Makalah Peserta Didik Dalam Pendidikan Islam
(Konsep Islam Tentang Fitrah)
A. PENGERTIAN PESERTA DIDIK
Secara etimologi penerima ajar yaitu anak ajar yang menerima pengajaran ilmu. Secara terminologi penerima asuh yakni anak ajar atau individu yang mengalami pergeseran, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan instruksi dalam membentuk kepribadian serta sebagai bab dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain penerima didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau perkembangan baik dari segi fisik dan mental maupun asumsi.
Sebagai individu yang tengah mengalami fase pertumbuhan, pasti peserta didik tersebut masih banyak memerlukan dukungan, tutorial dan instruksi untuk menuju kesempurnaan. Hal ini mampu dicontohkan saat seorang akseptor asuh berada pada usia balita seorang senantiasa banyak menerima santunan dari orang bau tanah ataupun saudara yang lebih bau tanah. Dengan demikina dapat di simpulkan bahwa peserta didik merupakan barang mentah (raw material) yang mesti dimasak dan bentuk sehingga menjadi sebuah produk pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut secara singkat dapat dibilang bahwa setiap akseptor latih mempunyai eksistensi atau kedatangan dalam sebuah lingkungan, seperti halnya sekolah, keluarga, pesantren bahkan dalam lingkungan penduduk . Dalam proses ini peserta bimbing akan aneka macam mendapatkan pinjaman yang mungkin tidak disadarinya, sebagai pola seorang penerima didik mendapatkan buku pelajaran tertentu yang beliau beli dari sebuah toko buku. Dapat anda bayangkan betapa banyak hal yang sudah dilaksanakan orang lain dalam proses pengerjaan dan pendistribusian buku tersebut, mulai dari pengetikan, penyetakan, hingga penjualan.
Dengan diakuinya eksistensi seorang penerima latih dalam konteks kehadiran dan keindividuannya, maka tugas dari seorang pendidik adalah menunjukkan dukungan, kode dan tutorial terhadap akseptor latih menuju kesempurnaan atau kedewasaannya sesuai dengan kedewasaannya. Dalam konteks ini seorang pendidik harus mengetahuai ciri-ciri dari akseptor bimbing tersebut.
a. ciri – ciri penerima didik :
- kekurangan dan ketak berdayaannya
- berkemauan keras untuk meningkat
- ingin menjadi diri sendiri (menemukan kesanggupan).[1]
b. standar akseptor ajar :
Syamsul nizar mendeskripsikan enam standar peserta latih, yakni :
- penerima asuh bukanlah miniatur orang dewasa tetapi mempunyai dunianya sendiri
- peserta didik memiliki periodasi kemajuan dan pertumbuhan
- penerima ajar ialah makhluk Allah yang mempunyai perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana beliau berada.
- penerima didik merupakan dua bagian utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan bagian rohani mempunyai daya nalar hati nurani dan nafsu
- akseptor didik adalah insan yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan meningkat secara dinamis.[2]
Didalam proses pendidikan seorang akseptor bimbing yang berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah metode pendidikan yang secara langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu menerima pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut seorang penerima latih akan mengenal lingkungan dan bisa berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut.
Sehingga semoga seorang pendidik mampu membentuk akseptor didik yang berkepribadian dan dapat mempertanggungjawabkan sikapnya, maka seorang pendidik harus mampu mengetahui penerima asuh beserta segala karakteristiknya. Adapun hal-hal yang mesti dipahami yaitu :
- kebutuhannya
- dimensi-dimensinya
- intelegensinya
- kepribadiannya.[3]
Allah SWT berfirman :
salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), sebab Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk melakukan pekerjaan (pada kita) yakni orang yang besar lengan berkuasa lagi dapat dipercaya” (Q.S. Al – Qashas 28:26).
B. KEBUTUHAN-KEBUTUHAN PESERTA DIDIK
Pada sub bab sebelumnya tengah disinggung bahwasannya untuk mendapatkan kesuksesan dalam proses pendidikan maka seorang pendidik mesti mampu memahami karakteristik seorang peserta asuh itu sendiri. Kemudian salah satu dari nya yakni keperluan peserta bimbing.
Kebutuhan penerima latih adalah sesuatu kebutuhan yang harus ditemukan oleh akseptor didik untuk menerima kedewasaan ilmu. Kebutuhan penerima didik tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik terhadap penerima didiknya. Menurut buku yang ditulis oleh Ramayulis, ada delapan kebutuhan penerima latih yang mesti dipenuhi, yaitu :
1. Kebutuhan Fisik
Fisik seorang didik selalu mengalami perkembangan yang cukup pesat. Proses kemajuan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan :
- akseptor didik pada usia 0 – 7 tahun, pada era ini akseptor latih masih mengalami periode kanak-kanak
- peserta latih pada usia 7 – 14 tahun, pada usia ini umumnya peserta latih tengah mengalami kurun sekolah yang didukung dengan peraihan pendidikan formal
- akseptor ajar pada 14 – 21 tahun, pada periode ini peserta didik mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa terhadap kedewasaan.[4]
Pada era kemajuan ini lah seorang pendidik perlu memperhatikan pergeseran dan perkembangan seorang latih. Karena pada usia ini seorang peserta ajar mengalami abad yang sarat dengan pengalaman (khususnya pada kala pubertas) yang secara tidak pribadi akan membentuk kepribadian penerima latih itu sendiri.
Disamping memberikan memperhatikan hal tersebut, seorang pendidik harus selalu menawarkan tutorial, kode, serta mampu menuntun peserta latih kepada arah kedewasaan yang pada kesudahannya bisa menciptakan peserta asuh yang dapat mempertanggungjawabkan ihwal ketentuan yang sudah dia pastikan dalam perjalanan hidupnya dalam lingkungan penduduk .
2. Kebutuhan Sosial
Secara etimologi sosial yakni sebuah lingkungan kehidupan. Pada hakekatnya kata sosial senantiasa dikaitkan dengan lingkungan yang hendak dilampaui oleh seorang akseptor didik dalam proses pendidikan.
Dengan demikian kebutuhan sosial yaitu keperluan yang berhubungan lansung dengan penduduk agar penerima asuh mampu berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, seperti yang diterima teman-temannya secara wajar. Begitu juga biar mampu diterima oleh orang lebih tinggi dari beliau mirip orang tuanya, guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu dipenuhi agar peserta ajar dapat menemukan posisi dan berprestasi dalam pendidikan.[5]
Secara singkat mampu ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan sosial yakni digunakan untuk memberi pengesahan pada seorang penerima latih yang pada hakekatnya ialah seorang individu yang ingin diterima keberadaan atau keberadaannya dalam lingkungan masyarakat sesuai dengan eksistensi dirinya itu sendiri.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kau dari seorang laki-laki dan seorang wanita dan menjadikan kau berbangsa – bangsa dan bersuku-suku semoga kau saling kenal-mengenal (Q.S. Al-Hujarat, 49:13)
3. Kebutuhan Untuk Mendapatkan Status
Kebutuhan mendapatkan status yaitu sebuah yang diperlukan oleh peserta ajar untuk mendapatkan tempat dalam suatu lingkungan. Hal ini sangat diperlukan oleh penerima ajar khususnya pada era pubertas dengan tujuan untuk menumbuhkan perilaku kemandirian, identitas serta menumbuhkan rasa kebanggaan diri dalam lingkungan masyarakat.
Dalam proses memperoleh keperluan ini lazimnya seorang akseptor asuh ingin menjadi orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang betul-betul berkhasiat dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah lingkungan masyarakat.
4. Kebutuhan Mandiri
Ketika seorang penerima bimbing telah melalui periode anak dan memasuki masa keremajaan, maka seorang penerima perlu menerima sikap pendidik yang memperlihatkan kebebasan terhadap penerima ajar untuk membentuk kepribadian berdasarkan pengalaman. Hal ini disebabkan sebab ketika peserta telah menjadi seorang akil balig cukup akal, dia akan mempunyai ambisi atau keinginan yang mulai ditampakkan dan terfikir oleh peserta latih, inilah yang akan menuntun akseptor ajar untuk mampu menentukan langkah yang dipilihnya.
Karena pembentukan kepribadian yang menurut pengalaman itulah yang menjadikan para penerima ajar mesti mampu bersikap mampu berdiri diatas kaki sendiri, mulai dari cara pandang mereka akan era depan sampai bagaimana ia dapat mencapai ambisi mereka tersebut. Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya mempunyai tujuan utama ialah untuk menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta latih, serta menghilangkan rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang renta atau pendidik, alasannya adalah dikala seorang peserta didik terlalu menerima kekangan akan sungguh menghambat daya kreatifitas dan kepercayaan diri untuk berkembang.
5. Kebutuhan Untuk Berprestasi
Untuk menerima keperluan ini maka akseptor latih mesti mampu menerima kebutuhan mendapatkan status dan keperluan berdikari apalagi dulu. Karena kedua hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kebutuhan berprestasi. Ketika peserta ajar telah mendapatkan kedua keperluan tersebut, maka secara langsung penerima ajar akan bisa mendapatkan rasa kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal ini lah yang akan menuntutnun langkah penerima asuh untuk menerima prestasi.
6. Kebutuhan Ingin Disayangi dan Dicintai
Kebutuhan ini termasuk sangat penting bagi peserta asuh, alasannya adalah keperluan ini sangatlah besar lengan berkuasa akan pembentukan mental dan prestasi dari seorang akseptor ajar. Dalam sebuah penelitian menandakan bahwa sikap kasih sayang dari orang bau tanah akan sungguh memberikan mitivasi terhadap peserta asuh untuk mendapatkan prestasi, ketimbang dengan perilaku yang kaku dan pasif malah akan menghambat proses pertumbuhan dan pertumbuhan perilaku mental akseptor ajar. Di dalam agama Islam, umat islam meyakini bahwa kasih sayang paling indah yakni kasih sayang dari Allah. Oleh alasannya adalah itu umat muslim selalu berlomba-lomba untuk menerima kasih sayang dan kenikmatan dari Allah. Sehingga insan tersebut menerima jaminan hidup yang bagus. Hal ini yang diperlukan para ahli pendidikan akan pentingnya kasih sayang bagi penerima bimbing.
7. Kebutuhan Untuk Curhat
Ktika seorang penerima latih menghadapi era pubertas, meka seorang akseptor asuh tersebut tengah mulai menerima problema-probelama keremajaan. Kebutuhan untuk curhat lazimnya ditujukan untuk meminimalisir beban dilema yang dia hadapi. Pada hakekatnya saat seorang yang tengah menglami masa pubertas membutuhkan seorang yang mampu diajak membuatkan atau curhat. Tindakan ini akan menciptakan seorang akseptor asuh merasa bahwa apa yang beliau rasakan mampu dicicipi oleh orang lain. Namun saat beliau tidak memiliki potensi untuk menyebarkan atau curhat masalahnya dengan orang lain, ini akan membentuk perilaku tidak percayadiri, merasa dilecehkan, beban persoalan yang semakin menumpuk yang kesemuanya itu akan memacu emosi seorang akseptor latih untuk melakukan hal-hal yang berjalan ke arah kejelekan atau negatif.
8. Kebutuhan Untuk Memiliki Filsafat Hidup
Pada hakekatnya seetiap insan sudah mempunyai filsafat walaupun terkadang ia tidak menyadarinya. Begitu juga dengan akseptor bimbing beliau memiliki ide, keindahan, pedoman, kehidupan, yang kuasa, rasa benar, salah, berani, takut. Perasaan itulah yang dimaksud dengan filsafat hidup yang dimiliki manusia.
Karena kadang kala seorang peseta didik tidak menyadair akan adanya ikatan filsafat pada dirinya, maka acap kali seorang akseptor latih tidak menyadari bagaimana ia bisa mendapatkannya dan bagaimana caranya. Filsafat hidup sungguh erat kaitannya dengan agama, alasannya adalah agama lah yang mau membimbing manuasia untuk menerima dan mengetahui apa bergotong-royong tujuan dari filsafat hidup. Sehingga tidak seorangpun yang tidak memerlukan agama.
Agama yaitu fitrah yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan insan, sehingga tatkala seorang akseptor asuh mengalami periode kanak-kanak, ia sudah memiliki rasa keyakinan. Namun rasa iktikad ini akan berubah seiring dengan kemajuan usia peserta latih. Ketika seorang peserta ajar keluar dari periode kanak-kanak, maka iman tersebut akan berkembang, dia mulai berfikir siapa yang membuat saya, siapa yang mampu melindungi saya, siapa yang dapat memberikan perlinfungan kepada aku. Namun iktikad ini dapat menurun tergantung bagaiman dia beribadah.
Pendidikan agana disamping memperhatikan kebutuhan-kebutuhan biologis dan psikologis ataupun kebutuhan primer maupun skunder, maka penekanannya yakni pemenuhan kebutuhan anak asuh terhadap agama sebab ajaran agama yang telah dihayati, diyakini, dan diamalkan oleh anak ajar, akan dapat mewarnai seluruh aspek kehidupannya.[6]
Dan orang-orang yang diberi ilmu (jago Kitab) beropini bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki (insan) terhadap jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (Q.S. Saba 34:6).
C. DIMENSI – DIMENSI PESERTA DIDIK
Pada hakekatnya dimensi ialah salah satu media yang diperlukan oleh penerima bimbing untuk membentuk diri, sikap, mental, sosial, budaya, dan kepribadian di era yang akan datang (kedewasaan).
Widodo Supriyono, dalam bukunya yang berjudul Filsafat insan dalam Islam, secara garis besar membagi dimensi menjadi dua, ialah dimensi fisik dan rohani. Dalam bukunya dia menyatakan bahwa secara rohani insan mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-peluangtersebut nampak dalam bentuk mengetahui sesuatu (Ulil Albab), dapat berfikir atau merenung, memepergunakan nalar, mampu beriman, bertaqwa, mengingat, atau mengambil pelajaran, mendengar firman ilahi, mampu cendekia, berkesenian, dapat menguasai tekhnologi sempurna guna dan terakhir insan lahir keduania dengan membawa fitrah.[7]
Didalam Sub Bab ini penulis cuma akan membicarakan 7 dimensi saja. Adapun ketujuh dimensi tersebut ialah : dimensi fisik, dimensi logika, dimensi keberagamaannya, dimensi budbahasa, dimensi rohani, dimensi seni, dan dimensi sosial.
1. Dimensi Fisik (Jasmani)
Fisik manusia berisikan dua bagian, ialah bagian biotik dan unsur abaiotik. Manusia sebagai akseptor asuh mempunyai proses penciptaan yang serupa dengan makhluk lain mirip hewan. Namun yang membedakan ialah manusia lebih tepat dari binatang, hal ini dikarenakan manuasia mempunyai nafsu yang dibentengi oleh nalar sedangkan binatang hanya mempunyai nafsu dan insthink bukanya nalar.
Sesungguhnya Kami sudah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik mungkin (QS. Attin :4).
Antara manusia dan hewan jiak dilihat susunan penciptaan secara abiotik dan biotik insan dan hewan memiliki proses penciptaan dan struktur yang sama, yakni tercipta dari inti sari tanah, air,api, dan udara. Dari keempat komponen abiotik itu oleh Allah SWT diciptakanlah makhluk yang didalamnya diberikan sebuah energi kehidupan yang berupa ruh.
Ramayulis, dalam bukunya beliau mengambil pertimbangan Alghazali yang menyatakan bahwa daya hidup yang berbentukruh ini merupakan vitalitas kehidupan yang sangat bergantung pada konstruksi fisik mirip susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf, urat, darah, daging, tulang sumsum, kulit, rambut, dan sebagainya.[8]
2. Dimensi Akal
Ramayulis dalam bukunya beliau mengambil pertimbangan al – Ishfahami yang membagi akal menjadi dua macam yakni :
- Aql Al-Mathhu’ : yakni nalar yang merupakan pancaran dari Allah SWT sebagai fitrah Illahi.
- Aql al-masmu : yaitu nalar yang merupakan kemampuan mendapatkan yang dapat dikembangkan oleh manusia.[9] Akal ini tidak mampu dilepaskan dari diri insan, alasannya adalah digunakan untuk menggerakkan akal mathhu untuk tetap berada di jalan Allah
Akal mempunyai fungsi selaku berikut :
- Akal yaitu penahan nafsu.
- Akal yakni pemahaman dan ajaran yang berubah-ubah dalam menghadapi. sesuatu baik yang nampak terperinci maupun yang tidak terang.
- Akal yakni petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan.
- Akal yaitu kesadaran batin dan pengaturan.
- Adalah persepsi batin yang berpandangan tembus melampaui penglihatan mata
- Akal yakni daya ingat mengambil dari masa lampau untuk kurun yang akan dihadapi.[10]
Akal pada diri manusia tidak mampu bangkit sendiri, dia membutuhkan dukungan qolb (hati) biar dapat memahai sesuatu yang bersifat ghoib seperti halnya ketuhanan, mu’jizat, wahyu dan mempelajarinya lebih dalam. Akal yang seperti ini adalah potensi dasar insan yang ada pada diri manusia sejak lahir. Potensi ini perlu mendapatkan panduan serta didikan agar tetap bisa meningkat kearah yang nyata.
3. Dimensi Keberagaman
Manusia semenjak lahir kedunia sudah menerima kodrat selaku homodivinous atau homo religius adalah makhluk yang yakin akan adanya yang kuasa atau makhluk yang beragama. Dalam agama islam diyakini bahwa pada dikala janin manusia berada dalam kandungan seorang ibu, dan ketika ditiupkan nyawa kedalam janin tersebut oleh sang kholiq, maka janin mengatakan bahwa aku akan beriman kepada-Mu (Allah). Dari sinilah insan memiliki fitrah selaku makhluk yang memiliki iman akan adanya yang kuasa semenjak lahir. Dalam Ayat Al-qur’an ditegaskan :
Dan (camkan), dikala Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian kepada jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah saya ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) biar di hari akhir zaman kau tidak menyampaikan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) yakni orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Al – A’raf : 172)
Berkaitan dengan adanya keyakinan akan adanya ilahi, ilsam memiliki tiga implikasi dasar pada diri insan yang didasarkan dari adanya satu kesamaan dari jutaan perbedaan yang terdapat diri manusia, yakni :
impikasi yang berhubungan dengan pendidikan di periode depan, dimana fitrah dikembangkan seoptimal mungkin dengan tidak mendikotomikan materi
tujuan (ultimate goal) pendidikan, yaitu manusia kamil yang mau sukses bila manusia menjalankan tugasnya sebagi abdullah dan kholifah
muatan materi dan metodologi pendidikan, diadakan spesialisasi dengan tata cara integralistik dan disesuaikan dengan fitrah manusia.[11]
4. Dimensi Akhlak
Kata etika dalam pendidikan islam adalah seuatu yang sangat diutamakan. Dalam islam adab sungguh dekat kaitannya dengan pendidikan agama sehingga dikatakan bahwa budpekerti tidak dapat lepas dari pendidikan agama. Akhlak berdasarkan pengertian islam yaitu salah satu hasil dari dogma dan ibadat, karena doktrin dan ibadat manusia tidak tepat kecuali kalau dari situ muncul budpekerti yang mulia. Maka budpekerti dalam islam bersumber pada akidah dan taqwa dan mempunyai tujuan langsung yaitu keridhoan dari Allah SWT.
Akhlak dalam islam memiliki tujuh ciri, adalah :
- bersifat menyeluruh atau universal
- menghargai watak insan yang berisikan banyak sekali dimensi
- bersifat sederhana atau tidak berlebih-lebihan
- kongkret, sesuai dengan logika dan kesanggupan insan
- kemudahan, insan tidak diberi beban yang melampaui kemampuannya
- mengikat dogma dengan amal, perkataan, tindakan, teori, dan praktek
- tetap dalam dasar-dasar dan prinsip-prisnsip adat umum.[12]
Pendidikan akhlak mulai diberikan semenjak insan lahir kedunia, dengan tujuan untuk membentuk manusia yang bermoral baik, berkemauan keras, bijaksana, tepat, sopan dan beradab, nrimo, jujur, dan suci. Namun perlu disadari bahwasannya pendidikan adab akan dapat terbentuk dari adanya pengalaman pada diri penerima ajar.
5. Dimensi Rohani (Kejiwaan)
Tidak jauh berlainan dengan dimensi budbahasa, dimensi rohani dalah ialah dimensi yang sungguh penting dan harus ada pada peserta bimbing. Hal ini dikarenakan rohani (kejiwaan) mesti mampu mengontrol kondisi manusia untuk hidu bahagia, sehat, merasa aman dan nyaman. Penciptaan manusia tidak akan sempurna debelum ditiupkan oleh Allah sebagian ruh baginya. Allah SWT berfirman :
Maka kalau aku sudah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (Al – hijr : 29).
Menurut Al- Ghazali ruh terbagi menjadi dua bentuk, yaitu al – ruh dan al- nafs. Al-ruh ialah daya insan untuk mengenal dirinya sendiri, tuhan, dan meraih ilmu wawasan, sehingga dapat memilih insan berkepribadian, berakhlak mulia serta menjadi motivator sekaligus pencetus bagi insan untuk melakukan perintah Allah. Al-nafs adalah pembeda dengan makhluk yang lain dengan kata lain pembeda tingkatan manusia dengan makhluk lain yang sama-sama mempunyai al-nafs seperti halnya hewan dan tumbuhan.[13]
Menurut usulan Al-Syari’ati ruh ialah bersifat dinamis, sehingga dengan sifat yang dinamis itu, memungkinkan manusia untuk mencapai derajat yang setinggi-tingginya. Atau malah akan menjerumuskannya dari pada derajat yang serendah-rendahnya. Hal ini dikarenakan manusia yang mempunyai kebebasan untuk mendekatkan diri ke arah kutub rab nya atau malah kearah kutub tanah. Dengan demikian secara singkat dapat dibilang bahwa ruh manusia dapat berkembang ketaraf yang lebih tinggi apabila bergerak kearah ruh illahinya.
6. Dimensi Seni (Keindahan)
Seni ialah salah satu kesempatanrohani yang terdapat pada diri manusia. Sehingga senia dalam diri manusia mesti lah dikembangkan. seni dalam diri insan merupakan fasilitas untuk mencapai tujuan hidup. Namun tujuan utama seni pada diri manusia ialah untuk beribadah kepada Allah dan menajalankan fungsi kekhalifahannya serta mendapatkan kebahagiaan spiritual yang menjadi rahmat bagi sebagian alam dan keridhoan Allah SWT.
Dalam agama islam Allah sudah menghadirkan dimensi seni ini didalam Al-Qur’an. Kitab suci Al-qur’an memiliki kandungan nilai seni yang sangat mulia nan indah. Hal ini sebab A-lqur’an adalah verbal dari Allah SWT untuk menunjukkan kebijakan dan pengetahuan kepada seluruh semesta Alam. Sehingga kesastraan yang terdapat di dalam Al-Qur’an benar-benar memberikan kehadiran Illahi didalam mu’jizat yang bersifat universal ini. Allah SWT berfirman :
Dan kamu mendapatkan persepsi yang indah padanya, saat kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kau melepaskannya ke kawasan penggembalaan (QS. An-nahl : 6)
Keindahan senantiasa berkaitan dengan adanya keimanan pada diri insan. Semakin tinggi kepercayaan yang dimiliki oleh manusia maka beliau akan makin dapat mencicipi keindahan akan segala sesuatu yang di ciptakan oleh tuhannya.
7. Dimensi Sosial
Dimensi sosial bagi insan sangat akrab kaitannya dengan suatu golongan, kalangan, maupun lingkungan masyarakat. Lingkungan terkecil dalam dimensi sosial ialah keluarga, yang berperan sebagai sumber utama peserta ajar untuk membentuk kedewasaan. Didalam islam dimensi sosial dimaksudkan agar insan mengetahui bahwa tanggung jawab tidak cuma diperuntukkan pada perbuatan yang bersifat langsung tetapi tindakan yang bersifat biasa .
Dalam dimensi sosial seorang akseptor didik harus bisa menjalin ikatan yang dinamis antara keperntingan langsung dengan kepentingan sosial. Ikatan sosial yang besar lengan berkuasa akan mendorong setiap manusia untuk peduli akan orang lain, membantu sesama serta memperlihatkan cermin keimanan kepada Allah SWT. Nabi SAW bersabda :Demi allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, orang yang tidur kekenyangan, sedangkan tangannya kelaparan, padahal ia mengetahuinya.
D. TINGKAT INTELEGENSI PESERTA DIDIK
Secara bahasa Integensi mampu diartikan dengan kecerdasan, pengertian, kecepatan, kesempurnaan sesuatu atau kemampuan. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indoneseia (KBBI) intelegensi yakni daya menyesuaikan diri dengan kondisi gres dengan mempergunakan alat-alat berpikir berdasarkan tujuan dan kecerdasannya.
Berdasarkan pemahaman diatas jelaslah bahwa intelegensi penerima asuh yakni kecerdasan yang dimiliki peserta asuh yang dipakai untuk beradaptasi dengan kondisi yang gres ataupun memahami sesuatu yang baru berdasarkan tingkat kecerdasan dan tujuan. Sehingga intelegensi atau kecerdasan dalam pendidikan islam dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :
- kecerdasan intelektual
- kecerdasan emosional
- kecerdasan spiritual
- Kecerdasan Qalbiyah.
1. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan intelektual yakni kecerdasan yang bekerjasama dengan pengambangan tingkat kemampuan dan kecerdasan otak, nalar atau IQ. Ramayulis dalam bukunya menyatakan, kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani, dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan lainnya.[14]
Kecerdasan intelektual pada diri manusia sangat bersahabat kaitannya dengan proses berfikir atau kecerdasan anggapan yang disebut dengan faktor kognitif. Dalam faktor ini insan dipaksa untuk mampu menimbang-nimbang sesuatu, memecahkan atau memutuskan sesuatu persoalan dengan menggunakan pikiran yang logis (nalar). Secara umum kecerdasan intelektual mampu digolongkan selaku berikut :
Tingkat Inteltual
- Super wajar
- Normal dan sedikit dibawah normal
- Sub Normal
- Normal atau subnormal, IQ 90 – 110
- Berdorline, IQ 70 – 90
- Debil, IQ 50 – 70
- Insibil, IQ 25 – 50
- Idiot, IQ 20 – 25”
- Genius, IQ diatas 140
- Gifted, IQ 130 – 140
- Superior, IQ 110 – 130
Menurut pengantar pendidikan anak luar biasa yang disusun oleh Sam Isbani, menyampaikan bahwa tingkat intelegensi peserta didik dapat diklasifikasikan selaku berikut :
- berkelainan sosial
- berkelainan jasmani
- berkelainan mental
- anak bandel/ delinquen
- anak yang menyendiri, menjauhkan diri dari masyarakat
- anak timpang
- anak berkelainan penglihatan
- anak berkelainan indera pendengaran
- anak berkelainan bicara
- anak kerdil
- tingkat kecerdasan rendah
- tingkat kecerdasan tinggi.[15]
2. Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Gomelen, kecerdasan Emosional yaitu kesanggupan untuk memotovasi diri sendiri, bertahan menghadapi putus asa, mengatur dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur situasi hati, menjaga akan beban stres tidak melumpuhkan kesanggupan berfikir, berempati dan berdo’a.[16]
Secara lazim kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual saling berkaitan satu sama lain. Jika kecerdasan intelektual yang dihasilkan otak kiri dipakai untuk berfikir atau memecahkan suatu problem, maka kecerdasan emosional yang dihasilkan oleh otak kanan dipakai untuk memperlihatkan motivasi, mendorong kemauan dan menertibkan dorongan hati. Sehingga dengan adanya kecerdasan dalam diri peserta bimbing, peserta ajar akan mampu memotivasi dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu hal yang bersifat positif, bahkan diharapakan dengan adanya kecerdasan ini seorang peserta ajar bisa untuk menghilangkan rasa malas yang timbul pada dirinya.
Ari Ginanjar mengemukakan faktor-aspek yang berafiliasi dengan kecerdasan emosional, selaku berikut :
- Konsistensi (istiqamah)
- Kerendahan hati (tawadhu’)
- Berusaha dan berserah diri (tawakkal)
- Ketulusan (tulus), totalitas (kaffah)
- Keseimbangan (tawazun)
- Integritas dan penyempurnaan (ihsan)
Didalam islam hal tersebut disebut dengan akhlaq al karimah.[17] Akhlaq Al Karimah ini mampu mengendalikan seseorang dari cita-cita-cita-cita, yang bersifat negatif, dan sebaliknya mengarahkan seseorang untuk melaksanakan hal-hal yang posistif.
Solovery menerangkan ihwal ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai berikut :
- respon yang cepat namun lalai
- mendahulukan perasaan daripada fikiran
- realitas simbolik yang seperti belum dewasa
- masa lampau ditempatkan selaku periode sekarang
- realitas yang ditentukan oleh keadaan.[18]
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional yang bekerja secara acak tanpa ajaran yang logis. Apabila tidak didampingi oleh fatwa yang bersifat logis (Kecerdasan Intelektual) dikhawatirkan malah akan mendorong peserta latih untuk melakukan hal-hal yang negatif atau melakukan sesuatu yang monoton (tidak berkembang).
Jalaludin Rahmat, dalam bukunya yang berjudul Kecerdasan Emosional prespektif, mengemukakan bahwa untuk menerima kecerdasan emosional yang tinggi harus melakukan hal-hal selaku berikut :
- musyarathah, berjanji pada diri sendiri untuk membiasakan perbuatan baik dan mencampakkan tindakan buruk
- muraqobah, memonitor reaksi dan sikap sehari-hari
- muhasabah, melaksanakan perkiraan baik dan jelek yang pernah dilakukan
- mu’atabah dan mu’aqabah, mengecam kejelekan yang dijalankan dan menghukum diri sendiri.[19]
3. Kecerdasan Spiritual
Secara etimologi spritual berarti yang berkehidupan atau sifat hidup. Kecerdasan spiritula pada diri insan berorientasi pada dua hal, yakni berorientasi kepada hal yang bersifat duniawi dan agama.
Ketika seseorang mengorirntasikan kecerdasan spiritual kedalam sesuatu yang bersifat duniawai, maka yang datang dalam dirinya ialah bagaimana dia mampu memaknai hidup dan mengelola nilai-nilai kehidupan. Bukan untuk menentukan atau memilih keyakinan dan kepercayaan akan sebuah agama.
Disisi keagamaan, Ari Ginanjar menyatakan bahwa inti dari kecerdasan spiritual adalah pemahaman wacana kedatangan insan itu sendiri yang muaranya menjadi ma’rifat terhadap Allah SWT. Ketika insan mendapatkan ma’rifat tersebut, maka insan secara eksklusif akan mampu mengetahui dirinya sendiri sekaligus mengenal tuhannya. Dalam prespeksi islam hal ini ialah tingkat kecerdasan yang paling tinggi.
Kecerdasan spiritual mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Bersikap asertif, memiliki doktrin yang tinggi dan pengertian yang sempurna perihal ke-Esaan Tuhan, sehingga seorang tersebut tidak akan takut akan makhluk.
- Berusaha menyelenggarakan inovasi, senantiasa berupaya mencari hal baru untuk pertumbuhan hidup dan menciptakan sesuatu yang lebih baik dari sesuatu yang telah ada.
- Berfikit lateral, berfikir akan adanya sesuatu yang lebih tinggi dari semua kelebihan insan. Hal ini ditandai dengan adanya perenungan dan anutan akan adanya sifat maha yang dimiliki oleh sang pencipta alam sehingga membuat manusia tersentuh perasaan dan mampu menanamkan sikap tunduk dan patuh yang mebuat hati bergetar dikala mampu mencicipi sifat kemahaan tersebut.
Dalam islam kecerdasan spiritual mampu dikembangkan dengan kenaikan iman yang ialah sumber ketenangan batin dan keseleamatan, serta melaksanakan ibadah yang mampu membersihkan jiwa seseorang.
4. Kecerdasan Qalbiyah
Secara etimologi qalbiah berasal dari kata qalbu yang memiliki arti hati. Dalam pengertian perumpamaan kecerdasan qalbiyah bermakna kemampuan insan untuk mengerti kalbu dengan tepat dan mengungkapkan isi hati dengan tepat sehingga dapat menjalin kekerabatan moralitas yang sempurna antara manusia dan ubudiyah.
Kecerdasan kalbu pada diri insan yang tepat akan menghandirkan kecerdasan agama dalam dirinya. Kecerdasan agama yakni tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dari kecerdasan qalbiyah. Ketika seseorang sudah mencapai kecerdasan agama maka secara eksklusif seorang tersebut akan mempunyai kecerdasan yang melampaui kecerdasan intelktula, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Ramayulis dalam bukunya menyatakah bahwa ciri utama kecerdasan qalbiyah adalah :
- tanggapanyang intuitif ilabiab
- lebih mendahulukan nilai-nilai ketuhanan dari pada nilai-nilai kemanusiaan
- realitas subyektif diposiskan sama kuatnya posisinya, atau lebih tinggi dengan realitas obyektif
- didapat dengan pendekatan penerapan spiritual keagamaan dan pensucian diri.[20]
E. ETIKA PESERTA DIDIK
Etika akseptor ajar yaitu seuatu yang mesti dipenuhi dalam proses pendidikan. Dalam etika peserta ajar, peserta didik mempunyai keharusan yang harus dilakukan oleh peserta ajar. Dalam buku yang ditulis oleh Rama yulis, menurut Al-Ghozali ada sebelas kewajiban penerima didik, adalah :
Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqoruh terhadap Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan etika yang tercela. Dan aku tidak membuat jin dan insan melainkan semoga mereka mengabdi kepada-Ku (Ad-dzariat :56) Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang ditugaskan kepadaku dan saya adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (Al-An’am :163)
- Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan duduk perkara ukhrowi.
- Bersikap tawadhu’ (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya.
- Menjaga pikiran dan pertantangan yang timbul dari berbagai fatwa
- Mempelajari ilmu – ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrowi maupun untuk duniawi.
- Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah menuju pelajaran yang sukar.
- Belajar ilmu hingga tuntas untuk lalu hari beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak asuh memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
- Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu wawasan yang dipelajari.
- Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yakni ilmu yang dapat berguna dalam kehidupan dinia akherat.
11. Anak asuh mesti tunduk pada nasehat pendidik.[21]
Agar penerima ajar menerima keridhoan dari Allah SWT dalam menuntut ilmu, maka penerima latih mesti bisa memahami etika yang mesti dimilkinya, adalah :
- Peserta asuh hendaknya selalu membersihkan hatinya sebelum menimba ilmu.
- Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi roh dengan berbagai sifat keistimewaan.
- Memiliki kemauan yang besar lengan berkuasa untuk mencari dan menimba ilmu di berbagai tempat.
- Setiap penerima didik wajib menghormati pendidiknya.
- Peserta ajar hendaknya mencar ilmu secara benar-benar dan tabah.[22]
Namun adat akseptor ajar tersebut perlu disempurnakan dengan empat akhlak akseptor bimbing dalam berguru, yaitu :
- Peserta bimbing harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum beliau berguru, alasannya adalah belajar ialah ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang higienis.
- Peserta asuh harus mempunyai tujuan menimba ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri terhadap Allah.
- Seorang akseptor asuh mesti sabar dalam mendapatkan ilmu wawasan dan tabah dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang tiba.
- Seorang mesti lapang dada dalam berguru dengan menghormati guru atau pendidik, berupaya memperoleh kerelaan dari guru dengan memanfaatkan beberapa cara yang baik.[23]
Daftar Pustaka dan Footnote
- Ahmadi,Abu dkk. Ilmu Pendidikan Cetakan ke II. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2006.
- Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia. Jakarta. 2006.
- Supriono,Widodo. Filsafat Manusia dalam Islam. Pustaka Belajar. Yogyakarta, 1996.
- Vandha. Pendidikan Islam dan Sumber Daya Manusia. Jakarta. 2008.
__________________
[1]Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Cetakan ke II, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2006, Hal 40
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, Hal. 77
[3] Ramayulis, Op.cit. Hal. 78
[4] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Cop.cit, Hal. 42
[5] Ramayulis, Cop.cit, Hal. 78
[6] Ramayulis, Op.cit. Hal. 81
[7] Widodo Supriono, Filsafat Manusia dalam Islam, Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 1996, Hal. 171
[8] Ramayulis, Op.cit., Hal. 83
[9] Ramayulis, Op.cit., Hal. 85
[10] Ibid., Hal. 86
[11] Ramayulis,Op.cit., hal 88
[12] Ibid., hal 89 – 90
[13] Al-Ghazali, Mi’raj as-Salikhin, al-saqafat al-islamiyat, kairo, 1994, Hal. 16
[14] Ramayulis, Op.cit., Hal. 97
[15] Drs. Abu Ahmadi dan Dra. Nur Uhbiyati, Op.cit, Hal. 46
[16] Daniel Golmen, Kecerdasan Emosional Edisi Terjemahan Cetakan Ke 9 Gramediya, Jakarta, 1999, Hal. 45
[17] Ari Ginanjar Agustian, Emotional Spiritual Quotient : Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Arga, Jakarta, 2001, Hal. 199
[18] Ramayulis, Op.cit., Hal 103
[19] Ramayulis, Op.cit., Hal. 105
[20] Ramayulis, Op.cit., Hal. 110
[21] Abd. Mujid dalam Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2004, Hal. 98
[22] Ramayulis, Op.cit. Hal 119
[23] Ibid, Hal 120
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon