erat dengan pejabat sekitar. Kiprah kiai dalam menumpas para perusuh mendapat perhatian besar dari pejabat lokal sampai raja. Tak jarang para Raja mengirim putra-putrinya untuk berguru pada kiai tertentu, dan selaku bentuk penghormatan, pesantren dibebaskan dari pajak tanah. Pada waktu itu kiai populer dengan kesaktiannya, makanya terkadang para Raja mohon tunjangan manakala kerajaan menghadapi kekacauan. Hal ini mirip yang dilakukan Pakubuwono yang meminta kiai Agung Muhammad Besari untuk membantunya dalam perjuangan mengusir lawan.

Terpengaruh dengan adat hindu dimana posisi biksu menerima kasta yang pertama, maka begitu juga dalam kacamata penduduk Jawa. Orang-orang ynag berada di pesantren –baik kiai maupun santri- menerima daerah yang tinggi dalam stratifikasi masyarakat. Bahkan tak jarang para Raja menikahkan bawah umur mereka dengan para kiai tersohor, sehingga memadukan dua strata tertinggi dimasyarakat sekaligus. Hal ini mirip Kiai Kasan Besari yang menjadi menantu Pakubuwono II.

Walaupun kehidupan asketis yang hebat terjadi dalam dunia pesantren waktu itu, namun demikian tidak mampu dibantah peran yang hebat pada masa penjajahan. Dimana jarang sekali sebuah pesantren yang berkompromi dengan penjajahan. Pesantren selalu menjadi basis pejuangan mengusir penjajahan, dimana para cowok yang ingin maju kemedan peperangan slalu berkumpul didalamnya untuk melakukan “isian dan gemblengan”. Dalam hal ini kita tidak akan lupa dengan kasus Pangeran Diponegoro. Begitu mengakarnya tugas ulama/kiai dalam penduduk –terutama Jawa, sehingga tak jarang yang menyebabkan mitos-mitos dibalik usaha pendekar kemerdekaan. Seperti adanya sosok Kiai Seibi Angin dibalik perjuangan heroic Jaka Sembung.[14]

Akhir kala ke-19, lembaga pesantren makin meningkat secara cepat dengan adanya sikap non-kooperatif ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial Belanda. Sikap non-kooperatif dan silent opposition para ulama itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren di daerah-kawasan yang jauh dari kota untuk menyingkir dari intervensi yang dilaksanakan pemerintah colonial serta memberi kesempatan terhadap rakyat yang belum memperoleh pendidikan.

Sebagai forum pendidikan yang berumur sungguh tua ini, pesantren dikenal selaku media pendidikan yang memuat seluruh jenis strata masyarakat. Lebih jauh pesantren pada waktu itu sedah menciptakan lembaga pendidikan biasa yang didalamnya tidak cuma mengajarkan agama saja. Bisa dibilang bahwa pesantren pada waktu itu merupakan forum alternative kontra dari pendidikan colonial yang cuma didedikasikan bagi kalangan ningrat saja.

Fakta sejarah menandakan, betapa kelompok pesantren sangat intensif melakukan perlawanan terhadap segala perilaku budaya dan ideologi maupun politik yang dikhawatirkan akan merongrong ideology yang mereka yakini. Sebut saja seperti pendirian Nahdatul Ulama yang dimotori oleh orang-orang pesantren. Sikap ini juga ditunjukkan dengan kontradiksi antara orang-orang pesantren vis a vis gerakan komunis. Alasan yang dikumandangkan orang-orang pesantren bahwa gerakan tersebut membahayakan keberagamaan masyarakat di Indonesia. Pada fase menjelang kemerdekaan juga bisa dilihat bagaimana para kiai dan santri untuk menolak habis-habisan budaya ‘saikere” adalah membungkuk sembilan puluh derajat untuk menghormati matahari selaku yang kuasa bangsa Jepang. Akibatnya kiai terkemuka seperti Kh. Hasyim Asy’ari mendekam di penjara.[15]

Pesantren-ulama/kiai-santri biasanya mempunyai korelasi yang cukup dekat dengan penduduk sekelilingnya. Bahkan tradisi yang berlaku didunia pesantren ini pun berlaku dalam dunia luar pesantren. Hal ini mampu terjadi denngan usul dari masyarakat kepada kiai untuk menghadiri acara tertentu atau dari para alumni pesantren yang menyebar kedaerah-kawasan untuk membuatkan ilmu yang sudah didapatkannya dipesantren. Seperti pada perayaan maulid Nabi, Nuzul al-Qur’an, walimah al-ursy, pengajian dan lain sebagainya.

Dari saling berkelindannya kiai-pesantren-santri ini pastinya mempunyai dampak besar dalam penduduk . Seorang santri yang baru ke pesantren satu tahun saja, dikala pulang, dikampungnya akan diperlakkukan layaknya seorang kiai oleh penduduk dii daerah beliau tinggal. Maka tak jarang masyarakat alasannya adalah kecintaan mereka terhadap pesantren banyak menunjukkan shadaqah, infaq, waqaf dan amal jariyah yang lain dengan ikhlas untuk kemajuan pesantren.

3. Pesantren di Tengah Arus Globalisasi
Seiring dengan bergulirnya alur modernisasi, politik global mengalami rekonfigurasi disepanjang lintas-batas kultural. berbagai masyarakat dan Negara yang mempunyai kemiripan kebudayaan akan saling bergandengan. Sementara mereka yang berada di daerah kebudayaan yang berlainan akan memisah dengan sendirinya.

Berhadapan dengan globalisasi dan bahaya kuatnya benturan peradaban, maka tak mungkin pesantren masih bertahan dengan pola pembelajaran lama. Tuntutan masyarakat global yakni profesionalisme, penguasaan ilmu wawasan, teknologi serta etos kerja yang tinggi. Maka sebab itulah watak profesionalitas dan penguasaan teknologi dan wawasan yang standar, diharapkan di pondok pesantren. Jika tidak tentunya pesantren mesti siap-siap digilas oleh laju zaman, ditinggalkan orang dikarenakan telah usang dan tak pantas pakai. Karena itu diperlukan pesantren mesti semakin adaptif kepada pertumbuhan kamajuan zaman. Atas dasar itu peluang pesantrean selaku lembaga Pendidikan Islam yang mau menciptakan manusia seutuhnya akan makin terbuka.[16]

Jika kita mengorelasikan benturan peradaban sebagaimana yang diramalkan Huntington, maka bantu-membantu pertentangan yang paling gampang menyebar dan sungguh penting sekaligus berbahaya bukanlah pertentangan antar kelas sosial, antar kalangan kiai dengan kalangan miskin atau antara kalangan kekuatan ekonomi yang lain, akan namun konflik antara orang-orang yang mempunyai etnis budaya yang berlainan. Pertikaian antar suku dan konflik-konflik antar etnis –dalam peradaban- akan senantiasa terjadi.

Dalam hal seperti ini ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan dunia pesantren, ialah:
pertama, pertentangan yang riskan terjadi pada dunia pesantren sendiri adalah dilema dilema fatwa dan keagamaan. Maka, selaku persiapan terhadap terjadinya pertentangan tersebut, pesantren hendaknya menyosialisasikan semangat inklusifitas.
Kedua, berhadapan dengan derasnya arus informasi yang terus mengalir dengan aneka macam ragam, contoh hidup dan budaya yang disediakan. Maka, mau tidak mau, pihak pesantren harus merencanakan mental, hingga tidak gampang larut dengan budaya besar. Sekalligus tidak serta merta menutup dengan budaya yang terus menerus hadir. Bersikap kritis dan kreatif ialah sesuatu yang tidak bisa dinafikan.
Ketiga, boleh jadi ramalan Huntington perihal adanya konflik antar peradaban tersebut benar, namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa kemungkinan konflik tersebut bisa disingkirkan. Salah satu caranya yaitu dengan mengerahkan kreativitas masyarakat dalam menjembatani dan memfasilitasi hubungan antara banyak sekali macam masyarakat yang berlawanan-beda. Dengan demikian akan bisa mengikat perasaan emosional antarmereka dan balasannya bisa meminimalkan konflik tersebut dan peran ini mesti mampu dikerjakan oleh pesantren.


D. Penutup
Pesantren dipadang selaku lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang didirikan oleh para ulama (Kiai : Jawa). Pesantren diresmikan dalam rangka mendidik penduduk untuk mengerti dan melakukan ajaran Islam, dengnan menekankan pentignya susila keagamaan selaku anutan hidup. Pengertian tertua, alasannya pesantren ialah lembaga yang telah lama hidup dan masih tetap eksis hingga saat ini meskipun sudah banyak berubah dari bentuk awal mula berdirinya dari berbagai bidangnya. Bahkan pesantren sudah menjadi bab yang mendalam dari tata cara kehidupan sebagian besar umat islam di Indonesia dan turut mewarnai dinamika bangsa Indonesia.

Demikianlah makalah ini kami tulis, biar mampu berguna dan menjadi masukan memiliki arti bagi dunia pendidikan utamanya pesantren, khususnya selaku materi diskusi pada mata kuliah Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional. Kepada Allah saya berserah diri sambil berharap senantiasa mendapat taufik dan hidayah darinya. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fahry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru, Rekontruksi Pemikiran Indonesia Masa Orde Baru. Bandung : Mizan, 1990.
Daulay, Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam. Bandung : Citapustaka, 2004.
________________, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional Jakarta : Prenada Media, 2004.
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren, Shtudi perihal Pandang Hidup Kiai. Jakarta : LP3ES, 1994.
Faiqah, Nyai, Agen Perubahan di Pesantren. Jakarta : Kucica, 2003.
Kafrawi, Pembaharuan Studi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Pembentukan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa . Jakarta : Cemara Indah, 2004.
Haedani, Amin dkk, Panorama, Pesantren Dalam Cakrawala Modern. Jakarta: Diva Pustaka, 2004.
Hamzah, Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Mulia Offset, Jakarta, 1989.
Karim, Rusli, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Prawiranegara, Alamsyah Ratu, Pembinaan Pendidikan Agama, Depag. RI, Jakarta.
Soemarjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gajahmada Pers, Yogyakarta: t.p.
Supriyadi, Kiai, Priyai di Masa Transisi. Surakarta: Pustaka Cakra, 2001.
Tim Penyusun, Ke-Nu-an, Ahlussunnah Wali Songo al-Jama’ah. Semarang : CV Wicaksana, 1990.

Footnote
[1] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA, Dinamika Pendidikan Islam (Bandung : Citapustaka, 2004), h. 113.
[2] Dra. Faiqah, M.Hum, Nyai, Agen Perubahan di Pesantren ( Jakarta : Kucica, 2003), h. 146-147.
[3] Kafrawi, Pembaharuan Studi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha Pembentukan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa (Jakarta : Cemara Indah, 2004), h. 17.
[4] Ibid, h. 17.
[5] Fahry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru, Rekontruksi Pemikiran Indonesia Masa Orde gres (Bandung : Mizan, 1990), h. 31.
[6] Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta : Prenada Media, 2004), h.26.
[7] Selo Soemarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gajahmada Pers, Yogyakarta, H. 278.
[8] Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Mulia Offset, Jakarta, 1989, h. 47.
[9] Alamsyah Ratu Prawiranegara, Pembinaan Pendidikan Agama, Depag. RI, Jakarta, h. 41.
[10] Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia dalam Transformasi Sosial ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 134.
[11] Drs. H. Amin Haedani, M.Pd dkk, Panorama, Pesantren Dalam Cakrawala Modern (Jakarta: Diva Pustaka, 2004), h. 80.
[12] Ibid, h. 82.
[13] Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, Shtudi ihwal Pandang Hidup Kiai (Jakarta : LP3ES, 1994) h.9.
[14] Supriyadi, Kiai, Priyai di Masa Transisi (Surakarta: Pustaka Cakra, 2001).
[15] Tim Penyusun, ke-Nu-an, Ahlussunnah Wali Songo al-jama’ah (Semarang : CV Wicaksana, 1990) h. 35.
[16] Haidar, Pendidikan Islam.., h. 36.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon