Kamis, 27 Agustus 2020

Makalah Pendidikan Sampaumur Dari Sudut Pandang Psikologi Islam

Makalah Pendidikan Remaja dari Sudut Pandang Psikologi Islam
Oleh: Sumbangan dari Alwi Alatas 

Pendahuluan

Bila kita mengatakan perihal pendidikan dewasa menurut sudut pandang Psikologi Islam, kita mesti bertanya apalagi dahulu mirip apa semestinya Psikologi Islam menatap akil balig cukup akal dan insan secara biasa ? Apakah Psikologi Islam sebaiknya melihat manusia lebih sebagai suatu produk kebudayaan yang tunduk sepenuhnya pada pergeseran-pergantian sosial? Atau ia sebaiknya lebih melihat insan dari aspek fitrah insaniah yang dengannya dia diciptakan? Apakah fase-fase pertumbuhan insan, tergolong fase dewasa, harus sepenuhnya tunduk pada hasratkultural penduduk yang selalu berubah dari waktu ke waktu? Ataukah dia sebaiknya lebih mengamati hal-hal yang bersifat natural dalam tahap-tahap pertumbuhannya?

Adalah benar kalau dikatakan bahwa insan merupakan makhluk budaya dan tak mungkin dipisahkan dari pertumbuhan budayanya. Kendati demikian, insan juga memiliki sifat-sifat natural (fitrah) yang tak boleh diabaikan, demi terjaganya kesehatan psikologis insan itu sendiri. Psikologi Islam berkepentingan untuk mempelajari hal-hal yang fitrah ini untuk lalu mengawalnya dalam fase-fase kemajuan insan.

Al-Qur’an mengingatkan, “… (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada pergeseran pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi pada umumnya manusia tidak mengenali.”[1] Perubahan yang serius pada fitrah insan pasti akan menimbulkan problem-problem serius juga di tingkat psikologis dan sosial. Tulisan berikut ini akan berusaha untuk membedah problem dan pendidikan sampaumur dari sudut pandang ini.


PEMBAHASAN

A. Remaja Modern dan Akar Permasalahannya

Menggagas pendidikan akil balig cukup akal idealnya tetap mengacu pada kondisi sampaumur kekinian, sehingga solusi yang disediakan tidak tercerabut dari realitas yang ada. Selain itu, kita juga mencari jawaban atas beberapa pertanyaan fundamental seperti berikut: Siapa bekerjsama golongan usia yang disebut sampaumur itu? Apa karakteristiknya? Dan bagaimana suasana yang mereka hadapi pada hari ini, baik secara psikologis maupun sosial?

Tidak ada definisi serta batasan usia yang baku untuk kelompok usia yang umum disebut sampaumur. Namun secara lazim, sampaumur biasanya dianggap sebagai kelompok usia peralihan antara bawah umur dan dewasa, kurang lebih antara usia 12 dan 20 tahun.[2] Hilgard menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga aspek penting yang menandai periode sampaumur: 1) Terjadinya pergantian fisik (berkembangnya hormon dan organ-organ seksual), 2) Adanya pencarian dan pemantapan identitas diri, dan 3) Adanya persiapan menghadapi peran dan tanggung jawab selaku manusia yang mampu berdiri diatas kaki sendiri.[3]

Fase usia dewasa sering dianggap sebagai fase yang sangat tidak stabil dalam tahap pertumbuhan insan. G.S. Hall menyebutnya sebagai strum und drang ‘kurun tornado angin ribut,’[4] sementara James E. Gardner menyebutnya selaku era turbulence (kurun penuh gejolak). Penilaian ini tentu berangkat dari realitas psikologis dan sosial remaja.

Sebenarnya, sejauh manakah gejolak yang dialami oleh sampaumur pada hari ini? Jika persoalan-persoalan cukup umur di dalam dan di mancanegara dihimpun sebanyak-banyaknya, pasti data-data itu akan mengagetkan orang yang mengamatinya. Sementara, secara kualitatif dan kuantitatif, masalah-masalah akil balig cukup akal tadi tampaknya terus meningkat dari hari ke hari.

Remaja-sampaumur sekarang ini kian erat dengan dilema seks, kekerasan, obat-obatan, dan duduk perkara psikologis. Perilaku seks dewasa modern kian bebas dan permisif. Riset Majalah Gatra beberapa tahun kemudian memberikan bahwa 22 % akil balig cukup akal menilai masuk akal cium bibir, dan 1,3 % menilai masuk akal relasi senggama. Angka ini memang relatif kecil, tetapi observasi-observasi lain memperlihatkan angka yang lebih tinggi. Sebagai pola, 10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernah melaksanakan kekerabatan intim.[5] Malah observasi-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan angka yang sudah cukup tinggi.[6]

Beberapa remaja di Semarang pernah tertangkap tangan oleh pegawapemerintah dan warga alasannya melaksanakan pesta seks dan mabuk-mabukan, sementara yang yang lain di Ujung Pandang meninggal dunia di mobil sehabis melakukan hal yang sama. Banyak dari mereka melaksanakan itu semua bukan alasannya adanya desakan ekonomi, melainkan untuk mencari kepuasan semata.[7] Perilaku seks akil balig cukup akal-cukup umur di pedesaan ternyata juga tidak terlalu jauh berlawanan dengan perilaku rekan-rekan mereka di perkotaan.

Contoh-teladan statistik serta perkara di atas tentu tidak sebesar dan seserius yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat (lihat Lampiran 1), namun ada indikasi bahwa kebebasan seksual semakin gencar masuk ke tanah air bersama dengan tersebarnya budaya global. Media massa dan elektro yang banyak mengandung unsur seks dan kekerasan, begitu pula komik-komik porno, begitu mudah diakses oleh kalangan akil balig cukup akal akil balig cukup akal ini. Kini, bawah umur kelas 4 sampai 6 Sekolah Dasar sudah bertanya-pertanyaan yang sangat akil balig cukup akal tentang seks, seperti ”Apakah sex supermarket itu?” dan ”Bagaimana cara melakukan seks?”[8] Sementara, beberapa sampaumur puteri usia SMU merasa tak segan difoto payudara, atau malah tubuh telanjangnya, dengan handphone, semata-mata alasannya besar hati dengan keindahan tubuhnya sendiri.[9]

Angka kekerasan serta konsumsi rokok dan obat-obatan terlarang juga cukup tinggi di golongan dewasa Indonesia. Data wacana tawuran di Jakarta pada paruh pertama tahun 1999, sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata dua anak tewas setiap bulannya alasannya adalah pertengkaran antar pelajar. Pada tahun yang serupa, suatu penelitian perihal narkoba memberikan bahwa paling tidak 60-80% murid SMP di seantero Yogya pernah mencicipi narkotika, sementara di wilayah-wilayah pemukiman setidaknya 10 anak gres gede (ABG) di tiap RT pernah merasakan narkotika.[10] Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur dengan target konsumen belum dewasa Sekolah Dasar.[11]

Di beberapa negara ajaib, seperti di Amerika Serikat dan Hongkong, tingkat kerentanan psikologis bawah umur akil balig cukup akal sungguh tinggi. Majalah News Week pernah mengangkat seriusnya problem dewasa di Amerika pasca penembakan yang menimbulkan akhir hayat lebih dari sepuluh anak di sekolah Columbine.[12] Salah satu survey yang diangkat oleh majalah itu menyebutkan bahwa satu dari empat dewasa di Amerika Serikat berpikiran bunuh diri.[13] Survey American Academy of Pediatrics belum usang ini malah menunjukkan bahwa 60% pelajar menyatakan bahwa mereka pernah berpikiran untuk bunuh diri, dan 9% di antaranya pernah mencobanya paling tidak satu kali.[14] Sementara itu di Hong Kong, satu dari tiga remajanya berpikiran untuk bunuh diri.[15]

Di Indonesia, persoalannya pasti tidak seserius itu. Namun, sejak pertengahan tahun 2003 hingga April 2005 setidaknya ada 30 kasus upaya bunuh diri yang dijalankan oleh cukup umur di tanah air.[16] Tidak semua anak yang berupaya bunuh diri itu mengalami akhir hayat. Sebagian sukses diselamatkan dan tetap bertahan hidup. Namun, hampir semuanya melaksanakan upaya bunuh diri untuk alasan-argumentasi yang remeh dan tak masuk nalar, mirip ”rebutan mie instan dengan adik,” ”rebutan remote untuk nonton AFI di TV,” ”ngambek minta dibelikan buku gambar,” atau karena ”kecewa tidak dibelikan TV.” Fenomena ini tampaknya belum mengemuka pada dekade-dekade sebelumnya. Ini semua menggambarkan adanya kerentanan yang cukup serius pada kondisi psikologis cukup umur-cukup umur Indonesia, terutama pada tahun-tahun dewasa ini.

Remaja modern sudah menjadi suatu golongan usia terpisah yang membedakan diri dari golongan usia anak-anak dan akil balig cukup akal. Gejolak psikologis yang mereka alami terekspresikan keluar dalam berbagai bentuk dekadensi mirip yang telah dipaparkan sebelumnya. Mereka jadi sukar dikontrol dan sering bentrok dengan orang renta. Guru dan pihak sekolah pun kesusahan untuk mengendalikan mereka. Remaja-dewasa ini berkumpul dengan sahabat-sobat seusia mereka dan menciptakan budaya sahabat sebaya (peer culture). Mereka merasa lebih erat dengan sobat-sahabat seusia mereka yang memiliki karakteristik sama dengan mereka. Mereka juga kurang mau mendengar dari orang-orang cukup umur yang kian jarang berinteraksi dengan mereka[17] dan tidak senantiasa mengetahui gejolak perasaan mereka. Kondisi mereka yang labil seringkali mendorong terjadinya tekanan sobat sebaya (peer pressure) yang cenderung menjatuhkan mereka ke berbagai hal yang negatif, seperti rokok, narkotika, kekerasan, dan seks bebas.

Orang-orang sampaumur di sekeliling mereka, tergolong orang bau tanah dan guru, mungkin galau bagaimana sebaiknya merespon belum dewasa dewasa. Mau disikapi selaku orang cukup umur, mereka ternyata belum terlalu matang dan masih banyak membutuhkan bimbingan. Mau disikapi sebagai anak kecil, lebih mustahil lagi mengingat kemajuan fisik mereka yang mulai menawarkan ciri-ciri orang dewasa.[18] Akibatnya, golongan usia dewasa menjadi kian terasing dari dunia orang dewasa yang idealnya mampu membimbing mereka menuju kematangan dan kemandirian langsung.

Bagaimanakah fenomena-fenomena ini semestinya dijelaskan? Apakah semua itu merupakan hal yang normal terjadi pada cukup umur? Apakah berbagai problematika psikologis dan sosial cukup umur terbaru juga dialami oleh rekan-rekan seusia mereka di kala kemudian? Ataukah ini cuma menjadi ciri khas dari remaja-dewasa modern? Kita akan menjajal mengurai problem-problem ini satu demi satu, sebelum menggagas solusi pendidikan terbaik bagi bawah umur akil balig cukup akal.

Ketika memasuki usia akil balig cukup akal (puber), setiap anak mengalami pergantian yang sangat signifikan pada fisiknya, utamanya yang terkait dengan organ-organ seksualnya. Perubahan-perubahan tersebut menjadikan kecanggungan pada diri remaja alasannya adalah dia mesti menyesuaikan diri dengan pergeseran-pergantian tadi. Penyesuaian ini tidak senantiasa bisa mereka lewati dengan baik, lebih-lebih jika tidak ada bimbingan dan derma dari orang tua.[19]

Bersamaan dengan terjadinya pergeseran fisik menuju kedewasaan, pergantian yang bersifat psikologis juga dialami oleh dewasa. Pada diri mereka mulai muncul perasaan akan identitas diri. Jika pada waktu kanak-kanak mereka tidak pernah berpikir tentang jati diri mereka sendiri, maka pada kurun remaja pertanyaan-pertanyaan mirip “siapa diri aku?” dan “apa tujuan hidup aku?”[20] menjadi dilema yang sungguh penting. Ini bahwasanya pertanyaan yang masuk akal bagi setiap orang yang memasuki usia cukup umur, sebab pada abad ini mereka telah harus mulai berdikari, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persoalannya menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak mampu dijawab dengan baik dan terus berlarut-larut menggelayuti pikiran mereka.

Berkenaan dengan masalah jati diri ini, Jane Kroger menyampaikan bahwa “Remaja agaknya ialah suatu saat … ketika seseorang dihadapkan dengan duduk perkara definisi diri.”[21] Sementara Kathleen White dan Joseph Speisman dalam buku mereka, Remaja, menerangkan bahwa cukup umur condong, “bergelut dengan berita perihal siapa dirinya dan ke mana maksudnya.” Begitu seriusnya mereka dengan dilema ini sehingga “barangkali hanyalah pada kala cukup umur saja individu dapat menjadi mahir filsafat budbahasa yang tersendiri.”[22]

Sayangnya, hanya segelintir remaja yang mungkin betul-betul lulus selaku ”hebat filsafat budpekerti,” sementara sebagian besar yang lain justru kian gundah dan tak peduli dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan fundamental tadi.[23] Kegagalan dalam definisi diri membuat dewasa mengalami ’kebingungan peran’ (role confusion)[24] saat mencari versi tugas yang mau dibarengi.

Model tugas orang renta yang sebelumnya mereka idealkan semasa kecil sekarang mulai ingin mereka jauhi, utamanya bila orang renta berurusan.[25] Remaja mulai melirik versi-versi peran dan identitas yang ada di luar keluarganya. Namun, mereka kadang-kadang mengalami kebingungan karena ada begitu banyak opsi peran dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain, sementara mereka tidak mendapatkan panduan yang mantap bagaimana sebaiknya memilih pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu membawa remaja kepada kondisi yang sungguh labil, rentan, dan gampang terpengaruh oleh lingkungannya. Pada gilirannya, tidak sedikit cukup umur yang kesannya terjerumus dalam berbagai dilema serius sebagaimana yang telah disinggung pada bab awal dari tulisan ini.

Situasi ini menjadi kian jelek, alasannya adalah kaum kapitalis, utamanya para pebisnis bisnis hiburan, berusaha mengambil laba dari keadaan dewasa yang labil. Pencarian jati diri akil balig cukup akal dilihat oleh mereka sebagai ”ajakan” (demand) dan peluang bisnis. Mereka pun lalu menunjukkan ”penawaran” (supply) berupa artis dan selebritis yang memperlihatkan identitas semu (pseudo-identity). Remaja tak sekedar mengapresiasi para selebritis alasannya adalah film atau lagu mereka yang mempesona, tetapi juga sebab para selebritis itu menampilkan model-versi identitas yang mampu mereka tiru dan ikuti.[26] Hanya saja, peniruan yang mereka lakukan ini tidak menuntaskan duduk perkara dan gejolak pada diri mereka, malah kian melipatgandakannya.

Semua ini berputar dalam sebuah siklus. Kaum kapitalis menciptakan industri hiburan yang menghadirkan artis dan selebritis. Para selebritis menampilkan identitas semu yang diapresiasi oleh anak-anak remaja selaku upaya pemenuhan atas pencarian jati diri mereka. Kaum akil balig cukup akal, atau orang renta mereka, membayar untuk memakan hiburan dan mengapresiasi artis-artis, dan duit itu masuk ke kantong kapitalis. Siklus itu terus berputar. Dan selaku dampaknya, kaum kapitalis mengalami akumulasi modal, sementara remaja mengalami akumulasi krisis (Lihat denah 1).

Sejauh ini, data-data memberikan bahwa kala usia remaja identik dengan krisis, sifat labil, serta terjadinya gejolak psikologis dan sosial yang bersifat destruktif. Dengan kata lain, kelabilan dan gejolak (turbulence) lekat dengan fase usia cukup umur yang ialah peralihan antara bawah umur dan dewasa. Pendidikan cukup umur seharusnya mampu memberikan solusi terbaik dalam meredam kondisi labil dan penuh gejolak tadi, serta memberikan pemecahan bagi mereka untuk keluar dari bulat krisis yang mereka alami. Oleh kesannya, dalam rangka merumuskan penyelesaian tadi, Psikologi Islam perlu menganalisa kembali posisi sampaumur sebagai sebuah golongan usia berikut ciri-cirinya, dikaitkan dengan sifat-sifat manusiawi dan alamiah yang sebaiknya ada pada diri manusia di setiap fase usianya.

Kajian yang kritis atas fase usia cukup umur memberikan bahwa golongan usia ini berikut ciri-cirinya, sebagaimana yang dimengerti oleh masyarakat modern, tidaklah bersifat natural. Artinya, contoh kemajuan insan yang alamiah bantu-membantu tidak membuka peluang bagi terbentuknya kalangan usia akil balig cukup akal seperti yang kita ketahui kini. Adanya fase usia akil balig cukup akal pada jaman terbaru ini bahu-membahu bersumber dari penundaan kedewasaan yang dipaksakan oleh masyarakat.

Bekenaan dengan ini Tanner bertanya, ”Apakah ketegangan dan kecemasan pada abad terpelajar baligh itu ditimbulkan oleh alam atau dipaksakan oleh masyarakat?” Ia kemudian menjawab sendiri pertanyaan tadi, ”Jawabannya sepertinya yakni bahwa ketegangan dan kecemasan tadi dipaksakan oleh masyarakat dalam negara yang sudah maju, karena acara waktu masyarakat sepertinya tidaklah sinkron dengan acara waktu pertumbuhan alamiah insan.”[27] Makara, terlihat jelas di sini bahwa gejolak abad sampaumur terjadi sebab penduduk pada negara yang telah maju sudah mengubah agenda waktu kemajuan manusia sesuai dengan kepentingannya, sehingga bertentangan dengan jadwal alamiah yang dimiliki cukup umur tadi. Dengan kata lain, sifat labil serta gejolak periode cukup umur merupakan sebuah produk kultural, dan tidak bersumber pada sifat-sifat natural insan.

Secara alamiah setiap anak seharusnya sudah menjadi akil balig cukup akal pada ketika baligh, atau tak usang sesudah baligh, tetapi penduduk modern memiliki jadwal yang berlainan tentang kapan sebaiknya seorang anak menjadi dewasa. Masyarakat kemudian memaksakan pemunduran acara kedewasaan anak sedemikian rupa – karena mereka harus melalui periode pendidikan formal yang panjang serta dikarenakan beberapa faktor yang lain – sementara pada ketika yang serupa jadwal alamiahnya pun tetap berjalan sebagaimana biasa. Kaprikornus, bukannya beradaptasi dengan agenda alamiah, penduduk terbaru menentukan untuk memaksakan acara gres yang mereka anggap baik. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu gejolak pada akil balig cukup akal terbaru sebagaimana akan diterangkan lebih jauh nantinya.

Tanner melanjutkan penjelasannya, ”Pada penduduk primitif, tahun-tahun periode kanak-kanak menawarkan segala waktu berguru yang dibutuhkan orang supaya mampu beradaptasi dengan kebudayaannya. Akibatnya, kedewasaan seksual dan kedewasaan sosial dicapai nyaris bersamaan. Selang waktu antaranya paling lama hanyalah dua atau tiga tahun saja.”[28] Sejarah menerangkan bahwa pada kala-masa yang kemudian, dewasa seperti yang kita ketahui kini sama sekali tidak ada.[29]

Sarlito Wirawan Sarwono, dalam bukunya Psikologi Remaja, juga menyatakan hal senada. Konsep cukup umur tidak dikenal pada kala-periode yang kemudian. Beliau menyampaikan,

“Walaupun desain ihwal anak sudah dikenal semenjak kurun ke-13, namun konsep perihal remaja sendiri gres dikenal secara meluas dan mendalam pada permulaan kurun ke-20 ini saja dan berkembang sesuai dengan kondisi kebudayaan misalnya alasannya adalah adanya pendidikan formal yang berkepanjangan, karena adanya kehidupan kota besar, terbentuknya ‘keluarga-keluarga’ batih selaku pengganti keluarga-keluarga besar ….”[30]

Makara, kemajuan kebudayaan sudah menangguhkan kedewasaan anak dan menciptakan realitas kelompok usia yang gres, yakni dewasa, yang ialah peralihan antara kelompok usia bawah umur dan sampaumur. Pengamatan atas realitas baru ini lalu melahirkan konsep wacana akil balig cukup akal sebagaimana yang dimengerti penduduk sekarang ini. Hanya saja, realitas baru yang dibentuk oleh kebudayaan modern ini rupanya juga ikut menyebabkan munculnya banyak sekali dilema serta krisis berkepanjangan pada anak usia belasan tahun. Seperti yang dikatakan Ahmad Faqih, perkembangan sains modern sudah memberikan donasi terhadap munculnya diskrepansi dan dehumanisasi.[31]

Pada era lalu serta pada masyarakat primitif yang belum bersentuhan dengan kebudayaan modern, anak-anak menemukan status kedewasaan mereka tidak usang sesudah terjadinya puber. Anak-anak ini, dengan cara yang berlainan-beda, telah disediakan secara psikologis dan sosial untuk memahami dan menerima kedewasaan mereka pada awal atau pertengahan usia belasan tahun mereka. Bahkan, masyarakat-penduduk primitif pada umumnya memiliki upacara tersendiri untuk ’melantik’ anak-anak mereka sebagai orang dewasa. Dengan demikian, belum dewasa itu mengetahui dan mengalami momen kedewasaan sosial mereka secara tegas, setegas momen kedewasaan biologis yang mereka rasakan di abad puber. Yang terpenting dari itu semua, akil balig cukup akal-sampaumur pada masyarakat primitif tidak mengalami gejolak serta krisis mirip yang dialami sampaumur-remaja terbaru.

Ada beberapa bukti dari masyarakat primitif yang bisa dihadirkan di sini. Penelitian antropologis oleh Margaret Mead di kepulauan Samoa dan Papua memberikan bahwa “anak pria menjadi laki-laki sampaumur dan anak perempuan menjadi wanita akil balig cukup akal tanpa mengalami kecemasan dan kesukaran emosional yang di Amerika dianggap tak terhindarkan.”[32] Orang-orang Indian di benua Amerika serta suku-suku primitif di Afrika Selatan juga memiliki upacara khusus untuk melantik bawah umur mereka menjadi orang akil balig cukup akal.[33] Bahkan orang-orang Yahudi modern masih memelihara upacara Bar Mitzvah di sinagog-sinagog untuk mengangkat secara resmi belum dewasa laki-laki mereka yang berusia 13 tahun (12 tahun untuk anak-anak perempuan) menjadi orang sampaumur.[34]

Tidak terjadinya gejolak emosi yang menonjol pada masyarakat primitif di atas ialah disebabkan oleh adanya derma status sosial yang terperinci di usia dini – di abad-era awal pubertas mereka – di samping adanya antisipasi psikologis anak pada kurun-kala sebelumnya. Sarlito Wirawan Sarwono juga menegaskan dalam bukunya bahwa cukup umur yang mendapat status sosial yang terang di usia dini lazimnya tidak mengalami gejolak yang menonjol. ”Pengalaman memperlihatkan bahwa remaja yang sudah menerima status sosialnya yang jelas dalam usia dini, tidak menampakkan gejolak emosi yang terlalu menonjol mirip rekan-rekannya lainnya yang harus menjalani abad transisi dalam tempo yang cukup panjang,” tulisnya.[35]

Berdasarkan semua pemaparan dan fakta-fakta di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kelabilan serta gejolak kurun sampaumur yang berlebihan yakni realitas penduduk modern yang ialah pengaruh dari perubahan budaya. Gejolak dan krisis ini terjadi alasannya adalah masyarakat serta kebudayaan pada hari ini telah memundurkan jadwal kedewasaan anak di luar dari agenda alamiah yang dimilikinya. Pada dikala puber (sekitar umur 12 tahun), anak mengalami kedewasaan biologis yang ditandai oleh mimpi basah (wet dreaming) dan berkembangnya organ-organ seksual. Dengan adanya kedewasaan biologis ini, dewasa memiliki kesanggupan biologis yang sama dengan orang-orang remaja lainnya; dia dapat menikah dan mempunyai anak.

Bersamaan dengan masuknya seseorang ke fase kedewasaan biologis, lewat pubertas, kehendak serta keperluan untuk menjadi dewasa secara psikologis dan sosial juga muncul. Dipisahkan dan ditundanya kedua jenis kedewasaan yang terakhir ini, yaitu kedewasaan psikologis dan sosial, dari kedewasaan biologis telah mengakibatkan kebingungan, kegamangan, serta pada gilirannya gejolak dan krisis pada diri akil balig cukup akal (lihat Bagan 2[36]). Gejolak tersebut terjadi karena pemisahan serta penundaan tadi berlawanan dengan proses alamiah yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu, peran utama Psikologi Islam yakni mencari jalan supaya perkembangan cukup umur bisa kembali berjalan secara sehat berdasarkan proses alamiahnya, tanpa mesti meninggalkan fase kebudayaan terbaru dan kembali ke kebudayaan primitif. Dengan kata lain, Psikologi Islam perlu menarik dan merevitalisasi nilai-nilai usang yang lebih alamiah, aktual, dan Islami untuk memberi solusi yang terbaik bagi kemajuan dewasa di dunia terbaru.


B. Aspek-Aspek Pendidikan Remaja 

Berbagai dilema cukup umur yang muncul terjadi karena ketegangan antara apa-apa yang natural (fitrah) pada diri manusia dengan paksaan budaya. Ia juga terjadi alasannya metode pendidikan yang ada terlalu menekankan pada kepentingan negara dan perkembangan ekonomi, bukan demi kepentingan kesehatan perkembangan insan itu sendiri.

Perlu disadari bahwa peran Psikologi Islam adalah supaya insan senantiasa lurus dengan fithrahnya.[37] Terkait dengan pendidikan, Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa tujuan pendidikan dari tingkat yang terendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang tepat (complete citizen), tetapi untuk menimbulkan insan paripurna.[38] Para jago pendidikan Muslim juga mempunyai pendapat yang senada. Dr. Ali Asraf menyatakan bahwa pendidikan seharusnya diarahkan untuk membuatkan individu sepenuhnya.[39] Sementara Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan pendidikan ialah terwujudnya kesempurnaan manusia yang bisa mendekatkannya terhadap Allah dan mampu menenteng pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[40]

Upaya pembentukan insan yang utuh dan paripurna (al-insan al-kamil) mustahil dapat terwujud selama masih adanya kesenjangan yang serius dalam faktor-faktor kedewasaan sampaumur. Kesenjangan ini bertentangan dengan teladan perkembangan natural insan dan risikonya menimbulkan ketidaksehatan jiwa pada diri cukup umur. Ketidaksehatan jiwa ini pada gilirannya mengakibatkan terjadinya ketidaksehatan sosial pada komunitas akil balig cukup akal dan lingkungannya. Prof. El-Quussy menyatakan bahwa ”pendidikan yang tidak menuju ke arah membuat kesehatan jiwa dianggap selaku sebuah tindakan yang tidak berguna, yang tidak ada gunanya.”[41]

Oleh balasannya, salah satu peran penting Psikologi Islam kini ini dalam pendidikan remaja yakni menghapuskan kesenjangan pada aspek kedewasaan akil balig cukup akal. Jadwal kedewasaan biologis mustahil dimundurkan waktunya, karena terjadi secara alamiah. Oleh alasannya adalah itu, agenda kedewasaan psikologis dan sosial-lah yang perlu kembali dimajukan waktunya biar berdekatan dengan jadwal kedewasaan biologis, sebagaimana yang selama ini dialami oleh cukup umur-akil balig cukup akal pada penduduk primitif dan pada masyarakat di era lalu. Dimajukannya agenda waktu kedewasaan psikologis dan sosial lebih bersifat natural dan lebih menjamin kesehatan jiwa dalam fase perkembangan remaja.[42]

Kedewasaan sosial anak dewasa umumnya dicapai dengan adanya penerimaan sosial dari orang bau tanah dan lingkungannya kepada cukup umur sebagai orang yang sudah sampaumur dan sejajar dengan orang-orang cukup umur yang lain. Selain itu, kedewasaan sosial juga terwujud dengan adanya interaksi antara anak dengan orang-orang dewasa di sekitarnya secara sederajat dan cukup umur. Dengan kata lain, anak cukup umur semestinya disikapi sebagai orang remaja dan dilibatkan dalam komunitas serta acara nyata[43] orang-orang sampaumur. Sekiranya orang renta merespon dan melibatkan anak-anaknya secara cukup umur, bahkan sebelum anak-anak itu menginjak kurun baligh/ puber, maka belum dewasa itu akan memiliki abjad cukup umur yang sehat ketika beliau memasuki periode cukup umur. Dalam suasana seperti itu, kecil kemungkinan anak akan mengalami gejolak yang serius dan berkepanjangan pada fase usia dewasa. Hal demikian terjadi alasannya adalah dia telah mendapatkan status sosial (status kedewasaan) yang jelas sejak dini.

Adapun kedewasaan psikologis idealnya dibuat sejak kala pra-pubertas melalui pendidikan yang bisa menumbuhkan huruf dan sikap akil balig cukup akal pada anak. Oleh alasannya adalah itu, perlu diteliti faktor-faktor apa saja yang membedakan antara anak-anak dan orang akil balig cukup akal. Kami sendiri berpandangan faktor-aspek dasar yang membedakan kedua kelompok usia meliputi empat hal, ialah identitas diri, tujuan hidup (serta visi), pendapatdalam menentukan, serta tanggung jawab.[44] Pendidikan remaja perlu memperhatikan tumbuh sehatnya keempat faktor ini dan memulainya sejak anak belum lagi menginjak usia remaja. Berikut ini akan dibahas keempat aspek tersebut satu demi satu.[45]

1. Identitas diri.

Anak-anak pra-pubertas umumnya belum berpikir ihwal identitas atau jati dirinya, sebab mereka belum memiliki kemandirian, termasuk dalam duduk perkara identitas. Anak-anak mengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya. Mungkin mampu dianggap bahwa identitas bawah umur pra-pubertas sama dengan identitas orang tuanya. Namun, dikala anak memasuki fase kedewasaan biologis (baligh/ puber), beliau mulai mencicipi adanya tuntutan untuk berdikari, tergolong dalam masalah identitas. Apa yang sebelumnya belum terlintas di dalam anggapan, kini mulai menjadi hal yang serius. Pertanyaan seperti ”siapa saya sebenarnya?” dan ”apa tujuan hidup saya?” mulai menuntut jawaban-balasan yang mampu berdiri diatas kaki sendiri.

Pada titik ini, idealnya remaja telah siap untuk menjadi berdikari dan remaja. Seorang yang memiliki karakter dewasa tidak merasa bingung dengan identitas dirinya. Ia mengenali dengan baik siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Identitas pada diri orang dewasa tadi menjadi kuat seiring dengan terbentuknya nilai-nilai (values) serta prinsip-prinsip yang mendukung.

Dalam kaitannya dengan identitas, seseorang umumnya akan mengaitkan dirinya dengan salah satu dari hal berikut: agama atau ideologi, suku atau bangsa, serta profesi. Seorang santri misalnya, beliau akan condong menyatakan ”Saya yakni seorang Muslim” dikala ditanya perihal siapa dirinya. Adapun oang yang hidup dalam komunitas kesukuan yang kental akan lebih mengaitkan identitas dirinya dengan sukunya. Seseorang mampu saja memiliki lebih dari satu identitas pada ketika yang berbarengan – contohnya sebagai Muslim, sebagai orang Jawa, dan sebagai usahawan sekaligus – tetapi biasanya ada satu identitas yang lebih bersifat dominan dan menjadi identitas utama.

Suatu identitas perlu dikokohkan oleh nilai-nilai (values) serta prinsip yang mendukungnya, alasannya adalah jikalau tidak demikian, maka identitas tersebut cuma akan bersifat imitasi dan tidak konsisten. Sebagai pola, contohnya seorang menyatakan bahwa identitas terutama yaitu Muslim, tetapi beliau tidak mengetahui nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam serta banyak melakukan hal-hal yang berlawanan dengan agamanya. Oleh alasannya itu, membangun identitas diri pada anak mesti dikerjakan dengan membangun nilai-nilai serta prinsip-prinsip yang menopang tegaknya identitas tersebut.

Anak-anak perlu dibangun identitasnya semenjak kecil, baik di rumah maupun di sekolah, sehingga ketika mereka memasuki usia baligh, mereka sudah mempunyai identitas diri yang kuat dan tak lagi gampang terombang-ambing dalam hidup. Psikologi Islam pasti menganjurkan agama Islam sebagai identitas utama bagi setiap orang. Dan alasannya adalah itu, nilai-nilai serta prinsip-prinsip utama Islam perlu dirumuskan dan ditanamkan secara sedikit demi sedikit pada anak. Jika proses penenaman dan pewarisan nilai ini berlangsung dengan baik, maka anak tidak akan lagi mengalami krisis identitas ketika memasuki usia belasan tahun.


2. Tujuan dan Visi dalam Hidup

Adanya tujuan dan visi dalam hidup juga sangat membantu terbentuknya identitas diri dan kedewasaan pada diri seseorang. Anak-anak pra-pubertas lazimnya belum berpikir wacana tujuan dan visi hidup. Mereka masih bergantung pada tujuan dan planning-rencana orang tuanya. Orang yang memiliki abjad akil balig cukup akal mengenali dengan baik apa-apa yang menjadi tujuan dan cita-citanya, walaupun tidak semua orang yang berusia cukup umur mampu dipastikan mempunyai ciri-ciri ini. Tujuan dan visi juga terkait bersahabat dengan identitas diri. Jika seseorang menimbulkan agama selaku identitas, maka impian hidupnya juga pasti akan merujuk pada nilai-nilai agama. Jika dia menimbulkan profesi dan pekerjaan sebagai identitas, maka harapan hidupnya juga pasti merujuk pada profesi dan pekerjaannya.

Dalam konteks pendidikan kedewasaan dewasa, idealnya seseorang telah diorientasikan untuk berpikir tentang tujuan dan cita-citanya semenjak beliau masih bawah umur dan belum memasuki kurun puber. Bila tujuan hidup serta visi yang tinggi ditanamkan kepada anak secara terus menerus, maka pada ketika anak sudah mulai mesti berdikari, yaitu pada abad baligh, dia akan mempunyai arah hidup yang terang. Ia tak lagi merasa bingung dengan apa yang sesungguhnya menjadi keinginannya, sebagaimana yang seringkali dialami oleh remaja-dewasa modern.

Pihak orang bau tanah maupun guru di sekolah tidak boleh meremehkan cita-cita seorang anak yang sungguh tinggi dan tampak mustahil. Mereka justru mesti memandangnya secara nyata dan mendorongnya, sambil mengarahkan anak pada tindakan yang mesti dipenuhi untuk mencapai impian tadi – pastinya sesuai dengan kapasitas berpikir dan bertindak mereka. Dengan demikian, sejak awal bawah umur dan dewasa akan disibukkan dengan tujuan dan cita-cita mereka, sehingga tak lagi memiliki banyak kesempatan untuk mencampakkan-buang waktu mereka tanpa adanya tujuan yang terperinci.


3. Pertimbangan dalam Memilih

Al-Qur’an mengajarkan bahwa ada dua dasar pertimbangan dalam menentukan, yaitu menurut suka-tak suka atau menurut baik-jelek. Al-Qur’an, serta nalar sehat kita, mengajarkan bahwa pertimbangan baik-jelek lebih baik daripada pertimbangan berdasarkan suka-tak suka. ”Boleh jadi kau tidak suka sesuatu padahal beliau baik bagimu dan boleh jadi kau menyukai sesuatu padahal ia buruk bagimu. Dan Allah mengenali sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]: 216).

Anak-anak cenderung menentukan sesuatu berdasarkan usulansuka-tak suka. Bila dia menyukai sesuatu, maka dia akan mengharapkan dan berupaya untuk menerimanya. Bila beliau tak menyukainya, maka ia akan berupaya menolaknya meskipun sesuatu itu mungkin baik untuknya. Orang yang mempunyai abjad akil balig cukup akal menentukan dengan dasar pertimbangan yang berlawanan. Mereka menimbang sesuatu berdasarkan baik buruknya. Walaupun ia cenderung pada sesuatu, beliau akan mengindarinya sekiranya itu buruk bagi dirinya. Tentu saja ini ialah suatu gambaran yang ideal. Pada realitanya, banyak juga ditemui orang-orang yang berusia dewasa namun melaksanakan hal-hal yang jelek hanya alasannya adalah mereka menyukai hal-hal tersebut.

Pendidikan yang baik sebaiknya bisa mengarahkan anak setahap demi setahap untuk mengganti dasar pertimbangannya dari suka-tak suka menjadi baik-buruk. Dalam hal ini, komunikasi dengan anak memainkan peranan yang sangat vital. Kepada belum dewasa perlu diterangkan alasan baik-buruknya mengapa sesuatu dilarang dikerjakan atau mengapa sesuatu harus dikerjakan. Dengan demikian mereka memahami alasan baik-jelek di balik boleh atau tidaknya sebuah pilihan.

Kepada mereka juga perlu diterangkan konsekuensi dari pilihan-pilihan yang ada. Biarkan anak melihat opsi yang mereka miliki, yang baik serta yang jelek, berikut resiko yang ada di baliknya. Ajak anak untuk memutuskan sendiri pilihannya, bukannya memaksakan pilihan-opsi yang kita buat, dengan demikian ia akan menjadi lebih bertanggung jawab dengan opsi-opsi yang diambilnya itu. Semua proses ini akan menolong kematangan berpikir anak dan menjadikannya lebih bertanggung jawab. Setiap kali dia hendak memilih opsi, ia sudah terlatih dengan kebiasaan berpikir yang berorientasi pada usulanbaik-buruk. Dengan demikian, saat dia menginjak usia belasan tahun, dia sudah bisa mengambil keputusan-keputusan yang konkret secara mampu berdiri diatas kaki sendiri. Ia tidak akan mudah terombang-ambing dengan ajakan-undangan orang lain yang tidak menguntungkan bagi kepentingan jangka panjangnya dan juga tidak akan menentukan pilihan-pilihan secara asal dan tak bertanggung jawab.


4. Tanggung Jawab

Setiap orang melewati beberapa fase tanggung jawab dalam perjalanan hidupnya. Ketika masih belum dewasa dan belum mempunyai kemampuan untuk mengemban tanggung jawab, maka orang tuanyalah yang memikul tanggung jawab untuknya, hingga ia bisa memikulnya sendiri. Fase ini bisa disebut sebagai fase pra-tanggung jawab. Ketika anak beranjak cukup umur, kemampuannya dalam memikul tanggung jawab juga meningkat. Pada dikala itu, sebagian dari tanggung jawab, ialah tanggung jawab yang sudah mulai bisa dipikulnya, bisa didelegasikan oleh orang tua kepada anak. Fase ini mampu disebut fase tanggung jawab parsial.

Ketika seseorang sudah hidup mampu berdiri diatas kaki sendiri sepenuhnya, dalam arti dia telah menikah dan bermatapencaharian, maka ia memasuki fase tanggung jawab sarat . Tanggung jawab telah didelegasikan kepadanya secara sarat . Akhirnya, seseorang mampu memperluas tanggung jawabnya sesuai dengan kapasitas dirinya. Ia mampu menjadi pemimpin di lingkungan keluarga besarnya, di lingkungan masyarakatnya, bahkan di tingkat nasional atau internasional. Fase ini mampu disebut selaku fase perluasan tanggung jawab (lihat Bagan 3).

Setiap orang tentu tidak melompat dari fase tanggung jawab yang satu ke fase berikutnya secara secara tiba-tiba. Karenanya, sebelum memasuki fase yang lebih tinggi, beliau perlu dipersiapkan dengan latihan-latihan tanggung jawab tertentu. Anak perlu ditumbuhkan kepekaan tanggung jawabnya (sense of responsibility), bukan dibebani secara terus menerus dengan bentuk-bentuk tanggung jawab (forms of responsibility). Sekiranya pada diri anak terbangun rasa memiliki tanggung jawab serta rasa gembira dalam mengemban tanggung jawab, maka dia akan lebih gampang menerima berbagai bentuk tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya.

Berdasarkan informasi-informasi di atas, anak perlu diberi latihan-latihan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitasnya, serta diarahkan untuk merasa senang dengan pemenuhan tanggung jawab itu. Anak-anak yang tumbuh tanpa adaptasi tanggung jawab semacam ini akan cenderung merasa berat dan memberontak pada dikala beliau harus mendapatkan apa yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memiliki kapasitas untuk mengemban tanggung jawab tertentu, namun malah bersikap tidak remaja dengan tidak suka dan menolak tanggung jawab itu atas dirinya. Semua itu terjadi alasannya adalah ia tidak pernah dididik dan dipersiapkan untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. Maka dari itu, pendidikan dewasa dalam konteks Psikologi Islam perlu membangun kedewasaan anak dengan cara menumbuhkan rasa tanggung jawab (sense of responsibility) serta menunjukkan latihan-latihan tanggung jawab sejak dini.

Agar anak tidak terbebani dengan proses percepatan kedewasaan psikologis dan sosial, bentuk-bentuk tanggung jawab yang sudah diberikan secara berlebihan pada kebanyakan anak modern juga perlu dikurangi. Anak-anak perlu diberi kesempatan yang cukup untuk bermain secara sehat sampai dia berusia tujuh tahun. Dengan demikian, proses kemajuan mereka akan berjalan dengan baik dan sehat, sehingga terjadinya gejolak yang berlebihan di abad dewasa akan mampu disingkirkan.


Kesimpulan

Sebagaimana telah diterangkan, aneka macam dilema serta gejolak masa sampaumur yang terjadi pada hari ini muncul alasannya adanya kesenjangan yang serius antara kedewasaan biologis dan kedewasaan psikologis serta sosial pada diri anak. Kesenjangan ini tidak terjadi pada masyarakat primitif serta pada penduduk era lalu. Ia terjadi pada cukup umur-sampaumur terbaru sebab masyarakat sudah memundurkan acara kedewasaan psikologis dan sosial dari agenda kedewasaan biologis anak. Semua ini berlawanan dengan proses alamiah dari pertumbuhan tiap insan.

Tugas pendidikan dan Psikologi Islam yaitu memutuskan bahwa pertumbuhan insan berlangsung sesuai dengan fitrahnya serta memutuskan terbentuknya manusia yang utuh dan paripurna (al-manusia al-kamil). Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali bila kesenjangan yang sudah disebutkan tadi bisa dihapuskan. Oleh sebab itu, proses kedewasaan psikologis dan sosial anak perlu dibuat semenjak dini, sehingga saat anak memasuki tahap kedewasaan biologis, ia telah siap untuk mempunyai dua aspek kedewasaan lainnya.

Kedewasaan sosial bisa dicapai anak dengan adanya penerimaan sosial dari lingkungannya terhadap anak sebagai orang dewasa yang setara dengan orang sampaumur yang lain. Jika anak disikapi dan diperlakukan secara dewasa, maka dia akan lebih singkat menjadi remaja. Adapun kedewasaan psikologis mampu dicapai anak melalui proses pendidikan dan pembinaan yang mengamati empat aspek, yakni identitas diri, tujuan hidup, usulandalam memilih, serta tanggung jawab.

Pembentukan kedewasaan psikologis dan sosial perlu menjadi perhatian serius dalam proses pendidikan anak menuju fase usia belasan tahun. Baik orang tua maupun guru di sekolah perlu memperhatikan ketimpangan yang selama ini terjadi pada dewasa dan mewujudkan solusinya dengan memperhatikan hal-hal yang sudah diterangkan di atas. Dengan demikian, pada saat memasuki kala baligh, anak telah siap untuk memasuki fase cukup umur permulaan dalam tahap pertumbuhannya, dan bukannya menjadi sampaumur yang sarat gejolak (turbulence) mirip yang kita saksikan pada hari ini.

Akhirnya, semua hal di atas mampu diimplementasikan dengan baik tanpa perlu menciptakan kebudayaan surut kembali ke belakang ke abad-masa primitif. Dengan begitu kesehatan perkembangan manusia serta perkembangan masyarakat mampu berlangsung beriringan, tanpa perlu salah satunya mengorbankan pihak yang lain.

Daftar Pustaka dan Footnote
  • Alatas, Alwi. 2004. Remaja Gaul Nggak Mesti Ngawur. Jakarta: Hikmah.
  • Alatas, Alwi. 2005. (Untuk) 13+, Remaja Juga Bisa Bahagia, Sukses, Mandiri. Jakarta: Pena.
  • Ashraf, Dr. Ali. 1993. Horison Baru Pendidikan Islam. Pustaka Firdaus.
  • Daud, Wan Mohd Noor Wan. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam. Bandung: Mizan.
  • Hilgard, Ernest R., Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson. 1979. Introduction to 
  • Psychology. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.
  • Kroger, Jane. 1989. Identity in Adolescence: The Balance between Self and Other.  London & New York, Routledge.
  • Mandela, Nelson. 1995. Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan: Otobiografi Nelson 
  • Mandela. Jakarta: Binarupa Aksara. 
  • Al-Qur’an al-Karim.
  • El-Quussy, Prof. Dr. Abdul ‘Aziz. 1975. Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/ Mental, jilid. II. Jakarta: Bulan Bintang.
  • Sarwono, Dr. Sarlito Wirawan. 1981. Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja: Sebuah Penelitian Terhadap Remaja Jakarta. Jakarta: CV Rajawali.
  • Sarwono, Sarlito Wirawan. 2001. Psikologi Remaja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
  • Sulaiman, Prof. Fathiyah Hasan. Konsep Pendidikan Al-Ghazali. P3M.
  • Tanner, James M. dan Gordon Rettray Taylor. 1975. Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan,.Jakarta: Tira Pustaka.
  • Thalib, Drs. M. 1995. Memahami 20 Sifat Fitrah Anak. Bandung: Irsyad Baitus Salam.
  • White, Kathleen M. dan Joseph C. Speisman. 1989. Remaja. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia.
_______________________
[1] Al-Qur’an surat ar-Rum [30] : 30. Ahmad Faqih mengutip Quraish Shihab yang mengartikan fitrah sebagai komponen, tata cara dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk sejak permulaan kejadiannya sehingga menjadi bawaannya. Lihat Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam,” http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm.

[2] Batasan usia ini sangat relatif. Pubertas atau baligh mungkin mampu dianggap selaku batas permulaan usia dewasa. Adapun batas hasilnya mampu ditinjau dari beberapa segi. Secara psikologis, seorang sampaumur dibilang telah sampaumur kalau beliau mempunyai tingkat kematangan yang sama dengan orang dewasa. Sementara secara hukum, batas usia kedewasaan seseorang berlawanan-beda berdasarkan hukum yang berlaku di sebuah negara, umumnya antara 17 dan 21 tahun.

[3] Lihat Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., hlm. 88.

[4] Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, hlm. 23.

[5] Gatra, 3 Januari 1998, hlm. 25.

[6] Penelitian di Jakarta pada tahun 1981 yang berkerja sama dengan Gerakan Remaja untuk Kependudukan (GRK) dan radio Prambors malah menunjukkan bahwa 15,3 % dari responden pernah berhubungan intim, entah dengan pacar, tante girang, atau pelacur. Lihat Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, 1981, Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja: Sebuah Penelitian Terhadap Remaja Jakarta, Jakarta: CV Rajawali, hlm. 29.

[7] Gatra, 3 Januari 1998, hlm. 22-24.

[8] Data-data dihimpun oleh Yayasan Kita dan Buah Hati.

[9] “Narsis atau PD, nih?” dalam Kompas, 1 April 2005, hlm. 49.

[10] Gatra, 24 Februari 2000, hlm. 31.

[11] Media Indonesia, 8 September 1999.

[12] Untuk kasus penembakan di SMU Columbine yang menghentak publik Amerika Serikat lihat News Week edisi 3 Mei 1999. Untuk kasus-kasus lainnya yang sejenis bisa dilihat pada Gatra, 11 April 1998.

[13] Newsweek, 10 Mei 1999, hlm 44.

[14] http://www.aap.org/advocacy/childhealthmonth/prevteensuicide.htm.

[15] Time, 15 April 2002.

[16] Data dihimpun oleh Yayasan Kita dan Buah Hati dari pemberitaan media-media massa. Tidak tertutup ada kasus-masalah lain yang belum masuk ke dalam data ini.

[17] Penelitian di Amerika Serikat menawarkan bahwa di antara hal-hal yang menjadi penyebab dewasa berurusan, rasa kesepian (loneliness) menempati posisi teratas. Barbara Schneider yang meneliti 7.000 sampaumur selama 5 tahun memperoleh bahwa rata-rata mereka menghabiskan waktu 3,5 jam sendirian setiap harinya. Remaja bisa saja mengklaim bahwa mereka membutuhkan privasi, namun mereka juga sungguh memerlukan perhatian yang ternyata tidak mereka peroleh. Sebenarnya, sampaumur-akil balig cukup akal ini sungguh berharap ada lebih banyak orang-orang akil balig cukup akal dalam kehidupan mereka. Newsweek, 10 Mei 1999, hlm. 42-43.

[18] Alwi Alatas, 2004, Remaja Gaul Nggak Mesti Ngawur, Jakarta: Hikmah, hlm. 27.

[19] Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 52.

[20] Doris Odlum, seorang dokter Inggris, mengumpulkan banyak pertanyaan yang diajukan oleh kalangan dewasa terkait dengan jati diri mereka. Untuk ini lihat James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, Jakarta: Tira Pustaka, hlm. 108-109.

[21] Jane Kroger, 1989, Identity in Adolescence: The Balance Between Self and Other, London & New York, Routledge, hlm. 1.

[22] Kathleen M. White and Joseph C. Speisman, 1989, Remaja, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, hlm. 85.

[23] Alwi Alatas, 2005, (Untuk) 13+, Remaja Juga Bisa Bahagia, Sukses, Mandiri, Jakarta: Pena, hlm. 8.

[24] Tentang pembahasan role confusion, lihat Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, op.cit. hlm. 92

[25] Terkadang orang tua telah memberikan model tugas yang baik untuk dicontoh oleh anak, tetapi kalah oleh versi-model tugas lain yang ditawarkan melalui media massa.

[26] Michael Carneal (14 tahun), misalnya, telah menembak temen-temen sekolahnya di Kentucky High School, Amerika, pada bulan Desember 1997. Peristiwa ini menimbulkan tiga pelajar meninggal dunia dan lima yang lain terluka parah. Saat diinterogasi ihwal motifnya, ia mengaku terpengaruh adegan dalam film Basketball Diaries. Ia bahkan mengatakan bahwa skenario Diaries merupakan cerminan pribadinya. Ketiga orang tua korban kemudian juga menuntut pihak produser film yang dibintangi oleh Leonardo Di Caprio itu, Gatra, 11 April 1998, hlm. 57.

[27] James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, op.cit. hlm. 110-111.

[28] James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, ibid.

[29] Ernest R. Hilgard, Rita L. Atkinson, & Richard C. Atkinson, 1979, Introduction to Psychology, op.cit. hlm. 88.

[30] Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 20.

[31] Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam,” http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm.

[32] James M. Tanner dan Gordon Rettray Taylor, 1975, Pustaka Ilmu LIFE: Pertumbuhan, op.cit. hlm. 111.

[33] Untuk teladan upacara pada salah satu suku primitif di Afrika Selatan, lihat Nelson Mandela, 1995, Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan: Otobiografi Nelson Mandela, Jakarta: Binarupa Aksara, hlm. 25-29. Upacara tersebut berlangsung selama beberapa hari dan dilaksanakan atas sekelompok anak berusia sekitar 16 tahun. Bagian terpenting dari upacara tersebut adalah saat anak-anak tadi disunat tanpa anastesi. Mereka harus berani menghadapi rasa sakit dalam prosesi sunat selaku manifestasi dari kesiapan mereka memasuki dunia orang sampaumur. Tidak adanya anastesi ini disengaja untuk menyiapkan mental mereka, alasannya, seperti dikatakan oleh Mandela sendiri, ”Seorang anak boleh menangis, pria cukup umur menyembunyikan kepedihannya.” Persis sesudah kulit khatan diiris dengan assegai, semacam pisau tradisional yang dipakai oleh dukun sunat, anak yang disunat mesti berteriak lantang, ”Ndiyindoda (Saya laki-laki sampaumur)!” Dan setelah semua prosesi tadi, anak-anak tersebut sudah mempunyai status yang serupa dengan orang-orang akil balig cukup akal pada masyarakatnya.

[34] Microsoft Encarta Encyclopedia Deluxe 2002 (CD). Walaupun belum dewasa tadi telah menerima status cukup umur mereka dalam usia yang dini, agaknya mereka tidak mengalami sebuah lompatan fase usia yang mengagetkan. Boleh jadi ini karena telah adanya antisipasi psikologis semenjak periode-era sebelumnya. Selain itu, fase gres yang mereka masuki mungkin bisa disebut selaku fase ‘dewasa awal’ yang masih membutuhkan proses pendewasaan diri lebih jauh. Bagaimanapun, fase ‘cukup umur awal’ tidaklah sama dengan fase ‘remaja’ yang merupakan peralihan dari anak-anak ke dewasa. Anak-anak yang masuk ke fase ’remaja permulaan’ ini tidak mengalami gejolak dan krisis – sebagaimana bisa dilihat pada pola-acuan masalah penduduk primitif di atas – mirip yang dialami oleh cukup umur-remaja modern.

[35] Sarlito Wirawan Sarwono, 2001, Psikologi Remaja, op.cit. hlm. 84.

[36] Angka-angka usia yang dimunculkan pada denah tersebut cuma diajukan selaku contoh, alasannya memang tidak ada batas usia akil balig cukup akal yang niscaya.

[37] Ahmad Faqih HN, “Menggagas Psikologi Islami: Mendayung di Antara Paradigma Kemodernan dan Turats Islam,” http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/psikologi_islami.htm.

[38] Wan Mohd Noor Wan Daud, 2003, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, hlm. 172.

[39] Dr. Ali Ashraf, 1993, Horison Baru Pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, hlm. 1.

[40] Prof. Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, P3M, hlm. 19-20.

[41] Prof. Dr. Abdul ‘Aziz El-Quussy, 1975, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/ Mental, jilid. II, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 309.

[42] Drs. M. Thalib menilai diperlakukannya anak-anak secara cukup umur oleh orang tuanya termasuk dalam sifat fitrah anak. Anak yang dia maksud di sini yakni anak yang telah baligh dan mencapai awal sampaumur. Ia mengambil dalil dari al-Qur’an surat Ash-Shaaffaat ayat 102 yang berisi dialog antara Nabi Ibrahim as. dengan anaknya yang gres beranjak akil balig cukup akal, ialah Ismail as., perihal turunnya perintah Allah untuk mengorbankan sang anak. Lihat Drs. M. Thalib, 1995, Memahami 20 Sifat Fitrah Anak, Bandung: Irsyad Baitus Salam, hlm. 63-66. Kami sendiri memandang kala baligh/ puber/ selaku pintu gerbang alamiah bagi anak untuk memasuki fase usia cukup umur.

[43] Penekanan kata ‘kasatmata’ di sini sangat penting, mengenang tidak selamanya aktifitas orang cukup umur bernilai positif. Dan positif atau tidaknya sesuatu sebaiknya dilihat dari kacamata Islam, bukan pandangan masyarakat yang senantiasa berubah-ubah.

[44] Pada permulaan goresan pena sudah dikutip klarifikasi Hilgard tentang tiga faktor yang menandai fase usia cukup umur. Aspek yang pertama, adalah pergeseran fisik, terkait dengan kedewasaan biologis yang terjadi secara alamiah. Sementara dua faktor lainnya yakni identitas diri dan tanggung jawab. Keempat faktor yang gres saja kami sebutkan di atas pada dasarnya sejalan dengan dua faktor terakhir yang disinggung Hilgard, alasannya adalah aspek tujuan hidup bahu-membahu ikut menopang terbentuknya identitas yang kuat, dan usulandalam menentukan merupakan bagian dari aspek tanggung jawab. Penjabaran ke dalam empat aspek ini lebih bertujuan untuk mempertajam rancangan pendidikan kedewasaan pada dewasa.

[45] Dalam menerangkan keempat faktor ini, kami lebih mengandalkan pengamatan kami sendiri secara rasional dan kualitatif, disebabkan masih relatif minimnya pembahasan-pembahasan serta penelitian yang mendukung dalam konteks ini, atau setidaknya kami sendiri belum memperoleh kajian-kajian yang terkait dengan persoalan ini.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon