Jumat, 23 Oktober 2020

Makalah Mengenal Madrasah Diniyah

Ada banyak bentuk dan jenis lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Sebut saja misalnya Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA), Madrasah (Diniyah), Pondok Pesantren dan sebagainya. Kesemuanya itu, sesungguhnya (tanpa disadari) ialah aset dari konfigurasi sistem pendidikan nasional. Keberadaan lembaga-forum pendidikan tersebut, sejatinya dibutuhkan menjadi khasanah pendidikan Islam dan dapat membangun serta mempekerjakan umat Islam di Indonesia secara maksimal.

Namun pada realita pendidikan Islam di Indonesia tidak mempunyai peluang yang luas untuk berkompetisi dalam membangun umat yang besara ini. Sebagai teladan adalah forum pendidikan Islam yang disebut dengan madrasah diniyah. Sebagai salah satu bentuk forum pendidikan Islam di tanah air, sampai hari ini madrasah masih dipandang sebelah mata. Keberadaannya seakan turut mengindikasikan bahwa lembaga-forum pendidikan Islam di Indonesia penuh dengan ketertinggalan, kemunduran dan dalam keadaan yang serba tidak terang. Memang terasa aneh dan mungkin juga lucu, alasannya adalah dalam suatu komunitas penduduk muslim yang besar seperti Indonesia ini, madrasah diniyah kurang mendapatkan potensi untuk berkembang secara optimal.

Pengertian Madrasah Diniyah
Sejarah Islam di Indonesia menawarkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan meningkat seiring dengan dinamika kehidupan penduduk Muslim. Selama abad waktu yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berbentukpengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan tata cara yang dikenalkan (khususnya di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat berguru yang digunakan umumnya yaitu ruang-ruang masjid atau daerah-daerah shalat “lazim” yang dalam perumpamaan setempat disebut: surau, dayah, meunasah, berkelahi, rangkang, atau mungkin nama yang lain.

Perubahan kelembagaan paling penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang mulanya diperkenalkan oleh pemerintah kolonial lewat sekolah-sekolah lazim yang didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School, al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem klasikal seperti rintisan Zainuddin meningkat pula di wilayah Nusantara lainnya, utamanya yang secara umum dikuasai penduduknya Muslim. Di kemudian hari forum-forum pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah kini. Meskipun susah untuk memastikan kapan madrasah diresmikan dan madrasah mana yang pertama kali bangkit, tetapi Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) mengakui bahwa sesudah Indonesia merdeka sebagian besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan pergeseran tersebut berganti pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang diatur sarat oleh penduduk menjadi “sekolah” di bawah pembinaan Departemen Agama.

Meskipun demikian tercatat masih banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang semula, meskipun dengan status selaku pendidikan keagamaan luar sekolah. Pada periode yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe gres, selaku pendidikan suplemen berjenjang bagi murid-murid sekolah biasa . Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan sekolah lazim, adalah Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal itu dipandang selaku forum pendidikan keagamaan klasikal jalur luar sekolah bagi murid-murid sekolah biasa . Data EMIS (yang harus diperlakukan sebagai data sementara alasannya ketepatan-nya mampu dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun aliran 2005/2006 semuanya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010 orang.

Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bab terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi keinginan masyarakat ihwal pendidikan agama. Madrasah Diniyah tergolong ke dalam pendidikan yang dilembagakan dan bermaksud untuk mempersiapkan peserta didik dalam penguasaan kepada pengetahuan agama Islam.

UU No. 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 ihwal pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia. Karena itu mempunyai arti negara telah menyadari keanekaragaman versi dan bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.

Keberadaan peraturan perundangan tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak dikenali bagaimana acuan pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menimbulkan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.

Secara lazim, setidaknya telah ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini. Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah penduduk dan tidak berada dalam bundar pengaruh pondok pesantren. Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya penduduk , yang diperuntukkan bagi anak-anak yang mengharapkan pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan keagamaan yang diselenggarakan sebagai suplemen (tambahan) pada pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang diselenggarakan di luar pondok pesantren tetapi diselenggarakan secara formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.

Ciri-ciri Madrasah Diniyah
Dengan meninjau secara kemajuan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-metode Madrasah Diniyah, maka mampu dibilang ciri-ciri ekstrakurikuler Madrasah Diniyah adalah selaku berikut:
  • Madrasah Diniyah ialah perhiasan dari pendidikan formal.
  • Madrasah Diniyah ialah spesifikasi sesuai dengan keperluan dan tidak membutuhkan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana saja.
  • Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
  • Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat mudah dan khusus.
  • Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
  • Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.
Kurikulum yang digunakan Madrasah Diniyah
Berdasarkan Undang-undang Pendidikan dna Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1 disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis (pasl. 12 ayat 2).

Bahwa Madrasah DIniyah adalah bagian terpadu dari system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan luar sekolah untuk menyanggupi kehendak masyarakat ihwal pendidikan agama. Madarsah Diniyah tergolong golongan pendidikan keagamaan jalur luar sekolah yang dilembagakan dan bermaksud untuk mempersiapkan peserta bimbing menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama (PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh alasannya adalah itu, maka Menteri Agama d/h Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam menetapkan Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka membantu penduduk meraih tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan teratur. Meskipun demikian, masyarakat tetap mempunyai keleluasaan unutk mengembangkan isi pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan leingkungan madrasah.

Madrasah diniyah mempunyai tiga tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya. Madrasah DIniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2 tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan yaitu siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama/SMU.

Sebagai bab dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bermaksud :
  • Melayani warga belajar mampu tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna mengembangkan martabat dan kualitas kehidupanya.
  • Membina warga mencar ilmu biar memiliki pengetahuan, kemampuan dan perilaku mental yang diperluakan untuk berbagi diri, melakukan pekerjaan mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
  • Memenuhi keperluan mencar ilmu masyarakat yang tidak mampu dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk menumbuh kembangkan ciri madrasah selaku satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, maka tujuan madrasah diniyah dilengkapi dengan “menawarkan bekla kemampuan dasar dan keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya selaku eksklusif muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”. Dalam acara pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa Arab, dan Praktek Ibadah.

Dalam pelajaran Qur’an-Hadits santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri wacana isi yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah etika berfumgsi untuk memperlihatkan wawasan dan tutorial terhadap santri semoga meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah, meyakini dan mengakibatkan Rukun Iman sebagai fatwa berhubungan dengan Tuhannya, sesame insan dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih diarahkan untuk mendorong, membimbing, berbagi dan membina santri untuk mengetahui mengetahui dan menghayati syariat Islam.

Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang diperlukan mampu memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW dan sobat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sungguh penting untuk pendukung pengertian santri terhadap aliran agama Islam, membuatkan ilmu wawasan Islam dan relasi antar bangsa degan pendekatan komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melakukan ibadah dan syariat agama Islam.

Kurikulum Madrasah Diniyah intinya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu, pengembangannya dapat dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor Wilayat/Depag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya atau oleh pengurus kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk menyebarkan tersebut yaitu tidak menyalahi hukum perundang-seruan yang berlaku perihal pendidikan secara biasa , peraturan pemerintah, keputusan Menteri Agama dan kebijakan yang lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan madrasah diniyah.


Daftar Pustaka
  • Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Rineka Cipta, 2009
  • A. Malik Fajar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Jakarta: Mizan, 1998
  • Mal An Abdullah dkk, Laporan Penelitian, Studi Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Diniyah, Puslitbang Penda dan Keagamaan Balitbang Depag, 2003
  • Departemen Agama RI, Sejarah Perkembangan Madarsah, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998
  • Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
  • Asrori S. Karni, Etos studi kaum santri: tampang gres pendidikan Islam, Jakarta: PT Mizan Publika, 2009
  • Undang-Undang Pendidikan Agama Dan Pendidikan Keagamaan Nomor 55 Tahun 2007, Bandung: Fokusmedia, 2008
  • M. Ishom Saha, Dinamika Madrasah Diniyah di Indonesia: Menelusuri Akar Sejarah Pendidikan Nonformal, Jakarta: Pustaka Mutiara, 2005
  • Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam, Bandung: Cita Pustaka, 2004
  • Nanang Fatchurochman, Madrasah: sekolah Islam Terpadu, Plus dan Unggulan Depok: Lendean Hati Pustaka, 2011

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon

:)
:(
hihi
:-)
:D
=D
:-d
;(
;-(
@-)
:o
:>)
(o)
:p
:-?
(p)
:-s
8-)
:-t
:-b
b-(
(y)
x-)
(h)