BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang persoalan
Pendidikan adalah sebuah perjuangan atau acara yang dijalankan dengan sengaja, terstruktur dan berniat dengan maksud mengganti atau menyebarkan sikap yang diharapkan. Sekolah sebagai forum formal merupakan sarana dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Melalui sekolah, siswa mencar ilmu berbagai macam hal.
Dalam pendidikan formal, mencar ilmu memberikan adanya pergeseran yang sifatnya faktual sehingga pada tahap selesai akan didapat keterampilan, kecakapan dan wawasan baru. Hasil dari proses berguru tersebut tercermin dalam prestasi belajarnya. Namun dalam upaya menjangkau prestasi belajar yang membuat puas dibutuhkan proses berguru.
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting, sebab lewat mencar ilmu individu mengenal lingkungannya dan beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya. Menurut Irwanto (1997 :105) mencar ilmu ialah proses pergeseran dari belum mampu menjadi bisa dan terjadi dalam rentang waktu tertentu. Dengan belajar, siswa mampu merealisasikan cita-cita yang diperlukan.
Belajar akan menciptakan perubahan-pergeseran dalam diri seseorang. Untuk mengenali hingga seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian. Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti sebuah pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian kepada hasil belajar seorang siswa untuk mengenali sejauh mana telah meraih target berguru inilah yang disebut sebagai prestasi berguru.
Prestasi belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996 :178) yaitu:
“ Hasil yang diraih seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi berguru seorang siswa dapat mengetahui kemajuan-perkembangan yang telah dicapainya dalam berguru.”
Proses berguru di sekolah adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang beropini bahwa untuk menjangkau prestasi yang tinggi dalam mencar ilmu, seseorang mesti mempunyai Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, alasannya adalah inteligensi merupakan bekal berpeluang yang hendak membuat lebih mudah dalam belajar dan pada gilirannya akan menciptakan prestasi mencar ilmu yang maksimal. Menurut Binet dalam buku Winkel (1997:529) hakikat inteligensi ialah kemampuan untuk memutuskan dan menjaga sebuah tujuan, untuk mengadakan adaptasi dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menganggap keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses berguru mengajar di sekolah sering didapatkan siswa yang tidak dapat meraih prestasi mencar ilmu yang setara dengan kesanggupan inteligensinya. Ada siswa yang memiliki kemampuan inteligensi tinggi tetapi menemukan prestasi belajar yang relatif rendah, tetapi ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi mencar ilmu yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, sebab ada faktor lain yang menghipnotis. Menurut Goleman (2000 : 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi keberhasilan, sedangkan 80% yaitu derma aspek kekuatan-kekuatan lain, diantaranya yakni kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) adalah kesanggupan memotivasi diri sendiri, mengatasi putus asa, mengendalikan desakan hati, mengatur situasi hati (mood), berempati serta kesanggupan melakukan pekerjaan sama.
Dalam proses berguru siswa, kedua inteligensi itu sungguh dibutuhkan. IQ tidak mampu berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Namun lazimnya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan berguru siswa di sekolah (Goleman, 2002). Pendidikan di sekolah bukan hanya perlu membuatkan rational intelligence yaitu versi pemahaman yang umumnyadimengerti siswa saja, melainkan juga perlu menyebarkan emotional intelligence siswa .
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont tentang analisis struktur neurologis otak insan dan observasi perilaku oleh LeDoux (1970) memperlihatkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ senantiasa mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat memilih keberhasilan individu dalam prestasi belajar membangun keberhasilan karir, membuatkan korelasi suami-istri yang harmonis dan dapat menghemat agresivitas, utamanya dalam kelompok sampaumur. (Goleman, 2002 : 17).
PEMBAHASAN
A. Prestasi Belajar
1. Pengertian Belajar
Prestasi belajar tidak mampu dipisahkan dari berbuatan mencar ilmu, sebab berguru ialah sebuah proses, sedangkan prestasi mencar ilmu yaitu hasil dari proses pembelajaran tersebut. Bagi seorang siswa mencar ilmu merupakan suatu kewajiban. Berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami oleh siswa tersebut.
Menurtut Logan, dkk (1976) dalam Sia Tjundjing (2001:70) belajar dapat diartikan selaku perubahan tingkah laris yang relatif menetap selaku hasil pengalaman dan latihan . Senada dengan hal tersebut, Winkel (1997:193) beropini bahwa berguru pada manusia dapat dirumuskan selaku sebuah aktivitas mental atau psikis yang berjalan dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menciptakan pergeseran-pergeseran dalam wawasan dan nilai perilaku. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.
Belajar tidak hanya mampu dilaksanakan di sekolah saja, tetapi mampu dilakukan dimana-mana, seperti di rumah ataupun dilingkungan masyarakat. Irwanto (1997:105) berpendapat bahwa mencar ilmu ialah proses pergeseran dari belum mampu menjadi telah mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Mudzakir (1997:34) mencar ilmu ialah sebuah usaha atau acara yang bermaksud mengadakan pergantian di dalam diri seseorang, meliputi pergantian tingkah laris, sikap, kebiasaan, ilmu wawasan, kemampuan dan sebagainya.
Di dalam mencar ilmu, siswa mengalami sendiri proses dari tidak tahu menjadi tahu, alasannya itu berdasarkan Cronbach (Sumadi Suryabrata,1998:231) : “Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan dalam mengalami itu pelajar memanfaatkan pancainderanya. Pancaindera tidak terbatas hanya indera pengelihatan saja, tetapi juga berlaku bagi indera lainnya.”
Belajar dapat dibilang sukses bila terjadi perubahan dalam diri siswa, tetapi tidak semua pergantian sikap mampu dibilang mencar ilmu karena perubahan tingkah laku akhir mencar ilmu memiliki ciri-ciri perwujudan yang khas (Muhibbidin Syah, 2000:116) antara lain :
a. Perubahan Intensional
Perubahan dalam proses berlajar yaitu sebab pengalaman atau praktek yang dilakukan secara sengaja dan disadari. Pada ciri ini siswa menyadari bahwa ada perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan dan keterampilan.
b. Perubahan Positif dan aktif
Positif mempunyai arti pergantian tersebut baik dan berguna bagi kehidupan serta sesuai dengan cita-cita karena menemukan sesuatu yang baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan aktif artinya pergeseran tersebut terjadi sebab adanya usaha dari siswa yang bersangkutan.
c. Perubahan efektif dan fungsional
Perubahan dibilang efektif jika menjinjing imbas dan manfaat tertentu bagi siswa. Sedangkan perubahan yang fungsional artinya pergeseran dalam diri siswa tersebut relatif menetap dan bila diharapkan pergantian tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan lagi.
Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar ialah sebuah proses usaha yang dijalankan siswa untuk memperoleh sebuah pergantian tingkah laris yang baru secara keseluruhan, secara sengaja, disadari dan pergeseran tersebut relatif menetap serta menjinjing efek dan faedah yang faktual bagi siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
2. Pengertian prestasi berguru
Untuk menerima suatu prestasi tidaklah semudah yang dibayangkan, alasannya adalah membutuhkan usaha dan pengorbanan dengan aneka macam tantangan yang harus dihadapi. Penilaian terhadap hasil berguru siswa untuk mengenali sejauhmana dia telah mencapai sasaran berguru inilah yang disebut selaku prestasi mencar ilmu. Seperti yang dibilang oleh Winkel (1997:168) bahwa proses belajar yang dialami oleh siswa menciptakan pergantian-pergantian dalam bidang pengetahuan dan pemahaman, dalam bidang nilai, perilaku dan keterampilan. Adanya perubahan tersebut terlihat dalam prestasi mencar ilmu yang dihasilkan oleh siswa terhadap pertanyaan, dilema atau tugas yang diberikan oleh guru. Melalui prestasi mencar ilmu siswa mampu mengenali perkembangan-pertumbuhan yang telah dicapainya dalam belajar.
Sedangkan Marsun dan Martaniah dalam Sia Tjundjing (2000:71) berpendapat bahwa prestasi belajar ialah hasil acara belajar, ialah sejauh mana peserta ajar menguasai materi pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya perasaan puas bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini memiliki arti prestasi belajar hanya mampu diketahui jika sudah dilaksanakan penilaian kepada hasil mencar ilmu siswa.
Menurut Poerwodarminto (Mila Ratnawati, 1996 : 206) yang dimaksud dengan prestasi yaitu hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dijalankan oleh seseorang. Sedangkan prestasi mencar ilmu itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang diraih oleh seorang siswa pada rentang waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah. Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi berguru merupakan hasil perjuangan berguru yang dicapai seorang siswa berupa sebuah kecakapan dari aktivitas mencar ilmu bidang akademik di sekolah pada rentang waktu tertentu yang dicatat pada setiap akhir semester di dalam buki laporan yang disebut rapor.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi berguru.
Untuk meraih prestasi mencar ilmu yang baik, berbagai faktor yang perlu diamati, karena di dalam dunia pendidikan tak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang ada siswa yang mempunyai dorongan yang berpengaruh untuk berprestasi dan potensi untuk memajukan prestasi, namun dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya.
Untuk meraih prestasi belajar yang baik berbagai faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Menurut Sumadi Suryabrata (1998 : 233) dan Shertzer dan Stone (Winkle, 1997 : 591), secara garis besar faktor-faktor yang menghipnotis belajar dan prestasi belajar mampu digolongkan menjadi dua bab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.:
a. Faktor internal
Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang mampu mensugesti prestasi mencar ilmu. Faktor ini mampu dibedakan menjadi dua kelompok, yakni :
1). Faktor fisiologis
Dalam hal ini, aspek fisiologis yang dimaksud adalah aspek yang berhubungan dengan kesehatan dan pancaindera
a) Kesehatan badan
Untuk dapat menempuh studi yang baik siswa perlu memperhatikan dan memelihara kesehatan tubuhnya. Keadaan fisik yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa dalam menyelesaikan program studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan fisiknya, siswa perlu memperhatikan pola makan dan acuan tidur, untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan juga dapat meningkatkan ketangkasan fisik diharapkan olahraga yang teratur.
b) Pancaindera
Berfungsinya pancaindera ialah syarat dapatnya mencar ilmu itu berjalan dengan baik. Dalam sistem pendidikan sampaumur ini di antara pancaindera itu yang paling memegang peranan dalam berguru yakni mata dan indera pendengaran. Hal ini penting, sebab sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh insan dipelajari lewat penglihatan dan indera pendengaran. Dengan demikian, seorang anak yang memiliki cacat fisik atau bahkan cacat mental akan menghambat dirinya didalam menangkap pelajaran, sehingga pada akibatnya akan menghipnotis prestasi belajarnya di sekolah.
2) Faktor psikologis
Ada banyak faktor psikologis yang mampu mempengaruhi prestasi berguru siswa, antara lain ialah :
a) Intelligensi
Pada lazimnya , prestasi mencar ilmu yang ditampilkan siswa mempunyai kaitan yang bersahabat dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Menurut Binet (Winkle,1997 :529) hakikat inteligensi yakni kemampuan untuk menetapkan dan menjaga suatu tujuan, untuk menyelenggarakan suatu adaptasi dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. Taraf inteligensi ini sangat menghipnotis prestasi mencar ilmu seorang siswa, di mana siswa yang mempunyai taraf inteligensi tinggi mempunyai kesempatan lebih besar untuk mencapai prestasi berguru yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang mempunyai taraf inteligensi yang rendah diperkirakan juga akan memiliki prestasi berguru yang rendah. Namun bukanlah suatu yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya .
b) Sikap
Sikap yang pasif, rendah diri dan kurang percaya diri dapat merupakan faktor yang menghambat siswa dalam menampilkan prestasi belajarnya. Menurut Sarlito Wirawan (1997:233) sikap ialah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu kepada hal-hal tertentu. Sikap siswa yang kasatmata kepada mata pelajaran di sekolah ialah langkah awal yang bagus dalam proses berguru mengajar di sekolah.
c) Motivasi
Menurut Irwanto (1997 : 193) motivasi yaitu pencetus sikap. Motivasi belajar yaitu pendorong seseorang untuk berguru. Motivasi timbul alasannya adanya cita-cita atau kebutuhan-kebutuhan dalam diri seseorang. Seseorang berhasil dalam belajar alasannya adalah dia ingin berguru. Sedangkan berdasarkan Winkle (1991 : 39) motivasi belajar yaitu keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menyebabkan kegiatan mencar ilmu, yang menjamin kelancaran dari acara mencar ilmu dan yang menunjukkan arah pada aktivitas belajar itu; maka tujuan yang diharapkan oleh siswa tercapai. Motivasi mencar ilmu ialah faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas yaitu dalam hal gairah atau semangat mencar ilmu, siswa yang termotivasi besar lengan berkuasa akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan mencar ilmu.
b. Faktor eksternal
Selain aspek-faktor yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang mampu mensugesti prestasi mencar ilmu yang akan dicapai, antara lain yakni :
1). Faktor lingkungan keluarga
a) Sosial ekonomi keluarga
Dengan sosial ekonomi yang mencukupi, seseorang lebih berkesempatan mendapatkan kemudahan belajar yang lebih baik, mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah
b). Pendidikan orang renta
Orang renta yang sudah menempuh jenjang pendidikan tinggi condong lebih memperhatikan dan mengetahui pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.
c). Perhatian orang tua dan situasi kekerabatan antara anggota keluarga
Dukungan dari keluarga merupakan sebuah pemacu semangat berpretasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini bisa secara pribadi, berupa pujian atau nasihat; maupun secara tidak langsung, seperti hubugan keluarga yang serasi.
2). Faktor lingkungan sekolah
a). Sarana dan prasarana
Kelengkapan kemudahan sekolah, seperti papan tulis, OHP akan menolong kelancaran proses belajar mengajar di sekolah; selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah juga dapat mensugesti proses mencar ilmu mengajar
b). Kompetensi guru dan siswa
Kualitas guru dan siswa sangat penting dalam meraih prestasi, kelengkapan fasilitas dan prasarana tanpa disertai kinerja yang bagus dari para penggunanya akan tidak berguna belaka. Bila seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di sekolah tercukupi, contohnya dengan tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik yang bermutu , yang mampu memenihi rasa ingintahuannya, relasi dengan guru dan sobat-temannya berlangsung harmonis, maka siswa akan mendapatkan iklim mencar ilmu yang menyenangkan. Dengan demikian, beliau akan terdorong untuk terus-menerus mengembangkan prestasi belajarnya.
c). Kurikulum dan sistem mengajar
Hal ini meliputi materi dan bagaimana cara memberikan materi tersebut terhadap siswa. Metrode pembelajaran yang lebih interaktif sangat diharapkan untuk menumbuhkan minat dan tugas serta siswa dalam acara pembelajaran. Sarlito Wirawan (1994:122) menyampaikan bahwa aspek yang paling penting adalah aspek guru. Jika guru mengajar dengan terpelajar bijaksana, tegas, memiliki disiplin tinggi, luwes dan bisa menciptakan siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi mencar ilmu siswa akan condong tinggi, palingtidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikuti pelajaran.
3). Faktor lingkungan masyarakat
a). Sosial budaya
Pandangan penduduk perihal pentingnya pendidikan akan menghipnotis keseriusan pendidik dan akseptor asuh. Masyarakat yang masih menatap rendah pendidikan akan enggan mengantarkan anaknya ke sekolah dan condong menatap rendah pekerjaan guru/pengajar
b). Partisipasi terhadap pendidikan
Bila semua pihak sudah ikut serta dan mendukung acara pendidikan, mulai dari pemerintah (berupa kebijakan dan anggaran) sampai pada masyarakat bawah, setiap orang akan lebih menghargai dan berupaya memajukan pendidikan dan ilmu wawasan.
4. Pengukuran prestasi belajar
Dalam dunia pendidikan, menilai merupakan salah satu aktivitas yang tidak dapat ditinggalkan. Menilai ialah salah satu proses belajar dan mengajar. Di Indonesia, aktivitas menganggap prestasi berguru bidang akademik di sekolah-sekolah dicatat dalam sebuah buku laporan yang disebut rapor. Dalam rapor mampu diketahui sejauhmana prestasi berguru seorang siswa, apakah siswa tersebut berhasil atau gagal dalam suatu mata pelajaran. Didukung oleh pertimbangan Sumadi Suryabrata (1998 : 296) bahwa rapor ialah perumusan terakhir yang diberikan oleh guru mengenai pertumbuhan atau hasil mencar ilmu murid-muridnya selama kala tertentu.
Syaifuddin Azwar (1998 :11) menyebutkan bahwa ada beberapa fungsi evaluasi dalam pendidikan, ialah :
a. Penilaian berfungsi selektif (fungsi sumatif)
Fungsi evaluasi ini merupakan pengukuran tamat dalam sebuah acara dan jadinya digunakan untuk menentukan apakah siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak dalam program pendidikan tersebut. Dengan kata lain penilaian berfungsi untuk membantu guru mengadakan seleksi kepada beberapa siswa, contohnya :
1). Memilih siswa yang hendak diterima di sekolah
2) Memilih siswa untuk mampu naik kelas
3). Memilih siswa yang semestinya mampu beasiswa
b. Penilaian berfungsi diagnostik
Fungsi penilaian ini selain untuk mengenali hasil yang dicapai siswa juga mengetahui kelemahan siswa sehingga dengan adanya evaluasi, maka guru dapat mengenali kelemahan dan kelebihan masing-masing siswa. Jika guru dapat mendeteksi kekurangan siswa, maka kelemahan tersebut dapat secepatnya diperbaiki.
c. Penilaian berfungsi selaku penempatan (placement)
Setiap siswa mempunyai kemampuan berbeda satu sama lain. Penilaian dilaksanakan untuk mengetahui di mana seharusnya siswa tersebut ditempatkan sesuai dengan kemampuannya yang sudah diperlihatkannya pada prestasi belajar yang sudah dicapainya. Sebagai contoh penggunaan nilai rapor SMU kelas II memilih jurusan studi di kelas III.
d. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan (fungsi formatif)
Penilaian berfungsi untuk mengetahui sejauh mana suatu acara mampu diterapkan. Sebagai acuan adalah raport di setiap semester di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menegah mampu digunakan untuk mengetahui apakah program pendidikan yang telah diterapkan berhasil diterapkan atau tidak pada siswa tersebut.
Raport biasanya menggambil nilai dari angka 1 sampai dengan 10, terutama pada siswa Sekolah Dasar sampai SMU, tetaapi dalam kenyataan nilai paling rendah dalam rapor yakni 4 dan nilai tertinggi 9. Nilai-nilai di bawah 5 berarti tidak baik atau buruk, sedangkan nilai-nilai di atas 5 memiliki arti cukup baik, baik dan sangat baik.
Dalam observasi ini pengukuran prestasi berguru memakai penilaian selaku pengukur keberhasilan (fungsi formatif), adalah nilai-nilai raport pada simpulan era semester I.
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, adalah emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak ialah hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada sebuah perasaan dan asumsi yang khas, suatu kondisi biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi intinya ialah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi ialah reaksi kepada rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong pergantian suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi tampaktertawa, emosi murung mendorong seseorang bertingkah menangis.
Emosi berhubungan dengan perubahan fisiologis dan berbagai anggapan. Kaprikornus, emosi ialah salah satu faktor penting dalam kehidupan insan, karena emosi dapat merupakan motivator sikap dalam arti memajukan, tetapi juga dapat mengusik sikap intensional insan. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan ihwal macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (keinginan), hate (benci), Sorrow (murung/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, adalah : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan berbagai macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, adalah :
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, murung, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, frustasi
c. Rasa takut : cemas, nervous, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak damai, ngeri
d. Kenikmatan : senang, besar hati, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan, akidah, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, membenci
h. aib : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi berdasarkan Goleman intinya yaitu dorongan untuk bertindak. Kaprikornus berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk menawarkan tanggapanatau berperilaku laris terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat wacana kebajikan, huruf dan hidup yang benar, tantangannya yaitu menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan mempunyai budi; nafsu membimbing ajaran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu kadang-kadang terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah perihal emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang condong menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan menangani emosi mereka, adalah : sadar diri, tenggelam dalam urusan, dan pasrah. Dengan menyaksikan kondisi itu maka penting bagi setiap individu mempunyai kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih mempunyai arti dan tidak menimbulkan hidup yang di jalani menjadi tidak berguna.
Berdasarkan uraian tersebut, mampu ditarik kesimpulan bahwa emosi ialah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laris kepada stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
2. Pengertian kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk mengambarkan kualitas-mutu emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai :
“himpunan bab dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan mengawasi perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah seluruhnya dan menggunakan gosip ini untuk membimbing fikiran dan langkah-langkah.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berganti-ubah setiap dikala. Untuk itu peranan lingkungan khususnya orang renta pada era kanak-kanak sungguh menghipnotis dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah musuh keterampilan IQ atau kemampuan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia konkret. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah model aktivis lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kesanggupan eksklusif, emosi dan sosial yang menghipnotis kemampuan seseorang untuk berhasil dalam menanggulangi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000 : 50-53) menyampaikan bahwa bukan cuma satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk menjangkau berhasil dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama adalah linguistik, matematika/akal, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan langsung yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan eksklusif berisikan :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk mengetahui orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka melakukan pekerjaan , bagaimana melakukan pekerjaan pundak membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi yakni kesanggupan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut yakni kemampuan membentuk sebuah versi diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk memakai modal tadi selaku alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan merespon dengan sempurna situasi hati, temperamen, motivasi dan kehendak orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan “terusan menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kesanggupan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan selaku dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengurus emosi, memotivasi diri sendiri, mengetahui emosi orang lain (empati) dan kesanggupan untuk membina kekerabatan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional yakni kesanggupan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); mempertahankan keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui kemampuan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, tenggang rasa dan kemampuan sosial.
Dalam observasi ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengurus emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (tenggang rasa) dan kesanggupan untuk membina korelasi (kerjasama) dengan orang lain.
3. Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59) menempatkan menempatkan kecerdasan eksklusif Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kesanggupan utama, adalah :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri ialah suatu kemampuan untuk mengetahui perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para mahir psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, ialah kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri yaitu waspada kepada situasi hati maupun pikiran wacana suasana hati, bila kurang berhati-hati maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun ialah salah satu prasyarat penting untuk mengatur emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi ialah kemampuan individu dalam menanggulangi perasaan supaya dapat terungkap dengan sempurna atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga biar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akhir-akhir yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk berdiri dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti mempunyai kesabaran untuk menahan diri kepada kepuasan dan menertibkan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang kasatmata, ialah antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengetahui emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kesanggupan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, memberikan kemampuan empati seseorang. Individu yang mempunyai kesanggupan empati lebih bisa menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang diperlukan orang lain sehingga dia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka kepada perasaan orang lain dan lebih bisa untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan arahan non verbal lebih bisa menyesuiakan diri secara emosional, lebih terkenal, lebih gampang beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, hebat psikologi menjelaskan bahwa belum dewasa yang tidak bisa membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa putus asa (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang bisa membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin bisa terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut memiliki kesanggupan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan ialah sebuah keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan kesuksesan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam kesuksesan membina korelasi. Individu susah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan susah juga mengetahui keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam kemampuan membina relasi ini akan berhasil dalam bidang apapun. Orang sukses dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan tanpa kendala pada orang lain. Orang-orang ini terkenal dalam lingkungannya dan menjadi teman yang mengasyikkan alasannya adalah kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disenangi orang lain dapat dijadikan isyarat faktual bagaimana siswa mampu membina korelasi dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya korelasi interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponen-bagian utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional selaku faktor untuk menyebarkan instrumen kecerdasan emosional
C. Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi mencar ilmu pada siswa SMU
Di tengah makin ketatnya kompetisi di dunia pendidikan akil balig cukup akal ini, ialah hal yang masuk akal kalau para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi berguru atau bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha yang dilaksanakan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar biar menjadi yang terbaik seperti mengikuti tutorial berguru. Usaha semacam itu terperinci aktual, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam meraih keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut yakni kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memperlihatkan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, potensi ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu bisa mengenali dan menyikapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan kemampuan emosional yang berkembang baik bermakna kemungkinan besar dia akan sukses dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak mampu menahan kontrol atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertandingan batin yang menghancurkan kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan mempunyai pikiran yang jernih.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa kesuksesan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial : yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu teladan sikap yang dibutuhkan orang lain dan bagaimana mengatur dorongan hati untuk berbuat nakal; bisa menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari tunjangan; serta mengungkapkan keperluan-kebutuhan ketika bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya jelek, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih bagian-komponen kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesusahan kognitif seperti kertidakmampuan mencar ilmu). (Goleman, 2002:273).
Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford memperlihatkan anak yang saat berumur empat tahun mampu menangguhkan dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara akal, seta memiliki gairah berguru yang lebih tinggi. Mereka mempunyai skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak bisa menangguhkan dorongan hatinya (dalam Goleman, 2002 : 81).
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan segera, jarang tertular penyakit, lebih cekatan dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam bekerjasama dengan orang lain, lebih mahir dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 2001:xvii).
Keterampilan dasar emosional tidak mampu dimiliki secara tiba-tiba, namun memerlukan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal konkret akan diperoleh jika anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih pintar, penuh pemahaman, gampang mendapatkan perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat sampaumur akan lebih banyak berhasil disekolah dan dalam bekerjasama dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko mirip obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak kondusif (Gottman, 2001 : 250).
Dari uraian di atas mampu diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki keperluan untuk meraih prestasi mencar ilmu yang lebih baik di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad, Mudzakir. (1997). Psikologi Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia.
- Goleman, Daniel. (2000). Emitional Intelligence (terjemahan). Jakata : PT Gramedia Pustaka Utama.
- Goleman, Daniel. (2000). Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
- Gottman, John. (2001). Kiat-tips Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional (terjemahan). Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
- Irwanto. (1997). Psikologi Umum. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
- Mila Ratnawati. (1996). Hubungan antara Persepsi Anak terhadap Suasana Keluarga, Citra Diri, dan Motif Berprestasi dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas V SD Ta’Miriyah Surabaya. Jurnal Anima Vol XI No. 42.
- Moch, Nazir. (1988). Metodologi Penelitian.Cetakan 3. Jakarta :Ghalia Indonesia.
- Morgan, Clifford T, King, R.A Weizz, JR, Schopler. J, 1986. Introduction of Psychology, (7th ed), Singapore : Mc Graw Hil Book Company
- Muhibbin, Syah. (2000). Psikologi Pendidikan dengan Suatu Pendekatan baru. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
- Nana, Sudjana. (2001). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Cetakan ketujuh. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
- Ratna Wilis, D. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta : Penerbit Erlannga.
- Saphiro, Lawrence E. (1998). Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta : Gramedia.
- Sarlito Wirawan. (1997). Psikologi Remaja. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
- Sia, Tjundjing. (2001). Hubungan Antara IQ, EQ, dan QA dengan Prestasi Studi Pada Siswa SMU. Jurnal Anima Vol.17 no.1
- Sri, Lanawati. (1999). Hubungan Antara Emotional Intelligence dan Intelektual Quetion dengan Prestasi Belajar Siswa SMU.Tesis Master : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
- Sumadi, Suryabrata. (1998). Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada .
- Sumadi, Suryabrata. 1998. Metodologi Penelitian. Cetakan sebelas. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
- Saifuddin, Azwar. (1997). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Balajar Offset.
- Saifuddin Azwar. (1998). Tes Prestasi Fungsi dan Pengembangan Pengukutan Prestasi balajar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
- Suharsono. (2002). Melejitkan IQ, IE, dan IS. Depok : Inisiasi Press.
- Sutrisno Hadi. (2000). Statistik 2. Yogyakarta : Andi Offset.
- Syaiful Bakrie D. (1994). Prestasi belajar dan kompetensi guru. Surabaya : Usaha Nasional.
- Winkel, WS (1997). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta : Gramedia.
Sumber http://makalahmajannaii.blogspot.com
EmoticonEmoticon