Pendahuluan
Dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba membicarakan keadaan dan sejarah dua sufi besar terkenal hingga nama dan sejarahnya di masa sekarang masih sering di diskusikan para sejarawan. Adalah Abu Yazid Bustami dan mansur al Hallaj dua orang sufi yang pada masanya sudah memperbesar goresan keragaman bentuk tasawuf. Bustami dengan ajaran al ittihadnya telah dikembangkan oleh Al Hallaj lewat ajarannya al hulul. Kedua bentuk aliran ini tidak memiliki banyak perbedaan, alasannya adalah Al halaj meneruskan jejak seniornya Bustami. Ideology ini pernah menebar sampai ke Asia tenggara terutama di Indonesia. Di Indonesia tasawuf bukanlah benda asing. Pada era sejarah tertentu beliau malah telah mempribumi dan manis. Hamzah fanzuri dan Syeikh Siti Jenar di jawa yaitu dua dari sekian banyak nama sufi yang senantiasa saja berada pada bibir sejarah Islam Indonesia. Riwayat Syeikh Siti Jenar malahan sering disejalurkan dengan kisah-dongeng Mansur Al Hallaj, walaupun ada perbedaan bobot zaman dan ungkapan kesufiannya. Namun keduanya mempunyai dimensi politik dalam mendapatkan hukuman matinya. Jika Al Hallaj terlibat ke dalam gerakan syiah garis keras Al Qaramithah sebagaimana dibuktikan dalam pengadilannya, Syeikh Siti Jenar terlibat pada penghimpunan kekuatan unutk melawan Negara Islam Indonesia Demak.
Abu Yazid Bustami
Abu Yazid al-Bustami (wafat 874 M) adalah spesialis sufi yang populer di
Persia sekitar kurun ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana’ dan baqa’[1]. Nama kecilnya yaitu Thaifur. Sebelum beliau mendalami tasawuf beliau mempelajari ilmu fiqh utamanya mazhab Hanafi. Ia memperingatkan insan supaya tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat sebagaimana beliau melakukan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan, mempertahankan ketentuan-ketentuan dan melaksanakan syari’at-Nya. Selengkapnya perkataan beliau adalah :
لو نظرتم الي رجل اعطى كرامات حتى يرتقي في الهوء فلا تغتروا به حتي تنظروا كيف تجدونه عند االامر والنهي وحفظ الحدود واداء الشريعة
“Kalau kau menyaksikan seseorang memiliki keramat yang besar-besar, meskipun ia sanggup terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang tidak boleh syari’at”.[2]
Setelah ia mendalami tasawuf, dia menimbulkan faham baqa’ dan fana’, dimana jika beliau telah fana’ dan meraih baqa’ maka keluarlah kata-kata yang ganjil yang bila tidak hati-hati memahami akan menjadikan kesan seperti Abu Yazid mengaku dirinya selaku Tuhan[3]. Ia sering dipandang pula selaku sufi “yang mabuk” karena dia terlalu jauh mengucapkan kalimat ketuhanan dalam dirinya.
Paham ini mendapat jawaban yang berlainan dikalangan para ulama. Banyak yang pro maupun kontra. Perbedaan perilaku ini khususnya dikalangan ulama sufi dan dikalangan ulama fiqh. Oleh alasannya adalah itu penulis merasa kesengsem untuk membicarakan hal ini dalam sebuah makalah singkat yang fokusnya khususnya pada tokoh pendiri, pokok-pokok pemikiran dan beberapa analisa terhadap fatwa-ajarannya yang dikembangkannya.
B. Riwayat Hidup Bustami
Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga Bistomi, Bustomi dan Bastomi sering juga disebut Bayazid[4]. Nama lengkapnya yaitu Abu Yazid Taifur ibn Surusyam. Ia lahir diwilayah Qum di Persia Barat Laut tahun 188-261 H/804-875 M. Ia yaitu putra seorang ayah yang menganut dogma Zoroastria. Ayahnya Isa ibn Surusyam yakni pemuka penduduk di Biston dan ibunya dikenal sebgai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan) dan kakaknya Surusyam sebelum memeluk Islam yaitu penganut agama Majusi[5].
Al Bustami mempelajari ilmu fiqh khususnya mazhab Hanafi kemudian lalu mendalami tasawuf. Sebagian besar kehidupan “sufi” dan “abid”nya dilaluinya di Biston. Ia senantiasa menerima tekanan dari para ulama Mutakallimin (Teolog) serta
Penduduk di kota kelahirannya yang tidak mengizinkan beliau tinggal menjadikan dia terusir dari negerinya sampai balasannya wafat pada tahun 261 H bertepatan dengan tahun 875 M[6].
Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan namun dia terkenal lantaran ucapan-ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau perumpamaan ketuhanan misalnya ungkapannya :
“Maha suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku” yang belakangan dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj[7]. Setelah dia wafat para hebat sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan sejumlah hebat sufi lainnya meletakkan hormatterhadap al-Bustami meski bukan mempunyai arti mereka mendapatkan kalimat-kalimatnya tanpa koreksi.
Pengikut al-Bustami kemuidian menyebarkan anutan tasawufdengan membentuk suatu ajaran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur. Pengaruh terikat ini masih mampu dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana’, Maghrib (mencakup Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam al-Bustami terletak ditengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mempercayai selaku wali atau orang yang memiliki kekaramatan. Sultan Moghul, Muhammad Khudabanda memberi kubahpada makamnya pada tahun 713 H / 1313 M atas usulan penasehat agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin[8].
C. Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami : al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad
Ahli sufi berpendapat bahwa terdapat dua anutan tasawuf pada abad ketiga hijriah. Pertama,anutan sufi ynag usulan-pendapatnya moderat, tasawufnya senantiasa merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah atau dengan kata lain tasawuf yang mengacu kepada syari’at dan para sufinya yakni para ulama populer serta tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri wajar . Kedua, adalah anutan sufi yang kepincut dengan kondisi-keadaan fana’ sering mengucapkan kata-kata yang ganjil yang populer dengan nama syathahat, yaitu ucapan-ucapan ganjil yang dikeluarkan seorang sufi saat beliau berada digerbang ittihad[9]. Mereka menumbuhkan desain-konsep manusia melebur dengan Allah yang disebut ittihad ataupun hulul dan ciri-ciri aliran ini cenderung metafisis.
Diantara sufi yang beropini bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang selaku pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
Dari sisi bahasa al-Fana’ berarti binasa[10], Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak). Fana’ artinya tidak tampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu lainnya[11]. Menurut andal sufi, arti Fana’ yakni hilangnya kesadaran langsung dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya dipakai pada diri. Fana’juga bermakna bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula bermakna hilangnya sifat-sifat tercela[12].
Mustafa Zahri menyampaikan bahwa yang dimaksud Fana’ yaitu lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai insan lazimyang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang yang sudah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka beliau akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk[13]. Selain itu Fana’ juga dapat mempunyai arti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.
Sebagai akibat dari Fana’ yaitu Baqa’, secara harfiah Baqa’ mempunyai arti infinit sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang baka dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut andal tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga istilah mereka : “Tasawuf itu ialah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, sebab kedatangan mereka bersama Allah”.[14]
Abu Yazid al-Bustami beropini bahwa insan hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila dia bisa melebur eksitensi eksistensi-Nya sebagi suatu eksklusif sehingga dia tidak menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud ialah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran wacana dirinya dan ihwal mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, namun beliau tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya[15].
Diantara kaum sufi ada yang beropini bahwa insan mampu bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang hingga pada tingkat ma’rifah akan menyaksikan Tuhan dengaqn mata sanubarinya[16].
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran ihwal irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran perihal adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs[17].
Apabila seorang sufi telah sampai terhadap Fana’ al-nafs yakni tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal yaitu wujud rohaniahnya dan dikala itu dia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.
Dari aneka macam uraian tersebut dikenali bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah meraih persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur cuma kesadaran dirinya selaku insan, dia tidak lagi mencicipi jasad kasarnya.
Al-Kalabazi (wafat 380 H) menerangkan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berjalan terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ badan untuk melakukan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi[18].
Bila seseorang sudah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada ketika itulah dia sampai terhadap Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi ialah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana istilah mereka : “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada yakni sifat-sifat Tuhan”[19].
Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap sudah hingga kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yakni dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun[20].
Dalam fatwa ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun bahu-membahu ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dinikmati cuma satu wujud maka dalam ittihad ini mampu jadi pertukaran peranan antara insan dengan Tuhan. Dalam suasana mirip ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai sudah menjadi satu, sehingga salah satu mengundang yang lain dengan kata-kata “Hai Aku”[21]. Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga dia berbicara atas nama Tuhan.
Al-Bustami dikala telah Fana’ dan meraih Baqa’ maka beliau mengucapkan kata-kata ganjil seperti :
“ Tidak ada Tuhan melainkan saya, sembahlah saya, Maha suci saya, Maha suci saya, Maha besar saya”[22].
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang laki-laki melalui rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan mengetok pintu, Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid menyampaikan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”[23].
Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai sebuah kekufuran. Faham ittihad ini selanjutnya mampu mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud.
Ittihad juga ialah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang mempunyai arti penyatuan mencakup : a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh; b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri insan; c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya; d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan e) kekerabatan antara suatu benda dengan tempatnya[24].
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad ialah dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada cuma diri Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu badan.
Faham sufi yang juga erat dengan faham Ittihad ini yakni dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution ialah ialah kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini mengerti bahwa faktor ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan cuma insan sebagaimana yang dibilang al-Hallaj[25].
Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad berdasarkan kaum sufi sejalan dengan konsep konferensi dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju konferensi dengan Tuhan sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya :
“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah beliau melaksanakan amal yang shaleh dan janganlah beliau mempersekutukan seorang pun dalam beribadat terhadap-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)[26]
Hal yang lebih terperinci perihal proses Ittihad mampu pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada sebuah hari dikala aku dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, saya menjawab, hiasilah saya dengan keesaan itu, sehingga jika mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap menyaksikan engkau, maka yang demikian yaitu engkau dan saya tidak ada disana”[27].
Hal ini ialah ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam istilah Abu Yazid : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau ialah mahklukku, saya pun berkata : Aku yaitu engkau, engkau adalah saya dan saya yakni engkau[28]. bekerjsama kata-kata “Aku” bukanlah selaku citra dari diri Abu Yazid, namun citra Tuhan, sebab ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga mampu dikatakan bahwa Tuhan bicara lewat lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengenali dirinya Tuhan.
Beberapa Analisa Terhadap Ungkapan-perumpamaan al-Bustami
Apabila dilihat sepintas, maka dari istilah-perumpamaan al-Bustami mampu
dikategorikan selaku paham yang menyimpang dari ketentuan agama mirip pernyataannya “Aku ini yakni Allah tiada Tuhan selain saya, maka sembahlah saya” yang telah dikemukakan diatas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan pada dikala Fana’. Namun jika kita amati kata-kata beliau dalam keadaan biasa (tidak dalam kondisi Fana’) yang mengatakan “jikalau kau lihat seseorang memiliki keramat yang besar-besar,walaupun beliau sanggup melayang di udara maka janganlahkamu tertipu, sebelum kau lihat bagaimana ia mengikuti perintah syari’at dan dan menjauhi batas-batas yang dihentikan syari’at”, maka dapat diketahui bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis syari’at. Memang perumpamaan-perumpamaan al-Bustami seolah-olah beliau mengaku dirinya Tuhan, namun sesungguhnya bukan itu yang dimaksudnya, alasannya adalah kata-kata itu yakni firman Tuhan yang disalurkan melalui lidah al-Bustami yang sedang dalam keadaan Fana’al-nafs. Dalam hal ini ia menerangkan : [29]
“Sesungguhnya yang mengatakan melalui lidahku adalah ia sementara aku telah Fana’”. Makara sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya selaku Tuhan, namun perkataanya menjadikan banyak sekali jawaban.
Al-Tusi mengatakan : Ucapan ganji (al-Syaht) ialah istilah yang ditafsirkan pengecap atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan diikuti seruan[30]. Seorang sufi yang sedang trance tidak bisa mengatur diri sepenuhnya sehingga sulit untuk mampu menertibkan apa yang bergejolak dalam kalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang merepotkan dipahami oleh pendengarnya.
Oleh sebab itu menurut al-Tusi, jikalau seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang berkenaan dengan dirinya, bukan bermakna ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya alasannya sifat itu tidak dapat sirna dari diri insan. Akan sungguh berbahaya dari iman seorang muslim jika menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan dia bersifatkan sifat-sifat ketuhanan. Menurut pendapat yang mengatakan saat Fana’ hilang sifat-sifat mereka dan masuk sifat-sifat Yang Maha Benar yakni keliru, karena mampu mengantar mereka terhadap Hulul atau penyatuan manusia dengan Tuhan. Sebab Tuhan tidak Hulul dalam kalbu tetapi yang bertempat dalam kalbu yaitu keimanan terhadap-Nya, pembenaran terhadap-Nya dan pengenalan akan beliau.
Louis Massignon menyatakan bahwa istilah yang timbul pada seorang sufi diluar sadarnya mempunyai arti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang Maha Benar, sehingga dia mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan ucapannya sendiri dan perkataan tersebut tidak akan terucap dalam keadaan wajar bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri[31].
Al-Junaid menyampaikan bahwa seorang sufi yang dalam kondisi trance tidak mengucapkan wacana dirinya sendiri tapi tentang apa yang disaksikannya yaitu Allah. Ia sungguh terbuai sehingga tidak ada yang disaksikan kecuali Allah. Al-Junaidi menilai bahwa al-Bustami yakni termasuk para sufi yang tidak bisa mengontrol diri serta tunduk pad intiusi sehingga tidak mampu menjadi panutan sufi yang lain. Demikian pula menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang sufi yang trance dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan dijalankan. Semantara itu ulama yang berpegang teguh terhadap syari’at secara zhahir menuduhnya selaku sufi kafir sebab menyamakan dirinya dengan Allah dan ulama lainnya mentolerir ucapan semacam itu dianggap selaku penyelewengan dan bukan kekafiran[32].
Berdasarkan pertimbangan -pendapat diatas ternyata istilah-perumpamaan al-Bustami disampaikan dalam kondisi Fana’ dan tidak mampu dijadikan ajaran alasannya diucapkan dalam kondisi tidak sadar atau tidak dalam keadaan mukallaf yangb tepat, oleh alasannya itu, tidaklah sempurna bila beliau dituduh sebagai seorang sufi yang kafir. Lagi pula faham Fana’ dan Baqa’ yang ditujukan untuk mencapai ittihad itu mampu dipandang sejalan dengan rancangan liqa al-arabbi.Fana’ dan Baqa’ ialah jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110 diatas, ayat tersebut memberi aba-aba bahwa Allah SWT telah memberi kesempatan kepada insan untuk menemuinya, bahkan sebab telah merasa terlalu akrab dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya. Konasep Fana’ dan Baqa’ ini juga di ilhami dari kode ayat yang berbunyi :
“Semua yang ada di bumi ini adalah binasa (26) dan tetap baka muka Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan (27)”. (QS. Al-Rahman, 55 : 26-27)[33]
2. Mansur Al Hallaj
Al-Hallaj yaitu tokoh yang dianggap paling controversial dalam sejarah kesufian
(mistisme) Islam. Ini berangkat dari konsep tasawuf yang dia tawarkan jauh berlainan dengan tradisi tasawuf ketika itu. Ungkapan Al-Hallaj yang menyampaikan “Ana al-Haq” ( Akulah Yang Maha Besar) ditafsirkan para ulama sebagai sesuatu yang sungguh jauh keluar dari garis-garis ketauhidan. Sehingga polemik pemikiran ini selsai ditiang gantungan sebagai hukuman terhadap Al- Hallaj.
Di golongan cendikiawan dan pemikir Islam muncul ikhtilaf perihal substansi dari perkataan Al-Hallaj. Sebagai beranggapan bahwa istilah Al Hallaj tersebut yaitu aliran yang keluar dari anutan Islam (Bid’ah). Sebab tidak mungkin insan dapat bersatu dengan Allah (al-Hulul). Al-Haq (Yang Maha Besar) yakni Allah Subhanahu Wa Ta'ala.Ketika Al-Hallaj berkata “Ana al-Haq” berarti dia sudah menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Inilah yang kemudian dianggap oleh penguasa Abbasiyah saat itu sebagai justifikasi untuk menjatuhkan hukuman gantung kepada Al-Hllaj yang mereka anggap telah murtad.
Biografi Al-Hallaj
Al-Hallaj yaitu Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad
Al-Badawi.Beliau dilahirkan sekitar tahun 244 H (858 M) di Thus erat Baida (Parsi)[34], kini berada di wilayah Barat Daya Iran. Ia dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal selaku kawasan perkebunan kapas dan kawasan tinggal para penyortir kapas[35].
Pada abad sampaumur beliau menetap di Tustar dan belajar pada Sahl ibn Abdullah at-Tustariy (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah mencar ilmu pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H)[36]. Dua tahun kemudian dia meninggalkan gurunya at-Tastury dan pindah ke Basrah dengan argumentasi yang tidak terperinci. Louis Massiqnon menyebutkan bahwa Sahl at-Tustury yakni guru pertama al-Hallaj dalam tasawuf yang mengajarinya ihwal kecintaan dan kesederhanaan sufi, menyenangi kesunyian dan kebersihan jiwa serta tafsir al-Qur’an[37].
Pada tahun 271 H, Al-Hallaj melakukan ibada haji bareng 400 orang pengikutnya[38]. Setelah itu dia memutuskan untuk menetap di Baghdad. Disana ia ulet melaksanakan ceramah-ceramah dan pengajian. Sepuluh tahun lalu beliau kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya dan kembali lagi ke Baghdad untuk berbagi ajaran ihwal kecintaan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ajaran itu dia sampaikan di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Selain itu dalam ceramah-ceramahnya dia sampaikan keinginannya untuk mati secara terhina ditangan kaumnya seraya berkata “Wahai kaum muslimin, selamatkan saya dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menghalalkan darahku untukmu. Maka bunuhlah aku”. Pada saat inilah dia merasa bahwa hijab-hijab Tuhan telah tersingkap yang menimbulkan dirinya mampu bertatap muka dengan sang kebenaran (al-Haq). Pada dikala itu pula dia mengungkapkan perkataan yang cukup ganjil dipandang dikala itu ; “Ana al Haq / I am Truth / Akulah Yang Maha Besar”[39].
Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami rakyat untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan mereka. Masyarakat menuntut khalifah akan kebesaran pengaruhnya, maka iapun ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 910 M/ 297 H.
Kemudian Al-Hallaj berhasi keluar dari penjara dan bersembunyi di Kuzistan. Tapi tiga tahun kemudian dia kembali ditangkap dan dihadapkan pada Ali bin Isa salah seorang menteri pemerintahan Baghdad. Sehingga alhasil pada tahun 922 M,dilangsungkan sidang pengadilan yang dipimpin oleh Ali bin Isa dan Hamid dengan tuduhan sebagai berikut :
1. Ajaran yang berlebihan sehingga meyakini dirinya sebagai Tuhan.
2. Keyakinan kepada penyatuan dirinya dengan Tuhan.
3. Pendapatnya Haji tidak wajib[40].
Alasan-argumentasi yang bersifat teologis dan politis mengakibatkan al- Hallaj dituntut hukuman mati pada hari selasa tanggal 26 Maret 922 M. Al-Hallaj dihukum ditiang gantungan, sesudah itu kaki dan tangannya dipotong, kepalanya dipenggal dan tubuhnya disiram dengan minyak kemudian dibakar dan abunya dibawa ke menara ditepi sungai Tigris[41].
Walaupun beliau sudah di eksekusi mati, tapi ajarannya banyak yang sudah tersebar ditengah masyarakat lewat buku-buku yang ditulisnya. Thaha Abdul Baqi Surur menyebutkan setidaknya ada 42 buku yang sudah ditulisnya, antara lain :
1. Kitab al-Ahruf al-Muhaddatsah wa al-Azaliyah wa al-Asma’al-kulliyah
2. Al-Adl wa at-Tauhid
3. Ilmu al-Baqa wa al-Fana’
4. Al-Tawasin
5. Al- Wujud wa al- Ajal
6. Dan Lain-lain[42].
F. Ajaran Al-Hallaj : Al-Huluul
Faham al-Huluul dapat dibilang sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham
(pemikiran) al-ittihad yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M/ 261 H). Tetapi dua rancangan aliran ini berlainan. Dalam fatwa al-ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep al-Huluul-nya al-Hallaj, diri manusia tidak hancur. Dalam rancangan al-ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep pemikiran al-Huluul disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh[43].
Helbert W. Mason menyampaikan Al-Huluul yakni penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Tetapi dalam kesimpulannya desain al-Huluul-nya al-Hallaj bersifat majaziy, tidak dalam pemahaman yang sebetulnya (haqiqiy)[44]. Menurut Nashiruddin at-Thusiy, al-Huluul ialah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih badan manusia tertentu untuk mengambil kawasan didalamnya setelah sifst-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan[45].
“ Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menetralisir sifat-sifat kemanusiaan”[46]. Menurut filsafat al-Hallaj, Allah Subhanahu Wa Ta'ala mempunyai dua nature (alam) atau sifat dasar ialah al-Lahuut (Ketuhanan) dan an-Naasuut (Kemanusiaan). Demikian pula manusia, disamping memiliki sifat kemanusiaan beliau juga mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya[47]. Kedua term diatas merupakan adopsi dari kepercayaan Kristen Syiria yang menggunakannya untuk untuk menunjukkan dua sifat Kristus. Selanjutnya al-Hallaj dalam menguraikan kesatuan Lahut dan Nasut atau antara ruh ilahiyah dan ruh insaniyah memakai term al-Huluul dalam pemahaman Islam dengan iman Kristen perihal inkarnasi[48]. Bagaimana kita mampu memahamai jalan fikiran al-Hallaj itu, terutama saat menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Suci itu memiliki sifat dasar kemanusiaan?.
Tentang hal ini, Annemarie Schimmel [49]menjelaskan bahwa berdasarkan al-Hallaj kita mesti ingat bahwa sifat dasar Tuhan terkandung sifat dasar manusia. Sifat dasar manusia itu tercermin dalam penciptaan Adam. Dari keterangan ini dapat dimengerti bahwa dasar aliran al- Hallaj berasal dari teori penciptaan Adam.
Teori penciptaan Adam ini dapat dilihat dalam kerangka fatwa berikut ini.
Sebelum Tuhan membuat makhluk beliau hanya menyaksikan diri-Nya sendiri(تجلى الحق لنفسه )
Dalam kesendiriannya itu terjadi dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, obrolan yang didalamnya tidak terdapat kata-kata ataupun huruf-karakter. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya ( شاهد سبحان ذاته في ذاته ).Allah Subhanahu Wa Ta'ala melihat terhadap zat-Nya dan iapun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi alasannya wujud dan sebab dari yang banyak ini. Iapun mengeluarkan dari yang tiada (من العدم / ex nihilo) bentuk(copy)dari diri-Nya yang mempunyaisegala sifat dan namanya. Bentuk copy itu yakni Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cari ini, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam. Pada diri Adamlah Allah Subhanahu Wa Ta'ala muncul dalam bentuk-Nya.[50] Teori ini lebih terperinci mampu dilihat dalam syair al-Hallaj berikut :
سبحان من اظهر ناسوته سر سنا لاهوته الثاقب
ثم بد الخلقه ظاهرا في صورة الاكل والشارب
“ Maha suci zat yang sifat kemanusian-Nya
membukakan belakang layar cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya
Dengan positif dalam bentuk insan yang makan dan minum”
Manusia juga memiliki sifat ketuhanan menurut penafsiran al-Hallaj terhadap ayat berikut perihal penciptaan Adam :
واذ قلنا للملائكة اسجدوا لادم فسجدوا الا ابليس ابي واستكبر ...............(الاية)
“Ketika kami berkata terhadap para Malaikat “Sujudlah kepada Adam”, maka mereka pun sujud kecuali iblis yang enggan dan merasa besar (arogan) dan dia termasuk orang yang kafir (ingkar)” (QS. Al-Baqarah : 34)
Menurut al-Hallaj, Allah menyuruh para malaikat untuk sujud terhadap Adam karena pada diri Adam itu Allah menjelma sebagaimana dia menjelma dalam diri Nabi Isa. Penafsiran al Hallaj ini diperkuat oleh Hadits yang dikalangan andal sufi sungguh
besar lengan berkuasa انّ الله خلق ادم على صورته
“Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.
Kesimpulan dari pertimbangan al-Hallaj sebagaimana ditegaskan Harun Nasution dalam bukunya : “Dalam diri manusia itu terdapat sifat ketuhanan dan didlam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan. Dengan demikian persatuan antara Allah dan insan mampu terjadi, dan persatuan ini dalam filsafat al-Hallaj mengambil bentuk al-Huluul (mengambil tempat). Untuk mampu bersatu manusia harus terlebih dulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dengan fana’. Kalau sifst-sifat kemanusian itu sudah hilang dan yang tinggal cuma sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil kawasan dalam dirinya. dan saat itu roh Tuhan dan roh insan bersatu dalam badan manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :
“ Jiwamu disatukan dengan jiwaku
sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Dan jikalau ada sesuatu yang menyentuh engkau, dia menyentuh saya pula
Dan dikala itu dalam tiap hal engkau ialah aku”
Pada syair lainnya al-Hallaj juga mengatakan :
“ Aku adalah beliau yang saya cintai
dan beliau yang kucintai ialah aku.
Kami ialah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat saya, engkau lihat ia.
Dan kalau engkau lihat beliau, engkau melihat kami[51].
Dengancara inilah berdasarkan al-Hallaj seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan. Hanya saja dalam desain al-Huluul diri al-Hallaj tidak lebur berlainan dengan desain ittihad –nya al-Bustami dimana ia lebur yang ada hnaya Tuhan. Sebenarnya al-Hallaj tidak mengakui dirinya Tuhan sebagaimana dia ungkapkan dalam syairnya :
“Aku adalah Yang Maha Benar….
Dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku.
Aku cuma satu dari Yang Maha Benar,
Maka bedakanlah antara kami “.
Tujuan dari al-Huluul yaitu meraih persatuan secara bathin. Untuk itu Hamka menyampaikan bahwa al-Huluul yakni ketuhanan (lahut), bermetamorfosis kedalam diri insane (nasut) dan hal ini terjadi pada ketika kebatinan seorang manusia telah suci higienis dalam perjalanan hidup kebatinan[52].
Untuk mengetahui akidah al-Huluul ini semestinya merujuk kepada klarifikasi al-Hallaj sendiri mirip berikut ini :
“Siapa yang membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik ketingkat muqarrabin. Kemudian beliau senatiasa suci dan berkembangterus sampai terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempatdalam tubuhnya sebagaimana beliau mengambil daerah pada diri Isa bin Maryam. Dan dikala itu seorang sufi tidak lagi punya keinginankecuali apa yang dikehendak oleh ruh Tuhan sehingga seluruh perbuatannya ialah perbuatan Tuhan”[53]
Penjelasan ini setidaknya mengumumkan tiga hal berkaitan dengan bangunan desain al-Huluul. Pertama, terkait dengan pra kondisi al-Huluul tersebut. Seperti al-ittihad, fana’ an- Nafs juga ialah pra kondisi atau pintu gerbang menuju al-Huluul. Kalau fana’an-nafs sudah menciptakan Abu Yazid al-Bustami sampai terhadap terjadinya al-ittihad, maka bagi al-Hallaj itu mendorongnya samapi kepada al-Huluul. Kedua, menyangkut makna hakikat al-Huluul. Ketika al-fana mencapai puncak yang ditandai dengan leburnya nasut sufi secara total sehingga dirinya dikuasai oleh lahut nya, maka disaat itulah nasut Tuhan turun dan mengambil daerah pada diri sufi untuk bersatu dengan lahut-Nya. Inilah makna substansi al-Huluul.
At-Taftazani beropini bahwa doktrin al-Huluul itu ialah kesadaran psikologis. Oleh balasannya kesatuan dalam faham ini hanya bersifat figuratif bukan merupakan kesatuan yang riil. Dengan kata lain, persatuan figuratif dalam al-Huluul masih mengakui adanya perbedaan dan pemisahaan antara ruh Tuhan dan ruh sufi sebagaimana tampak begitu terperinci dalam perumpamaan al-Hallaj sendiri “Ruh-Mu disatukan dengan ruh-ku / mu’zijat ruhuka fi ruhiy” dan “ Kami ialah dua ruh yang bertempat pada satu badan / Nahnu ruhaani halalnaa badanan”.
Ketiga, Menyangkut imbas psikologis yang mengiringi al-Huluul.
Ketika tercapai puncak al-Huluul, seluruh kehendak sufi terserap dan diliputi oleh hasratTuhan. Sehingga seluruh aktifitas yang muncul bukan lagi aktifitas sufi melainkan aktifitas Tuhan, hanya saja melalui organ badan sufi. Dengan demikian pernyataan ”Ana Al-Haqq” tidak dapat dipandang selaku ucapan al-Hallaj untuk mengepresikan dirinya sebagai al-Haqq (Tuhan) melainkan perkataan Tuhan untuk mengepresikan dirinya selaku Tuhan[54], Hanya saja melalui ekspresi al-Hallaj.
G. Kontroversial Sebab terbunuhnya Al-Hallaj
Al-Hallaj yakni sosok tokoh sufi yang kontroversial balasan dari rancangan al-Huluul
yang dia tawarkan. Seperti desain-rancangan lainnya pasti ada yang mendukung dan ada pula menentang. Bagi sosok al-Hallaj ini kelihatannya pihak yang berseberangan dengan faham lebih banyak dibanding mendukunya. Bahkan golongan Syiah Imamiyah dan mazhab az-Zahiriyah menuduhnya sudah kafir[55]. sehingga pada akibatnya hayat beliau selsai ditiang gantungan.
Mengenai alasannya adalah dibunuhnya al-Hallaj ini sampai sekarang masih simpang siur (Kontroversial). Jika kebanyakan orang mengatakan bahwa alasannya dibunuhnya al-Hallaj sebab perbedaan faham dengan ulama fiqih yang pro penguasa, maka ini perlu dipertanyakan kembali. Sebab para para sufi-sufi lain seperti Ibnu Arabiy dan Zhun Nun al Mashriy yang juga bertentangan dengan ulama fiqih ketika itu tidak dibunuh[56].
Menurut Harun Nasution, al-Hallaj dibunuh alasannya adalah mempunyai korelasi dengan gerakan Qaramithah (Carmatians) satu sekte syiah yang dibuat oleh Hamdan Ibnu Qarmat di akhir era ke IX M. Sekte ini mempunyai faham komunis (harta benda dan perempuan miliki bersama) mengadakan teror, menyerang Makkah ditahun 930 M dan merampas Hajar al-Aswad yang lalu dikembalikan oleh Bani Fatimiyah ditahun 951 M. Mereka juga menentang pemerintahaan Bani Abbas mulai dari kala X hingga masa ke IX M[57]. Pendapat ini berdasarkan Abuddi Nata dalam bukunya Akhlak Tasaswuf perlu diperhitungkan. Sebab bila benar, maka al-Hallaj secara politis dan ideologis memang bersalah dan patut dieksekusi. Tapi jika itu cuma tuduhan belaka, maka masalahnya jadi lain. Pengadilan akhiratlah yang hendak memilih siapa yang salah dan siapa yang benar[58].
Al-Hallaj menemui ajalnya dengan penuh keberanian serta memberikan maaf kepada orang-orang yang terlibat dalam pembunuhannya. Ketika dia disalib beliau sempat menyampaikan ucapan :
“Mereka adalah hamba-hamba-Mu yang sudah berkumpul untuk membunuhku disebabkan kefanatikan kepada agama-Mu dan sebagai ibadah (dedikasi) terhadap-Mu. Maka berikan keampunan pada mereka. Jika engkau bukakan pada mereka apa yang sudah engkau bukakan pada, pasti mereka tidak akan melaksanakan apa yang telah mereka lakukan”[59].
Setelah Al-Hallaj wafat, perbedaan pertimbangan pun terjadi dalam menanggapi kepercayaan dan keimanannya. Ada yang besikap berlebihan dan memuji al-Hallaj sehingga menilai al-Hallaj sudah diangkat kelangit seperti al-Masih. Dan ada yang mengatakan dia akan kembali lagi setelah 40 tahun. Bahkan ada yang beranggapan meluapnya air sungai Dajlah setiap tahun disebabkan dibuangnya abu mayat al-Hallaj yang dibakar ke sungai tersebut[60]. Sebagian yang lain menganggap beliau telah murtad dan kafir. Ada pulah ynag bersikap tawaqquf (tidak berkomentar apa-apa) seperti Abu Abbas bin Syuraih[61]. Menurut as-Sullamiy, lebih banyak didominasi al-Masyaikh (guru-guru besar tasawuf) menolak al-Hallaj[62].
H. Penutup
Al-Bustami adalah seorang tokoh sufi yang hidup pada periode ketiga hijrah. Beliau dipandang selaku orang yang mempelopori paham Fana’ dan Baqa’ dan Ittihad. Sebelum bekliau bergelut dengan dunia tasawuf, dia mempelajari fiqh terutama mazhab Hanafi.
Pahan Fana’ yang dikembangkan oleh beliau ialah menyatakan bahwa apabila manusia sudah hingga tingkat Fana’ artinya hilangnya kesadaran akan wujud diri dan lingkungannya, maka beliau akan Baqa’ yang artinya berkesinambungan didalam sifat-sifat ketuhanan. Yaitu kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia dan puncaknya ialah insan dapat menyatu atau ittihad dengan Tuhan sehingga diri langsung menjadi tiada dan yang ada hanya Tuhan semata-mata.
Paham ini menerima jawaban yang beragam dari kalangan ulama. Ulama syari’ah atau ahli fiqh condong menyatakan bahwa paham ini menyesatkan dan al-Bustami dibilang kafir, sebagian lagi menganggapnya hanya penyimpangan saja dan sebagian lagi mengerti bahwa paham yang didasarkan pada perumpamaan-perumpamaan al-Bustami tidak mampu dijadikan anutan karena disampaikan dikala ia tidak dalam kesadaran dirinya, melainkan tunduk pada intuisi ketikas beliau fana’, baqa’, dan Ittihad.
Mengkaji rancangan al-Huluul tidak mampu dilepaskan dari penafsiran-penafsiran al-Hallaj sendiri atas keyakinan tersebut. Melihatnya tentu dari kaca mata sufi bukan dari kaca mata fiqih atau teologi. Tapi menurut kami (penulis), perilaku-sikap yang berseberangan dengan al-Hallaj pun tidak salah karena berdasarkan mereka dengan kaca mata yang dipakai keyakinan al-Huluul itu telah keliru bahkan sesat dan kafir. Apalagi secara Zhahir faham dan fatwa yang dilontarkannya bertentang dengan aliran agama Islam yang Ma’lum min Ad-Din bi adl- Dlarurah. Seperti pendapatnya ihwal tidak wajibnya haji. Mungkin ada sebagian orang setuju dengan konsep al-Huluul alasannya itu hanyalah bentuk verbal al-Hallaj wacana kedekatan dengan Tuhan dan itu cuma didapatkan lewat pengalaman, intuisi dan tajribah sufiyah yang tidak bisa dinikmati semua orang. Akan namun dikala al-Hallaj “menyeberang” kewilayah fiqih dan berfatwa bahwa haji tidak wajib dan sebagainya, maka pada aspekini ulama fiqih cendrung memamdangnya murtad dan layak dihuku mati. Wallahu a’lam bi ash-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
- Abd al-Qodir Mahmud, Al-Falsafah al-Saufiyah fi al-Islam, dar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1966
- Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta (2002)
- Abu al-wafa’ al-Ghanimiy al-Taftazaniy, Madhakal Ilaa at-Tashawuf al-Islamy, Dar ats-Tsaqafah,Kairo (1409 / 1989)
- Ahmad Muhammad Subhi, al-Falsafah al- Ahkhlaqiyah fi al-Fikr al-Islam, Dar al-Maarif, Mesir, 1969
- Abu Abdir Rahman as-Sullamy, Thabaqat as-Sufiyah, Maktabah al-Khanjiy, Kairo (1969)
- Al-Baqhdadiy, Al-Farq Bain al-Firaq, Dar al-Ma’rifah,Beirut (tt)
- Al-Hujwairiy, Kasyf al-Mahjuub; edisi Indonesia oleh Suwardjo Mutahhari dan Abdul Hadi, Kasyf al Mahjuub; Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, Mizan, Bandung (1993)
- Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
- Al-Kalabazi, al-Ta’aruf Mazhab al- Tasawuf, Maktab al-Kulliyah al-Anhadiyah, Kairo, 1969
- . Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Press, Jakarta, 1994
- Annemarie Schimme, Mystical Dimmension of Islam, The University of The North Carolina Press, USA (1999)
- Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993
- Departemen Agama, Qur’an dan Terjemahnya, 1985
- E.J. Brill’s, First Encyclopedia of Islam (1913-1936), Vol III, E.J. Brill, Leiden New York-Koln (1993)
- Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Pen.Bulan Bintang, Jalarta (1992)
- Hamka, Tasawuf ; Perkembangan dan Permurniannya, Pen Panjimas, Jakarta (1984)
- Al Qusyairiy, filsafat dan mistisme dalam Islam, penerbit Bulan Bintang Jakarta 1983
- Herbert Mason, Al-Hallaj, Curzon Press, New Delhi (1945)
- Ibnu Khalkan, Wafayaat al-A’yaan, Bulaaq, Mesir (1299 II)
- Lathiful Khuluq, The Nation oy Love God in al-Hallaj, dalam The Dynamics of Islamic Civilazation, Titian Ilahi Press, Yogyakarta (tt)
- Louis Massignon, The Encyclopedia of Islam, Luzac and Co, London (tt)
- Muhammad as-Sayid al-Galyand, Qadlaayaa at-Tasawuf fi al-Dlou’ al Kitab wa as-Sunnah, Maktabah asy-Syabaab, Al-Munirah, Mesir (1989)
- Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya,1985
- Reynold A. Nicholson, Encyclopedia of Religion andv Ethics, Charles Scribners Son, New York (tt)
- Thaha Abdul Baqi Surur, Al-Hallaj ; Syahid at-Tasawuf al-Islamiy, al Mathba’ah al-Ilmiyah wa Mathba’atuhaa. Kairo (1961)
- Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, Pengantar ilmu Tasawuf, Medan 1981/1982
- Muhammad Ghalib, at Tasawuf al muqaran, Maktabah Nahdah Mesir 1997.
[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996, hal 235
[2] 2 Ahmad Muhammad Subhi, al-Falsafah al-Akhlaqiyah fi al-fikr al-Islami, (Mesir : Dar al-Maarif, 1969), hal. 209
[3] Abuddin Nata, op.cit, hal. 236
[4] Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan 1981/1982, hal 158
[5] Departemen agama, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993, hal 262
[6] Moh. Gallib, at Thasawuf al Muqarran, Mesir ; Maktabah Nahdah, tt hal 53
[7] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta PT Grafindo Persada, 1996, hal 62
[8] Dep Agama, op.cit, hal 264
[9] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta Bulan Bintang 1978, hal 53
[10] Lois Ma’luf, al munjid fil lughah, Beirut, al maktabah al katholikiyah, 1956, hal 597
[11] Abuddin Nata, op.cit, hal 231
[12] ibid, hal 232
[13] Mustafa Zahri, kunci Memahami Tasawuf, Surabaya ; Bina Ilmu, 1985, hal 234
[14] Ibid, hal 233
[15] Al Qusyairiy, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta ; Bulan Bintang 1983, hal 81
[16] Harusn Nasution, Op.cit, hal 73
[17] Mohamad ‘Iyad al Syathi, Makanah al Tasawuf wa al Sufiyah fi al Islam, Kairo ; al ‘Arabiy, tt, hal 100
[18] Al Kalabazi, Al Ta’aruf Madzhab al Tasawuf, Kairo Maktabah al Kulliyahal al Anhadiah, 1969, hal 152
[19] Harun nasution, op.cit hal 78
[20] Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, op.cit, hal 160
[21] Abuddin nata, op.cit, hal 235
[22] Ibid
[23] ibid hal 237
[24] Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta ; Rajawali Press, 1994, hal 308
[25] Harun Nasution, op.cit, hal 92-93
[26] Departemen Agama, Qur’an dan Terjemahannya, 1985
[27] Proyek Pembinaan PTA IAIN SU, op.cit, hal 160
[28] Harun Nasution, op.cit, hal 84
[29] Abd Qodir Mahmud, Al Falsafah al Saufiyah fi al Islam, Kairo Dar al Fikr Al Arabiy, 1966, hal 310
[30] Ibid
[31] Abu al Wafa al Ghanimi al Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Kairo dar at Tsaqafah li al nasyr wat Tauzi’ 1983, terjmh Ahmad Rafi’ Usmani (bandung Pustaka 1997, hal 117
[32] Departemen Agama, op.cit hal 263
[33] Departemen Agama, Al Qur'an dan terjemahnya, hal 886
[34] E.J Brills, First Encyclopaedia Of Islam, Vol.3, Leiden-New York-Koln (1993) hal. 239
[35] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam,The University of North Carolina Press, USA (1999), hal. 66
[36] Reynold A. Nicholson, Al-Hallaj, Encyclopediaof Religion and Ethics. Charles Scribners Son, New York (tt), hal. 481
[37] lathiful Khuluq, The Notion of Love of god in al Hallaj dalam the Dynamic of Islamic Civilization, Titian Ilahi Press, yogyakarta, hal 90
[38] L. Massignon, The Encyclopedia of Islam, Luzac and co., London (tt), hal. 99
[39] Lhatiful Khuluq, Op.cit
[40] Reynold A. Nicholson, loc.cit
[41] Lhatiful Khuluq, op.cit hal 91
[42] abdul Baqi S, al Hallaj : Syahid al Tasawuf Islamiy, Maktabah al Ilmiyah, Kairo (1961) hal 361
[43] prof DR Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta (1992) hal 90.
[44] Herbert Mason, Al Hallaj, Curzon Press, New Dhelhi (1945), hal 5
[45] abdul Qadir Mahmud, Al Falsafah As Shufiyah fil Islam, Dar Al Fikri al Arabiy, Kairo (tt) hal 336
[46] abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta (2002), hal 239-240
[47] Abdul Qadir Mahmud, Loc. cit
[48] Muhammad Sayyid galyand, Qadhaya at Thasawuf fi Dho’I al Kitab was Sunnah, Maktabah Al Syabab, Mesir 1989
[49] Annemarie Schimmel, Op.Cit, hal 72
[50] Harun Nasution, Op. Cit, hal 88
[51] ibid hal, 90
[52] Hamka, tasawuf ; Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta (1984) Cet XI, hal 120
[53] Al Baghdadiy, Al farq Bainal Firaq, Dar al Ma’rifah, Beirut (tt), hal 82
[54] Al Hujwiri, Kasf al mahjuub, terjemahan Suwardjo Muttahhari dan Abdul Hadi (kasy al Mahjuub ; Risalah persia Tertua Tentang Tasawuf), Mizan, Bandung (1993), hal 231
[55] DR Abul Wafa’ al Ghanimiy at Taftazaniy, Al Madkhal Illa at Tasawuf al Islamiy, Dar Ats Tsaqafah, Kairo (1989)
[56] DR Abuddin Nata, op.cit, 244
[57] DR Harun Nasution, Op.Cit, hal 87
[58] DR Abuddin Nata, Loc.cit
[59] Ibnu Khalkan, Wafayaat al A’yaan, Boolaq, 1299 H, juz I, hal 184
[60] ibid hal 184
[61] DR Abul Wafa’ al Ghanimiy at Taftazaniy, op.cit hal 125
[62] Abu Abdur Rahman as Sullamiy, Thabaqat ash Shufiyah, maktabh al Khanjiy, Kairo (1969)
EmoticonEmoticon