Jumat, 21 Agustus 2020

Makalah Sejarah Penyusunan Al Quran

Makalah Sejarah Penyusunan Al Alquran
Oleh: Ibrahim Lubis

A. Pengertian Al Alquran

Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Quran, Arab: القرآن) yakni kitab suci agama Islam. Umat Islam yakin bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan epilog wahyu Allah yang diperuntukkan bagi insan, dan bab dari rukun dogma, yang disampaikan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5[1].

Secara Etimologi Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang bermakna "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an ialah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga ditemui pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri adalah pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya: “Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (memutuskan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) bila Kami sudah membacakannya, hendaklah kamu ikuti amalkan bacaannya”

Sedangkan secara terminologi menurut Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai “Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya tergolong ibadah”.

Sedangkan Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an selaku firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan terhadap Nabi Muhammad SAW epilog para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang lalu disampaikan terhadap kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"

Dapat disimpulkan bahwa Al Alquran merupakan firman Allah SWT yang diwahyukan terhadap nabi muhammad SAW melalui malaikat Jibril AS dan membacanya merupakan suatu ibadah. Firman allah yang disampaikan selain kepada nabi muhammad saw seperti kitab taurat (Nabi Musa), kitab Alkitab (Nabi Isa) dan kitab zabur (nabi Daud)tidak tergolong al Alquran dan tidak ibadah kalau membacanya.


B. Nama-nama lain Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

1. Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
2. Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
3. Adz-Dzikr (pemberi perayaan): QS(15:9)
4. Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
5. Al-Hukm (peraturan/aturan): QS(13:37)
6. Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
7. Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
8. Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
9. At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
10. Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
11. Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
12. Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
13. Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
14. Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
15. An-Nur (cahaya): QS(4:174)
16. Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
17. Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
18. Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)


C. Struktur dan pembagian Al-Qur'an

1. Surat, ayat dan ruku'

Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang diketahui dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat ialah surat Al Baqarah dan yang terpendek cuma mempunyai 3 ayat adalah surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bab lagi yang disebut ruku' yang membicarakan tema atau topik tertentu.

2. Makkiyah dan Madaniyah

Sedangkan berdasarkan kawasan diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya termasuk surat Madaniyah.

Surat yang turun di Makkah kebanyakan suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlaq, panggilannya ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah kebanyakan suratnya panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur korelasi seseorang dengan Tuhan atau seseorang dengan lainnya (syari'ah). Pembagian berdasar fase sebelum dan setelah hijrah ini lebih sempurna, alasannya ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.[tumpuan?]

3. Juz dan manzil

Dalam bagan pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menyelesaikan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak mempunyai hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

4. Menurut ukuran surat

Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada di dalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bab, yaitu:


a) As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus

b) Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
c) Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
d) Al Mufashshal (surat-surat pendek), mirip Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya


D. Sejarah Al Quran hingga berupa mushaf

Al-Qur'an menawarkan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil wangsit dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim bisa membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.

1. Penurunan Al-Qur'an

Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 kurun, adalah periode Mekkah dan abad Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun kala kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan kala Madinah yang dimulai semenjak kejadian hijrah berjalan selama 10 tahun dan surat yang turun pada periode waktu ini disebut surat Madaniyah.

2. Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an telah dimulai semenjak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini tamat dilaksanakan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

3. Pengumpulan Al-Qur'an pada kala Rasullulah SAW

Pada kurun dikala Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak ditugaskan. Media penulisan yang digunakan dikala itu berbentukpelepah kurma, lempengan kerikil, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, kepingan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sobat pribadi menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an sehabis wahyu diturunkan.

4. Pengumpulan Al-Qur'an pada era Khulafaur Rasyidin

Pada masa pemerintahan Abu Bakar

Pada abad kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang diketahui dengan nama perang Ridda) yang menjadikan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang dikala itu merasa sungguh cemas akan kondisi tersebut lantas meminta terhadap Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang ketika itu tersebar di antara para teman. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan peran tersebut. Setelah pekerjaan tersebut simpulan dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, akibatnya diserahkan terhadap Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya lalu mushaf tersebut berpindah terhadap Umar selaku khalifah penerusnya, berikutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.

Pada periode pemerintahan Utsman bin Affan

Pada periode pemerintahan khalifah ke-3 adalah Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari tempat berbeda-beda. Hal ini menyebabkan kegundahan Utsman sehingga dia mengambil kebijakan untuk menciptakan sebuah mushaf kriteria (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan suatu jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang dipakai sampai saat ini. Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berlawanan dengan kriteria yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman sukses mencegah ancaman laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:“ Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali menyampaikan: Katakanlah segala yang baik wacana Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya tentang mushaf-mushaf Al Qur'an telah atas kesepakatan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu ihwal info qira'at ini? Saya mendapat informasi bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi sebuah kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku beropini supaya umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'." ”

Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman sudah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah berikutnya Utsman mengirim delegasi terhadap Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia menyuruh mereka semoga menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jikalau ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran orisinil terhadap Hafsah, ia mengantarkan tujuh buah mushaf, adalah ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).


E. Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an

Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menciptakan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas perjuangan manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau mengambil alih teks yang orisinil dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.

1. Terjemahan

Terjemahan Al-Qur'an ialah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak diikuti dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal dihentikan dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan sebuah lafazh dengan banyak sekali gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, adakala pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud yang lain.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:

· Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, adalah tahun 1989 dan 2002

· Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
· An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
· Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam

Terjemahan dalam bahasa Inggris antara lain:

· The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
· The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall


Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:

· Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
· Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
· Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
· Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
· Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
· Al-Amin (bahasa Sunda)
· Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (abjad lontara), oleh KH Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap Sulsel)


2. Tafsir

Upaya penafsiran Al-Qur'an sudah meningkat sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, dikala itu para sobat tinggal menanyakan terhadap sang Nabi kalau memerlukan klarifikasi atas ayat tertentu. Kemudian sehabis wafatnya Nabi Muhammad sampai dikala ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari tata cara analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga bermacam-macam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.


F. Adab terhadap Al-Qur'an

Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama menyampaikan bahwa kalau seseorang sedang mengalami kondisi tersebut dilarang menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua menyampaikan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, sebab tidak ada dalil yang menguatkannya.

1. Pendapat pertama

Sebelum menjamah sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim direkomendasikan untuk menyucikan dirinya apalagi dulu dengan berwudhu. Hal ini menurut tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 sampai 79.

Terjemahannya antara lain: 56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini ialah bacaan yang sungguh mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)

Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja kepada Al Qur'an yakni suatu bentuk penghinaan serius kepada sesuatu yang suci. Berdasarkan aturan pada beberapa negara berpenduduk secara umum dikuasai Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang usang dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.

2. Pendapat kedua

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas yakni: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini ialah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana sudah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang higienis dari hadats besar dan hadats kecil.

Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian tujuannya perihal firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, adalah dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang sudah disucikan, ialah dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan selaku faa’il (subyek).

“Tidak ada yang menjamah Al-Qur’an kecuali orang yang suci”[3] Yang dimaksud oleh hadits di atas yaitu : Tidak ada yang menjamah Al-Qur’an kecuali orang mu’min, sebab orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[4]


Daftar Pustaka dan Footnote
  • · Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.
  • · Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
  • · Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
  • · Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
  • · Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.
  • · ------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.
  • · Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
  • · al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.
  • · al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.
  • · Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
  • · al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
  • · al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an). Terjemahan: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
  • · ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Ma’pandai.
  • · ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra
  • · Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
  • · -----------------------------------. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
  • · Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.

____________________
[1] Al-A'zami, M.M., Sejarah Teks Al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)

[2] A Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-Quran: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al-Alquran, (terj.), Bandung: Penerbit Mizania, 2007

[3] Shahih riwayat Daruquthni dari jalan Amr bin Hazm. Dan dari jalan Hakim bin Hizaam diriwayatkan oleh Daruquthni, Hakim, Thabrani di kitabnya Mu’jam Kabir dan Mu’jam Ausath dan lain-lain. Dan dari jalan Ibnu Umar diriwayatkan oleh Daruquthni dan lain-lain. Dan dari jalan Utsman bin Abil Aash diriwayatkan oleh Thabrani di Mu’jam Kabir dan lain-lain. Irwaa-ul Ghalil no. 122 oleh Syaikhul Imam Al-Albani. Beliau sudah mentakhrij hadits di atas dan menyatakannya shahih.

[4] Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, beliau berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan saya dalam keadaan junub, lalu aku menyingkir pergi dan segera saya mandi lalu saya datang (menemui beliau), lalu ia bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka saya tidak suka duduk bersamamu dalam kondisi tidak higienis (suci)”. Maka ia bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” (Dalam riwayat lainnya ia bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak najis”).

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon