Minggu, 09 Agustus 2020

Makalah Pemberantasan Buta Karakter, Wajib Belajar, Sekolah Kejuruan Dan Yang Lain

PEMBERANTASAN BUTA AKSARA, WAJIB BELAJAR, SEKOLAH KEJURUAN, KUALIFIKASI SEKOLAH KEJURUAN, LIFE SKILL DAN SOFT SKILL

A. PENDAHULUAN
Ada tiga hal yang senantiasa didengungkan pemerintah terkait pembangunan pendidikan di Indonesia, yakni wajib berguru pendidikan dasar, rehabilitasi sekolah dan pemberantasan buta abjad. Pasalnya tiga hal tersebut menjadi indikator penting dan bab dari Human Development Indeks (HDI). Buta karakter fungsional adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan kemampuan membaca dan menulis yang belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini sama dengan buta abjad dalam arti terbatas, yang berarti ketidakmampuan untuk membaca atau menulis kalimat sederhana dalam bahasa apapun.Menyinggung jumlah penduduk buta huruf yang masih cukup besar, hal ini disebabkan beberapa aspek. Misalnya, masih terjadinya siswa usia sekolah yang tidak tertampung di sekolah dasar. Ada juga penduduk yang semenjak awal memang tidak sekolah karena berbagai alasan, seperti kondisi ekonomi keluarga dan kondisi geografis. Ada juga masyarakatyang pernah mengikuti acara pemberantasan buta huruf, namun penduduk itu kembali menjadi buta karakter alasannya adalah kurang intensif memelihara kesanggupan keaksaraannya. Satu upaya yang dikerjakan yaitu mempercepat penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Dinas P dan K akan melaksanakan penambahan ruang kelas baru, pembangunan Taman Kanak-kanak/Sekolah Dasar satu atap dan Sekolah Dasar/SMP satu atap, acara inklusi, membuka SMP Terbuka, dan Kelompok Belajar (Kejar) Paket B setar dengan Sekolah Menengah Pertama.

Pendidikan kejuruan yaitu pendidikan menengah yang menyiapkan penerima bimbing utamanya untuk melakukan pekerjaan dalam bidang tertentu. Filosofi adalah apa yang diyakini selaku sebuah persepsi hidup yang diianggap benar dan baik. Dalam pendidikan kejuruan ada dua pedoman filosofi yang cocok dengan keberadaanya, adalah eksistensialisme dan esensialisme. Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan mesti berbagi keberadaan insan untuk bertahan hidup, bukan merampasnya. Sedangkan esensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan mesti mengaitkan dirinya dengan metode-metode yang lain mirip ekonomi, politik, sosial, ketenaga kerjaan serta religi dan susila.

Untuk pembahasan lebih terang dalam makalah ini akan dipaparkan tentang pemberantasan buta karakter, wajib belajar, pendidikan kejuruan serta kualifikasinya dan life skill dan soft skill beserta Undang-undang masing-masing.


B. PEMBERANTASAN BUTA AKSARA

Pada alinea keempat Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa pemerintah Negara Republik Indonesia berkewajiban untuk ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, dan diperjelas lagi dalam pasal 31 ayat 1 dinyatakan ”bahwa setiap warga negara berhak menerima pendidikan.” Pendidikan yakni ialah alat yang paling penting untuk menyebarkan kesempatankehidupan insan, baik intelegensia, kreativitas. Pendidikan nasional berfungsi berbagi kesanggupan dan membentuk tabiat serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi akseptor bimbing semoga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia; sehat, akil, mahir, kreatif, berdikari, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Aktivitas pendidikan terkait dengan tujuan pembentukan manusia seutuhnya dalam rangka mengembangkan peradaban. Sebagaimana tertuang dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, Bab II, pasal 3.

Pendidikan nasional berfungsi berbagi kemampuan dan membentuk akhlak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi akseptor didik supaya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berakal, piawai, kreatif, mampu berdiri diatas kaki sendiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]

Jelaslah disini bahwa pemerintah dan penduduk mesti bahu membahu dalam melakukan pendidikan, yang diawali dengan pemberantasan buta huruf. Walaupun pemerintah telah menetapkan program wajib mencar ilmu 9 tahun dan program pemberantasan buta huruf mirip Program Keaksaraan Fungsional (Program KF), namun demikian program-program tersebut belum berhasil menurutkan besarnya buta abjad sehingga hingga ketika ini buta huruf tetap saja masih tinggi.

Berdasarkan data BPS tahun 2003-2004, posisi kebutaaksaraan penduduk Indonesia usia 10 tahun ke atas sebesar 15.533.271 orang, terdiri atas perempuan sebanyak 10.643.823 orang (67%) dan pria sebanyak 5.042.338 orang (32,1 %). Pada usia 10-44 tahun sebesar 4.410.627 orang. Usia 15-44 tahun sebesar 3.986.187 orang. Angka buta abjad tersebut masih akan bertambah, mengenang angka tingkat putus mencar ilmu pada kelas-kelas awal (1-3) SD/MI ketika ini masih 200.000 s.d. 300.000 per tahun. Khusus di bidang pendidikan, data susenas 2003 pertanda bahwa penduduk perempuan usia 20 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki 911,56% berbanding 5,43%). Penduduk wanita yang buta karakter sebesar 12,285, sedangkan pria 5,82% atau dengan kata lain bahwa jumlah buta karakter pada perempuan lebih banyak 2 hingga 3 kali lipat dari laki-laki.[2]

Sementara itu kebutaaksaraan juga sungguh terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakberdayaan penduduk . Sehingga masalah buta abjad ini tidak saja menjadi masalah nasional tetapi sudah diangkat menjadi masalah internasional. Atas dasar itu, UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank, dan badan-tubuh internasional lain menjadi sungguh gencar mengkampanyekan dan mensosialisasikan akan pentingnya pemberantasan buta huruf di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Atas dasar ini pula muncul kebijakan pemerintah ihwal peraturan pemerintah keputusan bareng menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional no 17/ Men.PP/ Dep.II/VII/2005, no 28A tahun 2005. No 1/PB/2005 tentang Mempercepat pemberantasab Buta Aksara Perempuan yaitu:


BAB I

KETENTUAN UMUM

Dalam pasal ini yang dimaksud buta karakter yaitu:

1. Warga Negara perempuan yang buta aksata latin dan angka Arab, dan buta bahasa Indonesia dan bita pengetahuan dasar.

2. Program agresi nasional pemberantasan buta huruf perempuan ialah kesepakatan kolektif ihwal pemberantasan buta abjad wanita yang dioperasionalkan secara menyeluruh, berbarengan dan terpadu di seluruh Indonesia yang dilandasi oleh semangat gotongroyang dari eleman pemerintah dan penduduk .

BAB II
Tujuan

Pasal 2

Tujuan peraturan bersama ini untuk pemberantasan buta abjad perempuan dalam upaya untuk mempercepat menurunkan buta huruf lewat kebijakan khusus Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan bareng Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pendidikan Nasional.

BAB III
Ruang Lingkup

Pasal 3

Peraturan bersama ini mengontrol pelaksanaan pemberantasan buta aksara perempuan diseluruh Indonesia

Pasal 4

Pemberantasan buta aksara ini sebagaimana yang dimaksud pasal 3 dilakukan melalui Program Aksi Nasional Pemberantasan Keaksaraan Fungsional yang di integrasikan dengan program pendidikan non formal melalui magang, Kelompok Belajar Keterampilan ( KBK), Kelompok Belajar Usaha (KBU), Taman Bacaan Masyarakat ( KBM), Kecakapan hidup (life skill), dan sejenisnya dengan mempergunakan seperangkat modul/intrumen pembelajaran di propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan dan desa.

BAB IV
Tugas dan Tanggungjawab

Pasal 5

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memiliki peran dan tanggungjawab mencakup:

a. Melakukan koordinasi advokasi, sosialisasi, komunikasi, berita dan edukasi kepada aksi nasional pemberantasan buta karakter perempuan.
b. Menyiapkanbahan-bahan komunikasi, gosip dan edukasi acara aksi nasional pemberantasan buta huruf perempuan.
c. Menyusun aliran dan modul pemberantasan buta huruf perempuan
d. Melakukan kajian pemberantasan buta abjad wanita dalam pengembangan modul, sarana dan prasarana yang efektif dan efesien dalam program agresi pemberantasan buta abjad.
e. Melaksanakan penilaian nasional dan melaporkan gerakan pemberantasan buta karakter kepada presiden secara berukuran setia tahun

Pasal 6

Menteri dalam negeri mempunyai peran dan tanggungjawab meliputi:

a. Memfasilitasi pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan dan Desa dalam pengelolaan pemberantasan buta abjad wanita.
b. Memfasilitasi pemerintah tempat untuk melengkapi rekomendasi dan pra usulan berguru
c. Mendorong pemerintah Daerah, Swasta dan Organisasi perempuan, LSM, organisasi kemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberantasan buta huruf perempuan.
d. Menyusun anutan pelaksanaan urusan pemerintah dalam rangka pemberantasan buta karakter wanita di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan dan desa
e. Memfasilitasi pemerintah kawasan untuk membentuk kelompok kerja apemberantasan buta aksara perempuan diprovinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan dan desa.
f. Melaksanakan evaluasi di tempat dan melaporkan gerakan pemberantasan buta huruf kepada presiden secara berskala setiap tahun dengan tembusan kepada kementerian Negara pemberdayaan perempuan

Pasal 7

Menteri Pendidikan Nasional memiliki peran dan tanggungjawab meliputi:

a. Mendorong percepatan penyiapan sumber daya insan sebagai tutor, penyelenggara dan pengurus
b. Mempercepat pengadaan master trainer untuk pembelajaran pemberantasan buta aksara
c. Menyiapkan master bahan bahan didik berbentukmodul pemberantasan buta abjad
d. Mengembangkan paduan/pemikiran kurikulum, penyelenggara, peganggan, tutor, pengwas, pelatihan, pelesterian dan evaluasi pemberantasan buta huruf
e. Melakukan penilaian program dan pembelajaran pemberantasan buta abjad.[3]

Dikarenakan Indonesia yaitu negara yang beragama, maka untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, pemerintah wajib mengadakan pendidikan agama sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 wacana Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada Bab II pasal 3 ayat 1 dibilang bahwa:[4]

“Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib mengadakan pendidikan agama.

Kemudian pada pasal 2 ayat 1 dan 2 dikatakan bahwa[5]:

“Pendidikan agama berfungsi membentuk insan Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlakul mulia dan bisa mempertahankan kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama.”

“Pendidikan agama bertujuan untuk berkembangnya kesanggupan akseptor bimbing dalam mengetahui, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.”

Dalam pandangan Islam, pendidikan wajib dijalankan sepanjang hayat, sehingga kehidupan bagi seorang muslim yakni proses dan sekaligus lingkungan pembelajaran. Jika seseorang berhenti berguru pasti tertinggal dan tergilas zaman. Selanjutnya, apabila kita mengamati ayat-ayat yang pertama diturunkan oleh Allah terhadap Nabi Muhammad, maka nyatalah bahwa Allah sudah menekankan perlunya orang belajar baca-tulis dan berguru ilmu pengetahuan. Firman Allah dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5.

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah membuat insan dari segumpal darah. Bacalah Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.”

Dalam hadis Rasulullah saw. Dikatakan:

“Sebaik-baik kalian yaitu siapa yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya (HR. Al-Bukhari).

“Siapa saja membaca satu aksara dari kitab Allah (Al-Qur’an), maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya (HR. At-Tirmidzi).

Dari ayat-ayat dan hadis tersebut, jelaslah bahwa agama Islam mendorong umatnya biar menjadi umat yang berakal, dimulai dengan berguru baca tulis dan dilanjutkan dengan belajar banyak sekali macam ilmu pengetahuan. Oleh alasannya adalah itu, dalam hal ini pemerintah tidak cukup cuma memberantas buta huruf latin saja, tetapi tidak kalah penting juga mmeberantas buta karakter Al-Qur’an sebagai fatwa umat muslim yang di dalamnya terdiri dari banyak sekali macam ilmu wawasan. Program pemberantasan buta huruf (PBA) ini ialah acara nasional yang dicanangkan semenjak tahun 2003. Kemudian tahun 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan program percepatan pemberantasan buta karakter yang ditargetkan tuntas pada tahun 2009 ini. Untuk mengatasi masalah buta huruf ini, pemerintah pusat telah mengeluarkan beberapa landasan hukum sekaligus sebagai dasar kebijakan dalam memberantas buta karakter, ialah:

Instruksi Presiden No. 5 tahun 2006 wacana Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dan Pemberantasan Buta abjad. Yaitu: mengambil tindakan yang diperlukn sesuai tugas, fungsi dan wewenang masing-masing untuk melaksanakana mempercepat penuntasan wajib berguru pendidikan dasar Sembilan tahun dan penuntasan buta karakter. Dengan:

a. Meningkatkan presentase penerima latih di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyyah/ pendidikan sederajat kepada penduduk usia 7-12 tahun atau angka partisipasi murni (APM) sedikitnya 96% dalam tahun 2008
b. Meningkatkan presentase penerima latih di sekolah menengah/madrasah tsanawiyah/ pendidikan sederajat terhadap masyarakatusia 12-15 tahun atau angka partisipasi murni (APM) sekurang-kurangnya 96% dalam tahun 2008
c. Menurunkan presentase anak buta huruf umur 15 tahun sampai mencapai 5% pada tamat 2009

Untuk selanjutjan mampu diliha dalam kebijakan pemerintah antara lain:

1. Keputusan bersama Mendiknas, Mendagri, dan Meneg PP ihwal Percepatan Pemberantasan Buta Aksara Perempuan.( Tercantum diatas)
2. Kerjasama Mendiknas dengan berbagai organisasi sosial kemasyarakatan di antaranya: PKK Pusat, Muslimat NU, Aisyiyah, Kowani, dan Wanita Islam.
3. Keputusan MENKOKESRA No. 22 tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajar Dikdas dan Pemberantasan Buta Aksara.
4. Keputusan Mendiknas No. 35 th 2006 tentang Pembentukan Tim Pelaksana Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan wajar Dikdas dan pemberantasan Buta Aksara dan pembentukan sekretariatnya.
5. Keputusan Dirjen PLS No. Kep-82/E/MS/2007 wacana Pembentukan Kelompok Kerja GNP-PBA.

Program pemberantasan buta aksara selama ini sering berlangsung pasang surut. Hal ini disebabkan alasannya adalah banyak sekali hal diantaranya[6]:

1. Kesadaran akan pentingnya tingkat keaksaraan penduduk belum menjadi kesadaran kolektif
2. Rendahnya tingkat perekonomian keluarga.
3. Sosial budaya yang masih bias gender (budaya patriarchi).
4. Rendahnya political will dari penyelenggara Negara (pemerintah dan dewan perwakilan rakyat).
5. Rendahnya anggaran yang disediakan untuk acara pendidikan keaksaraan, jika daripada program-program dalam satu aspek (aspek pendidikan) maupun luar faktor yang sangat terkait dengan acara ini seperti aspek kesehatan, keluarga bermaksud, ketenagakerjaan, dan lain-lain[7].

Metode yang hendak diterapkan dalam program pemberantasan buta karakter Al-Qur’an ini adalah tata cara yang gampang diserap oleh ibu-ibu rumah tangga. Dalam hal ini penulis berpatokan pada metode yang ada dan telah pernah dipakai di masyarakat. Dari banyak sekali macam metode yang ada tersebut, dengan kekurangan biaya, tenaga, dan waktu, maka dalam penelitian ini akan diterapkan dua metode saja yakni tata cara Iqro dan tata cara Qiroati[8].


C. WAJIB BELAJAR

Menggali kesempatanpesantren, baik dalam konteks Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun (selanjutnya masuk akal dikdas), maupun kenaikan saluran pendidikan, menjadi sangat signifikan. Ini disebabkan, bukan cuma sebab pesantren ialah lembaga pendidikan yang mempunyai akar besar lengan berkuasa di masyarakat, tetapi juga alasannya adalah jumlahnya yang sangat besar, sebagaimana dalam data EMIS 2006, ada sekitar 16.015 buah pesantren. Dengan menyaksikan potensi tersebut, maka target mengoptimalkan daya serap program wajar dikdas 9 tahun mampu dipandang dengan sarat optimis, dan oleh alasannya adalah itulah, maka pelibatan langsung institusi pesantren dalam akselerasi masuk akal dikdas 9 tahun menjadi sangat strategis. Berbagai contoh pendidikan dasar telah diselenggarakan untuk memberi kesempatan terhadap masyarakat mengikuti pendidikan dasar, baik pada jalur pendidikan formal mirip SD/MI, SMP/MTs, maupun pada jalur pendidikan nonformal seperti acara Paket A dan Paket B. Tetapi belum seluruh anak usia wajar dikdas menerima peluang mendapatkan pendidikan dasar.

Menurut Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Pekapontren), Departemen Agama, H. Amin Haedari, Program Wajar Dikdas 9 tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah dikembangkan dalam relevansinya secara fungsional dengan banyak sekali bidang kehidupan yang mempunyai duduk perkara dan tantangan yang semakin kompleks. Dalam dimensi sektoral tersebut, Program Wajar Dikdas 9 Tahun tidak cukup hanya berorientasi pada SDM dalam rangka merencanakan tenaga kerja. Program Wajar Dikdas 9 tahun mesti dilihat dalam perspektif pembangunan Insan Indonesia yang beriman, cerdas dan kompetitif. Dalam perspektif demikian, maka acara wajar dikdas 9 tahun pada Pesantren Salafiyah harus lebih berperan dalam menaruh landasan bagi pengembangan seluruh potensi insan semoga menjadi subyek yang berkembang secara maksimal dan bermanfaat bagi penduduk dan pembangunan nasional. Potensi manusia Indonesia yang dikembangkan lewat: (1) Olah hati untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan, meningkatkan budbahasa mulia, akal pekerti, atau akhlak, membentuk kepribadian unggul, membangun kepemimpinan dan entrepreneurship; (2) Olah pikir untuk membangun kompetensi dan kemandirian ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) Olah rasa untuk mengembangkan sensitifitas, daya apresiasi, daya kreasi, serta daya verbal seni dan budaya; dan (4) Olah raga untuk memajukan kesehatan, kebugaran, daya tahan, dan kegesitan fisik serta kemampuan kinestetis[9].

Pencanangan gerakan wajar dikdas 9 tahun sudah ditetapkan semenjak tahun 1994, toh legalitas penyelenggaraan acara wajib belajar pendidikan dasar di pondok pesantren baru menemukan bentuknya pada tahun 2000 dan mulai terselenggara melalui acara Wajib Belajar 9 Tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah. Dasarnya Surat Kesepakatan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor : 1/U/KB/2000 dan Nomor: MA/86/2000, ihwal Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola wajib Belajar Pendidikan Dasar[10].

Pada level implementasi, hal itu mampu dilihat dengan kedatangan Surat Keputusan Bersama (SKB) Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Nomor : E/83/2000 dan Nomor : 166/c/Kep/DS/2000, perihal Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah selaku Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Ada pula Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Nomor : Dj.II/526/2003 dan Nomor : 6016/C/HK/2003 Tahun 2003, tentang Ujian Akhir Nasional Program Program Wajib Belajar Sembilan Tahun pada Pondok Pesantren Salafiyah. Serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor: E/239/2001 perihal tutorial Teknis Penyelenggaraan Program wajib Belajar Pendidikan Dasar pada Pondok Pesantren Salafiyah.

Selain program wajib di atas, di pondok pesantren juga diselenggarakan pelayanan pendidikan nonformal melalui pendidikan kesetaraan paket A setara MI-SD, Paket B setara MTs-SMP dan paket C setara MA-Sekolah Menengan Atas. Dengan pendidikan kesetaraan diupayakan perluasan kanal kepada wajib berguru pendidikan dasar 9 tahun, sekaligus memberikan layanan pendidikan menengah bagi mereka yang memerlukan pendidikan lanjutan yang tidak memungkinkan melalui jalur pendidikan formal.

Sesuai pasal 36 dan 38 UU No. 20 tahun 2003[11], kelembagaan acara paket C di lingkungan pondok pesantren dikembangkan dengan mengacu pada patokan nasional, dan Permendiknas RI no. 23 tahun 2006 yang mengisyaratkan ihwal contoh standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah. Dengan kerangka pergantian itulah, maka pengembangan Pendidikan Kesetaraan Paket C khususnya, diarahkan untuk mempunyai relevansi dengan peraturan dan kebijakan yang berlaku sekaligus memenuhi keperluan dan permintaan pertumbuhan masyarakat, sekaligus pada sisi lainnya kian mengokohkan eksistensi dan jati diri Pondok Pesantren selaku satuan Pendidikan Islam yang secara integral menjadi bab dari Sistem Pendidikan Nasional.


D. PENDIDIKAN KEJURUAN

Sejarah pendidikan teknik dan kejuruan di Indonesia diawali dengan didirikannya Ambacht School van Soerabaja tahun 1853 oleh pihak swasta. Sekolah ini utamanya ditujukan untuk pria keturunan Eropa utamanya Belanda, dari golongan miskin yang tinggal di Hindia Belanda dikala itu.

Pada akhir kala ke-19 pemerintah Hindia Belanda mendirikan suatu lembaga pendidikan di Jakarta dengan nama Ambacht Leergang. Kemudian pada tahun 1901 dilanjutkan dengan pembukakan forum pendidikan bernama Koningin Welhelmina School (KWS) yang para siswanya terdiri atas tamatan Europeese School yang diperuntukan khusus untuk orang-orang Eropa.

Pendidikan teknik dan kejuruan tingkat pertama di Indonesia menjelang tamat periode penjajahan Belanda hingga abad pendudukan Jepang (1942-1945) terdiri atas: Ambacht Leergang, yang mempersiapkan pekerja-pekerja tukang, Ambacht School, yang memberikan latihan yang lebih tinggi, dan Technische School, yang menunjukkan latihan yang lebih tinggi dan bersifat teoritis.

Ketiga jenis lembaga pendidikan teknik dan kejuruan ini tetap bertahan sesudah Indonesia merdeka dengan mengalami pergeseran-pergantian nama dan beberapa pergantian kurikulum. Perkembangan jumlah sekolah berjalan pesat sesuai dengan meningkatnya minat para cowok untuk menuntut wawasan teknik dan kejuruan.

Pada kala kemerdekaan, Ambacht Leergang diketahui dengan Sekolah Pertukangan (SPT), Ambacht School menjadi Sekolah Pertukangan Lanjutan (SPL), dan Technische School sebagai Sekolah Teknik (ST), sedangkan THS menjadi Institut Teknologi Bandung(ITB). Lama pendidikan SPT yaitu 2 tahun sesudah Sekolah Dasar 6 tahun. SPL yaitu 1 tahun sesudah SPT , SPT adalah 4 tahun yang lalu menjadi 3 tahun setelah SD. Lembaga pendidikan teknik dan kejuruan berkembang menjadi forum pendidikan kejuruan yag mempunyai peran sentral dalam penyediaan tenaga tukang yang terampil dan teknisi tingkat pertama.

Jurusan-jurusan yang dibuka pada forum pendidikan teknik tersebut didasarkan atas penggolongan jabatan (job description) dan analisis pekerjaan (job analysis) beserta kriteria sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Dengan menyaksikan sejarah tersebut, memiliki arti sekolah teknik dan kejuruan baru dibuka 317 tahun sehabis pertama yang diresmikan oleh Portugis dan 246 tahun sehabis sekolah pertama diresmikan oleh VOC/ Belanda.

Dengan demikian, sampai dikala ini sekolah kejuruan di Indonesia telah berusia 1,5 abad. Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda, pada tahun 1940 terdapat sekitar 88 sekolah kejuruan di Indoneasia dengan 13.230 siswa, lazimnya dalam bidang pertukangan, teknik, dan pertanian.

Sejak kemerdekaan sampai sekarang, pendidikan teknik dan kejuruan meningkat pesat. Pemerintah sendiri ketika ini sedang menggalakkan peran Sekolah Menengah kejuruan yang lebih digemari masyarakat karena berorientasi pada pekerjaan. Kebijakan pemerintah antara lain dengan menargetkan penambahan jumlah Sekolah Menengah kejuruan sehingga perbandingan SMA dengan Sekolah Menengah kejuruan nantinya menjadi 40 : 60. Saat ini saja terdapat 4.200 SMK dengan siswa 2,1 juta orang atau 35% dari total populasi siswa SLTA.

Kebijakan ini dilandasi dengan kian meningkatnya angka pengangguran serta semakin terbukanya sektor-sektor formal dan informal yang memerlukan tenaga kerja menengah yang bermutu. Karena berhadapan eksklusif dengan dunia kerja, sepanjang sejarahnya sekolah ini sungguh dinamis, terbukti dari kurikulum yang sering diperbaharui dan banyaknya penemuan yang diluncurkan untuk membuat sekolah ini lebih berkaitan dengan keperluan dunia kerja.

Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, pendidikan kejuruan telah masuk dalam Sistem Pendidikan Nasional secara aturan, yaitu jenis pendidikan yang tergolong dalam jalur pendidikan sekolah (Pasal 11, Ayat 1). Selanjutnya, dalam Pasal 11, Ayat 3 disebutkan:

"pendidikan kejuruan ialah pendidikan yang merencanakan penerima ajar untuk mampu melakukan pekerjaan dalam bidang tertentu".

Namun, sebab rumusannya terlalu singkat dan pada takaran yang kecil, kedudukan pendidikan kejuruan tersebut masih belum berpengaruh dan belum terperinci. Sebagai komparasi, di Amerika Serikat kebijakan pendidikan kejuruan telah usang dirumuskan secara rinci dalam sebuah undang-undang tersendiri, adalah Vocational Education Act of 1963, yang kemudian diamandemen tahun 1968 dan 1976.

Dalam PP 29/1990 ini, pendidikan kejuruan cuma diterangkan pada tiga tempat. Pasal 1 Ayat 3 menyatakan:

"pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang memprioritaskan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu".

Sementara itu, pada Pasal 3 Ayat 2 disebutkan bahwa

“Pendidikan menengah kejuruan mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta membuatkan perilaku profesional.”

Kemudian, pada Pasal 7 dikontrol syarat-syarat pendirian sekolah menengah kejuruan.

Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, dalam PP 29/1990 ini pendidikan kejuruan juga mendapat takaran yang kecil, dan rumusan peraturan untuk pendidikan kejuruan masih terasa sungguh biasa . Salah satu alternatif untuk mengembangkan kejelasan kebijakan pendidikan kejuruan yakni membuat peraturan pemerintah tersendiri, khusus untuk pendidikan kejuruan. Alternatif lain yaitu dengan menyempurnakan PP 29/1990 sesuai dengan pertumbuhan, mirip berlakunya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 wacana Pemerintahan Daerah, dan Undang Undang No. 25 Tahun 1999 ihwal Perimbangan Pendapatan. Dalam hal ini perlu dibarengi "jejak" pendidikan tinggi, yang sukses menyempurnakan PP 30/1990 dengan lahirnya PP 60/1999 wacana Pendidikan Tinggi dan PP 61/1999 wacana Penetapan PTN selaku Badan Hukum

Kelebihan dari Keputusan Menteri ini terletak pada lengkapnya unsur-bagian dalam penyelenggaraan pendidikan sistem ganda, yang terdiri dari ketentuan biasa , tujuan, penyelenggaraan, acara, koordinasi, penerima, pelatih, MPK, penilaian dan sertifikasi, pengelolaan, pengawasan, insentif, serta pengembangan dan kenaikan mutu. Akan tetapi, Keputusan Menteri ini perlu direvisi alasannya terdapat rumusan-rumusan yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan kini. Sebagai contoh, pada Bab IV Program, Pasal 8 dan 9 sudah tidak konsisten dengan Kurikulum SMK 1999. Menurut Kurikulum 1999, program pendidikan dan pelatihan terdiri dari acara normatif, adaptif, dan produktif; sedangkan menurut Keputusan Mendikbud No. 323/U/1997 kurikulum Sekolah Menengah kejuruan meliputi acara umum dan program kejuruan. Dari telaah terhadap peraturan perundang-usul yang memuat pendidikan kejuruan tersebut, mampu dibuat alternatif-alternatif penyempurnaannya.

E. KUALIFIKASI PENDIDIKAN KEJURUAN
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi selaku biro pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Kualifikasi akademik yang dimaksudkan di atas ialah tingkat pendidikan sekurang-kurangnyayang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau akta keahlian yang berhubungan sesuai ketentuan perundang-ajakan yang berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini mencakup:

1. Kompetensi pedagogik;
2. Kompetensi kepribadian;
3. Kompetensi profesional; dan
4. Kompetensi sosial.

Pendidik meliputi pendidik pada Taman Kanak-kanak/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, Sekolah Menengah kejuruan/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pembinaan.Tenaga kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga manajemen, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengurus kelompok mencar ilmu, pamong berguru, dan tenaga kebersihan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

1. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.
2. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 16 Tahun 2007 wacana Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru
4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Administrasi Sekolah.
5. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 25 Tahun 2008 tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah.
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 27 Tahun 2008 ihwal Standar Kulifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor.
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 40 Tahun 2009 ihwal Standar Penguji pada kursus dan pelatihan.
8. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 41 Tahun 2009 perihal Standar kualifikasi pembimbing pada kursus dan pelatihan.
9. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 42 Tahun 2009 wacana Standar Pengelola Kursus dan Pelatihan.


F. LIFE SKILL DAN SOFT SKILL
Kecakapan hidup (life skills) yakni kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan penerima asuh dalam menanggulangi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Dengan mempunyai life skill yang baik dibutuhkan para lulusan dapat memecahkan problematika yang dihadapi serta dapat mencari dan melahirkan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikan.Untuk menerapkan hal ini, perlu diterapkan prinsip pendidikan yang berbaasis luas, tidak cuma berbasis bidang akdemik atau vokasional semata, namun juga memperlihatkan bekal Learning how to learn, sekaligus learning how to unlearn, tidak hanya mempelajarinya tetapi mempraktekkannya untuk bisa memecahkan problema dalam kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya kesanggupan life skill dapa membantu penerima asuh untuk mengembangkan kesanggupan belajarnya, menghilangkan teladan piker yang tidak tepat, kesadaran dan mensyukuru kesempatandiri untuk dikembangkan.

Kebijakan pemerintah ihwal UU no 22 tahun 1999 megenai pemerinth daerah dan otonomi kawasan dan penyelenggaraan pendidikan demokrasi dalam pelaksanaan pendidikan menjadikan efek pergantian dalam Sistem Pendidikan Nasional. ( SPN) dari system sentralisasi ke system desentralisasi Pendidikan. Desentralisasi terwujud dalam UU no 20 tahun 2003. Lebih lanjut implementasi dari SPN dilaksanakan oleh sekolah/ daerah, hal ini diwujudkan dengan menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP) yang penyusunannya dijalankan oleh masing-masing sekolah dengan bimbingan dan berpedoman yang disusun oleh BNSP tetapi juga harus disesuaikan dengan kebutuhan, keadaan sekolah itu berada. Selajutnya pemerintah mengeluarkan kebijakan PP no 19 tahun 2005 pasal 15 ayat 5 yaitu:

Kurikulum untuk SMP/SLTP/ SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan kecakapan sebagaimana dimaksud atat-ayat sebelumnya, dapat ialah bagian dari mata pelajaran agam dan budpekerti, pendidikan kalangan mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika atau pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan.

G. KESIMPULAN
Dari paparan diatas kita dapat mengetahui lebih jelas wacana beberapa kebijakan pemerintah baik dari keseliruhan republik Indonesia maupun pemerintahan daerah serta alasannya adalah lahirnya kebijakan tersebut. Program pemberantas buta aksara telah usang dicanangkan oleh pemerintah. Namun, sampai ketika ini hal itu belum juga tuntas disebabkan berbagai aspek. Wajib mencar ilmu merupakan salah satu upaya dalam pemberantasan buta abjad di Indonesia. Kemudian pendidikan kejuruan bertujuan untuk melahirkan siswa yang memiliki life skill dan soft skill dapat memilih dan membuka lowongan pekerjaan sesuai dengan kesanggupan yang dimiliki masing-masing penerima didik. Praktis-mudahan paparan dalam makalaha ini memperbesar khazanah keilmuan bagi semua kalangan.

Daftar Pustaka dan Footnote
  • Fadlullah, Orientasi Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Diadit Media, 2008)
  • Humam, As’ad,, Buku Iqro; Cara Cepat Belajar Membaca Al-Qur’an, edisi revisi, (Yogyakarta: Balai Litbang LPTQ Nasional, 2002)
  •  Ary G Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia,( Jakarta : Bima Aksara, 1986)
_________________
[1] SISDIKNAS 20 tahun 2003
[2] Laporan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan ihwal Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Buta Aksara Perempuan (PBAP) tahun 2006, Jakarta

[3] keputusan bersama menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nasional no 17/ Men.PP/ Dep.II/VII/2005, no 28A tahun 2005. No 1/PB/2005

[4] Peraturan Pemerintah RI No. 55 tahun 2007 wacana Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
[5] Ibid
[6] Fadlullah, Orientasi Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Diadit Media, 2008)
[7] Radar Banten; Rubrik Utama, Program Buta Aksara Simpang Siur, edisi Senin 7 April 2008

[8] Humam, As’ad,, Buku Iqro; Cara Cepat Belajar Membaca Al-Qur’an, edisi revisi, (Yogyakarta: Balai Litbang LPTQ Nasional, 2002)

[9] Ary G Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia,( Jakarta : Bima Aksara, 1986), h. 103
[10] http://refdak.wordpress.com
[11] SISDIKNAS no 20 tahun 2003

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)