I. PENDAHULUAN
Masalah pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari pendekatan atau perspektif demokrasi. Dari perspektif demokrasi, paling tidak akan diperoleh citra perihal (1) bagaimana kebijakan pendidikan di Indonesia dirumuskan dan dijalankan dengan melibatkan secara eksklusif atau tidak langsung partisipasi masyarakat. Juga mampu diperoleh citra apakah pendidikan memperlihatkan kesempatan yang serupa bagi setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan di semua tingkatan. (2) bagaimana nilai-nilai dasar demokrasi itu diimplementasikan dalam proses pendidikan. Atau dengan kata lain bagaimana pendidikan demokrasi dikerjakan di Indonesia. Kedua persoalan tersebut di atas yang hendak menjadi fokus dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Sejak Indonesia merdeka tata cara politik demokrasi telah menjadi opsi untuk dikembangkan dalam kehidupan bernegara.Robert Dahl (Sorenson, 2003) menunjukkan pemberian aliran untuk mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik. Menurut Dahl, sifat dasar demokrasi ada pada responsifitas pemerintah kepada preferensi warganegaranya yang setara secara politis. Demokrasi selaku metode politik didefinisikan oleh Henry B. Mayo (1960) selaku berikut:A democratic political system is one in which public policiesare made on a mayority basis, by representaives subject to effective popular control at periodic elections wich are conducted on principle of political equality and under conditions of political freedom.
Apa komponen - unsur esensial atau prinsip - prinsip dasar demokrasi itu ? Lyman Tower Sargent (1986) mengajukan komponen - unsur esensial demokrasi sbb. :
1. Keterlibatan warganegara dalam pembuatan keputusan politik;
2. Tingkat persamaan tertentu di antara warganegara;
3. Tingkat keleluasaan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan digunakan oleh para warganegara
4. Suatu tata cara perwakilan;
5. Suatu sistem pemilihan kekuasaan secara umum dikuasai.
Bagaimana dengan cita - cita demokrasi di Indonesia ? Pada kurun pergerakan maupun pada dikala menyusun Undang-Undang Dasar Indonesia merdeka, semua sependapat, semoga demokrasi atau paham kedaulatan rakyat menjadi salah satu sendi Indonesia merdeka. Diakui ada aneka macam visi diantara para anggota pergerakan dan penyusun Undang-Undang Dasar ihwal demokrasi. Yamin dan Agus Salim, mengajukan prinsip permusyawaratan yang bersumber dari prinsip fatwa agama (terutama Islam). Supomo, mengajukan visi bersumber budaya asli Indonesia. Hatta dan Soekarno, mengajukan visi yang didasarkan pada akhlak-istiadat Indonesia yang dipadukan dengan demokrasi terbaru.
Perbedaan visi atau pendekatan di atas, tidak mengurangi persamaan pertimbangan perihal corak demokrasi yang hendak dikembangkan di Indonesia. Persamaan tersebut : pertama, demokrasi tidak cuma diartikan cuma sebatas metode politik, tetapi juga selaku metode sosial dan ekonomi. Dengan demikian demokrasi meliputi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Soekarno memberikan perumpamaan selaku "socio democracie", Hatta menamakannya "demokrasi sosial". Menurut Hatta (dalam Ahmad Syafi'I Ma'terpelajar, 1985), sumber demokrasi sosial di Indonesia ada tiga, ialah : 1). sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme, dan prinsip-prinsip ini juga dipandang sebagai tujuan. (2) aliran Islam yang memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam penduduk . (3) teladan hidup dalam kolektivisme sebagaimana yang terdapat di desa - desa Indonesia.
PENDIDIKAN DEMOKRASI
Adalah John Dewey ( dalam Tilaar, 2003) filosof pendidikan yang melihat relasi yang begitu bersahabat antara pendidikan dan demokrasi. Dewey mengatakan bahwa kalau kita berbicara mengenai demokrasi maka kita memasuki kawasan pendidikan. Pendidikan ialah sarana bagi tumbuh dan berkembangnya perilaku demokrasi. Oleh sebab itu, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari penyelenggaraan negara yang demokratis.
Dalam pendidikan demokrasimenekankan pada pengembangan ketrampilan intelektual (intellectual skill), ketrampilan eksklusif dan sosial (personal and social skill) (Zamroni, 2003). Ketrampilan intelektual menekankan pada pengembangan berpikir kritis siswa. Selama ini tampak ditekankan pada acara mengakumulasi/menabung pengetahuan sebanyak mungkin kepada siswa (knowledge deposite).
Ketrampilan pribadi ditekankan pada pengembangan iman diri dan impian-cita-cita diri terhadap metode politiknya. Harapan itu contohnya bahwa metode politik akan mengakomodasi banyak sekali kepentingan dirinya sebagai warga negara. Dalam kenyataan ada kecenderungan siswa dipolakan pada ketergantungan yang sangat tinggi terhadap pemerintah atau pihak lain.Sedangkan ketrampilan sosial ditekankan pada kesanggupan emphatic dan respek pada orang lain, berkomunikasi dan toleransi.
Dalam pendidikan demokrasi terlihat ada permintaan terhadap sekolah untuk mentransfer pengajaran yang bersifat akademis ke dalam realitas kehidupan yang luas di penduduk . Dengan perkataan lainpraktek pembelajaran dilaksanakan dengan bahan yang substansial (rancangan teori yang sungguh selektif) namun kaya dalam implementasi.
Untuk keberhasilan pendidikan demokrasi dibutuhkan keadaan berkembangnya kultur demokrasi. Ruy ( dalam Zamroni, 2003) mengemukakan ada 4 ciri kultur demokrasi, 1) merupakan budaya adonan dari aneka macam nilai-nilai dari ideologi politik yang berbeda - beda; 2) bersumber pada budaya umum dan bersifat horizontal; 3) didasarkan pada masyarakat sipil (civil society); 4) merupakan keterpaduan dari berbagai segmen masyarakat (golongan kecil penduduk tercermin dalam norma dan sikap penduduk secara keseluruhan).
Ideologi - ideologi politik di Indonesia memang bermacam-macam tetapi sekarang semakin mencair. Hal itu bisa dilihat begitu mudahnya terjadi koalisi antara partai politik yang berlawanan ideologi. Sayangnya koalisi itu dibangun tidak atas dasar platform namun lebih didasarkan atas bagi - bagi kekuasaan ('politik dagang sapi'). Dalam kenyataan pragmatisme dan materialisme-lah yang menjadi ideologi partai politik.Berpolitik untuk memperjuangkan idealisme mirip yang tercermin dalam ideologi politik merupakan barang langka. Berpolitik untuk meperjuangkan kepentingan publik sudah berubah sebagaimata pencahariaan.
Dalam kondisi perpolitikan tersebut di atas, maka pendidikan demokrasi sudah kehilangan referensi bagaimana berpolitik yang berorientasi pada idealisme dan berpolitik yang etis. Oleh alasannya itu di kelompok masyarakat cukup umur ini mirip tampak dalam penyeleksian presiden ada fenomena melemahnya politik anutan dan menguatnya mesianisme (memilih alasannya adalah figure, pemimpin yang bisa menunjukkan kemakmuran dan keadilan atau ratu adil). Namun baik pemilih yang masih berkutat pada pendapatdomain politik fatwa dan mesianisme sama -sama masih dalam tataran pemilih emosional. Pemilih rasional tampak belum meningkat . Ini ialah tantangan bagi pendidikandemokrasi yang berkehendak untuk mengembangkan berpolitik (menentukan) secara rasional.
Pada segi lain budaya lazim yang bersifat horizontalyang penting bagi pendidikan demokrasi masih belum berkembang. Kultur feodalistik-lah yang meningkat . Hal ini terlihat korelasi patron-klien masih sangat besar lengan berkuasa. Penguasa yang seharusnya menjadi pramusaji publik justru minta dilayani oleh masyarakat. Egalitarianisme tidak meningkat . Budaya politik demokrasi atau budaya politik kewarganegaraan (Almond & Verba, 1984) yang ialah budaya campuran dari budaya politik partisipan, subyek dan parokhial tidak meningkat secara proporsional. Budaya politik subyek yang ditandai oleh kepatuhan tanpa perilaku kritis kepada penguasa berkembang melampaui dua budaya politik lainnya. Hal ini disebabkan antara lain kuatnya obsesi elite baik pada masa Orde Lama dan Orde Barupada kekuasaan.
Dalam kala Orde Baru Ong Hok Ham (2002) membuktikan bahwa obsesi elite Orde Baru (kekuasaan Soeharto yang terdiri dari banyak sekali aliansi militer , politik, bisnis, dll.) kepada kekuasaan, jabatan, dan status segila obsesi orang Cina terhadap duit. Obsesi - obsesi tersebut turut menegakkan orde patrimonial dan praetorian di Indonesia. Adnan Buyung Nasution (Kompas, 15 Agustus 2004) dalam konteks ini menyatakan pada zaman Orde Lama siapa dekat kekuasaan selamat, dan akan maju. Akhirnya orang tersebut menjilat pada kekuasaan. Di zaman Soeharto kekuasaan itu ditambah dengan materi. Kalau di zaman Soekarno kekuasaan itu memiliki tujuan yang dianggap luhur alasannya adalah waktu itu untuk revolusi. Dalam revolusi masih ada sesuatu yang ideal. Lepas benar atau tidak, revolusi untuk sesuatu yang dianggap luhur. Dalam zaman Soeharto kekuasaan lebih ditekankan pada tujuan ekonomi, orang mengejar-ngejar materi kekayaan, kemewahan ataupun uang.
Sebahagian Makalah ini tidak dipaparkan seluruhnya karena terlalu banyak seperti gambar dan tabel, oleh karena itu kalau Anda perlu isi keseluruhan silahkan Download format Doc di sini
DAFTAR PUSTAKA
- Almond, Gabriel A., Verba, Sydney.(1984). Budaya Politik. (Judul Asli : The Civic Culture), Penerjemah Oleh Sahat Simamora. Jakarta : Bina Aksara.
- Cholisin.(2004). Konsolidasi Demokrasi Melalui Pengembangan Karakter Kewarganegaraan, dalam Jurnal Civics : Media Kajian Kewarganegaraan, Volume 1, Nomor 1, Juni 2004. Yogyakarta : Jurusan PPKn FIS UNY.
- Dahl, Robert A., (2001). Demokrasi : Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi . Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
- Daniel Sparringa.(2004). Pemilu 2004 : Taksonomi Tema dan Isu Relevan, dalam M. Faried Cahyono dan Lambang Triyono (Editor). Pemilu 2004 : Transisi demokrasi dan Kekerasan. Yogyakarta : Center for Security and Peace Studies (CSPS) UGM bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiffung (FES) Indonesia.
- H.A.R. Tilaar.(2003). Kekuasaan & Pendidikan : Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang : Indonesiatera.
- Maarif, Ahmad Syafii.(1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta : LP3ES
- Mayo,Henry B. (1960). An Introduction to Democracy Theory. New York : Oxford University Press.
- Ong Hok Ham.(2002). Dari Soal Priyayi hingga Nyi Blorong : Refleksi Historis Nusantara. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
- Sorenso, Georg (2003). Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar kerjasama dengan Center for Critical Social Studies.
- Zamroni .(2003). Demokrasi dan Pendidikan dalam Transisi : Perlunya Reorientasi Pengajaran Ilmu - Ilmu Sosial di Sekolah Menengah, dalam Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan INOVASI,No.2 Th. XII/2003. Yogyakarta : LP3 UMY.
EmoticonEmoticon