Kamis, 27 Agustus 2020

Hak Asuh Anak

Hakikat Perceraian


Perceraian adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.



Sebenarnya perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika bahtera rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya perceraian menjadi “api pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti perlu kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).




Pengertian Hadhanah


Hadhanah menurut bahasa adalah Al-Janbu berarti erat atau dekat. Sedangkan menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang dapat membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.


Pengertian ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh sayid sabiq bahwa hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari siapapun, menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani dan rohani agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya




Dasar Hukum dan Syarat-Syarat Hadhanah


Hubungan antara orang tua dengan anak dalam hal ini adalah hubungan wajib tidak bias putus atau terhalang keadaan sesuatu apapun baik karena perceraian maupun salah satunya meninggal dunia, tidak menyebabkan putusnya kewajiban terhadap anaknya sesuai dengan Q. S. Al-Baqarah ayat : 233


Artinya:”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu menyempurnaka penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada para ibu dengan cara yang makruf.”


Ayat tersebut dipahami bahwa seorang ayah berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya, sedangkan dalam pemeliharaan anak yang setelah bercerai antara suami dan istri, rupanya prioritas jatuh pada seorang ibu yang paling berhak untuk mengasuhnya.


Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-tirmidzi:


Artinya:”Dari ibnu Syuaib dari ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar dan sesungguhnya seorang wanita berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya, dan susuku adalah tempat minumnya, maka setelah mendengar aduan itu, kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda:”Engkaulah yang lebih berhak menjaga anak itu selama engkau belum kawin dengan yang lain.”


Hadis tersebut menjadi dalil bahwa ibu lebih berhak dari pada ayahnya, bilamana ayahnya itu hendak memisahkannya dari ibunya, sebenarnya kandungan di atas suatu peringatan pada pengertian bahwa penetapan suatu hukum itu tetap dalam  pengertian nurani yang sehat. Para sahabat Abu Bakar dan Umar memutuskan perkara sama berdasarkan hadis itu, juga memberi anggapan bahwa ibu gugur masa pemeliharaan dan asuhan anaknya ini juga sesuai dengan mayoritas para ulama.


 Sedangkan keputusan ketika anak sudah bias memilih yang baik baginya, itu sesuai dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:


Artinya:”Dari Abu Hurairah berkata: Sesungguhnya seorang perempuan berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, padahal dia telah memberi manfaat bagi saya, sudah dapat mengambil air minum untuk saya dari sumur Abu Inabah.


Setelah suaminya dating lalu nabi SAW bersabda kepada aak itu: wahai anak ini ibu dan ini ayahmu, peganglah tangan yang mana di antara keduanya yang kamu sukai, lalu anak itu memegang tangan ibunya dan wanita itu pergi bersama anaknya.”


Menurut ulama Al-hadwaiyah dan ulama Hanafiyyah, tidak perlu disuruh memilih kata mereka: ibu lebih utama terhadap anak itu hingga ia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri maka ayah lebih berhak atasnya. Pendapat ini sesuai dengan pendapatnya Imam Malik




Macam-Macam Hadhanah


Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak itu sendiri, sehingga meskipun kedua orang tua mereka memiliki ikatan atapun sudah bercerai anak tetap dapat mendapatkan perhatian dari kedua anaknya.



  1. a)Hadhanah pada masa perkawinan


UU No. 1 tahun 1974 pasal 45, 46, 47 sebagai berikut:


Pasal 45:



  1. Kedua orang tua wajib mendidik dan memelihara anak mereka sebaik-baiknya.

  2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri berlaku terus meski perkawinan antara orang tua putus.


Pasal 46:



  1. Anak wajib mengormati orang tua dan menaati kehendak mereka dengan baik.

  2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya.


Pasal 47:



  1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, salaam mereka tidak dicabut kekuasaanya.

  2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.


Dalam hal ayat 1 pasal 47, menyebutkan bahwa kekuasaan salah satu atau kedua orang tuanya di cabut dari orang tuanya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kanndung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan meskipun dicabut, mereka tetap berkewajiban.


Namun demikian orang tua masih memiliki kewajiban atas biaya pemeliharaan anak tersebut (ayat 2) berkaitan dengan pemeliharaan anak juga, orang tua pun mempunyai tanggung jawab yang berkaitan dengan kebendaan. Dalam pasal 106 KHI disebutkan bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan dan orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.


Ditambah dengan KHI pasal 98 dan 99 tentang pemeliharaan anak:


Pasal 98:



  1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa 21 tahun, sepanjang tidak cacat fisik atau mental.

  2. Orang tua mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan

  3. PA (Pengadilan Agama) dapat menunjuk kerabat terdekat yang mampu bila orang tuanya tidak mampu.




Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam


 Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”


Demikian halnya saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud mengambil Ashim bin Umar dari pengasuhan mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan masalah ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin saat itu.


Abu Bakar berkata : “Kandungan, pangkuan, dan asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashim dari pada dirimu (Umar) hingga Ashim beranjak dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.”


Ayah dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai, anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris karena merupakan bagian dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus dinikahkan oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.


Bagaimana nasib ibu yang telah menjanda? Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga kali haid) serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz (berakal) dan melakukan takhyir yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah


Jika anak belum mencapai fase tamyiz (berakal), maka ibu tetap berkewajiban mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu mengasuh anaknya (misalnya karena : kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syar’i lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan mendidik anak), maka pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari anak) hingga garis keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai dari ibunya ibu hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka menjadi kewajiban ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mumpuni untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.


Pengasuh yang dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya. Bisa juga perempuan lain yang memang mumpuni dalam mengasuh anak. Adapun syarat pengasuh anak adalah baligh dan berakal, mampu mendidik, terpercaya dan berbudi luhur, Islam, dan tidak bersuami. (Fiqih Anak, 2004. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo).


Perceraian memang pahit. Akan tetapi perceraian lebih baik dipilih daripada kehidupan rumah tangga menjadi terpuruk sehingga bisa menyebabkan berbagai kemaksiatan. Tugas ayah dan ibu berikutnya adalah menanamkan cinta dan kasih sayang kepada anggota keluarganya agar anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut tidak condong kepada sikap durhaka. Baik kepada ibu, ayah, maupun keduanya. Hal ini karena ayah dan ibu adalah orang tua dari anak.


 Dengan demikian, fenomena yang terjadi seperti berebut hak asih anak, mengadu pada Komisi Perlindungan Anak maupun LSM-LSM Peduli Anak, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu justru bisa menimbulkan stress pada anak. Apalagi sampai menghindarkan anak dari pertemuan dengan ayah atau ibunya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila anak-anak menjadi depresi dan membenci salah satu maupun kedua orang tuanya. Inilah saatnya untuk memutus lingkaran setan dari kesalahan pemahaman mengenai hak asuh anak (hadhanah) sesuai syariat Islam.




Hak Asuh Anak Yang Belum Mumayyiz


Apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 105 Kompilasi Hukum


Islam yang menyatakan dalam hal terjadinya perceraian:



  1. Pemeliharaan anak yang belummumayyizatau belum berumur 12 (dua


belas) tahun adalah hak ibunya;



  1. Pemeliharaan anak yang sudahmumayyizdiserahkan kepada anak untuk


memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan;



  1. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.


Sedangkan menurut fiqih 5 mazhab:



  1. Hanafi: 7 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun untuk perempuan.

  2. Syfi’i: tidak ada batasan tetap tinggal sama ibunya sampai ia bisa menentukan atau berpikir tentang hal yang baik baginya. Namun bila ingin bersama ayah dan ibunya, maka dilakukan undian, bila si anak diam berarti memilih ibunya.

  3. Maliki: anak laki-laki hingga baligh dan perempuan hingga menikah.

  4. Hambali: Masa anak laki-laki dan perempuan dan sesudah itu disuruh memilih ayah atau ibunya.

  5. Imamiyyah: Masa asuh anak untuk laki-laki 2 tahun, sedangkan anak perempuan 7 tahun. Sesudah itu hak ayah hingga mencapai 9 tahun bila dia perempuan dan 15 tahun bila dia laki-laki, untuk kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.




Demikianlah artikel dari duniapendidikan.co.id mengenai Hak Asuh Anak : Hakikat, Pengertian, Macam, Menurut Syariat Islam, semoga artikel ini bermanfaat bagi anda semuanya.



Sumber jk.com


EmoticonEmoticon