Rabu, 04 November 2020

Makalah Kebijakan Pendidikan Islam

Kebijakan Pendidikan Islam Mengenai Bahasa Pengantar
Bahasa yakni alat komunikasi dalam hidup bermasyarakat (berkelompok), berbangsa dan beragama. Manusia ialah makhluk sosial yang diciptakan Allah untuk saling menjalin kekerabatan. Agar korelasi tersebut terlaksana maka dibutuh alat dan alat tersebut adalah bahasa. Dalam konteks kenegaraan bahasa sangat memegang peranan penting untuk mempersatukan masyarakat yang multi etnis. Bahasa yang digunakan disebut bahasa pengirim . Begitu juga dalam mempertautkan antar suku bangsa yang berada dalam agama yang sama, umpamanya agama Islam.

Dalam dunia Islam, kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar untuk mengerti agama sangatlah urgen. Karena ajaran Islam yang terdapat dalam kitab suci al Quran dan hadis selaku sumber ajaran yang kedua berlangsung dalam bahasa Arab. Maka nyaris di seantero pelosok dunia yang didiami oleh orang muslim, bahasa Arab selalu dipelajari dan menjadi mata pelajaran dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi tinggi. Ini pertanda bahasa tersebut menjadi alat pemersatu umat Islam yang latar belakangnya dari berbagai bangsa.

Pada zaman kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah bahasa Arab menjadi bahasa Islam dan bahasa ilmu pengetahuan di Asia Tengah, sebagaimana bahasa latin menjadi medium perkembangan pengetahuan di Eropa dan sebagai bahasa kaum kristiani. Sementara itu di periode dinasti Umayyah Andalus ada beberapa factor yang mendorong mereka mempelajari bahasa Arab, antara lain; (1) bahasa Arab ialah bahasa tamaddun dan ilmu wawasan, (2) bahasa Arab ialah bahasa resmi negara, dan (3) bahasa Arab juga menjadi bahasa agama yang berhubungan erat dengan al quran, hadis dan tradisi ilmu Islam.

Maka kebijakan bahasa Arab selaku bahasa pengantar di dunia Islam tidak saja diberlakukan di negara timur tengah, akan tetapi bahasa pengirim tersebut bagi umat Islam di negara-negara non Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan bahasa pemersatu ketika mereka bertemu mirip konferensi akbar setiap tahun di kota suci Makkah dalam prosesi haji.

Kebijakan Pendidikan Islam Mengenai Kewajiban Bela Negara
Pengertian bela negara (jihad) secara sederhana ialah mengerahkan segenab tkemampuan ubtuk berperang di jalan Allah, baik secara eksklusif (terjun ke arena perang) atau dengan harta, menyampaikan pendapat, memperbanyak jumlah pasukan dan sebagainya. Secara lazim, perang membela kehormatan negara yaitu fardhu kifayah, tetapi tatkala kebutuihan sungguh mendesak maka perang bagi kaum mukmin menjadi fardhu a’in. Umat Islam berperang demi kedamaian dan keadilan bukan untuk unjuk kekuatan. Fazlurrahman memastikan bahwa perang tidak mampu terelakkan untuk menjamin tunjangan kepada aqidah islamiyah yang di atasnya ditegakkan system keadilan dan kebaikan.[1]

Era khalifah Umar bin Khattab, ia menulis kurikulum pendidikan yang kemudian dikirimnya terhadap penguasa-penguasa Islam supaya mengajari bawah umur berenang, berkuda dan panah. Ini menunjukkan bahwa kewajiban bela negara dalam kurikulum juga menerima perhatian khusus. Dari situ kemudian dibentuklah lembaga-forum kepolisian, departemen pertahanan dan keamanan (diwan jund). Pada era dinasti Umayyah tentaranya dirancang mengikuti struktur oraganisasi militer tentara Bizantium. Pada periode dinasti Abbasiyah dibentuk pasukan pengawal khalifah (haras) dan pengawal istana.

Kewajiban pokok wacana bela negara di Indonesia antara lain tertuang dalam undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat 3. yang berbunyi “setiap warga negara berhak dan wajib berpartisipasi dalam upaya pembelaan negara”. Dalam undang-undang nomor 3 tahun 2002 ihwal pertahanan negara dikontrol dalam pasal 9 ayat 2 yang berbunyi” keikutsertaan warga negara dalam upaya pembelaan negara diselenggarakan melalui; (1) pendidikan kewrganegaraan, (2) training dasar kemiliteran secara wajib, (3) pengabdian sebagai prajurit tentara nasional Indonesia secara suka rela atau secara wajib, dan (4) dedikasi sesuai profesi.[2] Jadi kewajiban bela negara bekerjsama telah ada sejak zaman Rasulullah, hal ini terlihat dalam kejadian perang Badar dan beberapa perang jihat lainnya.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Alih Teknologi
Sesungguhnya Islam telah mengenal teknologi sejak hadirnya Islam itu sendiri adalah pada kurun Rasulullahhingga sekarang ini. Islam telah menciptakan teknologi ilmu wawasan pada era lalu, tetapi hal ini berpindah ke barat pasca penyerangan Hulagu Khan ke kota Baghdad dan hadirnya renansain di benua Eropa. Alih teknologi sebenarnya secara tersirat nampak pada sabda Rasulullah “tuntutlan ilmu walau ke negeri Cina”, ialah Rasul memerintahkan umatnya untuk belajar dan terus menggali ilmu pengatahuan walau dalam jarak yang cukup jauh, dan mengapa Cina, alasannya adalah orang Cina ketika itu mahir dalam IPTEK, lebih-lebih dalam berjualan. Kebijakan lain Rasul adal;ah membolahkan mencangkok dan mengawinkan kurma.

Era dinasti Umayyah, terjadi penerjemahan buku-buku kimia dan kedokteran ke dlam bahasa Arab secara besar-besaran.[3] Khalid ibn Yazid menugaskan Steven, seorang ilmuan neoplatonis Aleksanderia, untuk menerjemahkan aneka macam karya astronomi dari bahasa Yunani dan syiria ke dalam bahasa Arab.[4] Pada kala dinasti Abbasiyah berkuasa, khususnya ketika al Makmun menjadi khalifah, Baghdad menjadi sentra ilmu wawasan dan teknologi. Kebijakan ini diambil oleh Al Makmun untuk mengembangkan khazanah ilmu orang-orang Islam, walau beliau memanfaatkan orang non muslim selaku penerjemah. Di masa al Mutawakkil, lahirlah tokoh-tokoh ilmuwan muslim dalam banyak sekali bidang ilmu, sebut saja Ibnu Sina yang hebat dalam bidang kedokteran, Al Kindi, Al farabi yang jago dalam ilmu filsafat dan masih banyak yang lainnya.

Di Indonesia saat ini, khususnya dalam bidang pertanian di desa-desa, laju penetrasi teknologi pertanian modern tidak kalah cepatnya. Di dunia pendidikan sejak tahun 1970 kebijakan pemerintah semoga menggunakan radio dan televisi untuk mengembangkan mutu pendidikan yang merata di seluruh pelosok negeri ini. Namun akselerasi laju teknologi di Indonesia tidak secepat negara-negara maju mirip Amerika dan negara Eropa yang lain. Akan tetapi kebijakan pendidikan wacana alih teknologi telah sungguh menerima perhatian serius dari pihak pemerintah.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang IMTAQ dan IPTEK
Dalam perspektif Islam, iktikad bukan sekedar percaya terhadap Allah, namun meliputi puila pengertian ihwal siapa Allah yang kita percayai dan bagaimana kita besikap terhadap-Nya serta kepada objek-objek selain Dia. Dengan demikian tekanan keyakinan yakni amal, alasannya adalah itu keyakinan kepada Allah masih disertai dengan perilaku taat kepada-Nya dalam bentuk ibadah dan aktualisasinya dalam bentuk amal saleh dimana pada akibatnya akan terbentuk kesalehan eksklusif dan sosial.

Sementara ilmu wawasan atau sains ialah himpunan penegtahuan manusia yang diperoleh lewat proses pengkajian dan dapat diterima rasio. Dengan kata lain, ilmu pengethuan yaitu himpunan rasionalitas kolektif manusia.[5] Adapun teknologi yaitu penerapan ilmu pengatahuan kealaman secara sistematis dalam proses produktif ekonomis untuk menciptakan sesuatu yang berguna bagi kenaikan taraf hidup dan kesejahteraan umat manusia.[6]

Islam, melalui tatanan ajarannya menggambarkan betapa bersahabat relasi antara islam dan iptek selaku hak yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Tegasnya hubungan antara Islam dengan iptek yang dituangkan dalam sebuah kebijakan adalah sungguh inheren, dekat dan menyatu. Bagi Islam teknologi mesti mengandung muatan nilai adat yang senantiasa menyertainya ketika dipraktekkan oleh umat. Sungguhpun hebat sebuah teknologi, tetapi kalu digunakan untuk menghancurkan sesama umat insan, memusnahkan lingkungan, maka Islam tetap berada di garda terdepan untuk menghalangi hal tersebut. Makara teknologi dalam Islam harus berorienstasi pada amar ma’ruf nahi munkar.

Pada prinsipnya tujuan pendidikan Islam ialah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa juga menguasai ilmu wawasan. Bersandar pada penegasan al qur’an ihwal peran utama insan sebagai penghamba (‘abd) yang misinya yaitu menyembah Tuhannya, dan juga tugas lain insan yakni selaku pengelola (khalifah)[7] yang mesti tahu cara memamfaatkan teknolgi untuk memakmurkan jagat ini. Apresiasi yang ditunjukkan oleh umat Islam terhadap ilmu pengetahuan adalah dengan lahirnya para arif yang sedikit banyaknya telah memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan dalam aneka macam disiplin ilmu. Satu hal yang sungguh menarik adalah para pandai tersebut menunjukkan adanya perbaduan antara ilmu pengetahuan dengan doktrin.

Nah. Kebijakan pendidikan Islam tidak semata-mata berorientasi kepada kebutuhan ukhrawi saja, akan namun juga keperluan duniawi. Sebagai khalifatullah di bumi ini, maka insan harus mempunyai ilmu wawasan dan teknologi yang berlandaskan akidah dan taqwa.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Multikultural
Proses pendidikan bahu-membahu hanya mampu dimengerti keberhasilannya jikalau kita tempatkan dalam lingkungan kebudayaan sebuah penduduk . Kebijakan pendidikan multicultural ialah serangkaian konsep dan azas yang dijadikan dasar planning pendidikan dalam Islam untuk menunjukkan potensi terhadap semua kelompok masyarakat dalam proses pendidikan untuk mencapai kemandirian.

Kebijakan pendidikan multicultural dalam lintasan sejarah mampu kita pada peran Rasul yang tidak membatasi umatnya untuk berguru dan terhadap semua orang mereka mencar ilmu. Golongan manapun boleh dijadikan guru asal itu benar dan juga boleh dimana saja serta dalam komunitas apa saja. Namun pendidikan di kurun Umayyah tidak begitu menerima perhatian serius, barangkali alasannya situasi politik saat ini belum stabil dan masih berpusat pada ekspansi kawasan kekuasaan. Lain gi di kala dinasti Abbasiyah, utamanya dikala Al Makmun menjadi khalifah, pendidikan sangat menerima perhatian khusus terlebih setelah “bait al pesan yang tersirat” didirikan. Beberapa rancangan multicultural yang diprakasai oleh institusi ini yaitu (1) nilai-nilai keleluasaan berekspresi, keterbukaan toleransi dan kesetaraan mampu dijumpai pada proses pengumpulan menuskrip-menuskrip dan penerjemahan buku- buku sains dari bahasa Yunani, (2) perbedaan etnik cultural dan agama bukan hambatan dalam melaksanakan penterjemahan. Dibuktikan dengan banyaknya sarjana non muslim dan berbeda kultur yang melakukan kegiatan tersebut.[8]

Inti dari pendidikan multicultural yakni (a) apresiasi terhadap adanya pluralitas budaya dalam masyarakat, (b) pengesahan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia, (c) pengembangan tanggungjawab masyarakat dunia, dan (d) pengembangan tanggungjawab manusia terhadap planet bumi. Sementara tujuan pendidikan multicultural yakni 1) berbagi perspektif sejarah yang bermacam-macam dari kelompok-kelompok penduduk , 2) memperkuat kesadaran budaya yang hidup di tengah masyarakat, 3) memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup di penduduk , 4) membasmi rasisme, seksisme dan aneka macam jenis prasangka, 5) membuatkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi, dan 6) membuatkan agresi sosial. Sedangkan orientasi pendidikan multikultural yakni kemanusiaan (humanisme), kesejahteraan (welvarisme), kebersamaan (kooperatif), ketepatan (proposional), akreditasi pluralitas dan heterogenitas, serta anti hegemoni dan dominasi.[9]

Prinsip multikulturalisme ini bekerjsama sudah menjadi contoh bagi pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan selaku kebudayaan nasional. Hal ini mirip dirumuskan dalam klarifikasi pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi “kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan di kawasan”.oleh karena itu prinsip ini mampu dijadikan taktik dan pendekatan dalam merajut relasi antara warga yang mempunyai keberagaman budaya, sekaligus mampu digunakan selaku perangkat analisis guna mengerti dinamika keragaman latar belakang budaya, perbedaan sejarah,, suku, bangsa, rasial, golongan dan agama.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Politik
Pada hakikatnya politik dan pendidikan ialah dua hal yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Teritama dalam proses pembentukan karakter penduduk suatu Negara. Dalam banyak hal kaitan politik dan pendidiakn sering diistilahkan dengan politik pendidikan.

Ada beberapa pemahaman tentang politik pendidikan, di antaranya ialah seperti dikatan oleh Kimbrough “The politic of educational is the process of making basic educational decision of local district wide, state wide or nation wide significance”. (politik pendidikan yaitu proses pengerjaan keputusan-keputusan penting dan mendasar dalam bidang pendidikan baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional)[10]. Sementara itu Archer membedakan antara politik pendidikan dengan polittik kependidikan. Politik pendidikan meliputi semua interaksi sosial yang mensugesti pendidikan, sedangkan politik kependidikan yaitu upaya untuk menghipnotis, proses, aksentuasi atau agresi kalangan, eksperimentasi, investasi langsung, transaksi local, inovasi internal atau propaganda.[11]

Kebijakan pendidikan Islam perihal politik bias kita saksikan melalui lembaran sejarah bahwa tidak dapat disangkal jikalau forum pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh mesjid-mesjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik para penguasa mampu dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan kepada uluran tangan para penguasa secara hemat membuat forum-forum tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku.[12] Makara jelaslah bahwa kebijakan pendidikan Islam terhadap politik sungguh akrab relasi dengan tata cara poilitik yang berlaku di Negara/kawasan yang bersangkutan. Kajian pendidikan mampu menawarkan pemahaman yang lebih tentang kaitan antara banyak sekali kebutuhan politik Negara dan berita-info simpel sehari-hari di sekolah.

Kebijakan Pendidikan Islam Tengtang Ekonomi
Keterkaitan pendidikan dengan ekonomi secara makro sengat berimplikasi pada kebijakan dalam pembiayaan pendidikan. Pada awal kemajuan Agama Islam rasulullah dan empat khalifah lainnya mengambil dua kebijakan ekonomi untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, yakni (1) mendorong masyarakat mengawali aktifitas ekonomi, baik dalam kelompok sendiri maupun melakukan pekerjaan sama dengan golongan lainnya tanpa biaya dari baitul mal, dan (2) kebijakan ekonomi engan menhgeluarkan dana baitul mal untuk membantu ekonomi penduduk .

Pada masa Madinah, Rasulullah menerapkan kebijakan mempersiapkan lapangan kerja bagi kaum muhajirin sekaligus peningktan pemasukan nasional kaum muhajirin dengan mengimplimentasikan aqad muzara’ah, musaqat dan mudharabah secara alami, ekspansi bikinan dan fasilitas perdagangan.[13]Sementara kebijakan lainnya adalah penerapan pajak, yang menjadikan terjadinya kestabilan harga dan menghemat tingkat inflasi. Untuk pengeluaran nagara, rasulullah mengeluarkan kebijakan fiscal secara khusus, yakni (1) meminta dukungan kaum muslim secara suka rela untuk memenuhi kebutuhan pasukan muslim, (2) meminjam perlengkapan dari kaum non muslim secara cuma-Cuma dengan jaminan pengembalian dang ganti rugi bila terjadi kerusakan, (3) meminjam duit dari orang-orang tertentu untuk diberikan terhadap muallaf. Begitupun kebijakan-kebijakan ekonomi pada abad kekhalifahan khulafaurrasyidin tetap mendistribusikan pendapatan Negara untuk kemakmuran rakyat.

Di Indonesia, kebijakan pemerintah perihal kewajiban sekolah sembilan tahun untuk rakyatnya, ternyata tidak diikuti dengan dengan keseimbangan subsidi dana yang memadai. Padahal upaya untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia lewat pendidikan bukan cuma sekedar perumusan kebijakan yang dibebankan kepada rakyat semata, namun Negara juga ikut andil untuk mensukseskan program tersebut. Di sinilah sesungguhnya kita memerlukan keseimbangan (balancing).[14]

Deregulasi mutlak diperlukan, praktek bisnis tidak jujur dan monopoli perlu dihapus dan deregulasi di sektor pertanian, peternakan dan perkebunan serta perjuangan-perjuangan lain musti di perhatian dan terus digalakkan, guna mendorong tercapainya pemerataan, pengembangan usaha kecil dan menengah. Sehingga kesejahteraan yang diidamkan oleh msyarakat akan terwujud. Kebijakan pendidikan tentang hal tersebut akan menjadi marcusuar peningkatan taraf mutu pendidikan, yang akhirnya membawa kepada kebahagiaan masyarakat yang dicita-citakan. Insya allah.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Jaringan sosial
Program jaringan pengaman social merupakan upaya pemerintah untuk menyalurkan dukungan kepada penduduk dalam wadah pengelolaan keuangan yang lebih terpadu, transfaran, mampu dipertanggungjawabkan, dan memberi susukan eksklusif kepada penduduk secara cepat serta berkesinambungan. Hal ini berakar dari krisis yang beralih dengan dengan segera sekali dari krisis moneter kepada krisis ekonomi yang berkepanjangan sehinga berujung pada krisis politik social dan moral.[15]

Jaringan Pengaman Sosial berfungsi untuk 1) melaksanakan administrasi unek-unek (complaint management), memfasilitasi pengelolaan keluhan dalam pelaksanaan program dengan cara menghimpun dan menyaring ganjalan masyarakat serta mengawasi cara pelaksana menangani ganjalan tersebut, 2) melakukan manajemen kompanye, yakni melaksanakan desiminasi dan sosialisasi program terhadap masyarakat luas ihwal acara JPS, dan 3) menajemen pemencahan duduk perkara (problem solving management) memperlihatkan saran untuk penyempurnaan dalam penyusunan rencana dan pelaksanaan acara tersebut.[16]

Kebijakan pendidikan Islam perihal jaringan pengaman social bertujuan untuk mengamankan warga penduduk supaya tidak terjerumus ke bawah tingkat kehidupan minimum yang dianggap “tidak layak” oleh masyarakat lokal. Hal ini sejalan dengan apa yang dianjurkan oleh Islam dalam surat Ali Imron ayat 92 yang secara implicit menggambarkan bahwa kehidupan social itu yaitu kehidupan yang menembus segala faktor dan lapisan serta sungguh berkaitan satu sama lain, sehingga keterikatan struktur kehidupan akan terkonstrukkan lewat pelatihan sumber daya insan yang berpendidikan, alasannya adalah pendidikan ialah fasilitas intelektual yang akan menempatkan kehidupan menuju kehidupan yang beradab, makmur dan sejahtera.

Hal ini sekali lagi menerangkan bahwa koherensi pendidikan dan ekonomi dalam Islam menerima posisi yang sangat urgen, sebab pendidikan sebagai wadah pengeluaran yang sifatnya horizontal sementara ekonomi selaku wadah tenaga kerja yang terdidik. Ini mampu disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi ialah relasi timbal – balik antara ekonomi dan pendidikan.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Home Industri
Pada prinsipnya pendidikan secara lazim memiliki dua kebijakan perihal ekonomi, ialah pertama kebijakan human investasi yang meliputi pendidikan dasar, kurikulum, proses berguru mengajar dan pendidikan pelatihan dan tenaga kerja, kedua kebijakan human capital.

Dengan adanya kemampuan dalam mengelola ekonmi lewat sector home industri (industri rumah tangga), mereka yang putus sekolah dapat memasuki dunia usaha tanpa harus merengek-rengek terhadap pemeintah, karena meeka sudah memiliki kesanggupan sendiri akhir adanya kebijakan pendidikan tentang home industri. Isi mata pelajaran yang diberikan terhadap siswa yaitu hasil adonan teori dengan realitas kehidupan dan guru mesti bias memotifasi siswa untuk lebih faham korelasi antara wawasan dan aplikasinya terhadap kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, penduduk dan keryawan.

Kebijakan pendidikan perihal home industri dibutuhkan mampu meningkatkan dan memperbaiki kinerja ekonomi baik di sekotor industri besar maupun industri kecil. Pendidikan juga mesti disediakan dalam menghadapi persaingan produk dunia yang sedemikian berat ari waktu ke waktu. Industri masa depan ialah industri yang secara terus menerus membuat kreasi dan nilai tambah (nilia plus) produk.

Di sisi lain, siswa kita tidak cuma dididik untuk bersaing test tertulis saja akan namun kompetisi aktifitas produk pun mesti digalakkan. Siswa tidak cuma diajar sesuatu yang bekerjasama dengan kecerdasan kognitif saja namun ketrampilan psikomotorik sebaiknya menerima luang yang sama dengan kecerdasan yang dimaksud. Pertumbuhan ekonomi yang baik akan bisa menyerap atau meminimalkan pertambahan jumlah pengangguran. Factor stabilitas politik dan keselamatan akan ikut kuat, maka harus ada kerjasama yang baik antar instansi pemerintah pusat dengan tempat. Hal ini dperlukan supaya dalam menyusun kebijakan pendidikan dan acara operasional mapu diarahkan terhadap perluasan pencitaan lapangan kerja.

Kebijakan Pendidikan Islam wacana Upah dan Kesejahteraan
Ada beberapa pertimbangan ulama mengenai boleh tidaknya seorang pengajar mngambil upah atau honor dari hasil mengajarnya. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud yang artinya”bahu-membahu mengajar al Qur’an yakni paling patut untuk mendapatkan upah” menjadi dasar bagi mereka untuk mampu mendapatkan upah. Dan ini ialah usulan jumhur ulama kecuali Abu Hanifah. Beliau berpendapat bahwa mengajar al quran tidak boleh mengambil upah, namun mengajar ilmu yang lainnya boleh mengambil upah. Ibn Katsir berpendapat bahwa mengejar dengan upah yang telah disepakati sebelumnya adalah dihentikan akan namun boleh mendapatkannya dari bait mal atau jika ada janji sebelumnya.[17]

Kebijakan upah dan kesejateraan pengajar di zaman rasul tergambar pada ketetapannya pada para tawanan perang Badar dapat bebas bila mereka mengajarkan baca-tulis terhadap sepuluh anak kaum muslimin. Hal ini ialah tebusan. Dalam pandangan Islam barang tebusan tersebut menjadi milik bait mal. Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan perang Badar, artinya Rasulullah sudah menawarkan upah kepada para pengajar dengan harta benda yang sebaiknya menjadi hak bait mal.[18]

Dalam bentuk kesejateraan lain seperti menawarkan kawasan tinggal terhadap pengajar juga pernah diterapkan oleh Rasul, ialah ketika rasul menunjukkan rumah terhadap guru baca tulis para istri Rasul, ialah Asy Syafa’ binti Abdullah.[19] Menurut Syalabi, secara biasa gaji guru mampu dibagi dalam 2 (dua) katagori, adalah yang berafiliasi dengan waktu dad yang berafiliasi dengan hasil pelajaran yang didapat oleh si anak[20]

Pada saat Nizam al Muluk mendirikan bayak madrasah di kota-kota, dia menetapkan peraturan honor setiap bulan, namun kebijakan tersebut tidak diterima oleh para guru, karena mereka lebih mementingkan hidupnya terjamin walau tanpa honor.[21]Syalabi menyaksikan ada dua fakta yang melatar belakangi pembayaran upah kepada para pengajar dikala itu, yakni: 1) sedah sejak masa permulaaan Islam sudah ada beberapa orang Islam diminta untuk memperlihatkan pelajaran di mesjid-mesjid. Bagi mereka mengajar ialah sesuatu yang tidak dimaksudkan untuk berkhitmad kepada ilmu dan mencari ridha Allah. Karena itu tidak ada seorang gurupun yang terdorong melaksanakan tugasnya kecuali jikalau ditentukan upah bahan baginya, 2) kaum muslimin sudah banyak menggunakan tenaga dari luar (non Muslim) untuk berkhitmad dalam bidang ilmiah dan untuk bekerja khususnya dalam menerjemahkan buk-buku ke dalam bahasa arab. Maka mereka mendapatkan gaji yang tinggi untuk pekerjaan mereka,[22]

Pada kala Umayyah, dimana telah ada pelajaran khusus yang diajarkan oleh seorang guru mata pelajaran yang mula-mula ditentukan oleh pemerintah Islam perihal kisah-kisah dan kisah-kisah. Guru-guru ini digaji oleh pemerintah sejumlah sepulah dinar setiap bulan. Tinggi rendahnya pemasukan guru diputuskan pada dua factor, yaitu factor daerah dimana dia mengajar dan factor pada tingkatan mana beliau mengajar. Lagi-lagi Syalabi menyaksikan ada tiga kelompok gaji dpandang dari aspek penghasilannya, ialah 1) mua’llim kuttab (guru-guru sekolah kanak-kanak), 2) muaddib (pendidikan putra-putri pembesar), dan 3) guru yang memperlihatkan pelajaran di sekolah-sekolah.[23]

Meski mengajar pada awalnya dijalankan secara suka rela, tetapi Islam sendiri membenarkan untuk memperlihatkan dan mengambil upah dari pekerjaan mengajar sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dan para penguasa Islam setelahnya. Barangkali pada awal perkembangan pendidikan Islam, pengaturan gaji belum begitu terstruktur, namun seiring dengan berjalannya waktu peraturan ihwal gaji dan kesejahteraan guru telah diatur sedemikian rupa dan bahkan sudah menjadi sebuah kebijakan pendidikan.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Menumbuhkan Sikap Kewirausahaan
Metode pembelajaran yang dapat dipakai dalam pendidikan kewirausahaan pada hakikatnya sangatlah beragam, artinya tidak ada hal yang bersifat deterministik bagi aktifitas guru dalam mendesain proses pembelajaran. Hanya yang terpenting mesti diperhatikan yaitu 1) menyingkir dari pengumpulan wawasan yang tidak ada manfaat bagi sasaran hidup penerima ajar, 2) mengarahkan berguru peserta asuh untuk menerima pengalaman belajar yang berfaedah bagi hidupnya dengan mempergunakan wawasan yang didapatnya, 3) tidak mebatasi ruang yang dapat dimanfaatkan siswa untuk berfikir kreatif, 4) berguru siswa hendaknya tetap mengarah terhadap pemecahan problematika hidup, 5) menggunkan media, sumber isu dan metode pembelajaran yang beraneka ragam, dan 6) menciptkan situasi lingkungan belajar yang menggembirakan dan mampu memotivasi berguru siswa.

Proses pembelajaran dalam pendidikan kewirausaha mesti diarahkan kepad keemanfaatan pengetahuan dan kesanggupan belak hidup target ajar di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga berguru sambil bekerja menjadi sangat penting. Untuk itu, proses pembelajaranharus mengamati keseimbangan factor bawaan (minat, motivasi, talenta) dan factor lingkungan (masyarakat dan pendidikan). Keselarasan antara kesempatanbawaan dan lingkunagn akan menenteng pencapaian tujuan pembelajaran seperti yang diperlukan oleh siswa sendiri.

Karena guru memegang peranan sebagai fasilitator, innovator dan motivator bagi mencar ilmu siswa, maka proses belajar perorangan menjadi sungguh penting dengan menentukan tata cara pembelajaran yang mengarah pada penemuan kemampuan dan kemampuan sesuai dengan keinginan, minat, motivasi, dan talenta siswa.

Pengumpulan pengathuan teoritis yang berlebihan tanpa ada maknanya bagi hidup merupakan pekerjaan yang sia-sia. Untuk itu perlu adanya pergantian yang mendasar dari visi dan misi pendidikan kewirausahaan dan profesi mengganti versi dan system pembelajaran, dengan tidak berorientasi kepada pembentukan tukang tetapi mesti lebih dari itu, yakni menumbuhkan perilaku kewirausahaan yang tangguh .

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Kejuruan
Berbicara wacana kebijakan pendidikan Islam utamanya perihal pendidikan kejuruan, kita akan menerima sesuatu yang sangat unik di dunia muslim di masa pertengahan. Para pejabat Negara memberikan ruang kepada praktisi akademik untuk mengembangkan pendidikan. Sekolah-sekolah tersebut kadang era dilembagakan di bawah pengawasan dan dukungan Negara, mirip ditunjukkan oleh seorang wazir bani saljuk, Nizam al Muluk yang sungguh memperhatikan dunia pendidikan, tergolong di dalamnya pendidikan kejuruan.

Pendidikan kejuruan mempunyai karakteristik yang berlainan dengan pendidikan biasa , ditinjau dari criteria pendidikan, substansi pelajaran dan lulusannya. Criteria yang ahrus dimiliki oleh pendidikan kejuruan yakni 1) orientasi pada kinerja individu dalam dunia kerja; 2) jastifikasi khusus pada kebutuhan kasatmata di lapangan; 3) fokus kurikulum pada aspek-faktor psikomotorik, afektif dan kognitif; 4) persyaratan keberhasilan tidak cuma terbatas di sekolah; 5) kepekaan terhadapa pertumbuhan dunia kerja; 6) membutuhkan fasilitas dan prasarana yang memadai; dan 7) adanya pemberian penduduk . sementara itu Nolker dan Shoelfelt sebagaimana dikutip oleh Sonhaji menyatakan bahwa dalam memilih substansi pelajaran, pendidikan kejuruan harus selalui mengikuti kemajuan IPTEK, kebutuhan penduduk , keperluan individu, dan lapangan kerja.[24]

Tidak terlalu banyak literatur yang menawarkan perihal pendidikan kejuruan di kala kejayaan Islam. Namun pada jangka waktu 241 – 271, sekolah tinggi Jundi shafur yang terletak di Persia Tenggara merupakan satu-satunya sekolah kejuruan yang terdapat dalam dunia Islam sat itu. Hal ini sebab raja Anushirwan-i-adel (Anushirwan yang adil) memberikan perhatian yang sangat kepada dunia pendidikan kejuruan (sekolah khusus kedokteran) sehingga pada abad inilah sekolah tinggi kedokteran tersebut mencapai puncak dalam perkembangannya. Sekolah kedokteran ini terus hidup hingga simpulan masa kesepuluh. Studi-studi perihal musik, astronomi dan geometri merupakan mata pelajaran pilihan sebelum seseorang menempuh pendidikan kejuruan kedokteran.

Hal yang menarik pada paruh periode kedua belas dan permulaan masa ketiga belas, kendatipun tendensi realitas ke arah kemunduran, namun masa ini masih tetap melahirkan beberapa pintar yang menonjol. Dalam bidang kejuruan matemetika, ternyata ada sekolah Maragha, di bawah koordinator Nasiruddin Tusi dan al Maghribi (kitab yang populer ialah al Mutawasitah), dalam bidang musik, ternyata banyak risalat musical sudah ditulis oleh para tokoh dari sekolah kejuruan Maragha. Safiuddin, merupakan tokoh penemu skala paling sistimatis. Di segi lain, kitab Mizanul nasihat (The scale of wisdom) yang ditulis oleh Abdurrahman al Kawarizmi pada tahun 1121 M adalah salah satu karya mendasar dalam bidang ilmu fisika di era pertengahan. Pun dalam konteks keindonesiaan, kebijakan pendidikan di bidang kejuruan mendapat perhatian yang sangat signifikan. Karena pendidikan kejuruan yaitu bab dari usaha pemerintah dalam mempersiapkan tenaga-tenaga Indonesia yang siap pakai dalam banyak sekali bidang profesi dan keterampilan.

Kebijakan Pendidikan Islam Tentang Isu-Isu Pendidikan Nasional dan Internasional
Pendidikan memang tidak bebas nilai dan tidak juga bebas budaya. Pendidikan formal menjadi bab yang sungguh politis alasannya adalah pendidikan bukan saja melibatkan semua lapisan pemerintah, namun juga kuat dalam pembentukan warga suatu Negara. Isu-gosip pendidikan nasional yang sungguh actual yaitu rendahnya kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan alasannya adalah perhatian pemerintah sangat rendah kepada keberlangsungan proses pendidikan. Walau secara konstitusional kesepakatan nasional kepada dunia pendidikan sungguh tinggi. Akan namun realitas di lapangan tidak demikian.

Lihat FootNotenya Makalah Kebijakan Pendidikan Islam

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon