BAB I
PENDAHULUAN
Makalah Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Tinggi
Dari Masa Kemerdekaan hingga sekarang
Pendidikan Islam merupakan suatu hal yang paling utama bagi warga suatu negara, alasannya adalah maju dan keterbelakangan suatu negara akan ditentukan oleh tinggi dan rendahnya tingkat pendidikan warga negaranya. Salah satu bentuk pendidikan yang mengacu terhadap pembangunan tersebut adalah pendidikan agama yakni modal dasar yang merupakan tenaga penggagas yang tidak terhitung nilainya harganya bagi pengisian aspirasi bangsa, karena dengan terselenggaranya pendidikan agama secara baik akan menjinjing dampak kepada pemahaman dan pengamalan fatwa agama.
Pendidikan Islam bersumber kepada al-Quran dan Hadis ialah untuk membentuk insan yang seutuhnya ialah insan yang beriman dan bertagwa kepada Allah Swt, dan untuk memelihara nilai-nilai kehidupan sesama manusia semoga mampu melakukan seluruh kehidupannya , sebagaimana yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya, demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. atau dengan kata lain , untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, ialah memanusiakan manusia ,semoga sesuai dengan kehendak Allah yang menciptakan sebagai hamba dan khalifah di paras bumi.
Salah satu bentuk pendidikan yang mengacu terhadap pembangunan tersebut ialah pendidikan agama yaitu modal dasar yang merupakan tenaga penggagas yang tidak ternilai harganya bagi pengisian aspirasi bangsa, alasannya dengan terselenggaranya pendidikan agama secara baik akan membawa efek kepada pengertian dan pengamalan fatwa agama. Demikian pentingnya pendidikan agama bagi suatu bangsa membuatnya mempesona untuk dikaji secara mendalam. Selain di Indonesia, karena terdapat beberapa sentra pendidikan Islam, jadilah pendidikan agama di sekolah-sekolah lazim tergolong perguruan menjadi tersisihkan.
A. Pendidikan Agama di Sekolah Umum: Isu Politik (1945-1989)
Polemik antara Islam dan Nasrani di Indonesia sudah muncul sejak abad kemerdekaan Islam. Hubungan Islam-Katolik yang menegang dikarenakan beberapa aspek, termasuk soal piagam Jakarta, diperparah dengan beberapa masalah SARA lainnya.
Polemik tentang pendidikan agama di sekolah telah berjalan panjang, sepanjang sejarah perjalanan Republik Indonesia. Dalam Sejarah disebutkan bahwa Zainal Abidin Ahmad, seorang tokoh Masyumi, dalam pidatonya di depan Sidang KNIP, 18 Oktober 1949, merekomendasikan pendidikan agama mesti diajarkan menurut agama yang dianut oleh murid-murid yang bersangkutan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan argumentasi Masyumi untuk memutuskan mata pedoman pendidikan agama selaku muatan kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah. Akan namun, partai-partai sekuler, mirip PNI, berpendapat lain. Memaksakan pendidikan agama terhadap anak bimbing mempunyai arti "memaksakan agama terhadap rakyat". [1]
Sejalan dengan pandangan sekularisme, negara tidak dibenarkan ikut intervensi dalam persoalan agama, termasuk mengharuskan murid-murid sekolah untuk mempelajari agama. Tokoh-tokoh PKI bahkan menuduh Masyumi menggunakan pendidikan agama selaku media untuk "mempropagandakan Islam" yang notabene adalah "ideologi Masyumi sendiri."
Sejak dahulu, dilema pendidikan agama di sekolah-sekolah telah menjadi masalah politik dan memancing perdebatan keras di kalangan elite politik. Sidik Djojosukarto, seorang tokoh PNI, dalam suatu rapat di Makasar, 26 Desember 1953, menegaskan bahwa soal agama bagi PNI adalah sesuatu yang suci, sedangkan kenyataannya, dalam usaha politik acap kali mesti melaksanakan tindakan curang dan kotor, yang alhasil mampu menodai kesucian agama itu sendiri. Karena itulah, agama dan politik tidak dapat dicampuradukkan. [2]
Sejak kemunculannya. RUU Pendidikan Nasinonal telah memancing reaksi keras, khususnya dari golongan Kristen. Reaksi keras itu bersamaan dengan kemunculan RUU Peradilan Agama. Berbagai polemik keras yang penuhdengan nuansa SARA bermunculan di media massa. Dalam suatu konferensi di masjid Istiqlal di Jakarta, KH. Sholeh Iskandar (alm.) menjinjing puluhan pimpinan pesantren, yang menyatakan siap berjihad untuk menggolkan kedua RUU tersebut. Akhirnya, kedua RUU itu disahkan menjadi UU (UU No. 2 tahun 1989 dan UU No. 7 tahun 1989). Berbeda dengan UU No. 7 tahun 1989 yang tidak lagi memunculkan pro-kontra karena lebih mengontrol permasalahan internal umat Islam, UU No. 2 tahun 1989 masih terus menjadi duduk perkara, utamanya bagi sekolah-sekolah Katolik yang tetap menolak mengadakan pendidikan agama Islam bagi murid-murid beragama Islam di sekolahnya.
Konflik soal pendidikan agama dan UU No. 2 tahun 1989 adalah pihak Muslim dan Nasrani bisa dibilang menjadi salah satu duri di dalam daging atau api dalam sekam. Ada sederet masalah lain yang juga masih dibiarkan dan tidak dicarikan titik temunya, seperti kasus SKB Menag dan Mendagri No. 1 tahun 1969 ihwal cara pendirian rumah ibadah, SK Menag No. 70 tahun 1978 tentang metode penyiaran agama, UU No. 1 tahun 1974, dan sebagainaya.
B. Pendidikan Agama di Sekolah Tinggi: 1945-1989
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah memberikan hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di tampang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang lalu menjadi presiden pertama RI menyampaikan bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengamalkan agama yang menjadi kepercayaannya.
Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetaplah sebuah asas yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa selaku sila pertama dari Pancasila, selaku manifestasi dari perilaku hidup yang religius tersebut. Selain itu pada pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menerangkan perihal:
Sebenarnya tuntutan untuk melakukan pendidikan agama dalam pendidikan umum telah dimulai oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), pada tanggal 27 Desember 1945 yang mengususlkan terhadap kementerian pendidikan biar mengamati pengajaran agama, dan supaya menerima pinjaman material dari pemerintah. Karel A, Steenbrink lebih jauh lagi menjelaskan anjuran BPKNIP kepada kementerian pendidikan nasional, di antaranya yaitu[4]:
Pembicaraan perihal pendidikan agama di perguruan tinggi nyaris tidak ada sebelum tahun 1960. Pada masa tahun 1960-an, pendidikan agama di perguruan mulai dibicarakan sampai kesannya pembicaraan tersebut berkembangdan masuk ke dalam jadwal rapat MPR.
Pendidikan agama di perguruan mulai dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional pda tahun 1960. Pada tahun 1960 dalam sidang pleno MPRS menetapkan pelajaran agama diberikan kepada sekolah biasa mulai SD hingga Universitas, dengan syarat harus mendapatkan izin dari wali murid. Hal ini tentu saja merupakan sebuah perkembangan dalam tata cara pendidikan nasional. Pendidikan agama di akademi, meski dengan syarat izin orang tua, telah masuk ke dalam lingkaran perguruan tinggi di Indonesia. Perjuangan para pemikir pendidikan Islam di Indonesia tidak berhenti begitu saja, mereka tetap memperjuangkan semoga pendidikan Islam di perguruan mendapat pengakuan dan perlakuan yang serupa dengan pendidikan pada bidang lainnya. Usaha inipun tidak lama kemudian membuahkan hasil awal. Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi dan menghapuskan syarat pada MPRS 1960. Artinya pendidikan agama di perguruan tinggi bisa dibarengi oleh seluruh mahasiswa tanpa syarat mesti menerima izin dari orang renta. Kedudukan pendidikan Islam di sekolah tinggi belum equal dengan kedudukan pendidikan lainnya, sebab ternyata pendidikan agama tersebut tidak wajib untuk diikuti oleh mahasiswa.
Akan namun tidak lama kemudian, cuma berselang setahun yaitu pada tahun 1967 MPRS mengubah lagi ketetapan tahun 1960 dengan mengharuskan para mahasiswa mengikuti pengajaran / kuliah agama, serta tidak mengizinkan mereka tidak mengikutinya. Sejak saat itu pengajaran agama memainkan peran penting dalam observasi para mahasiswa. [7]
Sejak dikala itu, harapan pendidikan agama terus bertambah cerah. Kedudukan perdidikan agama di sekolah tinggi menerima jawaban yang nyata dari masyarakan dan pemerintah.Melihat perkembangan setiap kebijakan, tampaknya pendidikan agama semakin menemukan kawasan yang kuat dalam pendidikan perguruan tinggi. Hal itu tampakpada sidang MPR yang menyususun GBHN pada 1973-1978 dan 1983 senantiasa ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkat (jenjang) pendidikan. Hal ini dapat tampakpada TAP MPR 1983 ihwal GBHN bidang agama poin 1c dan 1d, selaku berikut:
Dari zaman kemerdekaan Indonesia, perdebatan wacana pendidikan agama di sekolah biasa senantiasa terlibat dengan informasi-info politis. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan hubungan Islam-Kristen ketika itu yang sedang dalam keadaan tegang. Meski demikian, lambat laun pendidikan agama masuk ke dalam sekolah umum. Akan namun, untuk tingkat akademi, pendidikan agama baru mendapat tempat pada tahun 1960. Perkembangan signifikan pendidikan agama di perguruan terus terlihat, yakni pada sidang MPRS tahun 1966 yang lalu diubah dengan ketetapan hasil sidang MPRS tahun 1967. Dengan keluarnya ketetapan ini, pendidikan agama di sekolah tinggi menerima kedudukan yang sama dengan pendidikan lainnya. Perkembangan signifikan berikutnya adalah lahirnya TAP MPR 1983 perihal GBHN bidang agama.
Daftar Pustaka
------------
[1] www.al-hidayah.com didownload pada 10 April 2008.
[2] Ibid.
[3]Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacanayogya, 2001), h. 51-52.
[4]Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 91.
[5] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1993), h. 128-129
[6] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam, (Bandung: Cita Pusaka Media, 2004), h. 147
[7] Lihat Zuraini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 154, dan lihat juga Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 92.
[8] Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, Sejarah Pendidikan Isalam, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), h. 239
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.comPendidikan Islam bersumber kepada al-Quran dan Hadis ialah untuk membentuk insan yang seutuhnya ialah insan yang beriman dan bertagwa kepada Allah Swt, dan untuk memelihara nilai-nilai kehidupan sesama manusia semoga mampu melakukan seluruh kehidupannya , sebagaimana yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya, demi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. atau dengan kata lain , untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, ialah memanusiakan manusia ,semoga sesuai dengan kehendak Allah yang menciptakan sebagai hamba dan khalifah di paras bumi.
Salah satu bentuk pendidikan yang mengacu terhadap pembangunan tersebut ialah pendidikan agama yaitu modal dasar yang merupakan tenaga penggagas yang tidak ternilai harganya bagi pengisian aspirasi bangsa, alasannya dengan terselenggaranya pendidikan agama secara baik akan membawa efek kepada pengertian dan pengamalan fatwa agama. Demikian pentingnya pendidikan agama bagi suatu bangsa membuatnya mempesona untuk dikaji secara mendalam. Selain di Indonesia, karena terdapat beberapa sentra pendidikan Islam, jadilah pendidikan agama di sekolah-sekolah lazim tergolong perguruan menjadi tersisihkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Tinggi
Dari Masa Kemerdekaan sampai kini
A. Pendidikan Agama di Sekolah Umum: Isu Politik (1945-1989)
Polemik antara Islam dan Nasrani di Indonesia sudah muncul sejak abad kemerdekaan Islam. Hubungan Islam-Katolik yang menegang dikarenakan beberapa aspek, termasuk soal piagam Jakarta, diperparah dengan beberapa masalah SARA lainnya.
Polemik tentang pendidikan agama di sekolah telah berjalan panjang, sepanjang sejarah perjalanan Republik Indonesia. Dalam Sejarah disebutkan bahwa Zainal Abidin Ahmad, seorang tokoh Masyumi, dalam pidatonya di depan Sidang KNIP, 18 Oktober 1949, merekomendasikan pendidikan agama mesti diajarkan menurut agama yang dianut oleh murid-murid yang bersangkutan. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan argumentasi Masyumi untuk memutuskan mata pedoman pendidikan agama selaku muatan kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah. Akan namun, partai-partai sekuler, mirip PNI, berpendapat lain. Memaksakan pendidikan agama terhadap anak bimbing mempunyai arti "memaksakan agama terhadap rakyat". [1]
Sejalan dengan pandangan sekularisme, negara tidak dibenarkan ikut intervensi dalam persoalan agama, termasuk mengharuskan murid-murid sekolah untuk mempelajari agama. Tokoh-tokoh PKI bahkan menuduh Masyumi menggunakan pendidikan agama selaku media untuk "mempropagandakan Islam" yang notabene adalah "ideologi Masyumi sendiri."
Sejak dahulu, dilema pendidikan agama di sekolah-sekolah telah menjadi masalah politik dan memancing perdebatan keras di kalangan elite politik. Sidik Djojosukarto, seorang tokoh PNI, dalam suatu rapat di Makasar, 26 Desember 1953, menegaskan bahwa soal agama bagi PNI adalah sesuatu yang suci, sedangkan kenyataannya, dalam usaha politik acap kali mesti melaksanakan tindakan curang dan kotor, yang alhasil mampu menodai kesucian agama itu sendiri. Karena itulah, agama dan politik tidak dapat dicampuradukkan. [2]
Sejak kemunculannya. RUU Pendidikan Nasinonal telah memancing reaksi keras, khususnya dari golongan Kristen. Reaksi keras itu bersamaan dengan kemunculan RUU Peradilan Agama. Berbagai polemik keras yang penuhdengan nuansa SARA bermunculan di media massa. Dalam suatu konferensi di masjid Istiqlal di Jakarta, KH. Sholeh Iskandar (alm.) menjinjing puluhan pimpinan pesantren, yang menyatakan siap berjihad untuk menggolkan kedua RUU tersebut. Akhirnya, kedua RUU itu disahkan menjadi UU (UU No. 2 tahun 1989 dan UU No. 7 tahun 1989). Berbeda dengan UU No. 7 tahun 1989 yang tidak lagi memunculkan pro-kontra karena lebih mengontrol permasalahan internal umat Islam, UU No. 2 tahun 1989 masih terus menjadi duduk perkara, utamanya bagi sekolah-sekolah Katolik yang tetap menolak mengadakan pendidikan agama Islam bagi murid-murid beragama Islam di sekolahnya.
Konflik soal pendidikan agama dan UU No. 2 tahun 1989 adalah pihak Muslim dan Nasrani bisa dibilang menjadi salah satu duri di dalam daging atau api dalam sekam. Ada sederet masalah lain yang juga masih dibiarkan dan tidak dicarikan titik temunya, seperti kasus SKB Menag dan Mendagri No. 1 tahun 1969 ihwal cara pendirian rumah ibadah, SK Menag No. 70 tahun 1978 tentang metode penyiaran agama, UU No. 1 tahun 1974, dan sebagainaya.
B. Pendidikan Agama di Sekolah Tinggi: 1945-1989
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Terbukti dengan adanya bekas-bekas peninggalan sejarah memberikan hal itu. Pada tanggal 1 Juni 1945 di tampang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno yang lalu menjadi presiden pertama RI menyampaikan bahwa pentingnya bangsa Indonesia bertuhan, dan mengajak segenap bangsa Indonesia untuk mengamalkan agama yang menjadi kepercayaannya.
Pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, maka selanjutnya pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetaplah sebuah asas yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa selaku sila pertama dari Pancasila, selaku manifestasi dari perilaku hidup yang religius tersebut. Selain itu pada pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menerangkan perihal:
- Ayat 1: Negara menurut atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Ayat 2: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Sebenarnya tuntutan untuk melakukan pendidikan agama dalam pendidikan umum telah dimulai oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), pada tanggal 27 Desember 1945 yang mengususlkan terhadap kementerian pendidikan biar mengamati pengajaran agama, dan supaya menerima pinjaman material dari pemerintah. Karel A, Steenbrink lebih jauh lagi menjelaskan anjuran BPKNIP kepada kementerian pendidikan nasional, di antaranya yaitu[4]:
- Pelajaran agama dalam semua sekolah, diberikan pada jam pelajaran sekolah.
- Para guru dibayar pemerintah.
- Kepada sekolah-sekolah dasar pendidikan ini diberikan mulai kelas IV.
- Pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam-jam tertentu.
Pembicaraan perihal pendidikan agama di perguruan tinggi nyaris tidak ada sebelum tahun 1960. Pada masa tahun 1960-an, pendidikan agama di perguruan mulai dibicarakan sampai kesannya pembicaraan tersebut berkembangdan masuk ke dalam jadwal rapat MPR.
Pendidikan agama di perguruan mulai dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional pda tahun 1960. Pada tahun 1960 dalam sidang pleno MPRS menetapkan pelajaran agama diberikan kepada sekolah biasa mulai SD hingga Universitas, dengan syarat harus mendapatkan izin dari wali murid. Hal ini tentu saja merupakan sebuah perkembangan dalam tata cara pendidikan nasional. Pendidikan agama di akademi, meski dengan syarat izin orang tua, telah masuk ke dalam lingkaran perguruan tinggi di Indonesia. Perjuangan para pemikir pendidikan Islam di Indonesia tidak berhenti begitu saja, mereka tetap memperjuangkan semoga pendidikan Islam di perguruan mendapat pengakuan dan perlakuan yang serupa dengan pendidikan pada bidang lainnya. Usaha inipun tidak lama kemudian membuahkan hasil awal. Pada tahun 1966 MPRS bersidang lagi dan menghapuskan syarat pada MPRS 1960. Artinya pendidikan agama di perguruan tinggi bisa dibarengi oleh seluruh mahasiswa tanpa syarat mesti menerima izin dari orang renta. Kedudukan pendidikan Islam di sekolah tinggi belum equal dengan kedudukan pendidikan lainnya, sebab ternyata pendidikan agama tersebut tidak wajib untuk diikuti oleh mahasiswa.
Akan namun tidak lama kemudian, cuma berselang setahun yaitu pada tahun 1967 MPRS mengubah lagi ketetapan tahun 1960 dengan mengharuskan para mahasiswa mengikuti pengajaran / kuliah agama, serta tidak mengizinkan mereka tidak mengikutinya. Sejak saat itu pengajaran agama memainkan peran penting dalam observasi para mahasiswa. [7]
Sejak dikala itu, harapan pendidikan agama terus bertambah cerah. Kedudukan perdidikan agama di sekolah tinggi menerima jawaban yang nyata dari masyarakan dan pemerintah.Melihat perkembangan setiap kebijakan, tampaknya pendidikan agama semakin menemukan kawasan yang kuat dalam pendidikan perguruan tinggi. Hal itu tampakpada sidang MPR yang menyususun GBHN pada 1973-1978 dan 1983 senantiasa ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkat (jenjang) pendidikan. Hal ini dapat tampakpada TAP MPR 1983 ihwal GBHN bidang agama poin 1c dan 1d, selaku berikut:
- 1c. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan beragama dan doktrin Tuhan YME harus makin diamalkan, baik di dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan social kemasyarakatan.
- 1d. Diusahakan terus meningkat sarana-fasilitas yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan doktrin kepada Tuhan YME tergolong pendidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah-sekolah mulai dari seklah dasar hingga dengan universitas negeri[8].
Dari zaman kemerdekaan Indonesia, perdebatan wacana pendidikan agama di sekolah biasa senantiasa terlibat dengan informasi-info politis. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan hubungan Islam-Kristen ketika itu yang sedang dalam keadaan tegang. Meski demikian, lambat laun pendidikan agama masuk ke dalam sekolah umum. Akan namun, untuk tingkat akademi, pendidikan agama baru mendapat tempat pada tahun 1960. Perkembangan signifikan pendidikan agama di perguruan terus terlihat, yakni pada sidang MPRS tahun 1966 yang lalu diubah dengan ketetapan hasil sidang MPRS tahun 1967. Dengan keluarnya ketetapan ini, pendidikan agama di sekolah tinggi menerima kedudukan yang sama dengan pendidikan lainnya. Perkembangan signifikan berikutnya adalah lahirnya TAP MPR 1983 perihal GBHN bidang agama.
Daftar Pustaka
- Daulay, Haidar Putra. Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah. Yogyakarta: Tiara Wacanayogya, 2001.
- _________________. Dinamika Pendidikan Islam. Bandung: Cita Pusaka Media, 2004.
- www.al-hidayah.com didownload pada 10 April 2008.
- Mahmud, Yunus. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hida Karya Agung, 1993.
- Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, Sejarah Pendidikan Isalam. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986.
- Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES, 1986.
- Zuraini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
------------
[1] www.al-hidayah.com didownload pada 10 April 2008.
[2] Ibid.
[3]Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacanayogya, 2001), h. 51-52.
[4]Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 91.
[5] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hida Karya Agung, 1993), h. 128-129
[6] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam, (Bandung: Cita Pusaka Media, 2004), h. 147
[7] Lihat Zuraini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 154, dan lihat juga Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 92.
[8] Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama / IAIN, Sejarah Pendidikan Isalam, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), h. 239
EmoticonEmoticon