Senin, 02 November 2020

Makalah Pendidikan Dan Pertumbuhan Ekonomi

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan mempunyai peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam upaya menciptakan sumber daya insan yang bermutu. Pendidikan merupakan sebuah aspek kebutuhan dasar untuk setiap insan sehingga upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, alasannya adalah lewat pendidikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat mampu diwujudkan. Pendidikan mempengaruhi secara sarat pertumbuhan ekonomi suatu Negara (tempat). Hal ini bukan saja alasannya pendidikan akan berpengaruh kepada produktivitas, tetapi juga akan berpengaruh fertilitas penduduk . Pendidikan mampu menjadikan sumber daya insan lebih cepat memahami dan siap dalam menghadapi perubahan dan pembangunan sebuah Negara.

Pendidikan ialah bentuk investasi sumber daya insan yang harus lebih diprioritaskan sejajar dengan investasi modal fisik alasannya adalah pendidikan ialah investasi jangka panjang. Di mana nilai balik dari investasi pendidikan (return on investment = ROI) tidak dapat pribadi dicicipi oleh investor ketika ini, melainkan akan dirasakan di era yang hendak datang.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Isu mengenai sumber daya manusia (human capital) sebagai input pembangunan ekonomi sesungguhnya sudah dimunculkan oleh Adam Smith pada tahun 1776, yang mencoba menjelaskan penyebab kesejahteraan sebuah negara, dengan mengisolasi dua faktor, ialah; 1) pentingnya skala ekonomi; dan 2) pembentukan keterampilan dan kualitas insan. Faktor yang kedua inilah yang hingga ketika ini telah menjadi informasi utama ihwal pentingnya pendidikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Lebih lanjut Solow (1958) juga sudah melakukan evaluasi dari temuannya wacana residual dalam penjelasan mengenai kemajuan ekonomi. Kemudian Romer (1986), Krugman (1987), dan Gupta (1999) juga menjelaskan bahwa residual itu menujukkan tingkat pendidikan (educational rate) dan sumber daya mansusia. Hubungan sumber daya insan dan perkembangan ekonomi tersebut menunjukkan sebuah keharusan bahwa kebijakan publik memperhatikan pengembangan pendidikan, promosi keahlian, dan pelayanan kesehatan.

Hal ini dikatakan juga oleh Lim (1996) bahwa perkembangan ekonomi yang tinggi di Jepang dan Korea Selatan besar kemungkinan disebabkan oleh sumber daya manusia yang bermutu, hal ini terlihat dari tingkat melek aksara (literacy rate) yang tinggi, sehingga tenaga kerja mudah menyerap dan beradaptasi dengan perubahan teknologi dan ekonomi yang terjadi.

Kasus lain seperti yang dikemukkan oleh Al-Samarai dan Zaman (2002) di Malawi, dalam rangka kenaikan sumber daya manusia, pemerintah sudah melakukan beberapa program antara lain dengan menghapuskan biaya untuk SD dan menambahpengeluaran pemerintah di bidang pendidikan. Dampak dari acara ini yakni meningkatnya tingkat enrollment rate ratio pendidikan dasar. Namun demikian dilema yang harus diamati lebih lanjut oleh pemerintah ialah distribusi pendidikan yang tidak merata.

Hubungan investasi sumber daya manusia (pendidikan) dengan pertumbuhan ekonomi merupakan dua mata rantai. Namun demikian, kemajuan tidak akan bisa berkembang dengan baik walaupun peningkatan kualitas pendidikan atau mutu sumber daya manusia dilakukan, jikalau tidak ada acara yang terperinci ihwal peningkatan kualitas pendidikan dan acara ekonomi yang terperinci.

Studi yang dilaksanakan Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen perkembangan ekonomi ialah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan kemajuan tenaga kerja dan modal insan serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.Selanjutnya, Suryadi (2001) memastikan dari hasil penelitiannya juga memperlihatkan bahwa pendidikan mampu berfungsi selaku kesadaran sosial politik dan budaya, serta memacu penguasaan dan pendayagunaan teknologi untuk pertumbuhan peradaban dan kemakmuran sosial.

Meski modal manusia memegang peranan penting dalam perkembangan penduduk, para jago mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih meletakkan prioritas pada aspek modal fisik dan perkembangan teknologi. Ini berdalih alasannya melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen kemajuan ekonomi AS pada kala 1948-79.

Namun, bantu-membantu aspek teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa mampu merealisasikan pertumbuhan teknologi, termasuk ilmu wawasan dan manajemen, serta modal fisik mirip bangunan dan peralatan mesin-mesin cuma jikalau negara tersebut mempunyai modal insan yang berpengaruh dan bermutu. Apabila demikian, secara tidak langsung donasi faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen.

Perhatian terhadap aspek manusia menjadi sentral akhir-final ini berhubungan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para jago di kedua bidang tersebut lazimnya setuju pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada aspek teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak cuma menyangkut kuantitas, tetapi yang jauh lebih penting ialah dari segi mutu.

Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) bermutu, mempunyai wawasan dan keterampilan serta menguasai teknologi, namun juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi kemajuan ekonomi.

Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berguna bagi individual, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat biasa . Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan memajukan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kemakmuran sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan aneka macam duduk perkara krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.

Lalu pertanyaannya, apakah ukuran yang mampu menentukan mutu manusia? Ada aneka macam aspek yang dapat menjelaskan hal ini mirip faktor kesehatan, pendidikan, keleluasaan berbicara dan lain sebagainya. Di antara aneka macam faktor ini, pendidikan dianggap mempunyai peranan terpenting dalam memilih kualitas insan. Lewat pendidikan, insan dianggap akan memperoleh wawasan, dan dengan pengetahuannya manusia dibutuhkan dapat membangun eksistensi hidupnya dengan lebih baik.

Dari aneka macam studi tersebut sangat terang mampu ditarik kesimpulan bahwa pendidikan mempunyai efek kepada pertumbuhan ekonomi lewat berkembangnya potensi untuk meningkatkan kesehatan, wawasan, dan ketarmpilan, kemampuan, serta wawasan mereka biar bisa lebih melakukan pekerjaan secara produktif, baik secara individual maupun kalangan. Implikasinya, kian tinggi pendidikan, hidup manusia akan makin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara lazim (nasional), makin tinggi kualitas hidup sebuah bangsa, kian tinggi tingkat perkembangan dan kesejahteraan bangsa tersebut.


B. Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Di Indonesia, pendidikan masih belum mendapatkan kawasan yang utama sebagai prioritas program pembangunan nasional. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah anggaran pendidikan yang masih jauh dari amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional. Padahal dalam UU tersebut, telah mengamanatkan wacana besarnya anggaran pendidikan di berbagai level pemerintahan minimal 20%.

Anggaran pendidikan dari APBN 2006 saja gres mencapai 9% atau Rp 36,7 triliun, sedangkan pada tahun 2007 diperkirakan jumlah anggaran pendidikan baru berkisar 11%. Rendahnya pemenuhan budget pendidikan mampu menjadikan kualitas pendidikan dan ekspansi saluran pendidikan menjadi terhambat. Akibatnya kenaikan wawasan, keahlian, dan penguasaan teknologi juga terpasung.

Indikasi lain yang perlu menjadi perhatian lebih untuk menjadikan pendidikan sebagai basis pergantian dalam mengembangkan pembangunan, terutama pembangunan ekonomi adalah tingkat melek abjad dan angka partisipasi pendidikan. Berdasarkan laporan dari Dirjen PLS perihal tingkat pemberantasan buta abjad secara nasional di Indonesia telah mengalami penurunan tahun 2006 sampai menjadi sekitar 13 juta orang yang masih buta karakter.

Jumlah tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan tahun 2004 yang berjumlah 15,4 juta orang, dan menurun menjadi 14,6 juta orang pada tahun 2005. Jika dilihat persentase selama 2004 s/d 2006 telah terjadi penurunan 16,15%. Bahkan menurut Ace Suryadi (2006) diharapkan pada tahun 2015 pemberantasan buta huruf telah bisa tuntas dengan perkiraan pengurangan setiap tahun 1,6 juta orang.

Sementara tingkat partisipasi pendidikan berdasarkan data Susenas 2004, APS penduduk usia 7 s/d 12 tahun meningkat dari 92,83% pada 1993 menjadi 96,775 pada 2004. Dalam rentang waktu yang serupa APS penduduk usia 13 – 15 tahun berkembangdari 68,74% menjadi 83,49%. Sedangkan APS masyarakatusia 16 – 18 tahun berkembangdari 40,23% menjadi 53,48%. Data tersebut menunjukkan adanya duduk perkara kesenjangan partisipasi pendidikan, sehingga pemerintah perlu meningkatkan alokasi budget pendidikan supaya penduduk lebih banyak lagi yang menerima peluang menikmati pendidikan.

Yang terang, kondisi di atas akan memunculkan fenomena tersendiri bagi pengembangan sumber daya manusia di Indonesia, diantaranya kesenjangan pemasukan, ketertinggalan pendidikan, kemiskinan, dan kesejahteraan masyarakat. Sylwester (2002) telah menganjurkan dari hasil kajiannya yang menunjukkan bahwa negara yang mencurahkan banyak perhatian terhadap public education (dilihat dari persentase GNP terhadap pendidikan) mempunyai tingkat kesenjangan yang rendah.

Akan namun, di Indonesia, investasi modal fisik masih dianggap sebagai satu-satunya faktor utama dalam pengembangan dan akselerasi perjuangan. Untuk memenuhi keperluan modal manusianya, di Indonesia cenderung menghadirkan tenaga kerja dari luar negeri. Dalam jangka pendek cara ini mungkin ada benarnya, alasannya adalah dibutuhkan dapat menawarkan efek multiplier terhadap tenaga kerja di Indonesia. Namun, dalam jangka panjang pasti sangat tidak relevan, apalagi untuk sebuah perjuangan berukuran besar atau yang sudah konglomerasi, karenanya banyak tenaga kerja sendiri tersingkirkan.

Bila dilihat dari besarnya investasi di bidang riset dan pengembangan, keadaan ini tidak lebih baik di banding China dan Singapura, Indonesia jauh lebih kecil. Demikian juga dari besarnya investasi pendidikan yang dikerjakan di mancanegara. Singapura, yang berpenduduk tidak hingga setengah penduduk Jakarta, mengirim mahasiswa ke AS nyaris setengah jumlah mahasiswa Indonesia di AS.

Sesuai dengan aneka macam janji regional dan internasional di bidang ekonomi, Indonesia dihadapkan dengan suasana persaingan yang amat ketat. Dalam situasi ini, daya saing kompetitif produk/komoditi mustahil dikembangkan jika tidak diimbangi daya saing kompetitif sumberdaya insan. Dalam arti, mengandalkan kelebihan komparatif sumber daya insan yang melimpah dan murah telah kurang relevan.

Dengan demikian, kenaikan investasi di bidang pendidikan, observasi dan pengembangan tidak mampu dihindarkan lagi, baik oleh pemerintah maupun kalangan swasta. Sebenarnya, setiap tahun pemerintah telah meningkatkan anggaran sektor pendidikan. Masalahnya, angka dan peningkatan ini secara diktatorial relatif sungguh kecil, sehingga masih jauh kalau dibanding negara-negara tetangga yang sungguh serius dalam pengembangan sumberdaya insan. Persentase investasi pendidikan 20 persen dari total budget pemerintah harus segera dipenuhi sesuai dengan amanat undang-undang.

Demikian juga sektor swasta, selama ini belum ada hukum yang menggariskan berapa persen biaya pengembangan sumberdaya insan serta penelitian dan pengembangan dari struktur ongkos perusahaan dalam industri nasional. Di sektor perbankan sempat ada ketentuan yang memutuskan ongkos pengembangan sumberdaya insan 5 persen dari profit. Akan tetapi, angka ini relatif sungguh kecil, karena ongkos pengembangan tersebut dibebankan pada profit, tidak sebagai beban input (Tobing, 1994).


DAFTA PUSTAKA
  • Al-Samarai, S. 2002. The Changing Distribution of Public Education Expenditure in Malawi. Africa Region Working Paper Series 29.
  • Bank Dunia, “The East Asia Miracle”, University Press, Oxford, 1993
  • Damin, Sudarwan, “Media Komunikasi Pendidikan”, Bumi Aksara, Jakrta, 1995
  • Depdikbud, Dirjen Dikmenum, dan Dir Dikmenum, “Panduan Manajemen Sekolah”, Proyek Peningkatan Mutu SMU Jakarta, Jakarta, 1999
  • Engle, G and C.W.J. Granger.1987. Cointegration and Error Corection: Representation and Testing. Econometrica. Vol. 100: 818-834.
  • Fattah, Nanang, “Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan”, Rosda Karya, Bandung, 2002
  • Green, William H.,“Econometric Analysis”, 2nd ed. (New York: Macmilan Publishing Co, 1993.
  • Gupta, K. 1999. Public Expenditure on Education and Literacy Lavels: A Comparative Study. State University at Stony Book.
  • Kerlinger, Fred N., “Behavioral Research”, New York: Holt Rinehard and, Winston, 1978
  • Khusaini. 2004. Analisis Disparitas Pendapatan Antar Daerah Kabupaten/Kota dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional Provinsi Banten. JIPIS. Vol. 2, No. 2. Tahun 2005
  • Mankiw, N.G, Romer, D. and Weil, N.D. 1992. A Contribution to the Empiris of Economic Growth. Quartely Journal of Economics. Vol 107 Issue 2: 407-437. 
  • Levin, Henry M and Schultz G. Hans, “Finacing Recurrent Education Strategic the Increasing Employment, Job Opportuniyies and Productivity”, Sage Publications, New Delhi, 1983
  • Marsuki. 2005. Analisis Perekonomian Sulawesi Selatan dan Kawasan Timur Indonesia. Mitra Wacana Media. Jakarta
  • Suhaenah Soeparno, Ana, “Pendidikan dalam Perspektif Otonomi Daerah”, dalam “Mengurai Benang Kusut Pendidikan”, Transformasi-UNJ, Jakarta, 2003
  • Supriadi, Dedi, “Satuan Biaya Pendidikan: Dasar dan Menengah”, Rosda Karya, Bandung, 2003
  • Suryadi, Ace dan Tilaar, H. A.R., “Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar”, Rosda Karya Bandung, 1994
  • Susanti, Hera, Moh Ikhsan, dan Widyanti, “Indikator-Indikator Makro Ekonomi”, edisi kedua LPFEUI, Jakarta, 1995
  • Triaswati, N. et al, “Pendanaan Pendidikan di Indonesia”, dalam Jalal, F. Supriadi, D. eds, “Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah”, Adicita Karya Nusa, Yogjakarta, 2001
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 wacana Sistem Pendidikan Nasional

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon