Kamis, 17 September 2020

Makalah Teladan Asuh Dalam Perspektif Islam

Anak yakni amanat bagi orang tua, hatinya yang suci bagaikan mutiara yang manis dan bersih dari setiap kotoran dan ukiran.[1] Anak merupakan anugerah dan amanah dari Allah kepada insan yang menjadi orang tuanya. Oleh karena itu orang tua dan penduduk bertanggungjawab penuh supaya supaya anak dapat berkembang dan berkembang manjadi insan yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya sesuai dengan tujuan dan kehendak Tuhan.

Pertumbuhan dan perkembangan anak dijiwani dan diisi oleh pendidikan yang dialami dalam hidupnya, baik dalam keluarga, penduduk dan sekolahnya. Karena manusia menjadi insan dalam arti yang sebenarnya ditempuh melalui pendidikan, maka pendidikan anak semenjak permulaan kehidupannya, menempati posisi kunci dalam mewujudkan harapan “menjadi manusia yang berkhasiat”.

Dalam Islam, eksistensi anak melahirkan adanya korelasi vertikal dengan Allah Penciptanya, dan relasi horizontal dengan orang renta dan masyarakatnya yang bertanggungjawab untuk mendidiknya menjadi manusia yang taat beragama. Walaupun fitrah kejadian manusia baik melalui pendidikan yang benar dan pelatihan manusia yang jahat dan buruk, karena salah asuhan, tidak berpendidikan dan tanpa norma-norma agama Islam.

Anak selaku amanah dari Allah, membentuk 3 dimensi hubungan, dengan orang renta selaku sentralnya. Pertama, kekerabatan kedua orang tuanya dengan Allah yang dilatarbelakangi adanya anak. Kedua, relasi anak (yang masih membutuhkan banyak panduan) dengan Allah melalui orang tuanya. Ketiga, relasi anak dengan kedua orang tuanya di bawah tutorial dan tuntunan dari Allah.[2]

Dalam mengemban amanat dari Allah yang mulia ini, berupa anak yang fitrah beragama tauhidnya mesti dibina dan dikembangkan, maka orang renta mesti menjadikan agama Islam, sebagai dasar untuk pelatihan dan pendidikan anak, supaya menjadi insan yang bertaqwa dan selalu hidup di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT., dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun juga keadaannya, pribadinya sebagai insan yang taat beragama tidak berubah dan tidak gampang goyah.

Mendidik belum dewasa menjadi manusia yang taat beragama Islam ini, pada hakekatnya adalah untuk melestarikan fitrah yang ada dalam setiap diri eksklusif insan, yaitu beragama tauhid, agama Islam. Seorang anak itu memiliki “dwi potensi”yakni bisa menjadi baik dan buruk. Oleh karena itu orang tua wajib membimbing, membina dan mendidik anaknya menurut petunjuk-petunjuk dari Allah dalam agama-Nya, agama Islam biar anak-anaknya dapat berafiliasi dan beribadah terhadap Allah dengan baik dan benar. Oleh alasannya adalah itu anak harus menerima asuhan, tutorial dan pendidikan yang bagus, dan benar semoga dapat menjadi akil balig cukup akal, manusia remaja dan orang bau tanah yang beragama dan senantiasa hidup agamis. Sehingga dengan demikian, anak selaku penerus generasi dan harapan orang tuanya, dapat berkembang dan berkembang menjadi manusia yang mampu memenuhi harapan orang tuanya dan sesuai dengan keinginanAllah.[3]

Kehidupan keluarga yang tenteram, senang, dan serasi baik bagi orang yang beriman, maupun orang kafir, ialah suatu keperluan mutlak. Setiap orang yang menginjakkan kakinya dalam berumah tangga pasti dituntut untuk mampu menjalankan bahtera keluarga itu dengan baik. Kehidupan keluarga sebagaimana diungkap di atas, merupakan dilema besar yang tidak mampu dianggap sepele dalam mewujudkannya. Apabila orang renta gagal dalam memerankan dan memfungsikan peran dan fungsi keduanya dengan baik dalam membina korelasi masing-masing pihak maupun dalam memelihara, mengasuh dan mendidik anak yang semula jadi dambaan keluarga, embel-embel dunia, akan terbalik menjadi bumerang dalam keluarga, fitnah dan siksaan dari Allah.

Oleh alasannya adalah itu dalam kaitannya dengan pemeliharaan dan pengasuhan anak ini, pedoman Islam yang tertulis dalam al-Qur’an, Hadits, maupun hasil ijtihad para ulama (intelektual Islam) sudah menjelaskannya secara rinci, baik perihal acuan pengasuhan anak pra kelahiran anak, maupun pasca kelahirannya. Allah SWT memandang bahwa anak ialah perhiasaan dunia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 46;
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيوةِ الدُّنْيَا ج وَالْبقِيتُ الصّلِحتُ خَيْرٌ عِنْدَ رِبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلاً. الكهف: 46
“Harta dan belum dewasa yakni tambahan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang baka lagi saleh ialah lebih baik pahalanya di segi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi keinginan”.[4] (QS. al-Khafi: 46)

Dalam ayat lain Allah berfirman;
يآيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا قُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا… التّحريم : 6 .
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ….[5] (QS. at-Tahrim: 6)

Dengan demikian mendidik dan membina anak beragam Islam adalah merupakan sebuah cara yang dikehendaki oleh Allah semoga belum dewasa kita dapat terjaga dari siksa neraka. Cara menjaga diri dari apa neraka adalah dengan jalan taat mengerjakan perintah-perintah Allah.

Sehubungan dengan itu maka teladan pengasuhan anak yang tertuang dalam Islam itu dimulai dari:[6]
1. Pembinaan langsung calon suami-istri, melalui penghormatannya terhadap kedua orang tuanya
2. Memilih dan memilih pasangan hidup yang sederajat (kafa’ah).[7]
3. Melaksanakan pernikahan sebagaimana diajarkan oleh anutan Islam
4. Berwudlu dan berdo’a pada ketika akan melakukan korelasi sebadan antara suami dan istri
5. Menjaga, memelihara dan mendidik bayi (janin) yang ada dalam kandungan ibunya.
6. Membacakan dan memperdengarkan adzan di indera pendengaran kanan, dan iqamat ditelinga kiri bayi
7. Mentahnik anak yang baru dilahirkan. Tahnik artinya menaruh bab dari kurma dan menggosok rongga mulut anak yang gres dilahirkan dengannya, ialah dengan cara meletakkan sebagian dari kurma yang telah dipapah hingga lumat pada jari-jari lalu memasukkannya ke ekspresi anak yang baru dilahirkan itu. Selanjutnya digerak-gerakkan ke arah kiri dan kanan secara lembut. Adapun pesan tersirat dilakukannya tahnik antara lain; pertama, untuk memperkuat otot-otot rongga verbal dengan gerakan-gerakan lidah dan langit-langit serta kedua rahangnya semoga siap menyusui dan menghisap ASI dengan kuat dan alamiah, kedua, mengikuti sunnah Rasul. [8]
8. Menyusui anak dengan air susu ibu dari usia 0 bulan hingga usia 24 bulan
9. Pemberian nama yang bagus.
Oleh alasannya itu pada setiap muslim, derma jaminan bahwa setiap anak dalam keluarga akan mendapatkan asuhan yang baik, adil, merata dan bijaksana, ialah suatu kewajiban bagi kedua orang renta. Lantaran kalau asuhan terhadap belum dewasa tersebut sekali saja kita abaikan, maka niscaya mereka akan menjadi rusak. Minimal tidak akan tumbuh dan berkembang secara sempurna.[9] 

1. Pengertian Pola Asuh
Pola ajar merupakan perilaku orang renta dalam berafiliasi dengan anaknya, sikap ini mampu dilihat dari aneka macam segi, antara lain dari cara orang renta memperlihatkan peraturan terhadap anak, cara menawarkan hadiah dan hukuman, cara orang bau tanah memberikan otoritas dan cara orang renta memberikan perhatian atau tanggapan kepada harapan anak. Dengan demikian yang disebut dengan contoh ajar orang bau tanah ialah bagaimana cara mendidik orang tua terhadap anak, baik secara langsung maupun tidak eksklusif.[1]

Sedangkan cara mendidik secara pribadi artinya bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berhubungan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang dijalankan dengan sengaja baik berupa perintah, larangan, eksekusi, penciptaan situasi maupun pinjaman kado sebagai alat pendidikan. Dalam situasi mirip ini yang dibutuhkan timbul dari anak yakni efek-instruksional yaitu respon-respon anak kepada acara pendidikan itu.

Pendidikan secara tidak langsung yaitu berupa contoh kehidupan sehari-hari baik tutur kata hingga kepada akhlak kebiasaan dan acuan hidup, hubungan antara orang renta dengan keluarga, masyarakat, kekerabatan suami istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi di mana anak selalu bercermin kepada kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.[2]

2. Macam-macam Pola Asuh
Untuk mewujudkan kepribadian anak, menjadi insan remaja yang mempunyai sikap faktual kepada agama, sehingga perkembangan keagamaannya baik, kepribadian kuat dan mandiri, berperilaku ihsan, peluangjasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal, maka ada aneka macam cara dalam teladan ajar yang dilakukan oleh orang renta menurut Hurluck sebagaimana dikutip Chabib Thoha, yakni:[3]

a. Pola Asuh Otoriter
Pola bimbing ototriter yaitu acuan bimbing yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan hukum-aturan ketat, kadang kala memaksa anak untuk bertingkah mirip dirinya (orang bau tanah), keleluasaan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-kisah, bertukar fikiran dengan orang renta, orang renta malah menilai bahwa semua sikapnya yang dilaksanakan itu dianggap sudah benar sehingga tidak butuhanak dimintai usulanatas semua keputusan yang menyangkut masalah anak-anaknya. Pola didik yang bersifat diktatorial ini juga ditandai dengan eksekusi-hukuman tersebut sifatnya hukuman tubuh dan anak juga dikelola yang menghalangi perilakunya. Perbedaan seperti sungguh ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai anak tersebut menginjak sampaumur.

Kewajiban orang tua yaitu membantu anak dalam menyanggupi kebutuhan hidup anak-anaknya, akan tetapi dihentikan berlebih-lebihan dalam membantu sehingga anak tidak kehilangan kesanggupan untuk bangkit sendiri di periode yang akan tiba.[4] Orang bau tanah yang suka mencampuri urusan anak hingga persoalan-masalah kecil contohnya jam istirahat atau jam tidur, macam atau jenis bahkan jurusan sekolah yang mesti dimasuki, dengan demikian hingga menginjak remaja kemungkinan besar nanti mempunyai sifat-sifat yang bimbang dan lemah kepribadian serta tidak bisa mengambil keputusan wacana apa pun yang dihadapi dalam kehidupannya, sehingga akan menggantungkan orang lain.

b. Pola Asuh Demokratis
Demokrasi merupakan proses dan prosedur sosial yang dinilai akan lebih menghadirkan kebaikan bareng bagi orang banyak.[5] Sedangkan jika dikaitkan dengan istilah pemimpin, maka pemimpin demokratis adalah pemimpin yang memperlihatkan penghargaan dan kritik secara objek dan aktual. Dengan langkah-langkah-tindakan demikian, pemimpin demokratis itu berpartisipasi ikut serta dengan kegiatan-kegiatan kalangan. Ia bertindak sebagai seorang kawan yang lebih terlatih dan turut serta dalam interaksi golongan dengan peranan sebagai kawan.[6] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan selaku pemikiran atau pandangan hidup yang memprioritaskan persamaan hak dan keharusan serta perlakuan yang serupa bagi semua warga negara.[7] Dengan demikian contoh bimbing demokratis paling tidak merefleksikan teladan didik yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi, antara lain keleluasaan, tujuannya menawarkan kebebasan terhadap anak dalam hal yang bersifat nyata.

Sementara itu bentuk contoh latih demokratik menurut teori convergence yaitu bahwa kemajuan insan itu bergantung pada faktor dari dalam dan luar, maksudnya bahwa pendidikan dalam hal ini mengasuh itu bersifat maha kuasa dan mengasuh juga tidak mampu bersifat tidak berkuasa.[8] Oleh karena itu mengasuh anak harus seimbang, yaitu dilarang membiarkan dan memberi kebebasan sebebas-bebasnya dan juga jangan terlalu menguasai anak, namun mengasuh harus bersikap membimbing ke arah kemajuan anak.

Oleh alasannya adalah itu yang dimaksud dengan teladan ajar demokratis ialah contoh bimbing orang tua yang ditandai dengan adanya pengukuhan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi peluang untuk tidak senantiasa tergantung kepada orang tua. Orang renta sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan khususnya yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk membuatkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab terhadap diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengendalikan hidupnya.[9]

Oleh alasannya adalah itu dalam keluarga orang tua dalam hal ini pengasuh mesti mewujudkan peranan atau tanggung jawab dalam mendidik sekaligus mengasuh anak ajar/anak asuhnya.Pola didik demokratis ini merupaka kajian penulis dalam rangka mencari relasi antara teladan ajar demokratis dengan perkembangan keberagamaan anak. 

Adapun indikator-indikator pola ajar demokratis diantaranya ialah sebagai berikut:

1) Kedisiplinan
Dalam kehidupan sehari-hari, “disiplin” sering dikaitkan dengan “hukuman”, dalam arti displin dibutuhkan untuk menghindari terjadinya eksekusi karena adanya pelanggaran terhadap suatu peraturan tertentu. Dalam pengertian yang lebih luas, disiplin mengandung arti sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, dan mentaati segala peraturan dan ketentuan yang berlaku.[10]

Disiplin adalah sebuah keadaan yang tercipta dan terbentuk lewat proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban.[11] Disiplin akan menciptakan seseorang tahu dan dapat membedakan hal-hal apa yang semestinya dilaksanakan, yang wajib dikerjakan, yang boleh dikerjakan, yang tak selayaknya dilaksanakan (alasannya adalah merupakan hal-hal yang tidak boleh).

Kata disiplin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan latihan batin dan budbahasa dengan maksud semoga segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib (di sekolah atau kemiliteran), dan dapat pula berarti ketaatan pada hukum dan tata tertib.[12] Dalam praktik sehari-hari dispilin biasanya ditemui pada anggota militer, para siswa sekolah, para karyawan Instansi Pemerintah dan Swasta dan lain sebagainya. Hati merasa senang dan bangga menyaksikan segala sesuatu yang dijalankan secara disiplin dan tertib. Keinginan untuk menegakkan disiplin yaitu sejalan dengan fitrah insan.[13]

Sedangkan pemahaman disipilin menurut J.B. Syke dalam buku “The Concise Oxford Dictionary of Current English”, mendefinisikan sebagai berikut: “Branch of instruction or learning, mental and watak training adversity as effecting this system of rules for conduct, behaviour according to astablished”.[14] “Bagian dari pengajaran atau pembelajaran, latihan mental dan moral sebagai balasan tata cara pranata untuk mengarahkan perilaku sesuai dengan yang ditetapkan”.

Dari pengertian di atas mampu disimpulkan bahwa disiplin yakni upaya mengarahkan dan menertibkan diri, yang berarti suatu usaha untuk mengarahkan dan mengatur diri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang cocok dengan norma-norma atau hukum-hukum yang ada.

Disiplin sungguh perlu ditanamkan pada anak, alasannya adalah disiplin adalah pendidikan untuk mengajarkan pengendalian diri, dengan peraturan, teladan dan acuan yang baik. Dalam proses penanaman kedisiplinan orang bau tanah juga mesti membina kekerabatan baik dengan belum dewasa, agar kedisiplinan yang diajarkan oleh orang renta betul-betul diterima dan dilakukan oleh anak. Mengingat anak itu butuh dihargai, diakui keberadaannya dan sebagainya.

Untuk menyebabkan kedisiplinan itu efektif, harus menyanggupi tiga tolok ukur, ialah:
a. Menghasilkan atau menyebabkan suatu impian perubahan atau pertumbuhan pada anak
b. Memelihara harga diri anak
c. Memelihara kekerabatan yang rapat (erat) antara orang tua dengan anak.[15]

Dalam proses penanaman kedisiplinan ini orang renta juga mesti bersikap dan bertindak dengan tegas dengan maksud biar pedoman yang diberikan dapat diterima dan difahami oleh anak, sehingga tujuan disiplin tercapai. Adapun tujuan disiplin menurut Ellen G. White yang dikutip oleh Ny. Kholilah Marhijanto menyampaikan bahwa tujuan disiplin yaitu mendidik anak untuk mengatur sendiri.[16] Dalam hal ini anak harus diajar percaya pada diri sendiri, mengatur diri dan tidak tergantung pada orang lain.

Di samping itu, disiplin juga bermaksud untuk menolong anak memperoleh keseimbangan antar kebutuhan untuk mampu berdiri diatas kaki sendiri dan penghargaan kepada hak-hak orang lain.[17] Dengan ditanamkannya disiplin mungkin, diperlukan memperbesar kematangan dalam bertindak dan berperilaku laku, sehingga tidak akan terjadi kesemrawutan yang diakibatkan oleh adanya perebutan hak dan kekuasaan. Hal ini penting yang juga harus diingat dalam menerapkan kedisiplinan adalah adanya ketegasan dan ketetapan. Artinya kedisiplinan itu diberlakukan secara kontinu, bukannya hari ini disiplin besok sudah lain lagi.

Tujuan jangka panjang dari disiplin yaitu kemajuan dari pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri, (self-controle and self-direction), yakni dalam hal mana anak-anak dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh atau pengendalian dari luar. Pengendalian diri bermakna menguasai tingkah laris diri sendiri dengan berpedoman norma-norma yang terang, standar-standar dan aturan-aturan yang sudah menjadi milik diri sendiri. Oleh alasannya itu orang tua haruslah secara kontinu atau terus menerus berupaya untuk semakin memainkan peranan yang kian kecil dari pekerjaan pendisiplinan itu, dengan secara bertahap mengembangkan pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri itu pada anak.[18]

Sedangkan cara terbaik untuk membantu anak berguru disiplin diri yakni dengan membiarkan dia bertanggungjawab di setiap bidang dalam hidupnya, bahkan ketika beliau menentukan untuk tidak melakukannya.[19] Kaprikornus, disiplin yang kita tuntut dari bawah umur dilarang cuma dilihat selaku sarana pemaksaan yang diperlukan, kalau telah tidak ada jalan lain untuk menangkal perbuatan yang salah. Disiplin pada dirinya sendiri ialah faktor pendidikan sui generis.[20]

Adapun peran kedisiplinan sedini mungkin penting, mengingat tanpa kedisiplinan tujuan pendidikan atau tujuan dari segala kegiatan yang dijalankan oleh orang tua sulit terwujud. Dalam hal ini selaku orang tua harus menanamkan sikap disiplin sedini mungkin terhadap anaknya.

2) Kebersamaan
Kebersamaan di sini tujuannya ialah kerjasama. Kerjasama merupakan keperluan yang sungguh penting artinya bagi kelancaran hidup. Tanpa koordinasi tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau penduduk . Tanpa kerjasama dan tanpa rasa kebersamaan keseimbangan hidup akan terancam punah.
Dengan mempunyai keterampilan berafiliasi kita akan mudah mengungkapkan apa yang kita kehendaki tanpa menyinggung orang lain.

3) Kegotong-royongan
Islam mengajarkan kita untuk hidup dalam kegotong-royongan. Apabila sejak dini anak sudah ditanamkan perilaku yang demikian itu, maka kelak akan berpengalaman dan bersikap hidup dalam penuh kegotong-royongan.
Beban yang berat bisa terasa ringan jikalau dilakukan dengan gotong-royong, dan pada akhirnya kita tidak merasa berat dalam menjalani hidup ini. Demikianlah yang menjadi salah satu peran orang renta, biar menanamkan sikap ini sebaik mungkin kepada anak.

c. Pola Asuh Laisses Fire
Pola bimbing ini adalah pola ajar dengan cara orang bau tanah mendidik anak secara bebas, anak dianggap orang remaja atau muda, dia diberi keleluasaan seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki.[21] Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak menawarkan tutorial pada anaknya. Semua apa yang dilaksanakan oleh anak yakni benar dan tidak perlu menerima teguran. Arahan atau panduan.[22]
Hal itu ternyata dapat dipraktekkan kepada orang akil balig cukup akal yang sudah matang pemikirannya sehingga cara mendidik seperti itu tidak cocok dengan bila diberikan terhadap anak-anak. Apalagi jikalau dipraktekkan untuk pendidikan agama banyak hal yang harus disampaikan secara bijaksana. Oleh sebab itu dalam keluarga orang bau tanah dalam hal ini pengasuh mesti merealisasikan peranan atau tanggung jawab dalam mendidik sekaligus mengasuh anak didik/anak asuhnya.

3. Jenis-jenis Metode Pengasuhan Anak
Adapun kerangka metodologis pengasuhan pasca kelahiran anak sebagaimana tertuang dalam fatwa Islam adalah sebagai berikut:

a. Pola asuh anak dengan keteladanan orang renta
Dalam psikologi kemajuan anak diungkapkan bahwa tata cara teladan akan efektif untuk dipraktikkan dalam pengasuhan anak. Oleh alasannya itu pada ketika tertentu orang tua mesti menerapkan metode ini yang memberi acuan yang baik. Cara ini akan gampang diserap dan direkam oleh jiwa anak dan pasti akan dicontohnya kelak di lalu hari.

b. Pola latih anak dengan adaptasi
Sebagaimana kita pahami bahwa anak lahir memiliki potensi dasar (fitrah). Potensi dasar itu tentunya mesti dikelola. Selanjutnya, fitrah tersebut akan berkembang baik di dalam lingkungan keluarga, manakala dilakukan usaha terencana dan terarah. Oleh alasannya itu pengasuhan anak melalui sistem acuan harus diikuti dengan metode adaptasi. Sebab, dengan hanya memberi acuan yang baik saja tanpa disertai oleh pembiasaan bejumlah cukup untuk menunjang kesuksesan upaya mengasuh anak. Keteladanan orang tua, dan dengan hanya menggandakan oleh anak, tanpa latihan, pembiasaan dan koreksi, lazimnya tidak mencapai sasaran tetap, tepat dan benar.

Orang renta, karena beliau dipandang sebagai contoh, maka beliau mesti senantiasa membiasakan berkata benar dalam setiap perkataannya baik terhadap anggota keluarganya atau siapapun dari anggota masyarakat yang lain. Dengan demikian Menurut Khairiyah sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, orang tua mesti menjadi citra hidup yang merefleksikan hakikat perilaku yang diserukannya dan membiasakan anaknya supaya berpegang teguh pada adab-budpekerti mulia.[23]

FOOTNOTE
-----------------------
[1] Chabib Thoha, Kapita Seleksi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 110.
[2] Ibid.
[3]Ibid., hlm. 110.
[4] Chabib Thoha, op. cit., hlm. 111.
[5] Sa’id Aqiel Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 166.
[6] Geurngan W.A., Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Eresco, 1996), hlm. 132-133.
[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 31.
[8] Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), hlm. 2.
[9] Chabib Thoha, op.cit., hlm. 111.
[10] Mohamd Surya, Bina Keluarga, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 131.
[11] D. Soemarno, Pedoman Pelaksanaan Disiplin Nasional dan Teta Tertib Sekolah 1998, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi, 1998), hlm. 20.
[12] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), cet. 12, hal. 254.
[13] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawy), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 248.
[14] JB. Syke, The Consise Oxford Dictionary of Current, (Oxford: Oxford University Press, tt.), hlm. 293.
[15] Charles Schaefar, Bagaimana Mendidik Anak Dan Mendisplinkan Anak, (Medan: IKIP Medan, 1979), hlm. 10.
[16] Khalilah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, (Gresik: Bintang Pelajar, tt.), hlm. 144.
[17] Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-dasar Pelaksanaannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), hlm. 205.
[18] Charles Schaefar, op. cit., hlm. 9.
[19] Karin Ireland, 150 Ways to Help Your Child Succeed (terj.) Grace Styadi, 150 Cara Untuk Membantu Anak Meraih Sukses, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 164.
[20]Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 31.
[21] Mansur, Pendidikan Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 356.
[22] Secara etimologi (asal kata) kata panduan merupakan terjemahan dari kata guidence yang berasal dari kata to guide yang mempunyai arti menawarkan, membimbing dan menuntun atau menolong. Lihat dalam A. Hallen, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 3. Secara perumpamaan pengertian bimbingan ialah sebagaimana pertimbangan Mohammad Surya yaitu, suatu proses sumbangan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing terhadap yang dibimbing supaya tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam meraih tingkat pertumbuhan yang maksimal dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Mohammad Surya, Dasar-dasar Konseling Pendidikan: Konsep dan Teori, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1988), hlm. 12. Sedangkan menurut Charles dalam bukunya “Essential of Educational Psychology”, menyampaikan: “The guidance ponit of view in eduction today is characterized by its aim to assist each individual to make choices and decisions that are congruent with his abilities, interest and opportunities and consistent with accepted social values”. “Bimbingan adalah proses sumbangan yang dikerjakan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang, baik anak-anak, remaja maupun sampaumur, semoga orang yang dibimbing mampu menyebarkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan mempergunakan kekuatan kekuatan individu dan sarana yang ada dan mampu dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku”. Lihat Charles E. Skinner, Essentials of Educational Psychology, (Tokyo: Maruzen Company LTD., tt, ), hlm. 469.
[23] A. Tafsir, dkk., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), hlm. 152.

Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com


EmoticonEmoticon