Minggu, 25 Oktober 2020

Makalah Ihwal Hibah Dan Relevansinya Dengan Warisan

Makalah wacana Hibah dan Hubungannya dengan Warisan
By: Abdul Karim

Latar belakang masalah
Pada mulanya hibah cuma dikelola dalam BW yang ketentuannya belum dapat mengakomodir kepuasan pemeluk semua agama. Sampai ada intruksi Presiden Suharto untuk merumuskan kompilasi hokum islam sebagai pegangan para hakim dalam menetapkan masalah pernikahan, maka lahirlah KHI yang berisi tiga buku. Buku pertama membicarakan hukum perkawinan; buku kedua Hukum Kewarisan; buku ketiga Hukum Perwakafan. Sedangkan hibah ditentukan dalam pasal 210-214 dari bagian ke II. Memang pembahasan hibah dalam KHI tidak dijadikan dalam satu buku, dan sampai saat ini belum ada UU yang menertibkan Hibah secara khusus seperti wakaf yang telah mempunyai UU khusus ialah UU No 41 tahun 2004. walaupun secara yurudis KHI tidak mampu mengikat namun sudah menjadi living law. Karena itu menjadi penting untuk menuliskan apa yang dimaksud dengan hibah, apa aturan penarikan hibah, dan bagaimana relasi hibah dengan waris.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian hibah
Hibah selaku santunan terhadap sesama memiliki fungsi sosial bermaksud untuk saling mempererat relasi antara sesame insan dan kedekatan terhadap tuhan sebab sifat hibah berkaitan bersahabat juga dengan hubungan terhadap Allah sebagai bukti kecintaan sesama makhluk ciptaannya. Dalam bahasa belanda hibah atau hadiah disebut dengan schenking.[1] Sedangkan kata hibah dalam bahasa Indonesia diadobsi dari bahasa arab yang berasal dari kata wahaba yang mempunyai arti memberi. Dalam al-Qur’an kata hibah berseta kara derivatnya terdapat 25 kali dalam 13 surat.[2] Sedangkan dalam perumpamaan ada beberapa defenisi yang disediakan baik dari ulama dahulu maupun modern sekarang ini, seperti:

a. KHI dalam pasal 171 aksara g menerangkan:
Hibah yaitu sumbangan sebuah benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang terhadap orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

b. UU Peradilan Agama No 3 tahun 2006 penjelasan pasal 49 abjad d:
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah bantuan sebuah benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau tubuh hukum terhadap orang lain atau tubuh aturan untuk dimiliki.

c. BW dalam pasal 1666:
Penghibahan yakni suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara hanya-hanya, tanpa mampu menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang mendapatkan penyerahan barang itu. Undang-undang cuma mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Dari tiga pemahaman di atas ada beberapa keyword yakni perlindungan, seseorang atau tubuh hukum, masih hidup dan dimiliki. Dan dalam BW dikatakan bahwa barang yang sudah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali, tanpa pengecualian. Dengan demikian yang dimaksud dengan hibah yaitu pinjaman seseorang atau tubuh hukum kepada orang lain dalam keadaan sipemberi masih hidup (ada) walaupun anak kecil, dengan tujuan untuk dimiliki atau dimanfaatkan sesuai dengan keinginannya. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hibah dapat diberikan oleh saiapapun atau instansi manapun tanpa imbalan, dan diberikan pada saat sipemberi masih hidup. Inilah yang membedakan antara wasiat yang diberikan pada dikala sipemberi telah wafat dengan hibah yang diberikan pada saat si pemberi hidup.

Hibah disyariatkan bertujuan untuk saling menguatkan ikatan batin antara sesama sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari yakni saling memberi hadiahlah kau akan saling mencintai. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengusulkan agar saling memberi terhadap sesama insan diantara dalam surah al-Munafiqun [63]: 10
 
Artinya:
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang sudah Kami berikan kepadamu sebelum datang ajal kepada salah seorang di antara kau; lalu dia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (maut) ku sampai waktu yang akrab, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan saya Termasuk orang-orang yang saleh?"

Untuk tercapainya hibah yang membuat puas semua pihak Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa rukun hibah dua adalah, ijab dari yang memberi hibah dan qabul dari penerima hibah.[3] Sedangkan Ibn Rusyd dalam kitab Bidayah al-Mujtahid mengatakan rukun hibah tiga, pertama: Orang yang menghibahkan, kedua: Orang yang menerima hibah, dan ketiga: barang yang dihibahkan. Akan tetapi Hanafiah berpendapat bahwa ijab saja sudah cukup tanpa harus ada pernyataan qabul dari penerima.

Pemberi (pihak pertama) hibah dapat dikatakan sah saat empat syarat berikut tercukupi yaitu, pertama, barang yang dihibahkan milik nya secara utuh; kedua, bukan dalam keadaan kondisi terhalang mirip alasannya sakit, dll; ketiga, baligh, dan; keempat, akad hibah dalam kondisi ridho (tanpa paksaan).[4] Dalam KHI pasal 210 ayat 1 diterangkan bahwa orang yang menghibahkan harus berumur 21 tahun, cerdik sehat, dan tidak dalam kondisi terpaksa, dan harta yang dihibahkan paling banyak 1/3 dan harus dihadapan dua orang saksi. Kemudian ayat dua menjelaskan bahwa barang yang dihibahkan harus hak milik penghibah. Untuk syarat yang kedua diatas ditanggapi oleh KHI dengan memperlihatkan potensi bagi yang ingi menghibahkan hartanya dalam keadaan sakit dengan catatan izin dari hebat warisnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 213 bahwa Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang erat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari mahir warisnya. Pembatasan yang ada dalam KHI dalam hal usia dan besar hibah berdasarkan pendapatbahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk mempunyai hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batas-batas 1/3 harta kecuali dengan kesepakatan hebat waris.[5]

Dan benda yang dihibahkan diharuskan ada secara hakiki, benda yang berfaedah (tidak najis), harta tersebut milik si penghibah secara utuh. UU No. 41 tahun 2004 menjelaskan bahwa barang yang dihentikan diwakafkan yaitu barang yang telah dihibahkan, sebagaimana diterangkan pada pasal 40 Harta benda wakaf yang telah diwakafkan tidak boleh: a. dijadikan jaminan; b. disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak yang lain.

Sedangkan setiap orang yang berhak mendapatkan barang yang dihibahkan mampu mereka terima bahkan walaupun di bawah kuratele (pengampuan) lewat walinya.[6] Dalam islam tidak disyaratkan bahwa peserta hibah harus islam, dengan demikian mampu dikatakan bahwa non-muslim dapat menerima hibah dari muslim.[7]

Warga Negara Indonesia yang berada dilaur negeri yang ingin memberikan hibah mampu menciptakan surat di Konsultat atau Kedutaan Republik Indonesia sebagiamana yang diterangkan dalam pasal 214 yang berbunyi, Warga negara Indonesia yang berada di negara gila mampu menciptakan surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia lokal sepanjang isinya tidak berlawanan dengan ketentuan pasal-pasal ini.

Hibah dapat diberikan dalam bentuk ekspresi maupun tulisan. Jika santunan tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam, yakni :
  • Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, kalau isinya cuma menyatakan sudah terjadinya tunjangan
  • Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jikalau surat itu merupakan alat dari penyerahan derma itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang sumbangan, maka yang mesti didaftarkan.[8]
B. Penarikan hibah
Penarikan kembali barang yang sudah dihibahkan berdasarkan jumhur ulama merupakan tindakan yang dilarang (hukumnya haram) walaupun diantara suami istri atau saudara.[9] Akan tetapi tidak demikian dengan orang tua terhadap anaknya, seorang tua dapat menarik kembali hibah yang telah ia berikan dari anaknya.

Artinya:
Dari Ibnu Abbas dan Ibn Umar, Nabi saw bersabda tidak boleh (tidak halal) bagi seorang yang sudah memberi atau menghibahkan hartanya lalu mengambilnya kembali, kecuali ayah yang memperlihatkan kepada anaknya, sebab perumpamaan orang yang mengambil kembali pemberiaannya mirip anjing yang makan dan dikala kenyang muntah kemudian dia mengkonsumsi muntahnya kembali.

Hadis diatas terlihat terang bahwa penarikan kembali harta yang telah diberikan adalah perbuatan sungguh tidak terpuji bahkan Rasulullah saw mengumpamakan mereka (yang menarik kembali pemberiannya) seperti anjing yang memakan muntahnya. Hadis ini tidak cuma ditujukan pada hibah saja, bahkan tergolong didalamnya segala bentuk derma tanpa terkecuali seperti hadiah, tidak mampu diambil kembali. Hal ini diperuntukkan menyingkir dari sakit hati atau perasaan tidak lezat dari peserta hibah. Inilah kemudian yang diadopsi KHI sebagaimana yang tercantum dalam pasal 212 yang berbunyi, Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang bau tanah kepada anaknya.

C. Hubungan hibah dengan waris
Hubungan hibah dengan waris tergambar dalam KHI pasal 211 yakni, Hibah dari orang bau tanah kepada anaknya mampu dipertimbangkan sebagai warisan. Pengertian “dapat “ dalam pasal tersebut bukan berartai imperatif (mesti), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan.[10] Pemberian hibah orang tua terhadap anaknya berpegang terhadap prinsif pembagian yang serupa antara semua anak tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang diajarkan Rasullullah saw kepada sahabatnya dahulu.

Hibah selaku salah satu jalan keluar pembagian harta peninggalan untuk menghindari dari konflik yang terjadi dikebanyakan pembagian warisan disebabkan oleh ada kalangan yang terhalangi mendapatkan harta warisan disebabkan beda agama, anak angkat, atau disebabkan perbedaan bab dari masing-masing hebat waris yang dipandang oleh sebagian masyarakat itu melambangkan ketidak adilan.[11] Walaupun hal ini dipandang sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi warisan.[12]

Oleh alasannya sumbangan hibah kepada anak dapat dihitung selaku hibah maka perbedaan pertimbangan jikalau ayah membedakan bantuan hibah kepada anaknya diapandang berlainan hukumnya oleh ulama fiqh apakah itu boleh atau tidak. Namun, berdasarkan penulisan dari beberapa hadis yang menerangkan bantuan terhadap anak haruslah sama tanpa membedakan antara anak yang satu dengan yang yang lain.

Artinya:
Nabi Saw bersabda, “ bersikaplah adil kepada anak-anakmu, bersikapalah adil kepada anak-anakmu, bersikaplah adil terhadap anak-anakmu.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai).

Kadangkala santunan hibah yang diberikan terhadap hebat waris dengan perjanjian dia tidak akan meminta bagiannya dari harta warisan atau yang dinamakan dengan ungkapan takharruj. Yang dimaksud dengan takharruj dijelaskan oleh Fatchur Rahman mendefenisikan:
Takharrju adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh para andal waris untuk mengundurkan (mengeluarkan) salah spesialis waris dalam menerima bagian pusaka dengan memperlihatkan sebuah prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta milik orang yang ada pada mengundurkannya, maupun berasal dari harta peninggalan yang bakal dibagi-bagikan.[13]

DAFTAR PUSTAKA
  • Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya
  • Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007) cet 5, h. 426
  • Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003
  • Hendarsanto, Prastowo, Studi Perbandingan Tentang Hubungan Hibah Dengan Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Kitab Undang–undang Hukum Perdata. Semarang, Universitas DiponegoroTesis
  • Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Mesir: al-Fath al-‘Ilâm al-‘Arabî, 2004
  • Ibin, Dede, Hibah, Fungsi Dan Korelasinya Dengan Kewarisan, (goresan pena ini diambil dalam bentuk pdf. Penulis yaitu Wakil Ketua PA Rangkasbitung)
  • Ali, Muhammad Daud, et.all., Kompilasi Hukum Islam Dalam Sitem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999
------------
[1] Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007) cet 5, h. 426
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet 6, h. 466
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah h. 1077
[4] Ibid.
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet 6, h. 471
[6] ibid
[7] Lihat Fatwa Majlis tarjih Muhammadiah 21-1998
[8] Prastowo Hendarsanto, studi perbandingan tentang hubungan hibah dengan Waris menurut kompilasi hukum islam dan kitab Undang – undang hukum perdata. (Semarang, Universitas DiponegoroTesis), h. 26
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Mesir: al-Fath al-‘Ilâm al-‘Arabî, 2004), h. 1071
[10] Dede Ibin, Hibah, Fungsi Dan Korelasinya Dengan Kewarisan, (goresan pena ini diambil dalam bentuk pdf. Penulis ialah Wakil Ketua PA Rangkasbitung), h. 6
[11] Dede Ibin, Hibah, Fungsi Dan Korelasinya Dengan Kewarisan, (goresan pena ini diambil dalam bentuk pdf. Penulis ialah Wakil Ketua PA Rangkasbitung), h. 2-5
[12] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet 3, h. 473
[13] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 474

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon