Al-qabisi dan ibnu sahnun sudah menuangkan anutan mereka lewat ihwal pendidikan islam. sepak terjang mereka (al-qabisi dan ibnu sahnun) dalam mengexploriasikan pendidikan islam lewat ide mereka (al-qabisi dan ibnu sahnun) yang cemerlang. Pemikiran pendidikan yang dituangkan oleh tokoh dunia ini ( al-qabisi dan ibnu sahnun ) akan menjadi lebih "menarik" jika didiskusikan, dikaji dan dianalisa dari segala aspek yang mendasari tentang kajiannya tersebut.
Tampa itu, maka ide akan konsep aliran pendidikan seorang tokoh tentu menuju tentang yang hampa nilai dan tidak akan memiliki keberartian (signifikan) dalam membangun ihwal intelktual kependidikan kita. Oleh risikonya, anutan para tokoh menjadi "maha penting" dikala kita menginginkan konsep yang ideal dalam banyak sekali aspek. Pemikiran pendidikan yang sedang kita bicarakan yakni biar maksimal dalam menulusuri dasar-dasar pendidikan Islam, bagaimana bahwasanya pendidik (pemberi), peserta latih (peserta), kurikulum, dan lain sebagainya dan sesuai dengan konsep Islam.
Membahas dan mengkaji gagasan serta fatwa tooh, berarti menenteng kita menuju arah kemampuan memeriksa membandingkan fatwa para tokoh lainnya. Menurut ekonomis kami, upaya pengkajian anutan para tokoh sangat perlu, walaupun, kami yakini, sesungguhnya kebenaran hasil pedoman para tokoh yaitu "relatif" ataupun nisbi.
Al-Qabisi dan Ibnu Sahnun ialah duya tokoh pendidikan Islam yang sangat getol membangun tentang keilmuan perihal pendidikan dalam Islam pada ratusan tahun yang kemudian (masa ke-10M atau ke-4 H). Karya monumental al-Qabisiالر سلة المقصله لأحوال المعلمين واحكام المتعلمين و المعلمين) ar-Risalah al-Mufashshilah li Ahwal al-Muta'allimin wa Ahkam Muta'allimina mengajak kita untuk berdiskusi tentang segala yang berkenan dengan pembelajaran dan pendidikan. Meskipun beliau tampaknya lebih terpesona berbicra seputar pendidik dan penerima latih(المعلم و المعلم) tetapi al-Qabisi juga membicarakan Islam ادب المعلمين(Adabu al-Muta'allimin), buah karya Muhammad bin Sahnun yang terkenal dengan Ibnu Sahnun ulama yang membicarakan masalah pendidikan sebelum al-Qabisi hidup adalah kajian yang tidak kalah pentingnya dari fatwa al-Qabisi. Akan tetapi, kesanggupan kita dalam menganalisis ajaran kedua tokoh inilah sebenarnya yang mau melahirkan rancangan pendidikan yang ideal.
Sejarah Hidup al-Qabisi
Ahmad Khalid dalam pendahuluan ar-Risalah al-Mufashshilah li Ahwal al-Muta'allimin wa Ahkam Muta'allimina[1] yang mentakhqiq buku al-Qabisi ini menjelaskan panjang-lebar riwayat perjalanan hidup dan risalah ilmiyah al-Qabisi. Nama lengkap al-Qabisi adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin al-Mu'afiri al-Qabisi, lebih terkenal dengans sebuatan al-Qabisi. Para sejarawan sepakat tahun kelahiran al-Qabisi yakni 324 H bulan Rajab berketepatan dengan 935 M bulan Mei di Kairawan Tunisia di Benua Afrika.
Para penulis sejarah sepakat perihal nama lengkap al-qabisi adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf. Tetapi yangdiperselisihkan yakni gelar yang diberikan kepadanya. Apakah disebut al-Qabisi atau Ibnu al-Qabisi ? Pertanyaan lalu muncul yaitu jikalau ia seorang yang berkebangsaan Qabisi kenapa beliau juga diundang dengan al-Mu'afiri?, dan yang terakhir, kenapa dia dibangsakan terhadap Kairawan.[2]Tidak diketahui secara pasti apakah al-Qabisi dilahirkan di Kairawan atau keluarganya hijrah ke Kairawan saat ia masih kecil, namun yang terang, beliau mendapatkan pendidikan pertama dan dibesarkan kota itu. Dengan demikian Kairawan ialah kota yang memiliki ingatan tersendiri bagi perjalanan hidup al-Qabisi.
Latar Belakang Karir Intelektual
Sebagaimana lazimnnya para pelajar muslim pada periode kerajaan Islam dalam mencari ilmu wawasan, yakni dengan berpindah-pindah kawasan berguru dan mencari sejumlah guru dengan disiplin ilmu yang berlainan pula. Tak terkecuali al-Qabisi yang hidup pada zaman keemasan Islam ketika itu. Dengan demikian tidak mengherankan jikalau ulama terdahulu mempunyai banyak disiplin ilmu wawasan.
Di Kairawan Afrika beliau mencar ilmu terhadap sejumlah ulama terkemuka di antaranya :
Di tinjau dari kondisi politik mada itu (324-403 H kala kehidupan al-Qabisi) Afrika dikuasai oleh dinasty Fathimiyah yang bermazhab Syi'ah. Ketika itu dynasty Fathimiyah dipimpin oleh kekhalifahan al-Mu'iz li Dininillah. Pada tahun 362 H Mesir ditaklukkan dan dikuasai oleh khalifah al-Mu'iz di bawah panglima Jauhar al-Shiqli. Di bawah kekuasaan Syi'ah ekstrim ini, al-Qabisi bisa berhaluan Asy'ary bermazhabkan fiqih Maliki. Oleh sebab itu, mampu kita lihat tidak adanya subsidi pemerintah terhadap madrasah yang beliau pimpin.
Dari klarifikasi ditas mampu dilihat, bahwa al-Qabisi ialah seorang ahli hadist dan ulama bermazhab Maliki serta di dia hidup dimasa kekuasaan Syi'ah yang ekstrim. Pengalamannya menjadi guru dan pemimpin madrasah, menghantarkan al-qabisi selaku mahir dalam bidang pendidikan. Latar belakang ini mempengaruhi konsepnya tentang pendidikan Islam. Keahliannya yang begitu berpengaruh dalam bidang Fiqih dan hadist mrmbust sl-Qabisi telah mengambil corak aliran keislaman normative, tetapi bukan mempunyai arti dogma. Dengan demikian, maka acuan yang digunakan dalam merumuskan pemikirannya ternasuk bidang pendidikan yakni paradigma fiqih dan hadist.[4]
Keahlian al-Qabisi dalam tiga bidang ini mampu kita lihat dari karya-karyanya. Dalam meniti karirnya al-Qabisi sudah mampu menulis banyak sekali kitab di antaranya:
كتان الملخص لمسند مو طا مالك ابن انس
كتاب الممهد في الفقه
كتاب الئبه المفطن والمبعد من شبه التويل
احكام الد يقه
كتاب منا سك الحج
كتاب رتب العلم واحول اهله
كتاب الر ساله المفصله لأحوال المعلمين واحكام المتعلمين و المعلمين
Ada sesuatu yang menawan bagi al-Qabisi. Beliau yang produktif dalam menulis dan beliau juga diceritakan adalah seorang yang buta, meskipun berlainan usulan dalam menceritakan kebutaannya. Namun ada yang menyampaikan bahwa ia menglami kebutaan sejak kecil. Tetapi argumentative yang paling berpengaruh yaitu yang menyampaikan bahwa kebutaan dialaami menjelang wafat, saat temannya Ibnu Abi Zaid al-Kairawan meninggal dunia pada tahun 386 H, diceritakan dia menangis dengan kewafatan temannya ini, sehingga membawa kepada kebutaan. Al-Qabisi meninggal dunia pada tahun 403 H di Kairawan. Ahmad Fuad al-Ahwani mengutip pertimbangan Ibnu Khilkan menerangkan bahwa al-Qabisi meninggal pada malam Rabu tanggal 3 Rabiul Akhir tahun 403 H.[5]
Pemikiran Pendidikan Islam al-Qabisi
Dalam makalah ini mirip telah disinggung di atas, adalah menjajal menyaksikan bagaimana ajaran al-qabisi tentang pendidikan Islam yang meliputi: pendidik, penerima bimbing, tujuan pendidikan, kurikulum, sistem pembelajaran, dan lain-lain yang berafiliasi dengan pendidikan.
I. Lembaga pendidikan Anak-anak
Ali al-Jumbulati sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata menyebutkan bahwa Al-Qabisi mempunyai perhatian yang besar kepada pendidikan bawah umur yang berjalan di kuttab-kuttab. Menurutnya mendidik anak-anak ialah upaya strategis dalam rangka menjaga kelangusungan bangsa dan Negara. [6] Ada beberapa pemikiran beliau wacana pendidikan anak-anak ini (ta'lim as-Shibyan) yang menarik untuk didiskusikan.
Pertama, ihwal jenjang pendidikan untuk belum dewasa (marhalah ta'lim as-shibyan). Al-qabisi memutuskan kuttab sebagai lembaga pendidika pertama'(marhlah permulaan) bagi pesrta didik. Berbeda denga tokoh pendidik lain,A-Qabisi tidak membatasi usia anak yang hendak memasuki pendidikan di kuttab-kuttab ini. Namun meskipun demikian Al-Qabisi menyaksikan usia anak masuk sekolah sebaiknya antara lima sampai tujuh tahun. Beliau tidak memutuskan batas-batas umur, sebab perbedaan kematangan (psikologi) dan kecepatan pemahaman, menurutnya, ada pada setiap anak insan[7]. Makara, ada aspek psikologi anak untuk menentukan apakah si anak telah berhak mendapatkan pendidikan di kuttab atau belum. Pada tingkatan pertama ini, bawah umur masih dididik dilembaga pendidikan kuttab hingga mereka balhig atau antara usia 13 sampai 15. Dengan demikian pendidikan menurut aliran al-Qabisi berkisar antara 7 dan 9 tahun. Menurut beliau ada emapt unsur jenjang pendidikan : (A). Tempat berguru atau yang disebut dengan kuttab (B). Guru atau mu'allim (C) Peserta ajar atau ash-Shabiy, (D). al-Qur'an selaku materi yang diajarkan di kuttab ini.[8]
Kedua, urgensi dan pembiayaan pendidikan. Sesuatu yang sangat pelik dan mesti diperhatikan oleh pemerhati pendidikan menurutnya dalam, keengganan orang renta memasukkan anaknya dibangku pendidikan tampa ganjal an yang dibenarkan. Dan yang tidak kalah pentingnya yakni ongkos belajar anak tau biaya pendidik. Pemerintah idealnya, berkewajiban menciptakan budget penididikan dari harta Allah Swt, sebagaimana wajibnya membangun fasilitas ummat dalam melakukan kewajiban mereka. Tetapi realitanya pemerintah melihat pendidikan anak yaitu persoalan indivu setiap insan. Khusus bagi anak Yatim dan orang miskin, nampaknya dia memakai pendekatan agama untuk mengatasinya.
Ketiga, honor guru. Pada dilema ini dia berpendapat bahwa pertimbangan Imam Malik dan Sahnun wacana berhaknya guru mendapatkan honor atau bayaran yang cukup, baik disaratkan sebelumnya ataupun tidak. Ibnu Mas'ud menjelaskan sebagaimana dikutip oleh al-Qabisi: " Tiga hal yang mesti ada bagi mansia : Pemimpin yang mengontrol diantara mereka, seandainya tidak ada (pemimpin) maka insan akan mengkonsumsi insan yang lain., berbelanja dan menjual mashaf, jikalau ini tidak ada akan runtuhlah kitab Allah Swt, dan yang terakhir guru yang mengajari anak mereka dan menemukan gaji darinya, dan jikalau ini tidak ada, manusia akan menjadi bodoh".
II. Tujuan Pendidikan Islam
Dr. Ahmad Fuad al-Ahwani, menerangkan bahwa al-Qabisi tidak merincikan tujaun yang ingin dicapai oleh peserta asuh dalam pembelajaran mereka terkecuali tujuan keagamaan (al-Ghardli al-Diniy) berlawanan dengan tokoh lain yang membagi sasaran atau tujuan pendidikan kepada beberapa tujuan mirip tujuan agama, kemasyarakat atau social, kepuasan intektual, tujuan kajiwaan dan lain-lain.[9]
Ali al-Jumbulati sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, mengtakan secara lazim tujuan pendidikan yang dipegangai oleh al-Qabisi yaitu, mengembangkan kekuatan akhlak anak, menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada pemikiran-fatwa-Nya, serta berprilaku yang tepat dengan nilai-niali agama yang murni.[10]
Untuk pendidikan bawah umur tujuan pendidikan mereka adalah mengenal agama jauh sebelum mereka mengenal yang lain, alasannya wajib hukumnya memberikan pelajaran agama terhadap mereka demikian al-Qabisi. al-Ahwani menganalisis, ketika al-Qabisi mengawali kitabnya dengan membicarakan iman dan Islam serta ditutup dengan pembahsan qiraat dan keutamaan membaca al-Qur'an, itu arti, pendidikan anak mesti dimulai dengan mencetak mereka menjadi mukmin yang muslim dan kemudia yang terakhir menyebabkan mreka selaku seorang yang pembaca al-Qur'an.[11]
III. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam al-Qabisi digolongkan terhadap dua bab :
Kurikulum Ijbari yaitu : secara harfiah memiliki arti kurikulum yang merupakan keharusan atau kewajiban setiap anak. Kurikulum yang masuk ini adalah al-Qur'an, ada dua ganjal an ia wacana penetapan al-Qur'an sebagai kurikulum, ialah : pertama, al-Qur'an ialah Kalam Allah Swt. Dan Allah Swt dalam firman mengintruksikan semangat beribadah dengan membaca al-Qur'an. Kedua, menurutnya al-Qur'an ialah acuan kaum muslimin dalam problem ibadah dan mu'amalat dan juga sesuatu yang tidak mungkin mengenal batas-batas syari'at agama yang benar tampa mengenal sumber agama itu sendiri ialah al-Qur'an.[12]
Dari kurikulum wajib yang disediakan al-Qabisi tampak terperinci adanya relefansi yang besar lengan berkuasa antara tujuan pendidikan yang dibangun dan yang diinginkan oleh al-Qabisi dengan ihwal kurikulum yang ia maksudkan. Semua kurikulum itu, dibutuhkan mampu membawa penerima bimbing terhadap suatu tujuan yaitu mengenal agama dan ibadah yang diwajibkan kepada kaum muslimin. Uraian wacana kurikulum berdasarkan pandangan dia di atas ialah untuk jenjang pendidikan dasar, adalah pendidikan di al-Kuttab, sesuai dengan jenjang yang telah di kenal di masa itu. Secara sederhana dapat di susun kurikulum Ijbari yang dikehendaki oleh dia sebagai berikut : al-Qur'an, Shalat, do'a, menulis (al-Kitabah), ilmu Nahwu, dan sebahagian Bahasa Arab.
2. Kurikulum Ikhtiyari
Menurut al-Qabisi ikhtiyari yaitu : limu tentang berhitung, sya'ir, kisah-kisah penduduk Arab, sejarah Islam, dan ilmu Nahwu serta bahasa Arab lengkap. Hal tersebut merelevansi terhadap hadis nabi ان من الشعر احكمة ( "Sesungguhnya di dalam sya'ir itu ada nasihat (ilmu)". Selanjutnya ke dalam kurikulum ikhtiyari ini dia memasukkan pelajaran kemampuan yang mampu menghasilkan bikinan kerja yang mampu membiayai hidupnya dimasa depan.[13]Menurut al-Ahwani, kurikulum yang dikonsepkan al-Qabisi adalah ada dua kesimpulan, pertama al-Qabisi mengabaikan aspek kejiwaan dan pertumbuhan dalam merumuskan kurikulumnya. Kedua, atidak memperhatikan (bahkan tidak memasukkan) ilmu-ilmu alam dan oleah raga dalam kurikulumnya.[14]
IV. Metode Pembelajaran
Selain kurikulum al-Qabisi, beliau juga merumuskan sistem pembelajaran dan itu di masukkan dalam kurikuylumnya. Langkah-langkah penting dalam menghafal al-Qur'an dan mencar ilmu menulis ditetapkan berdasarkan penyeleksian waktu-waktu yang baik dan mampu mendorong kecerdasan akalnya. al-Qabisi memulai pembelajaran lewat beberapa klasifikasi yakni :
Pendidik, mu'allim atau guru menjadi perhatian tersendiri bagi dia, kualitas guru menurut dia tidak mesti yang hafiz al-Qur'an, tetapi ia lebih menekankan kesiapan guru dalam mengamalkan kandungan al-Qur'an, memahami belakang layar dan makna didalamnya, melalui pengusaan ilmu-ilmu yang menolong pemahaman ini. Dan juga pemikirannya tentang tidak bolehnya guru menghukum udik dan rendah intelektual para muridnya.
C. Pemikiran Pendidikan Menurut Ibnu Sahnun
1. Bibliografi singkat Ibnu Sahnun
Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Muhammad bin Sahnun, lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Sahnun. Lahir 202 H atau 817 Mdi Kairawan Afrika.[17]Libih kurang setengah periode sebelum lahirnya al-Qabisi. Ayahnya berjulukan Imam Sahnun seorang ulama yang radikal (al-Mujadzdzir) dalam mazhab Maliki di Afrika dan seorang guru besar para pendidik di Kairawan. Kepadanya Ibnu Sahnun mencar ilmu hingga mencar ilmu samapi mencetaknya menjadi ulama besar ahli pendidikan. Adab al-Mu'allimin karyanya selaku bukti ia sebagai seorang ahli pendidikan Islam. Ibnu Sahnun wapat pada tahun 256 H atau 870 M sesudah lebih kurang 63 tahun lamanya dia hidup.
I. Pemikiran Pendidikan Ibnu Sahnun
Ahmad Khalid editor kitab ar-Risalah al- Mufashshilah karya al-Qabisi bahwa al-Qabisi banyak mengambil referensi kitab Adab al-Mu'allimin Ibnu Sahnun, dalam peyusunan kitabnya tersebut, bahkan berdasarkan Ahmad, hamper mirip kitab Ibnu Sahnun. Walaupun dalam kitab al-Qabisi lebih banyak menguraikan nash-nash dari al-Qur'an dan bab serta fasal-fasalnya yang lebih luas.
Dengan demikian pemikiran Ibnu Sahnun pasti tidaklah jauh berbebsa dengan pemikiran al-Qabisi. Beberapa pedoman Ibnu Sahnun yang mengalir dalam ruang lingkup pendidikan, diantaranya adalah :
Pendidikan untuk tingkatan dasar yakni pendidikan belum dewasa. Beliau berpendapat bahwa seorang guru perlu berprilaku baik dalam mendidik murid-muridnya, oleh alasannya dia dalam fatwa-pemikirannya sungguh melarang perihal santunan kado dari murid terhadap guru.
Guru, ialah seorang panutan bagi murid pastinya menjadi sosok yang sungguh diperhatikan oleh beliau termasuk prilaku yang boleh dan dilarang dijalankan oleh seorang guru sebagai unsur-unsur tujuan ideal pendidikan.
lihat footnote Makalah Pemikiran Al-Qabisi dan Ibnu Sahnun di sini.
Tampa itu, maka ide akan konsep aliran pendidikan seorang tokoh tentu menuju tentang yang hampa nilai dan tidak akan memiliki keberartian (signifikan) dalam membangun ihwal intelktual kependidikan kita. Oleh risikonya, anutan para tokoh menjadi "maha penting" dikala kita menginginkan konsep yang ideal dalam banyak sekali aspek. Pemikiran pendidikan yang sedang kita bicarakan yakni biar maksimal dalam menulusuri dasar-dasar pendidikan Islam, bagaimana bahwasanya pendidik (pemberi), peserta latih (peserta), kurikulum, dan lain sebagainya dan sesuai dengan konsep Islam.
Membahas dan mengkaji gagasan serta fatwa tooh, berarti menenteng kita menuju arah kemampuan memeriksa membandingkan fatwa para tokoh lainnya. Menurut ekonomis kami, upaya pengkajian anutan para tokoh sangat perlu, walaupun, kami yakini, sesungguhnya kebenaran hasil pedoman para tokoh yaitu "relatif" ataupun nisbi.
Al-Qabisi dan Ibnu Sahnun ialah duya tokoh pendidikan Islam yang sangat getol membangun tentang keilmuan perihal pendidikan dalam Islam pada ratusan tahun yang kemudian (masa ke-10M atau ke-4 H). Karya monumental al-Qabisiالر سلة المقصله لأحوال المعلمين واحكام المتعلمين و المعلمين) ar-Risalah al-Mufashshilah li Ahwal al-Muta'allimin wa Ahkam Muta'allimina mengajak kita untuk berdiskusi tentang segala yang berkenan dengan pembelajaran dan pendidikan. Meskipun beliau tampaknya lebih terpesona berbicra seputar pendidik dan penerima latih(المعلم و المعلم) tetapi al-Qabisi juga membicarakan Islam ادب المعلمين(Adabu al-Muta'allimin), buah karya Muhammad bin Sahnun yang terkenal dengan Ibnu Sahnun ulama yang membicarakan masalah pendidikan sebelum al-Qabisi hidup adalah kajian yang tidak kalah pentingnya dari fatwa al-Qabisi. Akan tetapi, kesanggupan kita dalam menganalisis ajaran kedua tokoh inilah sebenarnya yang mau melahirkan rancangan pendidikan yang ideal.
Sejarah Hidup al-Qabisi
Ahmad Khalid dalam pendahuluan ar-Risalah al-Mufashshilah li Ahwal al-Muta'allimin wa Ahkam Muta'allimina[1] yang mentakhqiq buku al-Qabisi ini menjelaskan panjang-lebar riwayat perjalanan hidup dan risalah ilmiyah al-Qabisi. Nama lengkap al-Qabisi adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin al-Mu'afiri al-Qabisi, lebih terkenal dengans sebuatan al-Qabisi. Para sejarawan sepakat tahun kelahiran al-Qabisi yakni 324 H bulan Rajab berketepatan dengan 935 M bulan Mei di Kairawan Tunisia di Benua Afrika.
Para penulis sejarah sepakat perihal nama lengkap al-qabisi adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Khalaf. Tetapi yangdiperselisihkan yakni gelar yang diberikan kepadanya. Apakah disebut al-Qabisi atau Ibnu al-Qabisi ? Pertanyaan lalu muncul yaitu jikalau ia seorang yang berkebangsaan Qabisi kenapa beliau juga diundang dengan al-Mu'afiri?, dan yang terakhir, kenapa dia dibangsakan terhadap Kairawan.[2]Tidak diketahui secara pasti apakah al-Qabisi dilahirkan di Kairawan atau keluarganya hijrah ke Kairawan saat ia masih kecil, namun yang terang, beliau mendapatkan pendidikan pertama dan dibesarkan kota itu. Dengan demikian Kairawan ialah kota yang memiliki ingatan tersendiri bagi perjalanan hidup al-Qabisi.
Latar Belakang Karir Intelektual
Sebagaimana lazimnnya para pelajar muslim pada periode kerajaan Islam dalam mencari ilmu wawasan, yakni dengan berpindah-pindah kawasan berguru dan mencari sejumlah guru dengan disiplin ilmu yang berlainan pula. Tak terkecuali al-Qabisi yang hidup pada zaman keemasan Islam ketika itu. Dengan demikian tidak mengherankan jikalau ulama terdahulu mempunyai banyak disiplin ilmu wawasan.
Di Kairawan Afrika beliau mencar ilmu terhadap sejumlah ulama terkemuka di antaranya :
- Abul 'Abbas at-Tamimy (w.352 H) spesialis fiqih yang bermazhab Syafi'i dari kota Tunisia. Darinyalah al-Qabisi mendapat sejumlah nama-nama guru, baik dari Timur maupun dari Barat dunia Islam tempat beliau melanjutkan rihlah ilmiah nantinya.
- Ibnu Masrur ad-Dibagh (w.359 H)
- Abu 'Abdillah bin Masrur al-'Assal (w.346 H), seorang faqih yang bermazhab Maliki di Kairawan.
- Ibnu al-Hajjaj (w.346 H)
- Abul Hasan al-Kanisyi (w.347 H), seorang ulama yang disegani alasannya adalah kewara'an dan kemulian pribadinya.
- Durras bin Ismail al-Fasi (w.357 H), seorang faqih yang berhaluan Asy'Ary dalam Theologi
- Ibnu Zakrun, seorang faqih yang zuhud dan seorang ulama yang produktif dalam menulis banyak sekali kitab ihwal ilmu Tasawuf.(w.370 H)
- Abu Ishak al-Jibinyani (w.369 H) seorang ulama yang populer sebab permohonannya.
- Abul Qasim Hamzah bin Muhammad al-Kinani, seorang 'alim dari Mesir, dari ulama ini al-Qabisi mencar ilmu kitab hadist An-nasa'i
- Abu Zaid Muhammad bin Ahmad al-Marwazi seorang ulama Mekkah, darinya al-Qabisi mempelajar kitab Shahih al-Bukhory
- Abul Fath bin Budhan (w.359) ulama Mesir andal qiraah
- Abu Bakar Muhamma bin Sulaiman al-Nu'ali, seorang ulama populer di Mesir, dari ia al-Qabisi banyak mengambil contoh
- Abu Ahmad Muhammad bin Ahmad al-Jurjani salah seorang ulama perawi Shahih Bukhary
- Abu Dzar al-Harwi (w.434 H), seorang faqih Maliki yang populer dengan karyanya Musnal al-Muwaththa' darinyalah al-Qabisi mempelajari hadist Imam Maliki dengan kitabnya al- al-Muwaththa'
Di tinjau dari kondisi politik mada itu (324-403 H kala kehidupan al-Qabisi) Afrika dikuasai oleh dinasty Fathimiyah yang bermazhab Syi'ah. Ketika itu dynasty Fathimiyah dipimpin oleh kekhalifahan al-Mu'iz li Dininillah. Pada tahun 362 H Mesir ditaklukkan dan dikuasai oleh khalifah al-Mu'iz di bawah panglima Jauhar al-Shiqli. Di bawah kekuasaan Syi'ah ekstrim ini, al-Qabisi bisa berhaluan Asy'ary bermazhabkan fiqih Maliki. Oleh sebab itu, mampu kita lihat tidak adanya subsidi pemerintah terhadap madrasah yang beliau pimpin.
Dari klarifikasi ditas mampu dilihat, bahwa al-Qabisi ialah seorang ahli hadist dan ulama bermazhab Maliki serta di dia hidup dimasa kekuasaan Syi'ah yang ekstrim. Pengalamannya menjadi guru dan pemimpin madrasah, menghantarkan al-qabisi selaku mahir dalam bidang pendidikan. Latar belakang ini mempengaruhi konsepnya tentang pendidikan Islam. Keahliannya yang begitu berpengaruh dalam bidang Fiqih dan hadist mrmbust sl-Qabisi telah mengambil corak aliran keislaman normative, tetapi bukan mempunyai arti dogma. Dengan demikian, maka acuan yang digunakan dalam merumuskan pemikirannya ternasuk bidang pendidikan yakni paradigma fiqih dan hadist.[4]
Keahlian al-Qabisi dalam tiga bidang ini mampu kita lihat dari karya-karyanya. Dalam meniti karirnya al-Qabisi sudah mampu menulis banyak sekali kitab di antaranya:
كتان الملخص لمسند مو طا مالك ابن انس
كتاب الممهد في الفقه
كتاب الئبه المفطن والمبعد من شبه التويل
احكام الد يقه
كتاب منا سك الحج
كتاب رتب العلم واحول اهله
كتاب الر ساله المفصله لأحوال المعلمين واحكام المتعلمين و المعلمين
Ada sesuatu yang menawan bagi al-Qabisi. Beliau yang produktif dalam menulis dan beliau juga diceritakan adalah seorang yang buta, meskipun berlainan usulan dalam menceritakan kebutaannya. Namun ada yang menyampaikan bahwa ia menglami kebutaan sejak kecil. Tetapi argumentative yang paling berpengaruh yaitu yang menyampaikan bahwa kebutaan dialaami menjelang wafat, saat temannya Ibnu Abi Zaid al-Kairawan meninggal dunia pada tahun 386 H, diceritakan dia menangis dengan kewafatan temannya ini, sehingga membawa kepada kebutaan. Al-Qabisi meninggal dunia pada tahun 403 H di Kairawan. Ahmad Fuad al-Ahwani mengutip pertimbangan Ibnu Khilkan menerangkan bahwa al-Qabisi meninggal pada malam Rabu tanggal 3 Rabiul Akhir tahun 403 H.[5]
Pemikiran Pendidikan Islam al-Qabisi
Dalam makalah ini mirip telah disinggung di atas, adalah menjajal menyaksikan bagaimana ajaran al-qabisi tentang pendidikan Islam yang meliputi: pendidik, penerima bimbing, tujuan pendidikan, kurikulum, sistem pembelajaran, dan lain-lain yang berafiliasi dengan pendidikan.
I. Lembaga pendidikan Anak-anak
Ali al-Jumbulati sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata menyebutkan bahwa Al-Qabisi mempunyai perhatian yang besar kepada pendidikan bawah umur yang berjalan di kuttab-kuttab. Menurutnya mendidik anak-anak ialah upaya strategis dalam rangka menjaga kelangusungan bangsa dan Negara. [6] Ada beberapa pemikiran beliau wacana pendidikan anak-anak ini (ta'lim as-Shibyan) yang menarik untuk didiskusikan.
Pertama, ihwal jenjang pendidikan untuk belum dewasa (marhalah ta'lim as-shibyan). Al-qabisi memutuskan kuttab sebagai lembaga pendidika pertama'(marhlah permulaan) bagi pesrta didik. Berbeda denga tokoh pendidik lain,A-Qabisi tidak membatasi usia anak yang hendak memasuki pendidikan di kuttab-kuttab ini. Namun meskipun demikian Al-Qabisi menyaksikan usia anak masuk sekolah sebaiknya antara lima sampai tujuh tahun. Beliau tidak memutuskan batas-batas umur, sebab perbedaan kematangan (psikologi) dan kecepatan pemahaman, menurutnya, ada pada setiap anak insan[7]. Makara, ada aspek psikologi anak untuk menentukan apakah si anak telah berhak mendapatkan pendidikan di kuttab atau belum. Pada tingkatan pertama ini, bawah umur masih dididik dilembaga pendidikan kuttab hingga mereka balhig atau antara usia 13 sampai 15. Dengan demikian pendidikan menurut aliran al-Qabisi berkisar antara 7 dan 9 tahun. Menurut beliau ada emapt unsur jenjang pendidikan : (A). Tempat berguru atau yang disebut dengan kuttab (B). Guru atau mu'allim (C) Peserta ajar atau ash-Shabiy, (D). al-Qur'an selaku materi yang diajarkan di kuttab ini.[8]
Kedua, urgensi dan pembiayaan pendidikan. Sesuatu yang sangat pelik dan mesti diperhatikan oleh pemerhati pendidikan menurutnya dalam, keengganan orang renta memasukkan anaknya dibangku pendidikan tampa ganjal an yang dibenarkan. Dan yang tidak kalah pentingnya yakni ongkos belajar anak tau biaya pendidik. Pemerintah idealnya, berkewajiban menciptakan budget penididikan dari harta Allah Swt, sebagaimana wajibnya membangun fasilitas ummat dalam melakukan kewajiban mereka. Tetapi realitanya pemerintah melihat pendidikan anak yaitu persoalan indivu setiap insan. Khusus bagi anak Yatim dan orang miskin, nampaknya dia memakai pendekatan agama untuk mengatasinya.
Ketiga, honor guru. Pada dilema ini dia berpendapat bahwa pertimbangan Imam Malik dan Sahnun wacana berhaknya guru mendapatkan honor atau bayaran yang cukup, baik disaratkan sebelumnya ataupun tidak. Ibnu Mas'ud menjelaskan sebagaimana dikutip oleh al-Qabisi: " Tiga hal yang mesti ada bagi mansia : Pemimpin yang mengontrol diantara mereka, seandainya tidak ada (pemimpin) maka insan akan mengkonsumsi insan yang lain., berbelanja dan menjual mashaf, jikalau ini tidak ada akan runtuhlah kitab Allah Swt, dan yang terakhir guru yang mengajari anak mereka dan menemukan gaji darinya, dan jikalau ini tidak ada, manusia akan menjadi bodoh".
II. Tujuan Pendidikan Islam
Dr. Ahmad Fuad al-Ahwani, menerangkan bahwa al-Qabisi tidak merincikan tujaun yang ingin dicapai oleh peserta asuh dalam pembelajaran mereka terkecuali tujuan keagamaan (al-Ghardli al-Diniy) berlawanan dengan tokoh lain yang membagi sasaran atau tujuan pendidikan kepada beberapa tujuan mirip tujuan agama, kemasyarakat atau social, kepuasan intektual, tujuan kajiwaan dan lain-lain.[9]
Ali al-Jumbulati sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, mengtakan secara lazim tujuan pendidikan yang dipegangai oleh al-Qabisi yaitu, mengembangkan kekuatan akhlak anak, menumbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada pemikiran-fatwa-Nya, serta berprilaku yang tepat dengan nilai-niali agama yang murni.[10]
Untuk pendidikan bawah umur tujuan pendidikan mereka adalah mengenal agama jauh sebelum mereka mengenal yang lain, alasannya wajib hukumnya memberikan pelajaran agama terhadap mereka demikian al-Qabisi. al-Ahwani menganalisis, ketika al-Qabisi mengawali kitabnya dengan membicarakan iman dan Islam serta ditutup dengan pembahsan qiraat dan keutamaan membaca al-Qur'an, itu arti, pendidikan anak mesti dimulai dengan mencetak mereka menjadi mukmin yang muslim dan kemudia yang terakhir menyebabkan mreka selaku seorang yang pembaca al-Qur'an.[11]
III. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum pendidikan Islam al-Qabisi digolongkan terhadap dua bab :
Kurikulum Ijbari yaitu : secara harfiah memiliki arti kurikulum yang merupakan keharusan atau kewajiban setiap anak. Kurikulum yang masuk ini adalah al-Qur'an, ada dua ganjal an ia wacana penetapan al-Qur'an sebagai kurikulum, ialah : pertama, al-Qur'an ialah Kalam Allah Swt. Dan Allah Swt dalam firman mengintruksikan semangat beribadah dengan membaca al-Qur'an. Kedua, menurutnya al-Qur'an ialah acuan kaum muslimin dalam problem ibadah dan mu'amalat dan juga sesuatu yang tidak mungkin mengenal batas-batas syari'at agama yang benar tampa mengenal sumber agama itu sendiri ialah al-Qur'an.[12]
Dari kurikulum wajib yang disediakan al-Qabisi tampak terperinci adanya relefansi yang besar lengan berkuasa antara tujuan pendidikan yang dibangun dan yang diinginkan oleh al-Qabisi dengan ihwal kurikulum yang ia maksudkan. Semua kurikulum itu, dibutuhkan mampu membawa penerima bimbing terhadap suatu tujuan yaitu mengenal agama dan ibadah yang diwajibkan kepada kaum muslimin. Uraian wacana kurikulum berdasarkan pandangan dia di atas ialah untuk jenjang pendidikan dasar, adalah pendidikan di al-Kuttab, sesuai dengan jenjang yang telah di kenal di masa itu. Secara sederhana dapat di susun kurikulum Ijbari yang dikehendaki oleh dia sebagai berikut : al-Qur'an, Shalat, do'a, menulis (al-Kitabah), ilmu Nahwu, dan sebahagian Bahasa Arab.
2. Kurikulum Ikhtiyari
Menurut al-Qabisi ikhtiyari yaitu : limu tentang berhitung, sya'ir, kisah-kisah penduduk Arab, sejarah Islam, dan ilmu Nahwu serta bahasa Arab lengkap. Hal tersebut merelevansi terhadap hadis nabi ان من الشعر احكمة ( "Sesungguhnya di dalam sya'ir itu ada nasihat (ilmu)". Selanjutnya ke dalam kurikulum ikhtiyari ini dia memasukkan pelajaran kemampuan yang mampu menghasilkan bikinan kerja yang mampu membiayai hidupnya dimasa depan.[13]Menurut al-Ahwani, kurikulum yang dikonsepkan al-Qabisi adalah ada dua kesimpulan, pertama al-Qabisi mengabaikan aspek kejiwaan dan pertumbuhan dalam merumuskan kurikulumnya. Kedua, atidak memperhatikan (bahkan tidak memasukkan) ilmu-ilmu alam dan oleah raga dalam kurikulumnya.[14]
IV. Metode Pembelajaran
Selain kurikulum al-Qabisi, beliau juga merumuskan sistem pembelajaran dan itu di masukkan dalam kurikuylumnya. Langkah-langkah penting dalam menghafal al-Qur'an dan mencar ilmu menulis ditetapkan berdasarkan penyeleksian waktu-waktu yang baik dan mampu mendorong kecerdasan akalnya. al-Qabisi memulai pembelajaran lewat beberapa klasifikasi yakni :
- Pada pagi hari Sabtu sampai Kamis itu dianggap satu kali pembelajaran.
- Guru dapat menyaksikan langsung acara penerima didiknya.
- Proses belajar mengajar diakhiri diahir pekan dan dievaluasi sejauh mana pertumbuhan anak ajar.[15]
Pendidik, mu'allim atau guru menjadi perhatian tersendiri bagi dia, kualitas guru menurut dia tidak mesti yang hafiz al-Qur'an, tetapi ia lebih menekankan kesiapan guru dalam mengamalkan kandungan al-Qur'an, memahami belakang layar dan makna didalamnya, melalui pengusaan ilmu-ilmu yang menolong pemahaman ini. Dan juga pemikirannya tentang tidak bolehnya guru menghukum udik dan rendah intelektual para muridnya.
- Pemisahan murid laki-laki dan perempuan
- Larangan berguru non-muslim di kuttab milik orang Islam
- Dan yang yang lain.[16]
C. Pemikiran Pendidikan Menurut Ibnu Sahnun
1. Bibliografi singkat Ibnu Sahnun
Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Muhammad bin Sahnun, lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Sahnun. Lahir 202 H atau 817 Mdi Kairawan Afrika.[17]Libih kurang setengah periode sebelum lahirnya al-Qabisi. Ayahnya berjulukan Imam Sahnun seorang ulama yang radikal (al-Mujadzdzir) dalam mazhab Maliki di Afrika dan seorang guru besar para pendidik di Kairawan. Kepadanya Ibnu Sahnun mencar ilmu hingga mencar ilmu samapi mencetaknya menjadi ulama besar ahli pendidikan. Adab al-Mu'allimin karyanya selaku bukti ia sebagai seorang ahli pendidikan Islam. Ibnu Sahnun wapat pada tahun 256 H atau 870 M sesudah lebih kurang 63 tahun lamanya dia hidup.
I. Pemikiran Pendidikan Ibnu Sahnun
Ahmad Khalid editor kitab ar-Risalah al- Mufashshilah karya al-Qabisi bahwa al-Qabisi banyak mengambil referensi kitab Adab al-Mu'allimin Ibnu Sahnun, dalam peyusunan kitabnya tersebut, bahkan berdasarkan Ahmad, hamper mirip kitab Ibnu Sahnun. Walaupun dalam kitab al-Qabisi lebih banyak menguraikan nash-nash dari al-Qur'an dan bab serta fasal-fasalnya yang lebih luas.
Dengan demikian pemikiran Ibnu Sahnun pasti tidaklah jauh berbebsa dengan pemikiran al-Qabisi. Beberapa pedoman Ibnu Sahnun yang mengalir dalam ruang lingkup pendidikan, diantaranya adalah :
Pendidikan untuk tingkatan dasar yakni pendidikan belum dewasa. Beliau berpendapat bahwa seorang guru perlu berprilaku baik dalam mendidik murid-muridnya, oleh alasannya dia dalam fatwa-pemikirannya sungguh melarang perihal santunan kado dari murid terhadap guru.
Guru, ialah seorang panutan bagi murid pastinya menjadi sosok yang sungguh diperhatikan oleh beliau termasuk prilaku yang boleh dan dilarang dijalankan oleh seorang guru sebagai unsur-unsur tujuan ideal pendidikan.
lihat footnote Makalah Pemikiran Al-Qabisi dan Ibnu Sahnun di sini.
DAFTAR PUSTAKA
- Abu Hasan al-Qabisi, ar-Risalah al-Mufashshilah li Ahwal al-Muta'allimin wa Ahkam Muta'allimina,ed.Ahmad Khalid.Tunisia:al-Syirkah al-Tunisiyah li al-Tauzi', 1986
- Ahmad Fuad al-Ahwani, al-tarbiyah fi al-Islam.Kairo:Dar al-Ma'Arif, 1980
- Abuddin Nata,Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam:Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001
- Ahmad Abdul Latief,al-Fikry al-Tarbawy al-Araby al-Islamiy.Tunisia:Maktab al-Araby, 1987
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon